.::NaNoWrIndo::.

My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Friday, November 30, 2007

Hasil Akhir

Hasil OK, dari 53 pendaftar region Indonesia, ini hasilnya:

endah 51.463
-syl- 14.885
alzena -
ambudaff 50.136
anasier 108
annabelle 50.110
Aretha Luthien 1.750
baskerville 28.267
beneton -
black_wolf 61.429
blazing-snow 539
calibannn 14.015
Cat-claws -
cinta -
clueless_psycho 50.159
creat3 -
daniramdani -
Davian Mel -
dayaster 6.000
Drewskya 50.018
Eshtar -
eve15 50.437
ghinanina 1.005
Griffu -
hafiz 8.735
HulkJR 1.504
Irvinges -
Juan Chavalito -
kopisusu2 16.954
luv-alan 18.127
l-clausewitz -
Mahir Pradana 50.022
mandymals 447
Meliko 22.391
Mikan Kauro 3.930
Miyuri 50.149
monet_pasaribu -
Muscat-Dunghill 1.449
Narcistwitch 3.562
nismadewi 20.481
outlawserenade 19.755
param1ta 1.341
petewarrior 461
Salemwrimo 15.264
sarah.lewman 2.123
Sharakael 50.017
shaven 6.500
sihirhujan 2.500
Sonatone 2.045
storymasterq 2.748
Sulfiza Ariska -
watashi wa kawai desu 12.010

Yang dibold itu winner-nya
10 dari 53! Keren juga euy!
Sampai ketemu tahun depan ya!

Tuesday, November 27, 2007

Winner!


Hari keduapuluhdelapan

Hari memang sudah pagi. Tapi suasananya tidak seperti pagi. Burung-burung pagi yang biasa berkicau mengiringi matahari menampilkan diri, tidak ada sama sekali. Sepertinya mereka pergi secepat dan sejauh sayap-sayap mereka yang kecil bisa membawa. Serangga-serangga kecil seperti tonggeret juga tak ada yang berbunyi.

Matahari sendiri juga tidak menampakkan diri seperti biasanya. Hanya ada seberkas sinar sayup memberi tahu bahwa ini pagi bukan malam. Selebihnya gelap. Gelap karena bayangan menaungi seluruh Sumekar.

Beberapa hari yang lalu mentari masih dengan gembira membagikan cahayanya, sekarang bayangan menghalanginya. Kalau matahari yang begitu perkasa saja tidak mampu menghalau bayangan, bagaimana manusia?

Bayangan itu juga bukan hanya menghalangi sinar, tetapi menghalangi kegembiraan, menghalangi harapan, menghalangi segala hal yang indah. Hanya kesuraman, keputusasaan, yang timbul.

Dyah hanya berharap bahwa rakyatnya yang berperang di sampingnya tidak kehilangan rasa ingin mempertahankan negara, karena bayangan itu juga memupus harapan. Jika rakyatnya sudah kehilangan harapan, bagaimana mereka bisa dibangkitkan semangatnya? Mereka sudah kalah jauh dalam jumlah, mereka kalah jauh dalam ketrampilan berperang, mereka kalah jauh dalam persenjataan, apakah mereka juga akan kalah dalam semangat mempertahankan negara?

Dyah menghela napas. Ia menoleh ke sampingnya, Kepala Bala Keamanan, menoleh juga padanya. Laki-laki berjanggut hitam lebat itu menghela napas.

”Baru satu hari, Yang Mulia. Walau berat, kita harus mempertahankan semangat rakyat.”

Dyah mengangguk. Ia melihat sendiri, seperti juga para rakyat melihat sendiri, korban yang jatuh di hari pertama seperti apa. Kalau berjalan seperi ini terus, dalam beberapa hari saja Sumekar sudah akan habis. Mungkin akan tinggal wanita dan anak-anak yang tidak berperang, yang masih akan hidup. Itupun kalau tidak dihabisi oleh Morion.

Dyah bergidik.

Dia mengeratkan pegangan pada pedangnya. Kepala Bala Keamanan melirik bentara di sampingnya, dan mengangguk.

Bentara itu meniup sangkakala, panjang dan lantang. Lalu menegakkan panji-panji, dan hari itupun mulailah.

Seperti kemarin, bahkan lebih dahsyat, lautan tentara Morion melaju menyerbu Sumekar. Kemarin mereka belum bisa menembus pertahanan di perbatasan Morion, sekarang, akankah mereka berhasil?

Suara dentingan pedang, tombak, dan trisula beradu, suara desingan panah-panah, suara jeritan dan teriakan memenuhi kancah peperangan, darah menetes, memancar, menggenang. Burung-burung nasar bergerombol di ujung kancah, menunggu santapan besar mereka terhidang.

[Euh, nggak bisa menggambarkan adegan peperangan, euy! Susyah! Segini aja ya?]

Hari sudah maju ke siang karena hawa semakin panas. Keringat bercampur darah membasahi Ibu Pertiwi, saat angkara murka semakin membahana. Dan Dyah seperti disambar petir tatkala Kepala Bala Keamanan di sampingnya jatuh oleh sabetan kapak seorang .. atau sebuah makhluk?

Makhluk itu memang seperti manusia, tetapi dia sangat gelap, walau bukan hitam. Ia tinggi dan besar, aromanya memuakkan dari kejauhan, suaranya mengerikan, dan ia membantai semudah membalikan telapak tangan, ia mencabut nyawa semudah ia mengibaskan tangan.

Dengan kapaknya ia menebas ke kanan dan ke kiri, kepala-kepala terpisah dari tubuh entah berapa nyawa sudah ia kirim ke alam sana hari ini. Dan ia terhenti di depan Kepala Bala Keamanan.

”Hrrrr. Kau pasti punya kedudukan. Ilmu berperangmu cukup tinggi. Berarti, gadis ini juga punya kedudukan cukup tinggi, kalau kau sampai mengawalnya. Hrrrrr, ...” dania tertawa terbahak-bahak saat mengerakkan kapaknya menyerang, tertawa saat Kepala Bala Keamanan berusaha menghindar, menangkis dengan ilmu yang dimiliki. Ia akhirnya menyerah juga saat kepalanya juga berpisah dari tubuhnya.

Dyah menjerit.

Makhluk itu mendekatinya. Dyah sudah bersiap dengan pedangnya, tapi ia dengan mudah mematahkan pedang itu semudah mematahkan tusuk gigi, menangkap Dyah, menelikung tangannya, dan melemparnya ke atas bahunya. Ia berjalan dengan cepat ke arah datangnya ia tadi, menuju ke perkemahan mereka. Menyibak-nyibakkan mereka yang masih sedang berjuang dengan satu tangan yang bebas. Tak sabar, ia meraih beberapa pisau kecil dari strapnya [bayangin aja kunai dalam Naruto, wekekek], dan melemparnya dengan tepat ke arah beberapa orang, tak peduli itu rakyat Sumekar ataupun prajurit Morion.

Mesin pembunuh yang handal.

Dyah bergidik saat ia membayangkan itu.

Tapi, ia akan dibawa ke mana?

Mesin pembunuh itu terus berjalan lurus, dan akhirnya tiba di perkemahan mereka. Ia menuju tenda yang nampaknya paling mewah dan dijaga ketat.

Ia masuk.

Tenda itu remang-remang, dan baunya memuakkan. Tidak ada siapa-siapa di situ, tapi ada jajaran kursi seperti ruangan rapat, ada meja peta yang besar, dan sisinya ada meja tempat sesuatu seperti bola kristal diletakkan.

Mesin pembunuh itu tidak meletakkan Dyah, ia tetap memanggulnya di bahu. Ia berjalan ke arah bola kristal itu.

”Hrrrrrr,”

Bola kristal itu bercahaya, dan kemudian nampak seseorang kurus dan mengerikan muncul.

”Gagak Hitam, apa yang akan kau laporkan?”

”Hamba mendapat ini, Yang Mulia, sudah cukupkah?”

Orang itu seperti mendekat melihat dari kejauhan sana, dan ia terkekeh. Wajahnya nampak jauh lebih mengerikan.

”Dia Ratu Sumekar. Bagus kerjamu, Gagak. Umumkan peperangan dihentikan, dan bawa Ratu itu ke mari.” Pada Dyah ia melirik dan tertawa terbahak-bahak.

Dyah melengos dengan geram. Itukah Dark Soul?

Tapi tak ada waktu untuk berpikir. Bola kristal itu gelap kembali. Gagak Hitam membawanya lagi ke tenda lain, tendanya kecil dan sama gelapnya. Ia melempar Dyah ke –tempat duduk ataukah tempat tidurkah itu—dan mengunci tendanya.

Dyah langsung berusaha berdiri, tapi ia jatuh lagi. Ia menghela napas. Kembali dicobanya perlahan-lahan, dan ia berdiri sempoyongan. Keadaan di luar sama sekali tidak bisa ia lihat. Dyah mencoba berkonsentrasi agar bisa mendengar sekeliling, tapi ia tidak bisa menembus tenda ini. Pendengarannya tak bisa mendengar apa-apa.

Jangan-jangan tenda itu sudah diberi mantra sehingga tidak ada apapun yang bisa keluar ataupun masuk, pikir Dyah. Dengan gemetar ia duduk, dan baru kali ini ia merasa sangat marah, takut, dan sedih sekaligus. Kepala Bala Keamanan dibunuh di hadapannya dengan cara yang sangat keji, bagaimana dengan rakyatnya yang lain? Kepala Bala Keamanan saja yang memiliki ilmu bela diri yang bagus, bisa dihentikan hanya dalam waktu singkat, bagaimana dengan rakyatnya yang sama sekali tidak bisa berkelahi, hanya mengandalkan semangat saja?

Dyah hanya bisa berharap pada keajaiban.

Di luar terdengar suara yang sepertinya dibesarkan oleh sihir, menggema ke seluruh kancah peperangan, bahwa Ratu Sumekar sudah ditangkap, bahwa Kepala Bala Keamanan sudah dibunuh, dan agar prajurit Morion menghentikan perangnya dan mundur teratur kembali ke kemah masing-masing.

Dyah membayangkan suasana yang terjadi di luar sana. Para prajurit pasti kegirangan, tugas mereka telah selesai dengan mudah, seperti perkiraan. Negara Sumekar hanyalah negara kecil, pasti mudah diselesaikan.

Tapi bagaimana dengan keadaan rakyat Sumekar, pikir Dyah kalut. Dengan adanya ia di pucuk pimpinan peperangan, akan mudah mengobarkan semangat mereka. Tanpa ia, ia yakin, pasti semangat mereka seperti bara api disiram air.

Mereka sudah kalah jumlah, kalah keahlian, kalah persenjataan, dan sekarang kalah juga dengan ditangkapnya pucuk pimpinan mereka. Dyah hanya bisa berharap, rakyatnya tidak diapa-apakan. Janganlah ada pembantaian di saat ia sudah tertangkap begini.

Tendanya terbuka. Gagak Hitam masuk dan mendekatinya, menarik tangannya, memaksanya berdiri dan berjalan. Tanpa bersuara setengah menyeret ia membawanya keluar, ke sebuah kereta yang tertutup. Ia didorong masuk ke dalamnya, dan pintunya dikunci. Terasa bahwa Gagak Hitam juga naik, naik ke tempat duduk di samping kusir, dan mereka kemudian berjalan.

Kereta ini nampaknya tidak kedap sihir, pikir Dyah. Ia mencoba memusatkan konsentrasinya, dan ia sekarang bisa mendengarkan suara-suara dari kejauhan. Hatinya ngenes [ngenes bahasa Indonesianya apa ya?] mendengarnya.

Dari sudut manapun ia mendengar, yang ada adalah suara-suara tidak percaya bahwa ia tertangkap. Bahwa Kepala Bala Keamanan sudah meninggal. Suara kaget, suara kemarahan, suara pesimis bahwa mereka bisa menang sekarang karena Ratu saja sudah tertangkap, bagaimana nasib mereka nanti?

Dyah menutup pendengaran jauhnya. Tidak bisa, pikirnya dalam hati, aku tidak bisa mendengarkan suara mereka dalam keadaan seperti ini, hatinya mencelos. Ia yang dijadikan tumpuan harapan rakyat senegaranya, sekarang bahkan tak berdaya seperti ini. Satu-satunya harapan hanyalah bahwa Ki Seta akan menemukan Silmë sebelum Dark Soul, dan menggunakannya untuk memusnahkan regim laknat ini.

Tak terasa dua butir cairan bergulir menelusuri pipi.

Kereta itu berjalan tak henti. Siang malam. Sama sekali tidak berhenti. Hanya berhenti beberapa saat untuk memasukkan makanan untuknya, yang ia tidak lihat lagi isinya apa. Dimakannya tanpa melihat. Yang penting ia bertahan hidup, itu harus. Rakyatnya harus tahu bahwa ia masih hidup, dan ia tidak menyerah.

Tapi bagaimana kusirnya bisa menjalankan kereta tanpa beristirahat, ia tidak tahu. Bagaimana kudanya bisa terus berjalan tanpa lelah berhari-hari dan bermalam-malam, ia juga tidak tahu. Janganlah bertanya bagaimana Gagak Hitam bisa bertahan selama itu sadar tidak mengantuk, apalagi. Ia tak tahu. Yang ia tahu hanyalah ia harus bertahan hidup. Selama ia masih hidup, masih ada kemungkinan untuk membebaskan rakyatnya dari cengkeraman iblis ini. Walau kemungkinan terkecil sekalipun.

Tiga hari dua malam, hitung Dyah, saat akhirnya mereka berhenti. Gagak Hitam turun dan membuka keretanya, menariknya turun juga. Ia berkejap-kejap membiasakan matanya. Tapi mau bagaimana lagi, di sini juga keadaannya remang-remang. Walau menurut perhitungan Dyah sekarang sudah malam, tapi di Sumekar biasanya tidak segelap begini, apalagi di lingkungan istana. Pasti terang benderang, selain lampu istana, lampu yang dibawa-bawa oleh pejalan kaki juga akan ramai di jalan. Setidaknya sampai jam sembilan, jalan masih akan ramai. Lalu sesudahnya, lampu yang dibawa para peronda juga akan menerangi jalan bahkan sampai ke pelosok desa.

Di sini tidak, batin Dyah. Ini nampaknya bisa disebut istana. Terasa luas tapi tidak melapangkan hati. Tidak hijau meneduhkan seperti istana Sumekar. Teringat cerita Ki Seta di mana dulu Morion bernama Lembuwungkuk, mungkin dulu istananya pernah menjadi istana yang meneduhkan. Tapi sekarang tidak ada bekas-bekasnya. Pohon-pohon besar di sisi jalan masuk ke istana bukannya meneduhkan, malah membuat hati ciut, malah mengerikan kesannya.

Sepi tidak ada yang berlalu lalang. Hanya pengawal yang banyak jumlahnya. Tidak seperti istana Sumekar, banyak orang yang lewat sekedar menikmati asrinya lingkungan istana yang terbuka untuk semua orang, atau bahkan masuk ke istana untuk mengadukan nasibnya pada hari-hari tertentu, atau bahkan hanya sekadar menghaturkan setandan pisang yang tumbuhnya bagus untuk Ratu. Pengawal hanya sedikit, dan berjaga dengan waspada tapi penuh senyum. Di sini pengawalnya semua berwajah seram, dan tak ada orang lain yang berlalu lalang, selain dari mereka yang berseragam militer dan nampaknya beberapa gelintir penyihir yang menyeramkan.

Gagak Hitam membawanya ke sebuah ruangan luas diterangi beberapa obor di dinding. Baunya menyesakkan dada, seperti bau belerang atau entah mineral apa. Tidak seperti di Sumekar yang diterangi oleh obor berbahan bakar biru terang tak menyisakan jelaga, sepertinya obor di sini penuh dengan jelaga.

Di tempat yang sepertinya tahta bercokol seorang penyihir tua kurus dan menyeramkan. Dark Soul nampaknya. Dan benar saja, Gagak Hitam menghormat padanya.

“Yang Mulia, ini dia tawananku.”

Dark Soul tertawa mengerikan saat ia berdiri dan berjalan mendekati Dyah. Dyah berusaha untuk tetap tegar dan tak terlihat takut. Disimpannya ketakutan dalam-dalam, aku harus tegar untuk rakyatku, pikirnya.

“Kau berani melanggar Layang Kamasan!” sahut Dyah tajam.

Dark Soul tertawa menusuk, ”Kau tahu? Aku tidak akan berani melanggar Layang Kamasan, kecuali ada back up. Dan pendukungku itu akan segera keluar dalam waktu dekat. Kita lihat saja,” dan ia tertawa lagi pendek.

Dyah berharap Ki Seta masih dapat bertahan, ia berharap Ki Seta segera menemukan kunci pamungkas masalah ini, tapi Dark Soul rupanya bisa mengetahuinya.

”Kau menugaskan penyihir kemarin sore untuk menjaga Pertambangan? Dalam hitungan detik saja ia akan kulibas. Dan Silmë akan menjadi milikku, batunya untuk menjaga kekuasaanku, inti cairannya untuk membuatku hidup selama-lamanya. Kau tahu kan? Inti cairan untuk hidup abadi! Itulah yang kucari selama ini, dan kulihat ia akan muncul di Pertambangan di Sumekar. Karena Silmë akan melindungiku dari sihir delapan negara yang ada dalam Layang Kamasan, aku berani untuk menerjang Layang. Hihihi....” kikiknya terdengar mengerikan.

Dyah terdiam.

Dark Soul semakin mendekatinya. ”Keberanianmu rupanya jauh melebihi kemampuanmu. Baiklah, kita lihat sejauh mana kau menurut padaku,” ia melihat berkeliling ruangan. Ada beberapa cleaning service sedang membersihkan sudut ruangan. Nampak dari jauh mereka seperti manusia biasa.

Dark Soul menjentikkan jarinya, dan memanggil, “Kau! Ya, kau, kemari!”

Ia memanggil seorang dari mereka, dan orang itu mendekat. Membuat Dyah kaget.

Kaget karena penampilan orang itu mengerikan. Tinggi dan besar, bulu halus kecoklatan nampaknya di seluruh tubuhnya. Di kepalanya tumbuh sesuatu seperti tanduk. Wajahnya kalau diperhatikan baik-baik seperti seekor banteng.

Kaget juga karena nampaknya orang ini tidak takut pada Dark Soul. Tunduk memang pada perintahnya, tapi tidak takut. Tidak seperti Gagak Hitam yang menjalankan perintah dengan unsur takut, orang ini tidak.

“Kau takut?”

Dyah menggeleng dengan pandangan menantang.

“Tapi kalau nasib rakyatmu tergantung pada keputusanmu, aku yakin kau akan memilih nasib rakyatmu,” Dark Soul terkekeh. "Aku akan bermurah hati padamu Ratu. Aku akan menarik mundur pasukanku, bila kau mau memenuhi satu permintaanku,"

"Apa itu?"

"Jika kau menikah dengannya," Penyihir itu melayangkan pandangnya ke cleaning service yang tadi.

Dyah terpekik kecil. Orang yang ditunjuk Dark Soul itu bergeming. Dyah menelan ludah. Bukan seperti ini makhluk yang ia impikan menjadi suaminya. Ia sudah akan menolak, ketika teringat olehnya rakyatnya. Anak-anak yang masih polos. Wanita-wanita yang ketakutan. Bahkan para prajuritnya yang sebenarnya tak tahu apa-apa, dan mereka akan mati sia-sia dalam melaksanakan tugas, karena jumlah yang jauh dari seimbang, jangan pula disebut martial art dan persenjataan mereka.

Dyah menghela napas panjang dan berusaha tak terdengar gemetar ketika mengucap, "Baiklah. Aku terima persyaratanmu," ia menatap tajam Dark Soul, "dan bagaimana aku tahu kau akan menepati janjimu?"

Dark Soul terkekeh, "Kau akan tahu, manisku. Kau akan tahu,"

Dyah tahu kalau ia tidak punya posisi tawar. Ia mengangguk lemah. Dari sudut matanya ia melihat makhluk itu bergerak seolah hendak mengucapkan sesuatu tetapi tak jadi.

Dyah menguatkan hatinya lagi, "Setidaknya aku harus tahu siapa namanya,"

Dark Soul menyeringai menyebalkan, "Ah-ha! Ratu sudah mulai tertarik rupanya."

*****

Dyah mencoba menenangkan jantungnya yang terus berdetak tak karuan. Ia di kamar sendiri. Sesudah upacara pernikahan, sesuai tradisi Morion, mempelai perempuan menunggu di kamar sementara mempelai laki-laki bersama dengan undangan berpesta minum-minum.

Dyah mencoba tak memikirkan apa yang akan terjadi padanya. Mungkin monster itu akan mabuk dan langsung tertidur pulas. Sehingga tak akan terjadi apa-apa padanya. Mungkin pula justru karena ia mabuk maka ia akan diperlakukan sangat kasar .. Mau copot rasanya jantung Dyah. Dan ia sama sekali tak tahu apa yang mesti diperbuat untuk mengalihkan pikirannya.

Pintu terbuka keras. Dyah nyaris terlonjak. Ia tak menduga secepat ini. Makhluk itu masuk membelakangi pintu, menutup dan menguncinya. Ia mendekati Dyah. Jantung Dyah berdetak makin kencang tak karuan.

Ia makin mendekat.

Dyah tak kuat lagi, ia menutup matanya. Ingin rasanya ia bisa menghilang dari sini. Tapi walaupun ia bisa, tak mungkin dilakukannya. Rakyatnya. Negaranya.

Dyah merasakan makhluk itu tak berjarak lagi darinya.

Ia bisa merasakan napasnya. Tak ada bau alkohol di sana. Dyah memberanikan diri membuka matanya.

Dan tepat menatap mata hitam itu. Dengan jarak sangat dekat. Hangat napasnya satu-satu menerpa wajah Dyah.

Dyah merasakan kedua tangan besar itu merengkuh bahunya. Inilah dia, pikirnya, inilah dia saatnya, pikirnya pasrah.

Salah satu tangan itu meraih rambut Dyah yang jatuh menutupi wajahnya, menaikkannya ke atas telinga sehingga ia bisa melihat wajah Dyah dengan jelas dan juga sebaliknya. Wajah itu kian mendekat, dan Dyah menutup matanya lagi. Ia tak ingin melihat apa yang dilakukan makhluk itu padanya. Ia bahkan tak ingin merasakannya.

Dyah merasakan sentuhan bibir di keningnya. Ia membuka matanya untuk lagi-lagi langsung bertatapan dengan mata hitam itu. Dan nyaris terlonjak ia mendengar suaranya.

"Jangan takut. Aku hanya akan menyentuhmu bila kau bersedia,"

Dyah menatapnya tak percaya. Tapi mata hitam itu menyorotkan kesungguhan. Ketulusan.

"Sayang sekali aku tidak bisa menemukan kamar terpisah untukmu. Akan terlalu mencurigakan, apalagi di malam pernikahan kita," dia melepaskan tangannya dari bahu Dyah, "begitu pula dengan tempat tidur terpisah. Mungkin aku akan tidur di lantai saja," sahutnya ringan.

Dyah tidak bisa langsung menanggapi. Ini benar-benar di luar dugaannya. Kejutan yang melegakan. Matanya mengikuti gerak-gerik makhluk itu menyiapkan tempatnya tidur di lantai.

"Mengapa engkau melakukan hal ini?" tanyanya ragu.

Sejenak makhluk itu tak menjawab. Ia berhenti bergerak dan menghela napas panjang, "Anda sendiri, Yang Mulia? Mengapa setuju untuk menikah dengan .. monster sepertiku?"

Giliran Dyah tercenung. "Aku tak punya pilihan lain. Kalau tidak, rakyatku akan menderita. Selain itu, tolong jangan panggil aku Yang Mulia. Bagaimanapun kau adalah suamiku. Panggil aku Dyah saja,"

"Baiklah. Dyah," makhluk itu terdengar agak ragu,"dan sebaliknya juga panggil aku Lembu saja. Kembali pada pertanyaanku tadi, bagaimana kau yakin bahwa dengan menikah denganku, dia .. er .. akan menepati janjinya?" Kedengarannya Dark Soul cukup ditakuti. Menyebut namanya saja makhluk besar ini ragu.

"Aku tak tahu," gumam Dyah putus asa, "yang aku tahu kalau aku tidak melakukannya dia akan menghancurkan Sumekar."

"Kau tahu alasan apa yang membuatnya menyerang negaramu?"

Dyah menggeleng, "Aku hanya tahu ia mengincar Pertambangan kami. Memang di sana banyak batu-batu berharga. Juga kadang-kadang ditemukan batu berkekuatan magis. Tapi aku tak tahu kalau Dark Soul menganggapnya cukup berharga untuk diduduki. Kukira Morion sendiri cukup kaya dengan hasil tambang dan hasil bumi yang lain."

“Bukannya ia menginginkan Silmë?”

Dyah memandangnya tajam. “Kau … tahu juga?”

Lembu mengangguk.

Mereka terdiam.

"Dan kau sendiri? Apa yang kau kerjakan di sini? Sepertinya kau bukan bawahan Dark Soul?" Dyah bertanya takut-takut.

Lembu menggeleng. "Tidak. Aku mengabdi untuk Morion. Tepatnya, untuk Lembuwungkuk. Jauh sebelum dia mengambil alih kekuasaan." Matanya menyiratkan ada sesuatu yang ingin disimpannya sendiri. Dyah tidak bertanya lagi.

Lembu menyuruhnya segera tidur. "Tidurlah. Hari sudah larut. Kalau kau memang ingin melakukan sesuatu untuk negaramu, kau harus menyimpan tenagamu, menjaga kesehatanmu."

Dyah ragu melangkah ke ranjangnya.

"Jangan takut. Tak akan ada yang terjadi padamu. Seperti sudah kukatakan padamu, aku tidak akan melakukan apa-apa diluar kehendakmu. Selamat malam," Lembu meniup pelita di meja.

"Selamat malam," Dyah membaringkan dirinya. Apa yang akan terjadi, terjadilah, pikirnya.

Dan nyatanya memang tidak terjadi apa-apa.

Sebelum menutup matanya, sebersit pikiran melayang di benak Dyah. Siapa sebenarnya Lembu ini? Ia menoleh ke arah Lembu membaringkan dirinya di lantai, memandangnya diam-diam saat Lembu memejamkan mata. Lembu ini seperti ... orang yang sudah lama ia kenal. Seperti familiar untuknya. Tapi ia tidak tahu siapa. Dicobanya mengingat-ingat, semua yang ia kenal dari Sumekar, tidak ada yang berwajah seperti Lembu. Jangankan berpenampilan seperti Lembu, mirip pun tidak ada.

Dyah menghela napas dan memejamkan matanya.

*****

Gelap jatuh di seluruh wilayah Sumekar. Entah sekarang sedang malam atau masih siang, kalau kau tidak melihat jam, kau tidak akan tahu. Bahkan untuk mereka yang melihat jam pun, kalau baru saja bangun misalnya, kau tidak akan tahu ini pukul 12 siang atau pukul 12 malam, sama saja kegelapannya.

Di sana sini ada beberapa obor yang dinyalakan, yang tidak banyak menolong. Bukan obor berbahan bakar biru dengan nyala tak berbekas seperti yang biasa dinyalakan di Sumekar, tetapi obor berbahan bakar kasar dengan jelaga hitam susah dibersihkan.

Rumah-rumah sunyi tanpa suara. Jalan-jalan tak ada yang melewati. Angin sesekali meniup dedaunan yang gugur, menyampah di jalanan. Tidak ada yang menyapunya karena tidak ada yang peduli. Tidak ada yang peduli karena semua orang punya sesuatu yang lebih ditakuti daripada sekedar jalanan yang menjadi kotor.

Seluruh Sumekar terdiam dalam ketakutan. Seluruh Sumekar jatuh dalam dukacita yang dalam. Langit cerah seperti mimpi yang sudah berabad-abad tidak pernah ada di Sumekar, demikian pula harapan. Serasa jauh.

Kecuali Pertambangan. Di Pertambangan masih ada kegiatan, mempertahankan Sumekar. Masih ada pertempuran mati-matian dari beberapa gelintir orang dan beberapa penyihir.

Gagak Hitam masih menyambar-nyambarkan pisau-pisau kunainya. Tapi sekarang tidak begitu mempan. Seluruh penyihir yang ada di situ, masih mencoba melindungi para pekerja yang sekarang berubah menjadi tentara dengan senjata alakadarnya.

Dark Soul telah berjanji pada Dyah untuk tidak membunuhi rakyatnya, tapi setidaknya tidak di Pertambangan. Pasukannya dalam jumlah besar dikerahkan ke Pertambangan. Sudah tak terhitung jumlah kematian di sana. Sekarang yang masih ada tinggallah beberapa orang pekerja, ditambah segelintir penyihir yang bekerjamati-matian melindungi sumber utama Pertambangan.

Ki Seta sudah bermandi keringat dan darah. Ia bekerja ganda, melindungi para pekerja ditambah terus memantau akan kemunculan Silmë. Beberapa hari yang lalu ia mendengar kematian Kepala Bala Keamanan, dan ditangkapnya Ratu, dibawa ke Morion. Tanpa rencana, tentunya ia akan segera berangkat ke Morion dan membebaskan Ratu-nya. Tapi dengan rencana ini, ia harus tetap ada di sini. Mempertahankan Pertambangan sebisa mungkin.

Dan sekarang, para pekerja sudah nyaris habis, para penyihir sudah ada di titik nadir mereka, tapi Silmë belum menampakkan tanda-tanda akan memunculkan diri.

Beberapa penyihir menghimpun kekuatan mereka dan menyalurkannya ke kumpulan pasukan Dark Soul. Meledakkannya. Berkurang sedikit pasukan mereka, tapi jumlahnya memang seperti tidak ada habisnya.

Gagak Hitam merangsek lebih jauh, mendekati Ki Seta, mendekati Sumber Utama Pertambangan dengan beberapa pasukannya. Ki Seta mengeluarkan jurus-jurusnya sambil matanya terus ke Sumber Utama. Jangan sampai lengah, jagan sampai lengah, bisiknya. Ia tahu, musuhnya terus mendekati Sumber Utama. Ia harus menjaganya sekuat tenaga.

Saat beberapa pasukan menyerangnya, ia mengeluarkan dentuman,d an tahulah ia bahwa Gagak Hitam hanya mengecohnya. Dengan perhatian ke para pasukan, Gagak Hitam bisa mendekati Sumber Utama. Dan Ki Seta sudah merasa bahwa Silmë sudah akan muncul. Waktunya akan datang.

Dengan sisa kekuatannya, disemburkan jurus api pada Gagak Hitam, yang dengan entengnya menahannya dengan perisai. Gagak Hitam mengeluarkan dua pedang pendek, dan dengan gerakan cepat bagai tak terlihat mata, ia menyerang, ia merangsek terus ke Sumber, mendesak Ki Seta agar bergerak terus ke luar lingkaran Sumber.

Ki Seta bertahan. Taoi dalam waktu yang sangat cepat itu ia bahkan tak bisa mengeluarkan sihirnya, ia terus bertahan dengan cara manual.

Dan ia merasa Silmë sudah waktunya keluar.

Nampaknya Gagak Hitam juga merasakannya, karena ia mengeluarkan seluruh tenaganya untuk meledakkan Ki Seta, menjauhkannya dari Sumber Utama...

BLAAAAAAR!

Ki Seta hanya sanggup mengeluarkan jurus bertahan, sebelum ia terlempar jauh dari Sumber Utama, lubang utama tempat keluarnya batu-batu.

Gagak Hitam tertawa terbahak-bahak saat Ki Seta jatuh terguling, dekat lubang-lubang Pertambangan kecil di sekitar Sumber Utama. Dengan percaya diri ia mendekati Sumber Utama, menunggu kemunculan Silmë.

Ki Seta berusaha untuk bangun, berusaha untuk kembali ke Sumber Utama, ketika ia merasa sesuatu yang lain.

Sinar bulan lembut muncul dari salah satu lubang kecil Pertambangan, dekat tempatnya jatuh.

Silmë.

Cahaya Bulan.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Ki Seta meraih Silmë, seiring raungan kemarahan Gagak Hitam melihat batu itu justru keluar dari lubang kecil, bukan dari Sumber Utama. Ki Seta melancarkan jurus Halimunan, dan ia menghilang dari pandangan Gagak Hitam bersama Silmë.

~0~0~0~0~0~0~0

Wordcount: 3.554
Akumulasi: 50.167 (MS Word) 50.136 (NaNoValidator)
Target: 46.667

Woohoo!

Akhirnya!

Tapi ... akhirnya cliffhanger! Hihi.. Enggak sih, soalnya cerita ini belum selesai, jadi masih akan ada terusannya. Jangan takut, kalau diterusin pasti dipost di sini.

Woohoo!

Hari Keduapuluhtujuh

Avis masih menatap pintu yang tertutup beberapa detik. Setengah tak mengerti ia kembali ke kamar. Upi masih terlelap di sana.

‘Teruslah bertahan’ terus terngiang-ngiang. Ada apa dengan kang Nata? Apakah dia tahu apa yang selama in ia impikan? Ataukah dia yang mengirim mimpi-mimpi itu?

Masih setengah tak mengerti, ia mengganti piama dan membaringkan diri di sebelah Upi. Sebelum ia memejaman mata, Upi berbalik, dan mengucapkan kata-kata tak jelas.

”Duh, Upi, kalau sore main sampai cape, pasti deh ngelindur,” bisik Avis sambil terus menepuk-nepuk paha Upi menenangkannya. Pintu kamar diketuk.

”Vis, Upi nggak apa-apa?”

“Cuma ngelindur, teh,” Avis berdiri dan membukakan pintu.

“Iya, dia mah begitu. Hampir selalu ngelindur. Kumaha atuh nya?” teh Alia masuk dan menenangkan Upi.

Avis tersenyum, ”Nggak apa-apa, teh. Bagus malah, jadi otaknya tumbuh.”

”Lho, memang kenapa?”

”Kalau kita tidur, berarti sel-sel tubuh kita diganti dengan yang baru. Kalau tidur kita lelap, berarti yang sedang diganti adalah sel-sel tubuh. Kalau tidur nggak lelap, mata masih bergerak, REM –rapid eye movement—berarti sel otak yang lagi tumbuh. Kalau dia lagi ngelindur gini,” Avis memperlihatkan gerakan mata Upi, “berarti sel otaknya yang sedang bertumbuh.”

“Tapi hampir setiap malam, lho Vis.”

“Berarti tumbuh setiap malam,” Avis tertawa ditahan, “Anak sekarang sih otaknya bagus-bagus, teh, gizinya kali ya?”

Teh Alia tersenyum juga. Upi berbalik dan memanggil, “Umi! Umi!” tapi matanya masih tetap tertutup.

”Ya, udah, pindah kamar aja deh,” usul teh Alia, ”daripada nanti malem keganggu,” dan dia sudah akan memindahkan Upi, ketika tangannya ditahan.

”Biar sama Avis aja teh,” katanya dan hati-hati mengangkat Upi. ”Sebenarnya biar di sini aja, teh, kan sebentar lagi si Ade lahir. Jadi dia dibiasakan tidur sendiri.”

Teh Alia tersenyum, ”Duh, mau lahir adiknya malah tambah ogoan. Sekarang aja ada Avis di sini, dan dia bisa ogoan ke Avis, kalau enggak sih, nempel aja terus ke Umi-nya, seperti permen karet nempel di rambut.”

Avis tertawa kecil.

Sambil mengangkat Upi, teh Alia berbisik, ”Pak ... er, kang Nata tadi marah?”

”Ha?” Avis kaget, ”Enggak. Kenapa?”

”Enggak. Cuma nanya aja. Abis kedengarannya diem-dieman gitu.”

”Yee .. ngedengerin ...” kalau dia tidak sedang memangku Upi pasti dicubitnya teh Alia ini.

Di kamarnya, si Aa malah sedang ngaringkuk, ”Aa. Ini si Upi ngalindur, jadi sama teteh dipindahin lagi ke sini katanya,” sahut Avis sambil membaringkan Upi di sebelah Aa.

”Ye, kirain mau tidur sama Bi Wis.”

”Udah tidur, tapi tadi ngelindur dan manggil-manggil Umi, dan sama Umi disuruh dipindahin lagi.”

”Nah, itu mah Umi-nya aja yang kangen tidur sama Upi,” dan teh Alia sekarang yang mencubit Aa. Sukurin, hihi..

”Udah ah, Avis mau tidur,” dan ia menghilang ke kamar sebelah.

Ditutupnya pintu, dan ditariknya napas panjang.

’Teruslah bertahan’ kata kang Nata tadi. Oke, baiklah, kucoba untuk bertahan, pikir Avis. Walau Avis tidak tahu apa yang akan terjadi.

Dipejamkan matanya.

Dan kecamuk perang segera melanda. Keadaannya gelap, meski menurut hatinya, ini masih siang. Tapi tadi Ki Seta memperingatkan, jika bayang-bayang Dark Soul tiba di suatu tempat, tempat itu akan menjadi gelap oleh bayangannya.

Inilah keadaannya sekarang. Pasukannya yang tidak terlatih, bertempur dengan pasukan yang banyak, terlatih, dan tidak punya belas kasihan. Hanya rasa mempertahankan negara yang bisa menjadikan mereka bersemangat begitu, pikir Dyah.

Sebagian besar penyihir negara dikerahkan ke garis depan. Ki Seta dan beberapa penyihir lainnya, ditugaskan bersiaga di Pertambangan, kalau-kalau Silmë keluar, dan bisa segera dikuasai. Jangan sampai dikuasai pasukan Dark Soul.

Walau hatinya tersiksa melihat keadaan pasukannya, namun ia menegarkan diri. Ia harus memberi contoh yang baik pada pasukannya. Ia harus memperlihatkan keberanian pada mereka. Dan pedangnya menyabet kian kemari, tanpa ragu.

Ketika malam menjelang, dan kedua pasukan mundur sejenak, ada rasa getir dalam hatinya. Sudah berapa banyak yang harus pulang hanya nama? Air matanya nyaris menetes tatkala melihat banyak wanita yang bekerja di garis depan sebagai Penyembuh. Malam begini tatkala perang dihentikan, mereka justru keluar, mengumpulkan mereka yang masih bisa diselamatkan untuk diobati , mengumpulkan mereka yang sudah tidak bisa diselamatkan untuk dikremasi. Coba kalau dalam situasi normal, wanita biasanya segan keluar malam, walau di Sumekar jarang ada penjahat juga.

Kepala Bala Keamanan yang sedari pagi mendampinginya menghunus pedang, masuk ke tendanya, ”Daulat Tuanku,” hormatnya.

”Ada apa?”

”Ada ... kabar buruk dari para juru telik, Yang Mulia.”

”Kabar buruk ... apakah?” ia ragu untuk mendengarnya, tapi ia harus.

”Dua Panah Merah kembali kosong, Yang Mulia.”

Panah Merah adalah cara berkomunikasi yang paling cepat yang mereka ketahui. Jika ada kabar yang harus segera disampaikan, kabar itu biasanya diisi ke dalam Panah Merah dan dikirimkan secepatnya.

Semua Juru Telik memiliki Panah Merah. Jika ia mati atau lebih parahnya, tertangkap dengan kemungkinan disiksa, maka Panah Merahnya akan kembali kosong. Dan dua Panah Merah sudah kembali kosong.

Dyah terdiam. Lalu berkata lirih, ”Dan tiga Panah lainnya?”

Kepala Bala Keamanan menggeleng.

Ketukan di pintu tenda membuat perhatian mereka terpecah. ”Masuk,” sahut Dyah tegas.

Ki Seta, dalam keadaan lusuh dan kotor. Biasanya busananya putih bersih bersinar.

“Ada apa, Ki Seta?” Dyah berharap bahwa Ki Seta sudah menemukan Silmë.

”Kabar buruk, Yang Mulia. Konon dua Panah Merah sudah kembali kosong?”

Dyah menoleh pada Kepala Bala Keamanan, tak perlu jawaban untuk pertanyaan itu. ”Apa kau tahu di mana tiga Panah lainnya?”

Ki Seta menghela napas, dan maju ke meja peta, menggulung peta yang ada di atas meja, dan menebarkan sebuah kain hitam. Lalu ia menebarkan bubuk entah apa namanya, membaca mantra, dan terlihatlah gambar-gambar mengerikan.

Kelima juru telik sudah ditemukan oleh pasukan Morion, dan entah apa saja yang sudah mereka lakukan pada mereka. Rasanya tidak akan lama lagi tiga Panah sisanya akan sampai dalam keadaan kosong.

Mereka terdiam sejenak. Lalu Dyah memecahkan keheningan, ”Kukira tradisi meramalkan pemerintahan berjalan baik atau tidak berdasarkan ringan atau beratnya diadem, sudah harus ditinggalkan. Saat pelantikan aku merasakan diadem yang ringan, ternyata ...”

”Yang Mulia, peramalan itu masih tetap berlaku. Itu meramalkan apakah Yang Mulia berhasil atau tidak dalam memerintah, dan sampai sekarang bukankah rakyat masih melaksanakan perintah Yang Mulia?”

”Tapi bisakah kau memerintahkan rakyatmu untuk menyongsong kematian? Yang kau tahu persis akan terjadi?”

Baik Kepala Bala Keamanan maupun Ki Seta tak bisa menjawabnya.

Suara mendesing menandakan ada sesuatu yang terbang melintasi tenda. Kepala Bala Keamanan cepat-cepat melihat apakah itu.

Sebuah Panah Merah kosong.

”Yang Mulia,” ia menyerahkan panah itu pada Dyah.

Dyah lagi yang memecahkan keheningan. ”Baiklah. Kita akan bertahan selama kita bisa, berharap kita bisa menemukan Silmë sebelum Dark Soul.”

Ia berbalik pada Ki Seta, ”Ki Seta, aku meletakkan harapan terakhir padamu. Berjagalah dengan waspada, aku berharap kau tidak melewatkan satu detikpun.”

Ki Seta mengangguk, memberi hormat, dan hendak pergi, ketika ia berhenti sejenak dan memandang Kepala Bala Keamanan, ”Aku percayakan keamanannya padamu, sobat!” baru ia berlalu.

Pagi belum lagi sepenuhnya menyentuh Sumekar ketika tentara-tentara Morion bersiaga. Dyah sudah bersiap pula bersama Kepala Bala Keamanan. Harus berapa lama lagi ia menyaksikan rakyatnya bertumbangan di depannya, pikirnya dengan prihatin.

~0~0~0~0~0~0

Wordcount: 1.120
Akumulasi:
Target:

Monday, November 26, 2007

Davian Mel



Postingan pertama di thread 'Nanowrimo's Indonesia: Chat in Indonesia, please' ditulis oleh Davian Mel. Serasa kenal deh, sama ni anak. Lagian dia seperti sok kenal juga, coba kalau yang seperti Doggu-chan (dari Aestera) Hafiz (Aestera juga) dll, yang udah lama nggak berhubungan, tetapi mereka memang pernah kenal.

Kemarin waktu lagi conference, Myu bilang gini:

(05:28:44 PM) *Myu:* Ambu: (05:28:21 PM) *mand_amanda:* <<-- Davian Mel :-"

Wekekek! Jadi Manda toh!

*jitak Manda tujuh turunan*

Sunday, November 25, 2007

Hari Keduapuluhenam

*soalnya Minggu kemaren nggak nulis, hari keluarga :P*

~0~0~0~0~0~0~0

Dyah nampak murung. Wajah yang biasanya berseri, sekarang bagai tersaput awan. Seorang juru telik –mata-mata—berdiri di hadapannya. Pakaiannya lusuh dan kotor, menandakan baru pulang dari perjalanan jauh.

”Minta Ki Seta segera menghadap,” titahnya pada seorang pengawal di sampingnya. Pengawal itu menunduk memberi hormat dan segera menghilang di balik pintu. Tak berapa lama kemudian ia kembali dengan Penyihir itu.

“Selamat dan Sejahtera untukmu, Yang Mulia. Ada apa gerangan?”

”Juru telik melaporkan,” Dyah mengisyaratkan orang di hadapannya, ”bahwa pasukan Morion dalam jumlah besar menuju ke arah kita, Ki Seta,” tak ada senyum sedikitpun di wajahnya.

Wajah Ki Seta mengeras. ’Mereka datang juga,’ pikirnya, tapi disembunyikannya pikirannya itu baik-baik.

”Mereka mengincar sesuatu, Ki Seta. Aku tak tahu apakah itu. Yang jelas mereka berniat melanggar Layang Kamasan kalau melihat gelagatnya begitu,” Dyah meneruskan ketika melihat Ki Seta terdiam.

”Mereka mengincar sesuatu yang keluar dari Pertambangan, Yang Mulia,” akhirnya suara Ki Seta keluar juga, perlahan. ”Silmë. Batu Bulan. Dalam naskah-naskah kuno, batu Silmë jarang muncul. Tak ada yang bisa memperkirakan kapan ia akan muncul. Tapi kalau ia sudah akan muncul, dengan cara-cara khusus Penyihir tertentu akan mampu mendeteksinya, Yang Mulia.”

”Kau ... tahu tentangnya?”

”Hamba baru saja mendapat Penglihatan, Yang Mulia.”

”Jadi ... mengapa ... Da-Dark Soul mengincar Silmë?”

“Dengan menguasai Silmë, seseorang bisa menguasai dunia, Yang Mulia.”

”Karena itulah ia berani melanggar Layang Kamasan?”

”Hamba kira begitulah.”

Dyah terdiam. Lalu lirih ia berkata, ”Kalau begitu, sekarang kita harus memikirkan cara yang terbaik untuk melindungi rakyat ...”

Ki Seta mengangguk. ”Pertama, apa yang akan Yang Mulia lakukan dengan Silmë? Lebih mudah jika Yang Mulia yang menguasai Silmë, karena Dark Soul bisa kita taklukkan dengan mudah. Masalahnya, jika Dark Soul terlebih dahulu menaklukkan Sumekar, sebelum Silmë keluar, dan itulah yang hamba kira akan dilakukannya.”
Dyah mengangguk. ”Jika Silmë keluar sebelum Dark Soul menaklukkan kita, tentu saja akan kita pertahankan. Jika Silmë belum keluar di saat pasukan Dark Soul sudah datang ... akankah kita korbankan rakyat kita untuk mempertahankan Pertambangan?”
Perlahan Ki Seta mengangguk. ”Kita tidak mempertahankan batu itu demi mendapatkan kekuasaan, demi kemuliaan, Yang Mulia. Kita hanya akan mempertahankannya agar tidak jatuh ke tangan yang salah.”

Dyah menatap Ki Seta lama sebelum ia mengangguk, ”Baiklah.” Ia memalingkan wajah pada pengawal, ”Panggil Kepala Bala Keamanan segera. Dan, oh ya, jangan lupa Tetua Tabib!”

Pengawal itu menghormat dan menghilang secepat ia bisa.

“Mohon ampun, Yang Mulia, hamba punya usul,” Ki Seta menyela.

Dyah mendengarkan.

”Karena ini menyangkut Layang Kamasan, maka negara lain yang menandatanganinya perlu diberitahu. Negara-negara yang maish ada, yang belum menjadi bagian dari Morion.”

Dyah mengangguk. “Walau, kalau melihat Morion berani berkonfrontasi dengan Layang Kamasan, pasti akan ada negara yang takut membantu. Tapi kita coba saja,” ia melihat pada juru telik yang selama ini diam di sudut, “Aku akan segera menulis surat resmi. Sampaikan segera pada negara-negara itu. Pilihlan orang-orangmu yang terbaik.”

Juru telik menghormat dan amit mundur. Kepala Bala Keamanan masuk dengan tergesa-gesa, disusul Tetua Tabib dengan perutnya yang gendut.

”Yang Mulia,” sahut mereka bersamaan.

”Pasukan Morion akan segera menyerang negara kita,” Dyah menerangkan cepat, lalu memandang Kepala Bala Keamanan. ”Kumpulkan semua laki-laki yang sudah mendapat pelatihan. Cek lagi persenjataannya, juga seragam. Setelah itu, bersama dengan semua Pelatih Utama, buat perencanaan akan ditempatkan di mana saja pasukan-pasukan itu, lalu laporkan secepatnya.”

Walau wajahnya keheranan, Kepala Bala Keamanan menganggukkan kepala, memberi hormat dan amit mundur.

”Tetua Tabib, mulai sekarang hentikan pembuatan ramuan-ramuan lain. Konsentrasikan pada ramuan penyembuh, terutama penyembuh luka, luka biasa ataupun luka sihir.”

Tetua Tabib pun menganggukkan kepala dan amit mundur.

Dyah memandang ke arah pintu di mana mereka mundur. ”Apa mereka tahu apa yang menyongsongnya di sana?” gumamnya lirih.

*****

Derap pasukan yang begitu seirama itu bagai menggetarkan bumi. Nyata sekali bahwa mereka sangat terlatih, tegas langkah mereka, dingin sorot mata mereka, mantap pegangan mereka pada senjata masing-masing seolah senjata dan pemegangnya lumer jadi satu. Dan derap mereka seolah tak berakhir, jumlah mereka seakan tidak terhitung. Pasti tujuan mereka, ke Timur, ke arah matahari terbit. Sumekar.

* * *

Di Sumekar, terdapat kesibukan yang tidak biasanya. Di lapangan kecil samping istana orang-orang berseragam berkumpul. Dan makin banyak jumlahnya, seiring dengan kedatangan orang-orang berseragam lainnya dari seluruh penjuru negeri. Senjata mereka beragam, pedang, panjang maupun pendek, tombak, trisula, panah, dan entah apa lagi.

Kumpulan itu segera saja jadi tontonan, terutama ibu-ibu dan anak-anak. Sudah berabad-abad mereka tidak pernah melihat tentara dalam jumlah begitu banyak. Biasanya mereka hanya melihat tentara jika mendekati istana, itupun sekedar pengawal penjaga istana. Lalu sedikit personil penjaga keamanan, semacam polisi, untuk mendamaikan keributan kecil-kecilan antar penduduk, atau pencurian yang amat-sangat jarang terjadi. Bala Keamanan pendeknya.

"Emak, siapa sih mereka?"

"Itu namanya tentara, Euis," seorang ibu mengusap kepala anaknya.

"Aku belum pernah melihat tentara," sahut anak kecil itu lagi.

"Jangankan kau, akupun belum pernah melihat mereka. Pernah, sih, satu-dua, tapi belum pernah melihat sebanyak ini," seorang ibu-ibu gemuk setengah umur menyela.

"Aku juga baru melihat langsung sekarang. Persis seperti yang digambarkan di buku-buku sejarah di sekolah ya?" seorang gadis belia menyetujui.

Ibu di sebelahnya diam saja. Wajahnya nampak bersaput mendung. Melihat hal itu, si ibu gemuk bertanya penasaran, "Ada apa, Bu? Anda tidak senang melihat begiu banyak tentara kita berkumpul?"

Si ibu yang ditanya menggeleng. Ia menunjuk ke arah tentara itu, "Suamiku dan anak sulungku ada di sana. Meski mereka bukan tentara, tetapi ia termasuk Bala Cadangan, dan dipanggil untuk maju. Hanya Dewa-dewa yang tahu apa yang akan mereka hadapi,"

"Yah, kau betul," ibu yang lain menanggapi, "suamiku juga masuk Bala Cadangan. Untuk apa, kita belum tahu. Mungkin cuma untuk menjaga perbatasan. Atau Ratu hendak berkunjung ke luar negeri dan perlu parade,"

"Tetapi sebanyak itu?" ibu dengan wajah sedih tadi menukas pesimis, "belum pernah kudengar seluruh Bala bahkan hingga Bala Cadangan dipanggil tak bersisa, hanya untuk sebuah parade. Pasti ada sesuatu yang mengerikan yang akan kita hadapi sehingga kita perlu mengerahkan tentara sebanyak itu. Dan .." suaranya tertahan isak, "kalau itu cukup mengerikan, mungkin kita bahkan tak akan pernah melihat mereka lagi .."

Ibu-ibu di sekitarnya terdiam. Mereka tak tahu harus mengatakan apa.

Keheningan terpecahkan ketika seorang anak perempuan berkucir dua menarik-narik baju ibunya, "Emak, aku mau jadi tentara juga!"

"Hus, kamu kan perempuan. Hanya anak laki-laki yang boleh jadi tentara,"

"Tapi, Ratu juga jadi tentara," anak itu menunjuk.

Semua perhatian tertuju ke lapangan. Kerumunan orang-orang berseragam tadi kini sudah membentuk barisan yang rapi. Di depan mereka berdiri seorang gadis dengan seragam yang sama, di atas podium, dan memberi pengarahan pada mereka.

Sayup-sayup diterpa angin yang dapat sampai pada kerumunan penonton hanyalah kata-kata seperti 'membela negara', 'mempertahankan kebenaran' dan 'Morion'.

"Morion," desis seorang gadis, "apakah benar negara sebesar itu menyerang kita? Ini benar-benar mimpi buruk,"

Segera saja ketakutan mencekam segenap penduduk yang mendengar.

* * *

Di pertambangan, kali ini tidak ada shift seperti biasanya. Seluruh pekerja laki-laki yang kebagian giliran hari kemarin, ditahan, tidak boleh pulang. Seluruh wanita dipulangkan. Kriya ditutup sementara, di pertambanganpun tidak ada pekerjaan yang dilakukan. Para pekerja yang tersisa dibagi seragam, dan persenjataan sekadarnya. Selesai itu, mereka diberi pengarahan singkat, dan sedikit latihan penggunaan senjata. Mengulangi latihan dulu yang mereka pernah ikuti. Juga prosedur pengamanan tambang.

"Tidak kuduga kita benar-benar akan berperang," gumam seorang pemuda.

"Aku juga begitu. Kupikir negara ini tidak akan pernah mengalami apa yang dinamakan perang. Dan sungguh mimpi buruk kita terperangkap kebagian mesti mempertahankan pertambangan ini," pemuda lain yang ternyata adalah Rama, menukas sambil menimang-nimang pedang di tangannya.

"Mimpi buruk apaan. Lebih buruk lagi mereka yang langsung harus maju ke garis depan,"

"Tidak begitu," Rama menanggapi, "pikir saja, mereka yang harus maju ke garis depan berarti langsung berhadapan dengan Morion? Mereka bisa saja musnah dalam waktu singkat,"

"Itu sudah kutahu, lalu?"

"Kalau musuh bisa sampai ke sini, dan harus kita hadapi, berarti pasukan kita sudah habis. Berarti kita ini pasukan terakhir untuk mempertahankan Sumekar. Bila kita sampai sudah harus menghadapi Morion, berarti sudah tak ada lagi yang tersisa di Sumekar selain kita. Apa itu bukan mimpi buruk namanya?"

Pemuda di sebelah Ren itu mengangguk-ngangguk. Ada rasa ngeri tersirat di matanya.

"Ngomong-ngomong, aku tak mau mati tanpa tahu siapa orang yang terakhir kuajak ngobrol. Aku Rama, kamu siapa?" Rama mengulurkan tangannya.

"Aku Ujang," ia menyambutnya sambil tertawa kecil. Di tengah-tengah ketakutan seperti ini masih saja sempat bercanda.

Kali ini Avis terbangun tersentak terengah-engah. Di tengah udara dingin ia malah berkeringat, bantalnya basah, bajunya juga basah. Ia menggelengkan kepalanya cepat, mengetes apakah itu mimpi atau bukan.

Mimpi. Ia sekarang ada di Hambalang, dan tidak ada pasukan berseragam di hadapannya. Tapi ... semuanya terlihat begitu nyata.

Ia bangun dan keluar kamar. Suasana subuh sudah terasa, sudah ada yang mengaji di surau terdekat menjelang adzan, sudah ada kicau burung-burung fajar. Ia masuk kamar mandi, dan menghela napas panjang. Ia gemetar ternyata, saat ia mengangkat gayung. Dipejamkan mata tan menghela napas lagi. Pelan-pelan disiramkan air ke tubuhnya.

Ia keluar kamar mandi dan digantikan teh Alia. Beberapa saat kemudian saat teh Alia masih di kamar mandi, Upi menangis. Ia berlari ke kamar kakaknya. Aa pasti sudah ke lokasi tadi subuh. Upi terbangun dan menangis. Ditepuk-tepuknya paha anak gendut itu.

”Sssh, jangan nangis. Umi lagi di kamar mandi. Ini ada Bi Wis. Yuk, mau bangun?”

”Mau susu,” katanya sambil matanya masih menutup.

Digendongnya anak itu, berat banget! Dibawanya ke dapur, didudukkannya. Dibukanya pintu dapur, seperti biasa sudah ada botol susu segar di dekat pintu. Diambilnya, dituangkan sebagian ke panci dan dihangatkan. Sebelum mendidih, diangkatnya dan dituangkan ke gelas.

Sambil ditiup-tiup agar tidak terlalu panas, diberikan pada Upi. Upi minum sekali teguk habis, dan sekarang matanya membuka.

“Bi Wis, mau pipis.”

“Yuk, tuh Umi udah keluar.”

Teh Alia sudah keluar dari kamar mandi dan melihat mereka ada di dapur, menegur, ”Upi, udah minum susu sama Bi Wis?”

”Udah. Sekarang mau pipis,” dan ia segera berlari masuk ke kamar mandi yang terbuka. Teh Alia dan Avis tertawa melihatnya.

Kesibukan mengurus Upi sepagi itu membuatnya agak melupakan ketakutannya akan mimpi tadi malam.

Avis sedang mengiris bawang ketika teh Alia masuk ke dapur membawa seikat kangkung dan ikan mas yang diikat di mulutnya, masih hidup.

”Aduh, ikannya seger-seger. Masih hidup lagi. Mau digoreng kering?” tanyanya.

“Iya. Si Aa kemarin pesen.”

”Ikannya panjang-panjang lagi, nggak berlemak ini sih.”

Teh Alia mengangguk, ”Kalau yang gendut-gendut, yang bulet-bulet itu, nggak akan kering walau digoreng lama juga. Girinyih lemakna,” sahutnya sambil menyimpan ikan-ikan itu di tempat cuci piring.

”Mau dibersihin sama Avis atuh? Katanya yang lagi hamil mah nggak boleh melakukan pembunuhan,” sahutnya sambil tertawa renyah, walaupun dia sendiri juga agak ngeri ’melakukan upaya pembunuhan’ itu.

Teh Alia tertawa. ”Biarin aja dulu, nanti juga mati,” katanya seperti tahu akan kengerian Avis. ”Kamu nggak ke atas tadi pagi?”

”Enggak ah. Lagian agak tersaput awan begitu,” sahutnya berdalih. “Masih ada beberapa hari Avis di sini, masih banyak hari,” katanya menambahkan.

”Kamu bener mau keluar dari Sekolah?” tanya teh Alia duduk di bale-bale, dan mulai membuka ikatan kangkung, memetikinya.

”Kaya’nya sih. Sekarang sedang mencari alasan buat keluar. Nggak enak sama temen-temen yang masih bertahan di sana.”

”Bilang aja mau kawin, ikut suami, beres,” goda teh Alia.

”Iih, si teteh mah. Meni geus jiga si Aa ari ngaheureuyan teh,” niatnya sih mau mencubit teh Alia, tapi karena sedang memegang pisau, diurungkannya juga niatnya.

”Eeh, beneran sok geura. Di mana-mana juga cowok yang ngapelin cewek, sedang ini? Coba hitung berapa kali Kang Nata dateng ke Bandung? Trus coba hitung berapa kali kamu dateng ke Hambalang? Belum lagi, kalau kamu ke sini, pasti berhari-hari. Itu kan berarti udah ngebet!” teh Alia berkelit karena pisau Avis sudah disimpan sehingga dia bisa mencubitnya dengan bebas tanpa takut pisaunya salah arah.

”Teteeeeeeeeh! Aku kan ke Hambalang mau nengokin teteh, mau negokin Aa, mau nengokin Upi, bukan kang Nata.”

”Tapi sekalian kan?” teh Alia masih saja menambah-nambahi, sambil tertawa.

Muka Avis sampai merah seperti tomat, dan dia menjawab, cuma manyun dan komat-kamit baca mantera, hihi.

Wajah teh Alia kemudian berubah serius. ”Tapi beneran, Avis. Umur kamu itu kan udah tiga puluh. Kang Nata juga sudah ... berapa? Tiga delapan kalau tidak salah. Sudah bukan masanya lagi pacaran seperti budak leutik.”

Avis membawa pisaunya ke tempat cuci piring, dan menekan-nekan ikannya. Kalau sudah mati, mau dibersihin. Ternyata sudah. Dia membuka ikatan tali gedebog pisangnya, dan mengambil satu, menyisiki sisiknya, membelah perutnya dan mengeluarkan isi perutnya, mencucinya, mengambil satu lagi ikannya, tanpa mengucap sepatah katapun.

”Kenapa, Avis?”

Avis menggeleng. ”Kalau bisa dibilang pacaran, sih Avis seneng. Tapi ini ... Avis juga bingung.”

”Bingung kenapa?”

”Dia nggak pernah bilang .. apapun.”

”Dia nggak pernah … ‘nembak’?”

Avis menggeleng. “Dia terkadang sangat care. Seperti Avis itu pacarnya, semua diurusin. Tapi kadang juga cuek sekali, dan tak ada kabar. Sama sekali.”

”Kalau kamu jalan sama cowok lain?”

”Nggk tahu. Hubungan kami kan jauh, kalau di Bandung Avis jalan sama cowok lain juga dia nggak tahu dan nggak peduli kaya’nya.”

”Kaya’nya? Belum pernah dicoba?”

Avis menggeleng. Sambil menoleh, dilihatnya sambil lalu tumpukan kangkung yang sudah dipetiki oleh teh Alia, ”Itu kangkung mau ditumis begitu saja? Avis bawa oncom kemarin, dibikin ulukutek aja.”

”Iya, Aa juga bilang dibikin ulukutek,” kata teh Alia sambil membereskan batang-batang kangkung yang sudah gundul dipetiki daunnya dan menumpukkannya di lobang dekat dapur, dibikin kompos. Lalu, ”Kembali ke laptop, Avis,” katanya tersenyum, dan disambut oleh senyum juga oleh Avis, ”kalau memang arahnya susah ditebak, kamu aja yang ambil inisiatif.”

”Inisiatif?”

”Cewek aja yang nembak, jangan cowok aja.”

“Idih si teteh mah. Nggak, ah,” Avis menggigil sambil menyimpan semua ikan yang sudah bersih ke dalam baskom, menggaraminya, dan, “Sini kangkungnya Avis cuci!”

Teh Alia menyerahkan baskom berisi kangkung ke Avis. ”Kalau kamu nggak mau nembak, apa mesti ditolong pihak ketiga? Si Aa pasti mau nolong menyelidiki.”

Avis tersenyum. “Nggak ah. Untuk sementara, Avis nggak apa-apa. Biarin aja dulu.” Avis ingin mengatakan, bahwa sekarang ini ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, dia nggak mau memikirkan hal-hal lain. Tapi, bagaimana menceritakannya pada teh Alia? Apakah bijak untuk menceritakan mimpi yang aneh itu? Apalagi dia seorang lulusan psikolog, sedang teh Alia malah lulusan pertanian, apa nggak kebalik?

Teh Alia nampaknya juga membiarkan hal ini mengambang, setidaknya hari ini. Apalagi kemudian Upi masuk dari rumah-rumahan tehnya, dan mengajak Avis bermain di sana.

”Bi ’Wis, hayu!”

”Nanti dulu, ini bi ’Wis mau ngebersihin kangkung dulu.”

“Udah, sana, main aja dulu. Kan udah beres, bumbu udah diiris, tinggal masukin katel,” teh Alia mengusir Avis sambil tertawa-tawa melihat Avis kewalahan menghindar dari Upi. Favorit Upi memang Bi Wis, kalau sedang tidak ada kunjungan, dia pergi main ke belakang Rumah Besar, selalu ada anak-anak pemetik teh di sana, yang besar yang kecil. Kalau ada Bi Wis, dia diam di rumah dan main dengannya.

Seharian ini Avis terus bermain dengan Upi, sampai akhirnya malam tiba, dan Upi sudah ada di kasur, kasur Avis bukan kasur Umi. Seharusnya ia sudah tidur, tapi sampai berapa dongeng diceritakan Avis, malah Upi makin cenghar, makin seger, dan menuntut cerita yang lain lagi.

“Yang selu,” katanya begitu Avis akan memulai lagi ceritanya.

Euh, kalau ceritanya yang seru, bagaimana bisa tidur?

”Gini,” Avis akan memulai cerita yang baru, ”tapi Upi nggak boleh ngomong kalau ceritanya belum selesai ya?”

Upi mengangguk dengan khidmat, menyetujui rule of the game.

“Oke. Begini ceritanya. Ada seorang raja. Dia punya tiga anak. Yang pertama, laki-laki. Dia pandai main pedang. Anak yang kedua, laki-laki juga. Dia pandai naik kuda. Yang ketiga, perempuan. Dia cantik tapi manja. Dia pengen diceritain. Begini ceritanya.

Ada seorang raja. Dia punya tiga anak. Yang pertama laki-laki. Dia pandai main pedang. Anak yang kedua laki-laki juga. Dia pandai naik kuda. Yang ketiga anaknya perempuan. Dia cantik tapi manja. Dia pengen diceritain. Begini ceritanya ...”

Tiga empat kali dia mengulang, dan Upi tertidur. Napasnya sudah teratur. Hehe, itu dulu taktik Papi dalam menidurkan anaknya, kata Mami. Kalau si anak nggak mau tidur dan terus menuntut dongeng. Tapi setelah dua-tiga kali diulang, si anak hapal taktiknya, dan terpaksa dicari akal lain lagi.

”Akalnya bagus juga.” Suara Nata.

Avis berbalik, kepala kang Nata muncul di balik pintu. Dia tersenyum, dan sambil meletakkan telunjuknya di bibir, isyarat agar dia jangan ribut, diselimutinya Upi, dimatikannya lampu, dan ia keluar kamar.

Suara teh Alia dan Aa seperti berada di kamar. Apakah mereka memang sengaja agar dia dan Nata berdua saja di ruang tengah? Avis tak tahu.

”Kenapa tadi nggak ke atas? Kukira, kalau pagi nggak ke atas, sore mau, ternyata sama sekali nggak ke atas,”

”Ya ... kan masih ada beberapa hari lagi kok aku di sini.” Bagus, alasan yang bagus sekali. Biasanya walau hari sudah mau hujan, tetap saja dia naik.

”Tidak ada alasan lain?”

Avis menggeleng. Dia berusaha menghindar dari pandangan Nata, tapi dia terpaksa menatapnya juga, dan matanya itu seperti menyiratkan sesuatu.

Dia tahu!

Dia tahu sesuatu sedang terjadi.

Dan tiba-tiba dia merasa, dia bisa menceritakan mimpi-mimpinya pada Nata. Dengan teh Alia, dia merasa tak bisa. Apalagi dengan Aa. Tapi ia mendadak merasa bisa menumpahkan segala isi hatinya, segala mimpi-mimpinya pada Nata.

Dan ia bahkan tidak perlu berbicara sama sekali. Dia merasa mata Nata mengerti. Mengerti menembus pikirannya, tentang mimpi-mimpinya, tentang siapa dia dalam mimpinya. Terutama, mengerti ketakutan Dyah, mengerti kekhawatiran Dyah.

”Jangan takut,” bisiknya, kepalanya mendekat ke kepalanya, bisikannya tepat di telinganya. ”Teruslah bertahan.” Tangannya merengkuh seluruh tubuhnya.

Dan Nata mencium keningnya, lama. Hangat menyebar ke seluruh tubuhnya, menebar rasa aman, rasa dilindungi, rasa ditemani dalam perjalanannya.

Nata melepas bibirnya, melepas pelukannya. Matanya masih menatap mata Avis. Kemudian tak berbicara sepatah katapun, ia keluar dan menutup pintu.

~0~0~0~0~0~0~0

Wordcount: 2.867
Akumulasi: 45.493 (MS Word) 45.464 (NaNoValidator)
Target: 43.337

Hari Keduapuluhempat

“Bi ‘Wis, Bi ‘Wis!” celoteh anak kecil berlari keluar dari rumah saat mobil masuk ke kompleks rumah itu. Dia berdiri di depan pintu rumah, menunggu mobilnya berhenti, lalu melompat-lompat tak sabar saat Avis turun.

“Bi ‘Wis!”

“Iya, iya. Bi Wis turun dulu. Halo, Upi, sudah minum susu belum?” Avis merentangkan tangannya dan memeluk bulatan kecil itu sepuasnya. Ibunya datang menyusul kemudian, selalu kalah langkah, soalnya walau belum bundar membesar, tapi badannya sudah terlihat seperti ibu hamil.

“Hayo, Upi, candak tasna Bi Wis ka lebet,” teh Alia menggebah anaknya masuk berikut adik iparnya sekalian. Dan juga, “Kang Nata, masuk dulu!”

Nata ikut masuk tapi hanya sebatas mengantar Avis, “Vis, aku ke Rumah Kaca dulu ya!”

Avis menoleh dari sisi keponakannya yang digendongnya, “Oke. Sori mengganggu.”

Ia menggeleng, ”Sama sekali tidak. Sore, mau lihat lagi?”

Avis mengangguk. ”Nuhun nya, kang Nata!”

Nata memandangnya sejenak dan kemudian pamitan juga pada teh Alia.

Sedang Avis sudah tenggelam dihujani entah apa oleh Upi, mengajak ke sana mengajak kemari, memperlihatkan hasil menggambarnya, dan entah apa lagi. Setelah makan siang, ia malah mengajak ke rimbunan teh di belakang rumah.

”Nggak disuruh tidur, teh?”

”Kalau tidur siang, malemnya malah jadi terlalu larut tidurnya. Kalau dibiarin main sepanjang siang, asal jangan yang terlalu bikin capek, setengah delapan malam juga sudah lima watt.”

”Iya ya? Udah empat tahun seperti Upi begini, daripada tidur malam, mending dibiairn sepanjang siang. Lagian, kebiasaan tidur siang juga nggak dikenal sih sebenarnya, hanya di beberapa kebudayaan, seperti kebudayaan Belanda, Spanyol ...”

”Siesta ...” teh Alia tersenyum.

”Bi ’Wis, Bi ’Wis, hayu, kita lumah-lumahan!”

Rimbunan teh itu sudah disulap jadi seperti rumah-rumahan. Cukup sih untuk Upi masuk ke dalamnya, tapi Avis nggak bisa masuk.

”Pi, Bi ’Wis nggak bisa masuk. Terlalu kecil. Cukupnya cuma buat Upi aja!”

”Yaaaa,” nadanya kecewa.

”Gini, Upi di situ, Bi ’Wis di luar, jadi ceritanya tetanggaan!”

”O, iya. Tetanggaan!”

Dan sekejap permainan menjadi lari-larian, jerit-jeritan, ketawa-ketiwi. Melelahkan, kata siapa permainannya di siang hari itu ’asal jangan yang terlalu bikin capek’ ...

”Udah ah, Bi ’Wis mah cape. Kita nyanyi yuk!” dan keluarlah perbendaharaan lagu-lagu anak-anak Avis.

“Pi, tau nggak lagu tentang teh?”

Avis menoleh, dan Nata sudah berdiri dekat Upi.

Upi menggeleng.

”Begini, ikutin ya:
sora no shita de ookiku nattewakai shinsen na midoriyakuni tatemashoushinme chan ookiku natte.”

”Sola ...?

”Sora no shita ...”

”Sola nos... Susaaaah!” Upi putus asa. Avis dan Nata menertawakannya, tapi langsung memeluknya.

”Artinya apa?” tanya Avis.

”Kurang lebih begini artinya :Tumbuhlah tinggi di bawah langitJadi hijau muda berseriKau akan selalu bergunaTumbuhlah tinggi daun teh ku sayang.”

Avis terdiam, memeluk Upi. ”Kenapa orang lain memandang tinggi pada teh, menghargainya sekali, sedang kita? Kalau menyuguhkannya selalu diembel-embeli ’hampura, mung tiasa nyuguhkeun enteh’...”

Nata menggelengkan kepala. ”Entah.” Pelan. Matanya menerawang jauh.

Lalu ia menoleh pada Avis, ”Jadi?”

Avis memandang pada anak kecil di pangkuannya, ”Dia bagaimana?”

“Ajak aja. Dia kuat kok.”

Avis tertawa. Tentu saja Nata kenal baik bagaimana kekuatan anak itu, wong sehari-harinya bergaul dengannya.

”Aku bilang dulu ke emaknya, ya!” dan dialihkan pangkuannya ke Nata, ”Mau ikut ke atas? Bi Wis bilangin dulu ke Umi ya?”

Anak itu mengangguk, ”Mau! Mau!” dan ia memanjat ke pangkuan Nata, yang sekarang sudah berdiri. Avis tertawa, dan bergegas ke dalam rumah. Sebentar kemudian sudah kembali dengan sebuah jaket kecil dan sebuah tas.

”Jalan ah, jangan dipangku,” sahut Nana sambil menurunkan anak kecil itu dan menuntunnya. Mereka berjalan beriringan sambil Upi mencoba menyanyikan lagu terbaru yang diajarkan Nata.

”Rasanya aku sering denger lagu itu. Ada di iklan. Iya. Ada. Iklan apa ya?” Avis berpikir-pikir.

”Ya iklan minuman. Teh botolan. Ada. Makanya aku denger itu sekali, langsung inget lagu itu.”

Avis tertawa, ”Gimana bisa sekali denger langsung hapal? Lagian dengernya juga kapan, di sini jarang nonton tivi.”

”Enggak, dari dulu udah sering denger lagunya, pas denger ada di iklan, jadi aja inget.”

“Ow,” Avis baru ngeh.

Nata menyenandungkannya pelan-pelan. Upi mengikutinya dengan penuh kesalahan.

Avis tiba-tiba tertawa. ”Kang Nata ternyata bisa nyanyi juga ya?”

”Iya, suka nyanyi pelan-pelan gitu kok,” Upi berkomentar.

Nata mendadak menghentikan senandungnya, mukanya menjadi merah, ”Ah, suara jiga radio butut kieu ge!”

Avis menghentikan tawanya, dan meletakkan tangannya di bahu Nata. ”Nggak kok, kang. Tong pundung atuh,” dan matanya bertatapan dengan mata Nata.

Ada kerisauan di sana. Bukan, pasti bukan karena sedang ditertawakan. Ada masalah yang jauh lebih besar yang sedang dipikirkannya.

Nata meraih tangan Avis yang disampirkan di bahu, dan memeganginya, sambil terus berjalan. Jadi mereka bertiga berpegangan sampai di puncak. Tak ada suara kecuali kaki berpijak.

Setibanya di puncak, mereka mengambil posisi. Avis mengeluarkan isi tasnya, teropong dan kamera dengan lensa yang sudah seperti wartawan saja.

”Anaknya sudah menetas,” lapor Nata saat Avis mengeker sarang dari kejauhan, sementara Upi menggunakan teropong Avis.

”Lucu,” komentar Avis pendek saat melihat anak elang kecil itu masuk dalam lensa kameranya. Jepret-jepret-jepret. ”Bersyukurlah mereka tidak tergeser pembangunan, ya?”

Nata mengangguk. Tak terlihat oleh Avis, tapi terasa.

’Kenapa kamu tidak jadi penulis saja? Lepas saja pekerjaan di sekolah itu kalau memang sudah tidak sejalan lagi dengan idealismu.”

Avis menurunkan kameranya. ”Memang sedang kupikirkan. Daripada terus di sekolah yang ternyata semakin lama semakin matre, mending aku jadi penulis lepas saja. Bisa menulis apa saja, tidak terbatas pada psikologi.”

Nata menyetujui, ”Psikologi jadikan latar. Biasanya orang akan lebih suka tulisan yang dipandang dari sudut yang berbeda,” dia menatapnya lama, ”Atau, mengapa tidak kau tulis tentang elang ini?”

Avis tersenyum, ”Masih kurang pengetahuan kalau aku menulis tentang mereka.”

”Jangan yang full pengetahuan, yang ringan saja. Pasti banyak yang bisa kau tulis.”

”Kenapa kang Nata tidak menulis saja?”

Mata Nata tersenyum, ”Aku menulis kok. Jurnal pohon teh.”

Avis terkekeh. ”Bukan jurnal ilmiah. Tulisan sehari-hari.”

”Ada,” sahutnya pelan, ”tapi cuma buat pribadi. Nggak dipublikasikan.”

Nada suaranya begitu penuh rahasia sehingga Avis berhati-hati menanggapinya, ”Boleh Avis lihat?”

”Suatu waktu nanti,” katanya bersungguh-sungguh, ”tapi kembali lagi ke topik awal, jadi, keluar saja ya?”

Avis mengangguk. ”Aku sedang cari alasan biar bisa keluar dengan enak. Soalnya pemegang sebagian saham itu temen, banyak tenaga edukasi di sana juga temen.”

Mereka terdiam. Matahari semakin tenggelam. Avis kembali memotret dengan latar cahaya jingga yang semakin menghilang. Suasana semakin gelap. Avis mengecek, ternyata Upi tertidur di pangkuan Nata.

”Tidur?” tanya Nata berbisik. Avis mengangguk. Ia membereskan kamera dan teropongnya, dan mereka berdiri, berjalan kembali ke rumah. Nata di depan dengan Upi terbungkus jaket di pangkuannya, disusul Avis.

Upi tetap tertidur saat dibaringkan di ranjangnya. Nata berbisik di dekatnya agar Upi tak terbangun, ”Aku kembali ke Rumah Kaca ya?”

Avis mengangguk. Mata mereka bertemu, dan Avis menemukan rasa kekhawatiran di sana.

”Ada apa?”

Nata menggelengkan kepala. ”Tidak. Belum saatnya,” bisiknya lirih. ”Nanti malam, kalau ada apa-apa, aku ada di Rumah Besar.”

Avis memandangnya heran. Tapi ia tak bertanya lagi, hanya mengangguk.

Malam itu dijalani seperti biasa. Tiba saat tidur, ia sempat ragu. Nyaris setiap malam saat ia bermalam di Hambalang, tidurnya selalu dipenuhi mimpi aneh, tentang dia sebagai Dyah. Ia belum menceritakan pada siapapun tentang mimpi-mimpi itu. Dan ia ragu apakah malam ini ia akan mengalaminya lagi?

Ia sudah pernah akan menceritakannya pada Aa, atau juga bahkan pada Nata, tapi saat itu Aa sibuk, dan Nata perangainya sedang tidak bisa ditebak, jadi ia membatalkannya. Sampai kini belum ada seorang pun yang tahu.

Yah, apapun yang terjadi, terjadilah, ia pasrah.

Dan ia pun menutup mata.

Tapi kali ini lain.

Ia ada dalam dunia yang gelap. Suasananya mencekam, mengerikan.

Dan ada seorang –apakah itu benar seseorang?—di sana, sedang menatap sebuah bejana berisi air. Air yang gelap juga. Dark Soul?

Dalam kegelapan di kamar bawah tanahnya, Dark-Soul nampak sedang memusatkan perhatian pada bejana berisi air di hadapannya. Perlahan di permukaan air yang tenang itu muncul bayangan sesuatu.

"Silmë .. Silmë .. Jadi dia kini muncul .." ia mendesis "tak lama lagi kekuasaanku akan abadi. Aku akan abadi. Aku adalah kekuasaan. Aku akan menguasai seluruh jagad raya .. Qiqiqiqiqiqiq .." ia terkikik menyeramkan.

Sebuah ketukan di pintu menghentikan kekehnya.

"Masuk!"

"Anda memanggilku, Yang Mulia?"

Yang baru masuk adalah seorang berbadan besar menyeramkan dengan kilapan mata seorang pembunuh. Dadanya tak mengenakan apa-apa selain sebuah strap kulit menyilang dipenuhi pisau-pisau kecil, belum lagi golok di kedua sisi pinggangnya.

"Betul, Gagak Hitam. Aku baru saja melihat bahwa Silmë akan segera muncul,"

"Silmë?"

"Ya. Sumber keabadian. Sumber kekuasaan," Dark-Soul kembali terkekeh menyeramkan, "Aku melihatnya akan muncul di kawasan Sumekar. Amankan. Kau tahu apa yang mesti kau perbuat,"

Gagak Hitam mengangguk bagai robot. Lalu melangkah pergi.

Bayang tadi seluruhnya lenyap dengan dikibaskannya tongkatnya. Tongkat Ki Seta. Ternyata Ki Seta sedang berada di ruang kerjanya, sendiri. Ia mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Bukan karena panas pasti, hari itu malam dan dingin.

”Kenapa selalu bayangan ini yang muncul dalam beberapa hari ini? Noda-noda yang selalu muncul dalam mimpiku akhirnya datang juga, tapi mengapa seperti ini wujudnya?”

Ia berdiri, dan berjalan mondar-mandir. Wajahnya risau. Jika Ratu diberitahu, ia mungkin akan khawatir, apalagi dengan persiapan yang sudah dilakukannya beberapa tahun ini. Jika Ratu tidak diberitahu …

~0~0~0~0~0~0~0

Wordcount: 1.447
Akumulasi: 42.565 (MS Word) 42.571 (NaNoValidator)
Target: 40.000

Hari Keduapuluhtiga

Avis mengejap sebentar sebelum ia bisa mengenali suasana sekelilingnya. Mami di sebelahnya, dengkuran terdengar halus.

Jadi ia masih di rumah Aa di Hambalang. Masih malam, atau paling tidak dini hari, karena belum ada suara-suara pagi. Belum ada suara burung fajar, belum ada sayup-sayup adzan. Diraihnya ponselnya, dilihat jamnya, pukul tiga. Mau tidur lagi, mata sudah melotot. Lagian, ada kebiasaan aneh, kalau ia sudah melihat jam, maka ia tidak akan bisa tidur nyenyak lagi..

Ia turun dari kasur, ke dapur dan menuangkan air dari kendi. Di sini tidak perlu kulkas, air jadi dingin sendirinya.

Mau kembali ke kamar, sudah tidak bisa tidur lagi. Mau bangun terus, masih ada waktu dua jam sebelum ia bisa bergerak dan bersiap untuk pulang. Ia duduk di sofa ruang tengah. Suasana benar-benar sunyi, bahkan Upi nampaknya sedang lelap karena tidak ada suara dari kamar Aa.

Ia melihat ke tirai jendela. Dalam kegelapan di dalam, cahaya bulan purnama di luar, tirai itu menjadi berbayang. Tirai itu bisa diraihnya tanpa ia berdiri dari sofa. Maka ia menyentuh ujungnya dan menyibaknya.

Di luar juga sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Semua masih terbuai mimpi. Pohon besar di samping Rumah Besar juga seperti tak bergerak. Er, ... pohon bergerak mah Dedalu Perkasa ya? Hihi. Pokoknya seperti tidak ada kehidupan.

Ketika tirai dilepas lagi, mendadak ia terkejut. Seperti ada yang bergerak di bawah pohon itu. Ia bergerak maju untuk meraih ujung tirai dan membukanya, dan terlihat memang tadinya ada orang di bawah pohon itu! Ia tidak melihatnya tadi! Mungkin karena orang itu tadi tak bergerak seperti benda-benda lain?

Tapi orang berpakaian hitam-hitam itu bergerak secepat kilat sehingga pada saat ia mengedipkan mata saja ia sudah lenyap. Dan hal-hal lain masih seperti tadi. Bahkan suara jangkrik saja masih terus tak berhenti, seperti tak terganggu.

Oke, baiklah, mungkin itu hanya halusinasi, hanya mata yang baru bangun dan baru diganggu mimpi, ia berpikir. Menepis pikiran-pikiran yang aneh-aneh dalam benaknya. Ia bersandar di pinggir sofa, dan mencoba memejamkan mata sejenak. Tapi tidak bisa.

Dicobanya mengingat-ingat mimpinya.

Semua mimpi itu melukiskan dia dalam umur yang sedang dijalaninya. Mimpinya bertumbuh seperti dirinya. Dan mimpinya itu –anehnya lagi, ingat-ingatnya—terjadi di awal waktu tidurnya, sebelum ia ingat bahwa ia sedang berusaha untuk tidur. Begitu ia memejamkan mata, belum lagi ia memasuki frase tidur, ia langsung seperti dilontarkan ke alam lain. Dan setelah selesai, ia seperti dilemparkan kembali ke masa kini.

Ada apakah gerangan?

Apakah ada dirinya di dunia dimensi lain, yang sejajar dengan dunianya sekarang? Ow, jangan mulai dengan cerita-cerita sci-fi deh. Untuk bisa percaya bahwa dunia-dunia semacam itu ada saja, tidak mungkin.

Tapi, apakah mimpi-mimpi itu semacam pertanda? Dicoba mengurutkan, dari dia masih Puteri sampai dia menjadi Ratu. Dan ... ayahnya persis sekali Papi. Rasa rindunya pada Papi terkuak lagi. Matanya basah, walau ia berusaha mengusir rasa itu. Sudah berapa tahun ia tidak menangis lagi setiap ia mengingat Papi?

Tak sadar sudah berapa lama ia duduk di sini. Kehidupan pagi mulai bergerak. Ia mengusap matanya, bangkit dan menuju kamar mandi. Didengarnya Upi menangis, pasti terbangun dan membangunkan Abi dan Umi-nya, begitu Aa dan teh Alia menyebut diri.

Semua mulai bergerak. Selesai ia mandi, Mami sudah mengantri. Bik Juju sudah mengetuk pintu, mengirim sebaskom singkong rebus masih menguapkan asap, berikut gula aren yang sudah disisir. Hm, dengan air teh pahit pasti sedap untuk sarapan! Bukan sarapan, mumuluk kata orang Sunda mah.

Setelah dibekali segambreng pepatah dari Mami tentang hidup sendirian sama bik Niah, karena Mami mungkin masih akan tinggal di sini seminggu dua minggu lagi, belum lagi dari Aa, nggak ada pepatah sih dari Ayah dan Ibu, hanya tersenyum saja melihatnya kewalahan mendengar Mami dan Aa susul-menyusul mengatakan ini dan itu, Avis selesai juga beres-beres.

Dibarengi pertanyaan Aa kapan dia akan ke sini lagi, cipiki-cipika pada teh Alia yang masih ada di kamar menyusui Upi, mencubit halus pipinya yang menggemaskan, cium tangan pada Mami, Ibu, dan Ayah, dan meleletkan lidah pada Aa yang sudah mulai akan meledek lagi, ia keluar dan berjalan ke Rumah Besar.

Nata sedang memanaskan Kijang-nya di sana. Masih telanjang kaki, dan berbaju kaus.

”Sudah siap?” tanyanya. Avis mengangguk. Nata tak berbicara lagi, dan kembali ke Rumah Besar. Beberapa menit ia sudah kembali, rapi berkemeja dan bersepatu. Tanpa bicara ia mengisyaratkan Avis agar naik, dan mereka pun melaju.

Ada kiranya setengah jam mereka saling diam diri, kemudian Nata memecah keheningan. ”Jadi, sudah tahu kira-kira akan bekerja di mana?”

”Mungkin di Bandung saja. Ada teman yang mau mendirikan pusat pendidikan anak berkebutuhan khusus, mungkin aku akan mencoba di situ dulu.”

Nata terdiam seolah mencari kata yang lain. ”Tidak ada lapangan pekerjaan untuk bidangmu di Hambalang, ya?” sahutnya seperti yang menutupi kekecewaan.

Avis menggeleng sambil tersenyum. ”Mungkin kalau ada banyak anak, mungkin bisa dicari. Tapi kita di desa masih belum menganggap penting bahwa kita bisa mengidentifikasi anak yang autis atau anak yang hiper, dan bahwa mereka memerlukan pendidikan yang khusus. Biasanya anak yang berbeda, dianggapnya bandel aja, titik.”

Pandangan Nata lurus ke depan, ”Tapi kalau memang autis dan sejenisnya itu bisa dipicu oleh makanan juga, mungkin memang tidak perlu diadakan penelitian apakah di desa ada anak autis, selama makanan mereka masih alami, tidak mengandung pengawet dan sejenisnya.”

Pemikirannya kadang bisa jalan juga, pikir Avis. Ia mengangguk saja membenarkan. ”Makanya, kata Mami, enak sekali teh Alia, anaknya lahir di tempat dimana segalanya masih sangat alami.”

Nata menoleh, memandang pada Avis lekat-lekat sejenak, lalu memandang lagi ke depan. ”Kau tidak ingin jadi seperti Alia?”

Entah kenapa Avis merasa wajahnya mendadak menjadi merah. Untung Nata sedang memandang ke depan, jadi tak terlihat olehnya.

”Aku tak tahu,” katanya pelan.

Tapi Nata tidak memperpanjang lagi. Ia diam lagi selama beberapa saat.

Mereka sudah akan masuk tol Padalarang ketika Nata berbicara lagi, ”Kau mau langsung ke kampus, atau ke rumah dulu?”

”Ya, ke rumah dulu. Mau nyimpen ransel, dan ngambil berkas-berkas yang mau diurus.”

”Oke,” katanya dan tanpa banyak bicara lagi ia mengarah ke Kembar.

Avis mengira akan diturunkan di Kembar saja, makanya dia sudah akan mengucapkan terima kasih pada Nata, tapi Nata mengatakan, kalau ia akan mengantar Avis ke kampus.

”Ah, nggak usahlah. Makasih, ini juga udah ngerepotin.”

”Nggak apa-apa. Lagian jadwal ketemuan di Dinas Pertanian itu jam sepuluh, sekarang setengah sembilan juga belum.”

”Oh,” dia terdiam sejenak. ”Kalau begitu, turun dulu. Aku mau beresin berkas-berkas yang harus diurus,” kata Avis sambil membuka pintu pagar, agar mobil dimasukkan.

Masih tak banyak bicara, Nata memasukkan mobil ke halaman.

Bik Niah membuka pintu depan. ”Eh, eneng tos uih. Kumaha, eneng?”

”Lucu budakna, bibi. Meni rampus deuih enenna,” sahut Avis sambil mengisyaratkan agar Nata duduk di ruang tengah saja, tidak di ruang tamu.

”Bik, pangdamelkeun eueut kanggo pak Nata,” sahut Avis sambil terus masuk ke kamarnya, menyimpan ranselnya dan membereskan berkas-berkas yang akan dibawanya.

”Bade ngaleueut naon, Encep teh atuh? Bilih bade kopi?” tanya Bik Niah, kelepasan menawari dengan bahasa Sunda.

“Euh, ulah kopi Bi. Wios ciherang oge teu nanaon,” Nata menjawab dengan bahasa halus. Avis sedikit kaget, tidak pernah tahu kalau Nata pemakai bahasa Sunda yang halus juga.

”Atuh ulah ciherang nya Cep, ciamis panginten?” tawar Bik Niah lagi. “Sapertosna tos kirang kulem,” Bik Niah rada sok tahu.

Nata hanya mengangguk sambil mencoba tersenyum, “Mangga tuh, teu langkung bibi we.”

Avis masuk lagi ke ruang tengah dengan tas kuliahnya, dan ia jadi penasaran dengan kata-kata Bibi, dan Bibi ternyata benar.

“Nata, seperti yang kurang tidur ya? Bibi jeli juga euy, penglihatannya.”

”Ah enggak juga sih,” Nata seperti berusaha menutupi, ”Kau juga seperti kurang tidur.Apa di lokasi memang enggak enak tidur?”

Avis menggeleng.

”Kenapa tadi subuh bangun jam tiga?”

Avis kaget. ”Jadi yang duduk di bawah pohon itu Nata?”

Nata seperti yang kelepasan ngomong, diam sejenak, kemudian berdalih, ”Hanya cari udara saja ...”

Bik Niah masuk membawa minuman, tapi Nata tidak teralihkan, ”Jadi, kenapa bangun jam tiga?”

”Aku mimpi, pas kebangun nggak bisa tidur lagi. Dan haus. Jadi aku keluar. Tahu ada Nata di luar, mungkin aku juga keluar,” Avis mengeluarkan stoples-stoples dari lemari, ”Hayo, minum dulu.”

Nata minum dan tidak memperhatikan stoples-stoples tadi, ia malah mengisyaratkan agar pergi sekarang.

”Oke. Bik Niah,” Avis memanggil bibi, ”Abdi ka sakola heula nya. Moal emam ke siang, ke wengi we.”

”Muhun, neng, mangga.”

Nata sudah berdiri dan pamitan pada bibi, ”Nuhun nya, Bi. Mangga.”

Bi Niah mengangguk, senang rasanya melihat anak muda berbahasa Sunda halus, santun lagi.

Mereka masih berdiam diri ketika mobil melaju lagi. Sudah nyaris sampai ketika entah kenapa Avis tiba-tiba punya ide itu.

”Nata .. er, sebenarnya ... kita, jarak umur kita jauh juga.”

”Lalu?”

”Enggak enak panggil Nata. Kalau ... kang Nata saja?”

Kali ini Avis berani sumpah, dia tidak sedang melihat bibir Nata yang sedang berusaha membentuk senyuman nggak berbentuk, tapi sedang melihat mata Nata, yang berkilatan. Asli, mata itu sedang tersenyum.

Jadi, kalau ingin melihat kang Nata sedang tersenyum, lihatlah matanya, pikir Avis.

”Boleh saja. Kalu kau suka,” katanya ringan.

Mereka sampai di kampus.

”Aku antar sampai sini saja ya? Nggak apa-apa?”

”Nggak apa-apa. Makasih lho, kang!” Avis turun dan akan menutup pintu. Tapi kang Nata menahannya.

”Kalau kau mau ke Hambalang lagi, jangan lupa telpon aku ya!”

”Oke,” Avis tersenyum, ”Tapi nggak usah dijemput ke Bandung segala. Dijemput di jalan masuk saja.”

Avis sekarang sudah tahu di mana mencari senyum kang Nata. Ia tersenyum, ”OK. Aku jemput di jalan masuk. Minggu depan?”

Avis tergelak. ”Waduh, masa’ tiap minggu mesti ke Hambalang. Eh, ... bulan depan aja ya?”

Kang Nata tersenyum, ”Nggak, becanda. Terserah kamu, mau kapan, yang penting kalau ke sana, telepon. Ya?”

Avis mengangguk. Dia membiarkan pintu depan ditarik dan ditutup oleh kang Nata. Dan dia juga melambaikan tangan saat mobil bergerak maju.

[Nggak tau bagaimana melukiskannya masa empat tahun sesudah ini, pokoknya Avis mendapat pekerjaan di kota, tapi tetap sering ke Hambalang. Perasaannya masih belum menentu karena sikap Nata padanya masih aneh. Kadang seperti baik, kadang seperti tak kenal. Mami sudah mendesak-desak agar Avis cepat mencari pendamping apalagi Yudha konon katanya sudah akan menikah. Belum lagi Alen sudah punya balita. Teh Alia sedang mengandung lagi ...Dan ia masih mendapat mimpi-mimpi aneh itu, terutama, Avis perhatikan, saat ia di Hambalang]

Ponselnya bisa dibilang keluaran baru, nggak terbaru sih, tapi lumayan nggak memalukan. Memalukan siapa? Nggak ada yang merhatiin kok .. Ehehe, iya, cuma mau bilang bahwa, ponselnya bukan yang kuno, tapi ringtonenya standar. Persis seperti saat keluar dari pabriknya, nggak ditambah-tambah seperti ponsel anak-anak muda sekarang. Lagian, dia sudah bukan anak muda lagi kok.

Ringtonenya berbunyi tiga kali sebelum diangkat. Dilihatnya dulu nama yang ada di situ. Elang.

”Avis, di mana?” tanyanya begitu ponselnya diangkat.

”Kang Nata. Aku udah di jalan.”

”Jalan mana, jalan Kembar?”

Avis tergelak. ”Menurut pal kilometer, sepuluh kilometer lagi nyampe.”

”OK. Tunggu di tempat biasa kalau aku belum ada ya.”

”Yups. Bye!”

Dan ponselnya ditutup.

Dibereskannya dulu pekerjaannya, dikuncinya Rumah Kaca, lalu keluar. Tidak usah berlari juga sudah cepat karena jalannya menurun. Sampai di Rumah Besar, dilihatnya, Kijang ada. Diambilnya kunci, dan ia berjalan ke kamar kerja kakaknya.

”Kang, nambut. Avis.”

Tak usah berbicara, hanya mengangguk juga, sudah saling mengerti.

Sekarang Kijang itu sudah menelusuri jalan tanah ke jalan besar.

Avis belum ada saat ia sampai di sana. Ia memutar mobil sehingga arahnya kembali ke lokasi, dan ia baru selesai parkir, ketika ada sebuah bus berhenti. Avis turun.

Gadis itu berlari kecil menuju Kijang. “Udah lama?” tanyanya agak terengah. Naik dan duduk.

“Baru muter,” katanya sambil menunjuk pada seatbelt. Avis mengancingkan seatbeltnya. Tak banyak bicara lagi, mereka melaju ke lokasi.

~0~0~0~0~0~0~0

Wordcount: 1.884
Akumulasi: 41.118 (MS Word) 41.095 (NaNoValidator)
Target: 38.341

Hari Keduapuluhdua

Hehe, sori, belum post di sini :P

~0~0~0~0~0~0

Seperti biasa sikap Nata membingungkan. Kadang baik penuh perhatian, tapi kadang seperti cuek, tak ada yang bisa menarik perhatiannya sama sekali. Tapi ... sudahlah. Yang penting sekarang, melihat elang.

Hari ini ia melihat tiga ekor elang, dua elang dewasa dan satu elang muda melesat datang dan pergi, sepuasnya. Er, ... sebenarnya bukan sepuasnya sih. Ia terpaksa turun karena matahari sudah tinggi, sudah panas membakar. Sebenarnya juga bukan matahari sih, dia kan punya topi dengan pelindung tengkuk, tapi entah kenapa ia mau saja menuruti kata orang, orang lain yang kadang sama sekali tidak perhatian?

Sepanjang siang ia tidak melihat Nata. Ya, mungkin saja, dia di kumpulan rumah di bawah, sedang Nata mungkin sedang bekerja di Rumah Kaca. Ya sudah, Avis kemudian bercengkerama dengan Mami, dengan Aa, dengan teh Alia, dengan Ibu, dengan Ayah, yang ternyata tukang bergurau kelas wahid juga.

”Aa, nanti sore ada yang mau keluar nggak?” tanyanya ketika ia selesai mencuci piring habis mereka makan siang.

”Kamu mau pulang nanti sore?” tanya Ardi sambil mengupas pisang.

”Kalau bisa sih.”

”Memangnya mau buru-buru kenapa?” tanya Ardi dengan mulut penuh pisang.

”Ya, abis kemarin aku kan bisa dibilang diculik dengan paksa ke sini. Jadi aku tinggalin semua urusan surat-surat di kampus sampai besok,” sahut Avis sedikit berbohong.

”Kalau sore sih nggak ada, kecuali kalau mau sengaja. Besok pagi aja, pak Nata mau ke Bandung juga tuh, ngurus sampel tanaman ke Dinas Pertanian Propinsi. Minta perginya pagi-pagi aja.”

”Ya .. oke deh.” Sebenarnya datang ke kampus siang-siang atau besoknya juga nggak apa-apa, ini sih agar memberi kesan penting aja. Ih, dasar Avis! ”Jadi, sore ini Ade masih bisa ngeliat elang!” katanya sambil menari-nari.

”Eta budak, meni kawas kitu,” Mami mengurut dada sambil geleng-geleng kepala.

”Mami liat elang yuk! Elangnya beda dengan yang waktu dulu Mami kecil. Ini elangnya cakep, kaya’ Tom Cruise pake F16 lho, Mam, kaya Top Gun,” bujuk Avis sampai Ardi dan Ayah tertawa bareng-bareng.

Jadi sore itu Avis sudah nangkring di puncak bukit lagi seperti dulu, melihat ketiga elang itu menunggu ratusan kelelawar keluar, menunggu makan malamnya. Setelah cukup puas, setelah cahaya malam tak mengijinkan melihat mereka lagi, Avis beranjak turun.

Dan ternyata Nata baru sampai di puncak.

”Sudah telat, Nata. Mereka sudah kembali ke sarangnya ...” Avis berhenti bicara, karena Nata menggelengkan kepalanya.

”Aku bisa lihat itu setiap hari. Nggak lihat sehari juga nggak apa-apa,” katanya datar, ”Besok kau mau pulang?”

Avis mengangguk.

”Aku berangkat jam enam, kalau kau mau ikut. Tidak terlalu pagi?”

Avis menggeleng. “Tidak, cukup kok. Makasih ya! Datang ke sini dijemput, pulangnya diantar lagi.”

Nata mengangguk pelan. “Sudah mau pulang?” tanyanya.

Avis mengangguk lagi.

”Belum pernah lihat purnama di sini?”

Lagi-lagi yang bisa dilakukan Avis hanya menggeleng, atau mengangguk.

”Duduk di sini, kalau kau masih belum pegal,” Nata juga duduk di batu di bawah pohon. Avis mengikutinya duduk.

Tak sengaja tangannya tersentuh punggung Nata saat ia duduk.

Ada getar di sana. Ia merasa seperti ... kesetrum. Gemetar ia duduk di batu, di samping Nata.

Benar purnamanya sangat indah. Bagai muncul dari puncak gunung. Tak puas-puasnya Avis mengaguminya.

”Sudah malam. Nanti kau kedinginan, masuk angin. Belum lagi nanti orang-orang mencarimu ,” Nata berdiri dan mengulurkan tangannya untuk menarik Avis agar berdiri.

Mereka sudah berada di udara dingin sekian lama, tapi tangan Nata hangat saat menyentuh tangannya. Dan walau Avis sudah berdiri, tangan itu tidak dilepaskan. Mereka berdua menuruni bukit berdiam diri. Hening, hanya suara jangkrik di sepanjang jalan.

Sesampainya di depan rumah barulah pegangan tangan itu dilepas.

“Makasih ya, Nata,” Avis mencoba tersenyum, masih gemetar.

Nata tersenyum juga –senyum khasnya yang tak begitu kelihatan—. Ia seperti mau mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Yang dikatakan hanyalah, ”Besok jangan lupa, jam enam. Aku tunggu di Rumah Besar.”

Avis mengangguk dan ia masuk ke rumah. Membuka pintu, masuk, dan saat akan menutup pintu, dilihatnya Nata masih terpaku di sana. Setelah ia menutup pintu, barulah didengarnya langkah Nata menuju Rumah Besar.

Sepertinya seisi rumah sedang membicarakannya, saat ia masuk, karena mereka serentak diam, dan memusatkan pandangan pada piring-piring di depannya. Baru setelah beberapa detik, Mami berucap, ”Aeh, aeh, meni nepi ka poek. Heulangna oge geus kamana, boa!” sambil, maksudnya sih tersenyum.

Avis tersenyum, malu jadinya. ”Sori. Punten. Abis ngeliat elang, juga ngeliat bulan keluar dari puncak gunung. Bagus banget deh. Sayang nggak bawa kamera.”

”Sendirian? Oh, iya, lupa. Sama Pak Nata kan?” Aa pura-pura sibuk menyendok sesuatu di piringnya yang sudah hampir kosong.

”Iiiih, Aa! Kerjaannya ngegodain melulu!” Avis mencubit Ardi sampai Ardi mengaduh.

”Duh, ini jadi biru nih! Teh Aliaaaa ... ini adik iparmu kok jahat banget sih?” Ardi pura-pura mengadu sambil mengusap-usap bekas cubitan Avis.

Teh Alia muncul dari balik pintu sambil menggendong Upi yang masih saja menyusu dari tadi, ”Idih. Adik adiknya sendiri, kok malah dilaporin ke sini. Iya kan, Avis?” katanya mengedip pada Avis.

Jadi kalah deh dia. Posisinya 1 banding 2 sih, hehe.

”Sini, makan dulu Vis. Yang lain nggak mau nungguin, udah kelaperan sih,” lerai Ibu sambil menyodorkan piring.

Avis menerima piringnya, ”Makasih, Ibu. Bentar, mau ke kamar mandi dulu,” katanya, diletakkan piringnya, dan ia ke kamar mandi dulu sejenak. Masih didengarnya suara halus Mami berbisik saat ia ada di kamar mandi.

”Jadi, beneran nih kaya’nya Mami bakal punya menantu di desa semuanya, ya?”

*****

Hari masih belum begitu malam ketika ia bersiap tidur. Mami, Ibu, dan Ayah masih ramai mengobrol. Maklum, ternyata ketiganya klop sekali, seperti anak-anak mereka yang bisa-bisanya menikah. Ternyata para besan juga seperti sahabat lawas yang sudah lama tidak bertemu, segala hal diomongkan.

Avis pamitan tidur duluan. Rasanya lelah sekali, lelah dari masa menyiapkan tesis saja belum terbayar, apalagi langsung dibawa ke sini.

Apalagi mimpi itu.

Kali ini dia masih terbangun, mengingat-ingat mimpinya. Mengurut apa yang pernah ia mimpikan.

Kalau diurutkan, sejak mereka pindah ke Bandung, ia mengalami mimpi seperti itu, dia menjadi Puteri, di tengah-tengah kerajaan. Dan anehnya Puteri itu seumur dengannya. Atau ... ia memang menjadi Puteri itu? Karena umur Puteri itu selalu mengikuti umurnya.

Avis mengingat-ingat. Apa saja yang pernah dimimpikan. Dan mimpinya jelas teringat saat ia terbangun, biasanya mimpi kembang tidur begitu ia bangun langsung dilupakannya. Jangan-jangan ... jangan-jangan, apakah ada pesan dalam mimpi itu? Apakah malam ini ia akan mengalami mimpi itu lagi?

Avis berganti posisi, berbaring ditutup selimut. Begitu menutup mata, dia tiba-tiba ada di Pertambangan. Ia ingat, itu Pertambangan, dia sudah pernah ada di sana. Dia sedang berjalan bersama dengan Ki Seta menuju ke arah Kriya.

”Ki Seta, sebenarnya ada cerita apa tentang Morion ini? Kubaca di buku sejarah, namanya dulu Lembuwungkuk?”

Ki Seta menghela napasnya panjang sebelum menjawab. ”Ya. Dulu negara ini bernama Lembuwungkuk. Dan dari dulu juga memang sudah agresif, berkembang terus. Namun tidak seagresif Morion sekarang. Kemudian peristiwa meninggalnya anak Raja itu menjadikan Lembuwungkuk tidak punya penerus. Dan diambil alih oleh Penasihat Spiritualnya.” Ki Seta menunduk sejenak sebelum ia mengangkat kepala dan berbicara lagi, “Dark Soul namanya. Nama yang jarang disebut, orang ketakutan, bahkan akan namanya pun takut menyebutnya. Entah siapa nama aslinya, tapi semenjak ia berkuasa, julukannya itu. Dia sendiri yang menyebut dirinya begitu.”

Dyah menatap Ki Seta dan memintanya untuk melanjutkan.

”Negara tetangganya, Mahesa, konon punya hubungan khusus dengan klan Lembu yang dulunya menguasai Lembuwungkuk. Yang kemudian menjadi Morion. Desas-desusnya, pengikut-pengikut Baginda Lembuwungkuk banyak yang bermigrasi ke negara Mahesa. Walau kemudian Mahesa juga jatuh ke tangan Morion. Walau dari dulu juga Lembuwungkuk sudah menjadi negara agresif, tapi tidak sekejam Morion. Kalau Lembuwungkuk menyerang sedikit demi sedikit, menata dulu yang sudah didapat, terutama budaya dan pendidikannya, baru menyerang lagi yang lain. Morion tidak. Penyerangan ke satu negara akan berhenti jika sudah ada mangsa yang baru. Lalu penyerangan selalu berupa pembumihangusan, penduduknya dijadikan budak, dijadikan tentara untuk penyerangan berikutnya.”

”Mengapa tidak ada pemberontakan, Ki Seta?”

”Pemberontakan selalu ada, Yang Mulia. Tapi entah bagaimana selalu bisa dipadamkan. Menurut desas-desus, ia menggunakan sihir untuk membuat para tentaranya menurut.”

”Sihir untuk sekian banyak tentara?”

Ki Seta mengangguk. ”Itu juga bisa membuktikan bahwa dia memang kuat. Mungkin bahkan ... penyihir terkuat di dunia ini, Yang Mulia.”

Dyah nampak seperti setengah melamun. Lalu keluar juga apa yang dia ingin tanyakan, ”Ki Seta .. apakah, ... apakah kalau memang dia kuat, itu berarti dia tidak takut apapun? Apakah kalau memang pola agresifitasnya lebih kasar daripada Lembuwungkuk, itu berarti ... dia tidak akan segan-segan menyerang Sumekar, Ki Seta?”

Ki Seta memejamkan matanya. Pertanyaan yang ia takuti, pertanyaan yang ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. ”Hamba ... tidak berani meramal, Yang Mulia.”

Dyah memandang dengan tatapan memohon, ”Bukan meramal, Ki Seta.” Ia berhenti di gedung Kriya terdekat, menuju ke terasnya, mengeluarkan sebuah gulungan, gulungan peta, dan membeberkannya di lantai lalu duduk di dekatnya. Ki Seta pun duduk di seberangnya. ”Coba analisis, Ki Seta. Secara logis saja, tidak usah pakai unsur-unsur lain. Negara mana yang paling mungkin akan menyerang kita?”

Ki Seta menunjuk gmbar di peta, ”Secara lokasi, Bumbari. Tapi kemungkinannya kecil, karena secara politis, dia tidak punya kepentingan apa-apa di Sumekar. Jika dari segi kepentingan, maka Morion-lah yang paling mungkin menyerang karena kita punya pertambangan yang kaya, juga hasil pertanian yang banyak, dengan tentara yang bisa dibilang tak ada.”

Tatapan Dyah pada Ki Seta seolah kini berkata ’nah, apa sudah kubilang!’

Namun perlahan Ki Seta meneruskan, ”Tapi kita juga harus yakin akan kekuatan Traktat, akan kekuatan magis Layang Kamasan, karena Dark Soul tidak akan begitu saja menyerang kita tanpa memperhitungkan Layang.”

Perlahan Dyah menunduk. ”Kalau melihat pola agresifitas Morion ...” ia nampaknya tidak berani menyebut namanya, tapi kemudian dicobanya juga, ”pola agresifitas D-Dark Soul, kukira ia akan mencobanya, Ki Seta. Itu yang aku takutkan,” suaranya melemah.

”Yang Mulia, kita harus percaya akan kekuatan Layang Kamasan. Dulu delapan negara besar membuat Layang itu dengan sihir masing-masing yang terkuat, dan kalau sihir-sihir yang terkuat digabung, maka hasilnya akan sangat kuat. Delapan tongkat masing-masing memang kuat,tapi kalau digabungkan akan menghasilkan kekuatan yang maha besar, yang bahkan tidak akan bisa dikalahkan oleh satu kekuatan saja. Lagi pula, Layang ini sudah berusia beratus tahun, sihir yang sudah digabungkan beratus tahun akan terus bertumbuh, menjadi semakin kuat setiaptahunnya.” Nada suaranya sangat meyakinkan.

Dyah menarik napas panjang. ”Aku tak tahu, Ki Seta. Teorinya memang begitu. Seandainya memang begitu. Seandainya.”

Dyah berdiri lagi, menggulung petanya, dan berjalan ke gedung utama Kriya. Ki Seta mengikutinya, tak berbicara.

Dyah tak melihat pandangan mata menerawang Ki Seta. Dyah tidak mendengar apa kata hati Ki Seta. Ki Seta sebenarnya sangat takut itu akan terjadi. Jika Dark Soul memang benar-benar akan menyerang Sumekar, berarti dia sudah sangat kuat sehingga berani menentang delapan kekuatan yang ada dalam Layang. Kalau dia memang benar sudah sangat kuat, bagaimanakah melawannya?

Ki Seta memandang ke atas, ke langit biru cerah tak berawan, matahari bersinar sangat terik. Dipandangnya sepuas-puasnya.

Karena jika Dark Soul bisa sampai menancapkan kukunya di sini, maka yang ada hanyalah kesuraman. Kegelapan. Bayang-bayang menjelangkah? Ki Seta menggelengkan kepala.

Dan mengikuti langkah Ratu-nya menuju gedung utama Kriya.

Di Kriya Dyah seperti hanya menjalankan kewajibannya sebagai Ratu. Biasanya dia menunjukkan antusias yang tinggi saat melihat hasil-hasil kerajinan di sana, bahkan sampai harus diingatkan akan waktu, bahwa dia masih punya kewajiban di tempat lain.

Sekarang tidak.

Sekarang seperti hanya menjalankan kewajiban saja, melihat hasil-hasil yang biasa, melihat hasil yang istimewa juga sambil memberikan komentar sekedar agar pembuatnya tidak kecewa.

Di Gedung Utama Kriya sebentar saja, kemudian Dyah mengusulkan agar ke pelatihan Bala. Ki Seta tahu apa yang sedang dipikirkan ratunya, mengikutinya tanpa banyak cakap.

Tidak biasanya Dyah berkunjung ke Pelatihan di luar jadwal. Biasanya yang menjadi fokus utamanya Kriya dan Perkebunan berikut ruangan percobaan ramuan-ramuan. Itu yang menjadi perhatian utamanya. Sejak dia masih berstatus puteri, itulah yang menjadi kesukaannya. Hal lain tidak diperhatikannya.

Tapi sejak ia menjadi Ratu, baru sadar ia. Bahwa ada banyak yang harus ia perhatikan, bukan hanya hal-hal yang menyenangkan dirinya saja, tetapi juga hal-hal yang tidak dia sukai, hal-hal yang menakutkan, hal-hal yang biasanya tidak dia pikirkan. Hal-hal yang –saat ayah masih ada—ia pikir memang sudah semestinya seperti begitu.

Ternyata tidak demikian.

Ayah ternyata memikirkan segalanya saat ia masih berkuasa. Ayah nampak sebagai orang yang bahagia, tapi ternyata segala hal ia urus dan atur agar rakyatnya bahagia. Dan itu hanya di negara kecil begini, bagaimana dengan raja di negara-negara besar ya? Memang pasti ada bawahan-bawahannya, tapi kan raja juga tidak bisa lepas tangan begitu saja.

Dyah bersama dengan Ki Seta mendatangi Pelatihan. Setiap anak yang sudah menginjak usia enam belas tahun, laki-laki maupun perempuan, wajib mengikuti Pelatihan. Dimulai dengan pelajaran teori selama seminggu, lalu pelatihan berbagai alat dan berbagai medan selama seminggu juga, lalu pelatihnya akan melihat alat apa yang disukainya atau paling dikuasainya, dan semingu yang terakhir akan diisi dengan latihan dengan alat itu. Setelah itu, alat itu boleh dibawa pulang. Ada yang membawa pulang pedang, ada panah, tombak, tapi ada juga yang dilihat oleh pelatihnya sebagai cerdas dalam strategi, maka dia bisa saja tidak membawa pulang senjata tetapi berjilid-jilid buku strategi.

Tetapi yang namanya negara damai, bisa dibilang sudah berabad-abad tidak pernah perang, maka senjata-senjata perang itu dibawa pulang oleh anak-anak yang lulus Pelatihan, disimpan di langit-langit rumah, dan dilupakan begitu saja.

Hari ini Dyah memperhatikan jalannya Pelatihan dengan seksama. Memang latihannya bagus, bermutu, tapi sekali lagi ini negara damai, sehingga segala materi seperti mengawang begitu saja. Bagaimana menjelaskan mengenai menghindari ranjau jika tak terbayangkan ranjau itu untuk apa kegunaannya? Jangankan peserta latih, pelatihnya saja hanya mengenal benda-benda perang itu dalam gambar. Selain itu, pedang, panah, tombak, dan lain-lain, tak terbayangkan untuk apa kegunaannya. Karena apa yang diajarkan adalah, melukai musuh, bahkan membunuh musuh, mengetahui strategi musuh lalu menghalangi jalannya, itu semua untuk apa? Sumekar tidak pernah punya musuh. Makanya, paling-paling tombak yang dibawa pulang bisa berguna untuk menakuti-nakuti pencuri, itu juga kalau ada, atau bisa juga untuk menakut-nakuti rubah yang masuk ke halaman rumah.

Kurang etos perang, pikir Dyah, karena mereka memang bukan negara militer. Negara mereka memang negara penyembuh, lebih banyak tabib di seluruh negara. Negara mereka memang negara perajin, lebih banyak pekerja tambang dan pekerja kriya di seluruh negara, dibandingkan dengan mereka yang memilih karir sebagai penjaga keamanan.

Dyah menghela napas. ”Pelatihan ini selesai saat makan siang, kan?”

”Benar, Yang Mulia,” sahut seorang pelatihnya.

”Jam dua, seluruh pelatih utama menghadap di istana,” katanya tegas.

”Daulat, Tuanku!” semua menyembah, sambil diam-diam saling melirik dengan heran.

“Tak akan ada apa-apa,” sahutnya mengubah nada, mereka mungkin saja heran karena ketegasannya. Tuan Puteri biasanya dikenal lemah lembut, tidak tegas keras seperti ini. ”Hanya pertemuan pertama setelah aku naik tahta.”

Wajah mereka tidak sepucat tadi. Dyah tersenyum, ”Kembalilah berlatih.” Dan ia juga berbalik kembali ke istana.

Ki Seta mengikuti tanpa suara. Dyah juga diam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Setibanya di istana ia langsung ke laboratorium, tempat para tabib sedang membuat ramuan.

Ia menyaksikan mereka bekerja, lalu memeriksa persediaan ramuan yang ada di lemari-lemari. Ia lalu mendekati Tabib Kepala yang sedang mengaduk suatu ramuan, bau yang sedap menguar dari kuali gerabah itu.

”Tabib Kepala, sedang membuat apa?”

“Yang Mulia, ini untuk mengurangi demam. Biasanya anak-anak suka mengeluh kalau mereka diberi kompres yang berbau, menggunakan ini mudah-mudahan mereka menjadi tidak rewel lagi kalau sedang sakit.”

“Mengurangi kerewelan anak-anak yang sedang sakit sama saja dengan menyembuhkan setengah penyakitnya,” Dyah berseri-seri, “Tabib Kepala, aku juga akan menghargai jika anda semua yang di sini lebih berkonsentrasi pada ramuan penyembuh daripada ramuan kosmetika. Ramuan kosmetika memang bagus, tapi untuk saat ini aku akan lebih menghargai ramuan penyembuh.”

”Daulat, Tuanku,” sahut mereka serempak.

”Tabib Kepala, aku juga mengundangmu untuk pertemuan jam dua nanti, bersama dengan para Pelatih.”

Tabib Kepala mengangguk, memberi sembah tanda mengerti.

Keluar dari laboratorium. Nini Saroja sudah nampak dari kejauhan. Ki Seta tersenyum. ”Yang Mulia, nampaknya kalau Nini Saroja sudah mendekat, Yang Mulia juga tidak bisa mengelak lagi.”

Dyah mau tak mau tersenyum juga. “Nampaknya yang paling berkuasa justru adalah Nini Saroja ya, semua tunduk di bawah perintahnya. Kalau tidak menuruti jadwalnya, maka kau akan terancam masuk angin.”

Ki Seta terkekeh. Nini Saroja mendekat, ”Yang Mulia, makan siang sudah siap.”

”Terima kasih, Nini Saroja,” Dyah menahan tawanya, dan mengedip pada Ki Seta.

Tapi sambil berjalan ke ruang makan, Dyah merasa semua yang ada di depannya bergoyang, terlihat kabur, dan lenyap. Gelap.

Yang terdengar hanyalah jangkrik yang berderik. Sunyi. Hening.

~0~0~0~0~0~0

Wordcount: 2.654
Akumulasi: 39.237 (MS Word) 39.212 (NaNoValidator)
Target: 36.667