My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Sunday, November 25, 2007

Hari Keduapuluhenam

*soalnya Minggu kemaren nggak nulis, hari keluarga :P*

~0~0~0~0~0~0~0

Dyah nampak murung. Wajah yang biasanya berseri, sekarang bagai tersaput awan. Seorang juru telik –mata-mata—berdiri di hadapannya. Pakaiannya lusuh dan kotor, menandakan baru pulang dari perjalanan jauh.

”Minta Ki Seta segera menghadap,” titahnya pada seorang pengawal di sampingnya. Pengawal itu menunduk memberi hormat dan segera menghilang di balik pintu. Tak berapa lama kemudian ia kembali dengan Penyihir itu.

“Selamat dan Sejahtera untukmu, Yang Mulia. Ada apa gerangan?”

”Juru telik melaporkan,” Dyah mengisyaratkan orang di hadapannya, ”bahwa pasukan Morion dalam jumlah besar menuju ke arah kita, Ki Seta,” tak ada senyum sedikitpun di wajahnya.

Wajah Ki Seta mengeras. ’Mereka datang juga,’ pikirnya, tapi disembunyikannya pikirannya itu baik-baik.

”Mereka mengincar sesuatu, Ki Seta. Aku tak tahu apakah itu. Yang jelas mereka berniat melanggar Layang Kamasan kalau melihat gelagatnya begitu,” Dyah meneruskan ketika melihat Ki Seta terdiam.

”Mereka mengincar sesuatu yang keluar dari Pertambangan, Yang Mulia,” akhirnya suara Ki Seta keluar juga, perlahan. ”Silmë. Batu Bulan. Dalam naskah-naskah kuno, batu Silmë jarang muncul. Tak ada yang bisa memperkirakan kapan ia akan muncul. Tapi kalau ia sudah akan muncul, dengan cara-cara khusus Penyihir tertentu akan mampu mendeteksinya, Yang Mulia.”

”Kau ... tahu tentangnya?”

”Hamba baru saja mendapat Penglihatan, Yang Mulia.”

”Jadi ... mengapa ... Da-Dark Soul mengincar Silmë?”

“Dengan menguasai Silmë, seseorang bisa menguasai dunia, Yang Mulia.”

”Karena itulah ia berani melanggar Layang Kamasan?”

”Hamba kira begitulah.”

Dyah terdiam. Lalu lirih ia berkata, ”Kalau begitu, sekarang kita harus memikirkan cara yang terbaik untuk melindungi rakyat ...”

Ki Seta mengangguk. ”Pertama, apa yang akan Yang Mulia lakukan dengan Silmë? Lebih mudah jika Yang Mulia yang menguasai Silmë, karena Dark Soul bisa kita taklukkan dengan mudah. Masalahnya, jika Dark Soul terlebih dahulu menaklukkan Sumekar, sebelum Silmë keluar, dan itulah yang hamba kira akan dilakukannya.”
Dyah mengangguk. ”Jika Silmë keluar sebelum Dark Soul menaklukkan kita, tentu saja akan kita pertahankan. Jika Silmë belum keluar di saat pasukan Dark Soul sudah datang ... akankah kita korbankan rakyat kita untuk mempertahankan Pertambangan?”
Perlahan Ki Seta mengangguk. ”Kita tidak mempertahankan batu itu demi mendapatkan kekuasaan, demi kemuliaan, Yang Mulia. Kita hanya akan mempertahankannya agar tidak jatuh ke tangan yang salah.”

Dyah menatap Ki Seta lama sebelum ia mengangguk, ”Baiklah.” Ia memalingkan wajah pada pengawal, ”Panggil Kepala Bala Keamanan segera. Dan, oh ya, jangan lupa Tetua Tabib!”

Pengawal itu menghormat dan menghilang secepat ia bisa.

“Mohon ampun, Yang Mulia, hamba punya usul,” Ki Seta menyela.

Dyah mendengarkan.

”Karena ini menyangkut Layang Kamasan, maka negara lain yang menandatanganinya perlu diberitahu. Negara-negara yang maish ada, yang belum menjadi bagian dari Morion.”

Dyah mengangguk. “Walau, kalau melihat Morion berani berkonfrontasi dengan Layang Kamasan, pasti akan ada negara yang takut membantu. Tapi kita coba saja,” ia melihat pada juru telik yang selama ini diam di sudut, “Aku akan segera menulis surat resmi. Sampaikan segera pada negara-negara itu. Pilihlan orang-orangmu yang terbaik.”

Juru telik menghormat dan amit mundur. Kepala Bala Keamanan masuk dengan tergesa-gesa, disusul Tetua Tabib dengan perutnya yang gendut.

”Yang Mulia,” sahut mereka bersamaan.

”Pasukan Morion akan segera menyerang negara kita,” Dyah menerangkan cepat, lalu memandang Kepala Bala Keamanan. ”Kumpulkan semua laki-laki yang sudah mendapat pelatihan. Cek lagi persenjataannya, juga seragam. Setelah itu, bersama dengan semua Pelatih Utama, buat perencanaan akan ditempatkan di mana saja pasukan-pasukan itu, lalu laporkan secepatnya.”

Walau wajahnya keheranan, Kepala Bala Keamanan menganggukkan kepala, memberi hormat dan amit mundur.

”Tetua Tabib, mulai sekarang hentikan pembuatan ramuan-ramuan lain. Konsentrasikan pada ramuan penyembuh, terutama penyembuh luka, luka biasa ataupun luka sihir.”

Tetua Tabib pun menganggukkan kepala dan amit mundur.

Dyah memandang ke arah pintu di mana mereka mundur. ”Apa mereka tahu apa yang menyongsongnya di sana?” gumamnya lirih.

*****

Derap pasukan yang begitu seirama itu bagai menggetarkan bumi. Nyata sekali bahwa mereka sangat terlatih, tegas langkah mereka, dingin sorot mata mereka, mantap pegangan mereka pada senjata masing-masing seolah senjata dan pemegangnya lumer jadi satu. Dan derap mereka seolah tak berakhir, jumlah mereka seakan tidak terhitung. Pasti tujuan mereka, ke Timur, ke arah matahari terbit. Sumekar.

* * *

Di Sumekar, terdapat kesibukan yang tidak biasanya. Di lapangan kecil samping istana orang-orang berseragam berkumpul. Dan makin banyak jumlahnya, seiring dengan kedatangan orang-orang berseragam lainnya dari seluruh penjuru negeri. Senjata mereka beragam, pedang, panjang maupun pendek, tombak, trisula, panah, dan entah apa lagi.

Kumpulan itu segera saja jadi tontonan, terutama ibu-ibu dan anak-anak. Sudah berabad-abad mereka tidak pernah melihat tentara dalam jumlah begitu banyak. Biasanya mereka hanya melihat tentara jika mendekati istana, itupun sekedar pengawal penjaga istana. Lalu sedikit personil penjaga keamanan, semacam polisi, untuk mendamaikan keributan kecil-kecilan antar penduduk, atau pencurian yang amat-sangat jarang terjadi. Bala Keamanan pendeknya.

"Emak, siapa sih mereka?"

"Itu namanya tentara, Euis," seorang ibu mengusap kepala anaknya.

"Aku belum pernah melihat tentara," sahut anak kecil itu lagi.

"Jangankan kau, akupun belum pernah melihat mereka. Pernah, sih, satu-dua, tapi belum pernah melihat sebanyak ini," seorang ibu-ibu gemuk setengah umur menyela.

"Aku juga baru melihat langsung sekarang. Persis seperti yang digambarkan di buku-buku sejarah di sekolah ya?" seorang gadis belia menyetujui.

Ibu di sebelahnya diam saja. Wajahnya nampak bersaput mendung. Melihat hal itu, si ibu gemuk bertanya penasaran, "Ada apa, Bu? Anda tidak senang melihat begiu banyak tentara kita berkumpul?"

Si ibu yang ditanya menggeleng. Ia menunjuk ke arah tentara itu, "Suamiku dan anak sulungku ada di sana. Meski mereka bukan tentara, tetapi ia termasuk Bala Cadangan, dan dipanggil untuk maju. Hanya Dewa-dewa yang tahu apa yang akan mereka hadapi,"

"Yah, kau betul," ibu yang lain menanggapi, "suamiku juga masuk Bala Cadangan. Untuk apa, kita belum tahu. Mungkin cuma untuk menjaga perbatasan. Atau Ratu hendak berkunjung ke luar negeri dan perlu parade,"

"Tetapi sebanyak itu?" ibu dengan wajah sedih tadi menukas pesimis, "belum pernah kudengar seluruh Bala bahkan hingga Bala Cadangan dipanggil tak bersisa, hanya untuk sebuah parade. Pasti ada sesuatu yang mengerikan yang akan kita hadapi sehingga kita perlu mengerahkan tentara sebanyak itu. Dan .." suaranya tertahan isak, "kalau itu cukup mengerikan, mungkin kita bahkan tak akan pernah melihat mereka lagi .."

Ibu-ibu di sekitarnya terdiam. Mereka tak tahu harus mengatakan apa.

Keheningan terpecahkan ketika seorang anak perempuan berkucir dua menarik-narik baju ibunya, "Emak, aku mau jadi tentara juga!"

"Hus, kamu kan perempuan. Hanya anak laki-laki yang boleh jadi tentara,"

"Tapi, Ratu juga jadi tentara," anak itu menunjuk.

Semua perhatian tertuju ke lapangan. Kerumunan orang-orang berseragam tadi kini sudah membentuk barisan yang rapi. Di depan mereka berdiri seorang gadis dengan seragam yang sama, di atas podium, dan memberi pengarahan pada mereka.

Sayup-sayup diterpa angin yang dapat sampai pada kerumunan penonton hanyalah kata-kata seperti 'membela negara', 'mempertahankan kebenaran' dan 'Morion'.

"Morion," desis seorang gadis, "apakah benar negara sebesar itu menyerang kita? Ini benar-benar mimpi buruk,"

Segera saja ketakutan mencekam segenap penduduk yang mendengar.

* * *

Di pertambangan, kali ini tidak ada shift seperti biasanya. Seluruh pekerja laki-laki yang kebagian giliran hari kemarin, ditahan, tidak boleh pulang. Seluruh wanita dipulangkan. Kriya ditutup sementara, di pertambanganpun tidak ada pekerjaan yang dilakukan. Para pekerja yang tersisa dibagi seragam, dan persenjataan sekadarnya. Selesai itu, mereka diberi pengarahan singkat, dan sedikit latihan penggunaan senjata. Mengulangi latihan dulu yang mereka pernah ikuti. Juga prosedur pengamanan tambang.

"Tidak kuduga kita benar-benar akan berperang," gumam seorang pemuda.

"Aku juga begitu. Kupikir negara ini tidak akan pernah mengalami apa yang dinamakan perang. Dan sungguh mimpi buruk kita terperangkap kebagian mesti mempertahankan pertambangan ini," pemuda lain yang ternyata adalah Rama, menukas sambil menimang-nimang pedang di tangannya.

"Mimpi buruk apaan. Lebih buruk lagi mereka yang langsung harus maju ke garis depan,"

"Tidak begitu," Rama menanggapi, "pikir saja, mereka yang harus maju ke garis depan berarti langsung berhadapan dengan Morion? Mereka bisa saja musnah dalam waktu singkat,"

"Itu sudah kutahu, lalu?"

"Kalau musuh bisa sampai ke sini, dan harus kita hadapi, berarti pasukan kita sudah habis. Berarti kita ini pasukan terakhir untuk mempertahankan Sumekar. Bila kita sampai sudah harus menghadapi Morion, berarti sudah tak ada lagi yang tersisa di Sumekar selain kita. Apa itu bukan mimpi buruk namanya?"

Pemuda di sebelah Ren itu mengangguk-ngangguk. Ada rasa ngeri tersirat di matanya.

"Ngomong-ngomong, aku tak mau mati tanpa tahu siapa orang yang terakhir kuajak ngobrol. Aku Rama, kamu siapa?" Rama mengulurkan tangannya.

"Aku Ujang," ia menyambutnya sambil tertawa kecil. Di tengah-tengah ketakutan seperti ini masih saja sempat bercanda.

Kali ini Avis terbangun tersentak terengah-engah. Di tengah udara dingin ia malah berkeringat, bantalnya basah, bajunya juga basah. Ia menggelengkan kepalanya cepat, mengetes apakah itu mimpi atau bukan.

Mimpi. Ia sekarang ada di Hambalang, dan tidak ada pasukan berseragam di hadapannya. Tapi ... semuanya terlihat begitu nyata.

Ia bangun dan keluar kamar. Suasana subuh sudah terasa, sudah ada yang mengaji di surau terdekat menjelang adzan, sudah ada kicau burung-burung fajar. Ia masuk kamar mandi, dan menghela napas panjang. Ia gemetar ternyata, saat ia mengangkat gayung. Dipejamkan mata tan menghela napas lagi. Pelan-pelan disiramkan air ke tubuhnya.

Ia keluar kamar mandi dan digantikan teh Alia. Beberapa saat kemudian saat teh Alia masih di kamar mandi, Upi menangis. Ia berlari ke kamar kakaknya. Aa pasti sudah ke lokasi tadi subuh. Upi terbangun dan menangis. Ditepuk-tepuknya paha anak gendut itu.

”Sssh, jangan nangis. Umi lagi di kamar mandi. Ini ada Bi Wis. Yuk, mau bangun?”

”Mau susu,” katanya sambil matanya masih menutup.

Digendongnya anak itu, berat banget! Dibawanya ke dapur, didudukkannya. Dibukanya pintu dapur, seperti biasa sudah ada botol susu segar di dekat pintu. Diambilnya, dituangkan sebagian ke panci dan dihangatkan. Sebelum mendidih, diangkatnya dan dituangkan ke gelas.

Sambil ditiup-tiup agar tidak terlalu panas, diberikan pada Upi. Upi minum sekali teguk habis, dan sekarang matanya membuka.

“Bi Wis, mau pipis.”

“Yuk, tuh Umi udah keluar.”

Teh Alia sudah keluar dari kamar mandi dan melihat mereka ada di dapur, menegur, ”Upi, udah minum susu sama Bi Wis?”

”Udah. Sekarang mau pipis,” dan ia segera berlari masuk ke kamar mandi yang terbuka. Teh Alia dan Avis tertawa melihatnya.

Kesibukan mengurus Upi sepagi itu membuatnya agak melupakan ketakutannya akan mimpi tadi malam.

Avis sedang mengiris bawang ketika teh Alia masuk ke dapur membawa seikat kangkung dan ikan mas yang diikat di mulutnya, masih hidup.

”Aduh, ikannya seger-seger. Masih hidup lagi. Mau digoreng kering?” tanyanya.

“Iya. Si Aa kemarin pesen.”

”Ikannya panjang-panjang lagi, nggak berlemak ini sih.”

Teh Alia mengangguk, ”Kalau yang gendut-gendut, yang bulet-bulet itu, nggak akan kering walau digoreng lama juga. Girinyih lemakna,” sahutnya sambil menyimpan ikan-ikan itu di tempat cuci piring.

”Mau dibersihin sama Avis atuh? Katanya yang lagi hamil mah nggak boleh melakukan pembunuhan,” sahutnya sambil tertawa renyah, walaupun dia sendiri juga agak ngeri ’melakukan upaya pembunuhan’ itu.

Teh Alia tertawa. ”Biarin aja dulu, nanti juga mati,” katanya seperti tahu akan kengerian Avis. ”Kamu nggak ke atas tadi pagi?”

”Enggak ah. Lagian agak tersaput awan begitu,” sahutnya berdalih. “Masih ada beberapa hari Avis di sini, masih banyak hari,” katanya menambahkan.

”Kamu bener mau keluar dari Sekolah?” tanya teh Alia duduk di bale-bale, dan mulai membuka ikatan kangkung, memetikinya.

”Kaya’nya sih. Sekarang sedang mencari alasan buat keluar. Nggak enak sama temen-temen yang masih bertahan di sana.”

”Bilang aja mau kawin, ikut suami, beres,” goda teh Alia.

”Iih, si teteh mah. Meni geus jiga si Aa ari ngaheureuyan teh,” niatnya sih mau mencubit teh Alia, tapi karena sedang memegang pisau, diurungkannya juga niatnya.

”Eeh, beneran sok geura. Di mana-mana juga cowok yang ngapelin cewek, sedang ini? Coba hitung berapa kali Kang Nata dateng ke Bandung? Trus coba hitung berapa kali kamu dateng ke Hambalang? Belum lagi, kalau kamu ke sini, pasti berhari-hari. Itu kan berarti udah ngebet!” teh Alia berkelit karena pisau Avis sudah disimpan sehingga dia bisa mencubitnya dengan bebas tanpa takut pisaunya salah arah.

”Teteeeeeeeeh! Aku kan ke Hambalang mau nengokin teteh, mau negokin Aa, mau nengokin Upi, bukan kang Nata.”

”Tapi sekalian kan?” teh Alia masih saja menambah-nambahi, sambil tertawa.

Muka Avis sampai merah seperti tomat, dan dia menjawab, cuma manyun dan komat-kamit baca mantera, hihi.

Wajah teh Alia kemudian berubah serius. ”Tapi beneran, Avis. Umur kamu itu kan udah tiga puluh. Kang Nata juga sudah ... berapa? Tiga delapan kalau tidak salah. Sudah bukan masanya lagi pacaran seperti budak leutik.”

Avis membawa pisaunya ke tempat cuci piring, dan menekan-nekan ikannya. Kalau sudah mati, mau dibersihin. Ternyata sudah. Dia membuka ikatan tali gedebog pisangnya, dan mengambil satu, menyisiki sisiknya, membelah perutnya dan mengeluarkan isi perutnya, mencucinya, mengambil satu lagi ikannya, tanpa mengucap sepatah katapun.

”Kenapa, Avis?”

Avis menggeleng. ”Kalau bisa dibilang pacaran, sih Avis seneng. Tapi ini ... Avis juga bingung.”

”Bingung kenapa?”

”Dia nggak pernah bilang .. apapun.”

”Dia nggak pernah … ‘nembak’?”

Avis menggeleng. “Dia terkadang sangat care. Seperti Avis itu pacarnya, semua diurusin. Tapi kadang juga cuek sekali, dan tak ada kabar. Sama sekali.”

”Kalau kamu jalan sama cowok lain?”

”Nggk tahu. Hubungan kami kan jauh, kalau di Bandung Avis jalan sama cowok lain juga dia nggak tahu dan nggak peduli kaya’nya.”

”Kaya’nya? Belum pernah dicoba?”

Avis menggeleng. Sambil menoleh, dilihatnya sambil lalu tumpukan kangkung yang sudah dipetiki oleh teh Alia, ”Itu kangkung mau ditumis begitu saja? Avis bawa oncom kemarin, dibikin ulukutek aja.”

”Iya, Aa juga bilang dibikin ulukutek,” kata teh Alia sambil membereskan batang-batang kangkung yang sudah gundul dipetiki daunnya dan menumpukkannya di lobang dekat dapur, dibikin kompos. Lalu, ”Kembali ke laptop, Avis,” katanya tersenyum, dan disambut oleh senyum juga oleh Avis, ”kalau memang arahnya susah ditebak, kamu aja yang ambil inisiatif.”

”Inisiatif?”

”Cewek aja yang nembak, jangan cowok aja.”

“Idih si teteh mah. Nggak, ah,” Avis menggigil sambil menyimpan semua ikan yang sudah bersih ke dalam baskom, menggaraminya, dan, “Sini kangkungnya Avis cuci!”

Teh Alia menyerahkan baskom berisi kangkung ke Avis. ”Kalau kamu nggak mau nembak, apa mesti ditolong pihak ketiga? Si Aa pasti mau nolong menyelidiki.”

Avis tersenyum. “Nggak ah. Untuk sementara, Avis nggak apa-apa. Biarin aja dulu.” Avis ingin mengatakan, bahwa sekarang ini ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, dia nggak mau memikirkan hal-hal lain. Tapi, bagaimana menceritakannya pada teh Alia? Apakah bijak untuk menceritakan mimpi yang aneh itu? Apalagi dia seorang lulusan psikolog, sedang teh Alia malah lulusan pertanian, apa nggak kebalik?

Teh Alia nampaknya juga membiarkan hal ini mengambang, setidaknya hari ini. Apalagi kemudian Upi masuk dari rumah-rumahan tehnya, dan mengajak Avis bermain di sana.

”Bi ’Wis, hayu!”

”Nanti dulu, ini bi ’Wis mau ngebersihin kangkung dulu.”

“Udah, sana, main aja dulu. Kan udah beres, bumbu udah diiris, tinggal masukin katel,” teh Alia mengusir Avis sambil tertawa-tawa melihat Avis kewalahan menghindar dari Upi. Favorit Upi memang Bi Wis, kalau sedang tidak ada kunjungan, dia pergi main ke belakang Rumah Besar, selalu ada anak-anak pemetik teh di sana, yang besar yang kecil. Kalau ada Bi Wis, dia diam di rumah dan main dengannya.

Seharian ini Avis terus bermain dengan Upi, sampai akhirnya malam tiba, dan Upi sudah ada di kasur, kasur Avis bukan kasur Umi. Seharusnya ia sudah tidur, tapi sampai berapa dongeng diceritakan Avis, malah Upi makin cenghar, makin seger, dan menuntut cerita yang lain lagi.

“Yang selu,” katanya begitu Avis akan memulai lagi ceritanya.

Euh, kalau ceritanya yang seru, bagaimana bisa tidur?

”Gini,” Avis akan memulai cerita yang baru, ”tapi Upi nggak boleh ngomong kalau ceritanya belum selesai ya?”

Upi mengangguk dengan khidmat, menyetujui rule of the game.

“Oke. Begini ceritanya. Ada seorang raja. Dia punya tiga anak. Yang pertama, laki-laki. Dia pandai main pedang. Anak yang kedua, laki-laki juga. Dia pandai naik kuda. Yang ketiga, perempuan. Dia cantik tapi manja. Dia pengen diceritain. Begini ceritanya.

Ada seorang raja. Dia punya tiga anak. Yang pertama laki-laki. Dia pandai main pedang. Anak yang kedua laki-laki juga. Dia pandai naik kuda. Yang ketiga anaknya perempuan. Dia cantik tapi manja. Dia pengen diceritain. Begini ceritanya ...”

Tiga empat kali dia mengulang, dan Upi tertidur. Napasnya sudah teratur. Hehe, itu dulu taktik Papi dalam menidurkan anaknya, kata Mami. Kalau si anak nggak mau tidur dan terus menuntut dongeng. Tapi setelah dua-tiga kali diulang, si anak hapal taktiknya, dan terpaksa dicari akal lain lagi.

”Akalnya bagus juga.” Suara Nata.

Avis berbalik, kepala kang Nata muncul di balik pintu. Dia tersenyum, dan sambil meletakkan telunjuknya di bibir, isyarat agar dia jangan ribut, diselimutinya Upi, dimatikannya lampu, dan ia keluar kamar.

Suara teh Alia dan Aa seperti berada di kamar. Apakah mereka memang sengaja agar dia dan Nata berdua saja di ruang tengah? Avis tak tahu.

”Kenapa tadi nggak ke atas? Kukira, kalau pagi nggak ke atas, sore mau, ternyata sama sekali nggak ke atas,”

”Ya ... kan masih ada beberapa hari lagi kok aku di sini.” Bagus, alasan yang bagus sekali. Biasanya walau hari sudah mau hujan, tetap saja dia naik.

”Tidak ada alasan lain?”

Avis menggeleng. Dia berusaha menghindar dari pandangan Nata, tapi dia terpaksa menatapnya juga, dan matanya itu seperti menyiratkan sesuatu.

Dia tahu!

Dia tahu sesuatu sedang terjadi.

Dan tiba-tiba dia merasa, dia bisa menceritakan mimpi-mimpinya pada Nata. Dengan teh Alia, dia merasa tak bisa. Apalagi dengan Aa. Tapi ia mendadak merasa bisa menumpahkan segala isi hatinya, segala mimpi-mimpinya pada Nata.

Dan ia bahkan tidak perlu berbicara sama sekali. Dia merasa mata Nata mengerti. Mengerti menembus pikirannya, tentang mimpi-mimpinya, tentang siapa dia dalam mimpinya. Terutama, mengerti ketakutan Dyah, mengerti kekhawatiran Dyah.

”Jangan takut,” bisiknya, kepalanya mendekat ke kepalanya, bisikannya tepat di telinganya. ”Teruslah bertahan.” Tangannya merengkuh seluruh tubuhnya.

Dan Nata mencium keningnya, lama. Hangat menyebar ke seluruh tubuhnya, menebar rasa aman, rasa dilindungi, rasa ditemani dalam perjalanannya.

Nata melepas bibirnya, melepas pelukannya. Matanya masih menatap mata Avis. Kemudian tak berbicara sepatah katapun, ia keluar dan menutup pintu.

~0~0~0~0~0~0~0

Wordcount: 2.867
Akumulasi: 45.493 (MS Word) 45.464 (NaNoValidator)
Target: 43.337

0 Comments:

Post a Comment

<< Home