My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Sunday, November 25, 2007

Hari Keduapuluhdua

Hehe, sori, belum post di sini :P

~0~0~0~0~0~0

Seperti biasa sikap Nata membingungkan. Kadang baik penuh perhatian, tapi kadang seperti cuek, tak ada yang bisa menarik perhatiannya sama sekali. Tapi ... sudahlah. Yang penting sekarang, melihat elang.

Hari ini ia melihat tiga ekor elang, dua elang dewasa dan satu elang muda melesat datang dan pergi, sepuasnya. Er, ... sebenarnya bukan sepuasnya sih. Ia terpaksa turun karena matahari sudah tinggi, sudah panas membakar. Sebenarnya juga bukan matahari sih, dia kan punya topi dengan pelindung tengkuk, tapi entah kenapa ia mau saja menuruti kata orang, orang lain yang kadang sama sekali tidak perhatian?

Sepanjang siang ia tidak melihat Nata. Ya, mungkin saja, dia di kumpulan rumah di bawah, sedang Nata mungkin sedang bekerja di Rumah Kaca. Ya sudah, Avis kemudian bercengkerama dengan Mami, dengan Aa, dengan teh Alia, dengan Ibu, dengan Ayah, yang ternyata tukang bergurau kelas wahid juga.

”Aa, nanti sore ada yang mau keluar nggak?” tanyanya ketika ia selesai mencuci piring habis mereka makan siang.

”Kamu mau pulang nanti sore?” tanya Ardi sambil mengupas pisang.

”Kalau bisa sih.”

”Memangnya mau buru-buru kenapa?” tanya Ardi dengan mulut penuh pisang.

”Ya, abis kemarin aku kan bisa dibilang diculik dengan paksa ke sini. Jadi aku tinggalin semua urusan surat-surat di kampus sampai besok,” sahut Avis sedikit berbohong.

”Kalau sore sih nggak ada, kecuali kalau mau sengaja. Besok pagi aja, pak Nata mau ke Bandung juga tuh, ngurus sampel tanaman ke Dinas Pertanian Propinsi. Minta perginya pagi-pagi aja.”

”Ya .. oke deh.” Sebenarnya datang ke kampus siang-siang atau besoknya juga nggak apa-apa, ini sih agar memberi kesan penting aja. Ih, dasar Avis! ”Jadi, sore ini Ade masih bisa ngeliat elang!” katanya sambil menari-nari.

”Eta budak, meni kawas kitu,” Mami mengurut dada sambil geleng-geleng kepala.

”Mami liat elang yuk! Elangnya beda dengan yang waktu dulu Mami kecil. Ini elangnya cakep, kaya’ Tom Cruise pake F16 lho, Mam, kaya Top Gun,” bujuk Avis sampai Ardi dan Ayah tertawa bareng-bareng.

Jadi sore itu Avis sudah nangkring di puncak bukit lagi seperti dulu, melihat ketiga elang itu menunggu ratusan kelelawar keluar, menunggu makan malamnya. Setelah cukup puas, setelah cahaya malam tak mengijinkan melihat mereka lagi, Avis beranjak turun.

Dan ternyata Nata baru sampai di puncak.

”Sudah telat, Nata. Mereka sudah kembali ke sarangnya ...” Avis berhenti bicara, karena Nata menggelengkan kepalanya.

”Aku bisa lihat itu setiap hari. Nggak lihat sehari juga nggak apa-apa,” katanya datar, ”Besok kau mau pulang?”

Avis mengangguk.

”Aku berangkat jam enam, kalau kau mau ikut. Tidak terlalu pagi?”

Avis menggeleng. “Tidak, cukup kok. Makasih ya! Datang ke sini dijemput, pulangnya diantar lagi.”

Nata mengangguk pelan. “Sudah mau pulang?” tanyanya.

Avis mengangguk lagi.

”Belum pernah lihat purnama di sini?”

Lagi-lagi yang bisa dilakukan Avis hanya menggeleng, atau mengangguk.

”Duduk di sini, kalau kau masih belum pegal,” Nata juga duduk di batu di bawah pohon. Avis mengikutinya duduk.

Tak sengaja tangannya tersentuh punggung Nata saat ia duduk.

Ada getar di sana. Ia merasa seperti ... kesetrum. Gemetar ia duduk di batu, di samping Nata.

Benar purnamanya sangat indah. Bagai muncul dari puncak gunung. Tak puas-puasnya Avis mengaguminya.

”Sudah malam. Nanti kau kedinginan, masuk angin. Belum lagi nanti orang-orang mencarimu ,” Nata berdiri dan mengulurkan tangannya untuk menarik Avis agar berdiri.

Mereka sudah berada di udara dingin sekian lama, tapi tangan Nata hangat saat menyentuh tangannya. Dan walau Avis sudah berdiri, tangan itu tidak dilepaskan. Mereka berdua menuruni bukit berdiam diri. Hening, hanya suara jangkrik di sepanjang jalan.

Sesampainya di depan rumah barulah pegangan tangan itu dilepas.

“Makasih ya, Nata,” Avis mencoba tersenyum, masih gemetar.

Nata tersenyum juga –senyum khasnya yang tak begitu kelihatan—. Ia seperti mau mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Yang dikatakan hanyalah, ”Besok jangan lupa, jam enam. Aku tunggu di Rumah Besar.”

Avis mengangguk dan ia masuk ke rumah. Membuka pintu, masuk, dan saat akan menutup pintu, dilihatnya Nata masih terpaku di sana. Setelah ia menutup pintu, barulah didengarnya langkah Nata menuju Rumah Besar.

Sepertinya seisi rumah sedang membicarakannya, saat ia masuk, karena mereka serentak diam, dan memusatkan pandangan pada piring-piring di depannya. Baru setelah beberapa detik, Mami berucap, ”Aeh, aeh, meni nepi ka poek. Heulangna oge geus kamana, boa!” sambil, maksudnya sih tersenyum.

Avis tersenyum, malu jadinya. ”Sori. Punten. Abis ngeliat elang, juga ngeliat bulan keluar dari puncak gunung. Bagus banget deh. Sayang nggak bawa kamera.”

”Sendirian? Oh, iya, lupa. Sama Pak Nata kan?” Aa pura-pura sibuk menyendok sesuatu di piringnya yang sudah hampir kosong.

”Iiiih, Aa! Kerjaannya ngegodain melulu!” Avis mencubit Ardi sampai Ardi mengaduh.

”Duh, ini jadi biru nih! Teh Aliaaaa ... ini adik iparmu kok jahat banget sih?” Ardi pura-pura mengadu sambil mengusap-usap bekas cubitan Avis.

Teh Alia muncul dari balik pintu sambil menggendong Upi yang masih saja menyusu dari tadi, ”Idih. Adik adiknya sendiri, kok malah dilaporin ke sini. Iya kan, Avis?” katanya mengedip pada Avis.

Jadi kalah deh dia. Posisinya 1 banding 2 sih, hehe.

”Sini, makan dulu Vis. Yang lain nggak mau nungguin, udah kelaperan sih,” lerai Ibu sambil menyodorkan piring.

Avis menerima piringnya, ”Makasih, Ibu. Bentar, mau ke kamar mandi dulu,” katanya, diletakkan piringnya, dan ia ke kamar mandi dulu sejenak. Masih didengarnya suara halus Mami berbisik saat ia ada di kamar mandi.

”Jadi, beneran nih kaya’nya Mami bakal punya menantu di desa semuanya, ya?”

*****

Hari masih belum begitu malam ketika ia bersiap tidur. Mami, Ibu, dan Ayah masih ramai mengobrol. Maklum, ternyata ketiganya klop sekali, seperti anak-anak mereka yang bisa-bisanya menikah. Ternyata para besan juga seperti sahabat lawas yang sudah lama tidak bertemu, segala hal diomongkan.

Avis pamitan tidur duluan. Rasanya lelah sekali, lelah dari masa menyiapkan tesis saja belum terbayar, apalagi langsung dibawa ke sini.

Apalagi mimpi itu.

Kali ini dia masih terbangun, mengingat-ingat mimpinya. Mengurut apa yang pernah ia mimpikan.

Kalau diurutkan, sejak mereka pindah ke Bandung, ia mengalami mimpi seperti itu, dia menjadi Puteri, di tengah-tengah kerajaan. Dan anehnya Puteri itu seumur dengannya. Atau ... ia memang menjadi Puteri itu? Karena umur Puteri itu selalu mengikuti umurnya.

Avis mengingat-ingat. Apa saja yang pernah dimimpikan. Dan mimpinya jelas teringat saat ia terbangun, biasanya mimpi kembang tidur begitu ia bangun langsung dilupakannya. Jangan-jangan ... jangan-jangan, apakah ada pesan dalam mimpi itu? Apakah malam ini ia akan mengalami mimpi itu lagi?

Avis berganti posisi, berbaring ditutup selimut. Begitu menutup mata, dia tiba-tiba ada di Pertambangan. Ia ingat, itu Pertambangan, dia sudah pernah ada di sana. Dia sedang berjalan bersama dengan Ki Seta menuju ke arah Kriya.

”Ki Seta, sebenarnya ada cerita apa tentang Morion ini? Kubaca di buku sejarah, namanya dulu Lembuwungkuk?”

Ki Seta menghela napasnya panjang sebelum menjawab. ”Ya. Dulu negara ini bernama Lembuwungkuk. Dan dari dulu juga memang sudah agresif, berkembang terus. Namun tidak seagresif Morion sekarang. Kemudian peristiwa meninggalnya anak Raja itu menjadikan Lembuwungkuk tidak punya penerus. Dan diambil alih oleh Penasihat Spiritualnya.” Ki Seta menunduk sejenak sebelum ia mengangkat kepala dan berbicara lagi, “Dark Soul namanya. Nama yang jarang disebut, orang ketakutan, bahkan akan namanya pun takut menyebutnya. Entah siapa nama aslinya, tapi semenjak ia berkuasa, julukannya itu. Dia sendiri yang menyebut dirinya begitu.”

Dyah menatap Ki Seta dan memintanya untuk melanjutkan.

”Negara tetangganya, Mahesa, konon punya hubungan khusus dengan klan Lembu yang dulunya menguasai Lembuwungkuk. Yang kemudian menjadi Morion. Desas-desusnya, pengikut-pengikut Baginda Lembuwungkuk banyak yang bermigrasi ke negara Mahesa. Walau kemudian Mahesa juga jatuh ke tangan Morion. Walau dari dulu juga Lembuwungkuk sudah menjadi negara agresif, tapi tidak sekejam Morion. Kalau Lembuwungkuk menyerang sedikit demi sedikit, menata dulu yang sudah didapat, terutama budaya dan pendidikannya, baru menyerang lagi yang lain. Morion tidak. Penyerangan ke satu negara akan berhenti jika sudah ada mangsa yang baru. Lalu penyerangan selalu berupa pembumihangusan, penduduknya dijadikan budak, dijadikan tentara untuk penyerangan berikutnya.”

”Mengapa tidak ada pemberontakan, Ki Seta?”

”Pemberontakan selalu ada, Yang Mulia. Tapi entah bagaimana selalu bisa dipadamkan. Menurut desas-desus, ia menggunakan sihir untuk membuat para tentaranya menurut.”

”Sihir untuk sekian banyak tentara?”

Ki Seta mengangguk. ”Itu juga bisa membuktikan bahwa dia memang kuat. Mungkin bahkan ... penyihir terkuat di dunia ini, Yang Mulia.”

Dyah nampak seperti setengah melamun. Lalu keluar juga apa yang dia ingin tanyakan, ”Ki Seta .. apakah, ... apakah kalau memang dia kuat, itu berarti dia tidak takut apapun? Apakah kalau memang pola agresifitasnya lebih kasar daripada Lembuwungkuk, itu berarti ... dia tidak akan segan-segan menyerang Sumekar, Ki Seta?”

Ki Seta memejamkan matanya. Pertanyaan yang ia takuti, pertanyaan yang ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. ”Hamba ... tidak berani meramal, Yang Mulia.”

Dyah memandang dengan tatapan memohon, ”Bukan meramal, Ki Seta.” Ia berhenti di gedung Kriya terdekat, menuju ke terasnya, mengeluarkan sebuah gulungan, gulungan peta, dan membeberkannya di lantai lalu duduk di dekatnya. Ki Seta pun duduk di seberangnya. ”Coba analisis, Ki Seta. Secara logis saja, tidak usah pakai unsur-unsur lain. Negara mana yang paling mungkin akan menyerang kita?”

Ki Seta menunjuk gmbar di peta, ”Secara lokasi, Bumbari. Tapi kemungkinannya kecil, karena secara politis, dia tidak punya kepentingan apa-apa di Sumekar. Jika dari segi kepentingan, maka Morion-lah yang paling mungkin menyerang karena kita punya pertambangan yang kaya, juga hasil pertanian yang banyak, dengan tentara yang bisa dibilang tak ada.”

Tatapan Dyah pada Ki Seta seolah kini berkata ’nah, apa sudah kubilang!’

Namun perlahan Ki Seta meneruskan, ”Tapi kita juga harus yakin akan kekuatan Traktat, akan kekuatan magis Layang Kamasan, karena Dark Soul tidak akan begitu saja menyerang kita tanpa memperhitungkan Layang.”

Perlahan Dyah menunduk. ”Kalau melihat pola agresifitas Morion ...” ia nampaknya tidak berani menyebut namanya, tapi kemudian dicobanya juga, ”pola agresifitas D-Dark Soul, kukira ia akan mencobanya, Ki Seta. Itu yang aku takutkan,” suaranya melemah.

”Yang Mulia, kita harus percaya akan kekuatan Layang Kamasan. Dulu delapan negara besar membuat Layang itu dengan sihir masing-masing yang terkuat, dan kalau sihir-sihir yang terkuat digabung, maka hasilnya akan sangat kuat. Delapan tongkat masing-masing memang kuat,tapi kalau digabungkan akan menghasilkan kekuatan yang maha besar, yang bahkan tidak akan bisa dikalahkan oleh satu kekuatan saja. Lagi pula, Layang ini sudah berusia beratus tahun, sihir yang sudah digabungkan beratus tahun akan terus bertumbuh, menjadi semakin kuat setiaptahunnya.” Nada suaranya sangat meyakinkan.

Dyah menarik napas panjang. ”Aku tak tahu, Ki Seta. Teorinya memang begitu. Seandainya memang begitu. Seandainya.”

Dyah berdiri lagi, menggulung petanya, dan berjalan ke gedung utama Kriya. Ki Seta mengikutinya, tak berbicara.

Dyah tak melihat pandangan mata menerawang Ki Seta. Dyah tidak mendengar apa kata hati Ki Seta. Ki Seta sebenarnya sangat takut itu akan terjadi. Jika Dark Soul memang benar-benar akan menyerang Sumekar, berarti dia sudah sangat kuat sehingga berani menentang delapan kekuatan yang ada dalam Layang. Kalau dia memang benar sudah sangat kuat, bagaimanakah melawannya?

Ki Seta memandang ke atas, ke langit biru cerah tak berawan, matahari bersinar sangat terik. Dipandangnya sepuas-puasnya.

Karena jika Dark Soul bisa sampai menancapkan kukunya di sini, maka yang ada hanyalah kesuraman. Kegelapan. Bayang-bayang menjelangkah? Ki Seta menggelengkan kepala.

Dan mengikuti langkah Ratu-nya menuju gedung utama Kriya.

Di Kriya Dyah seperti hanya menjalankan kewajibannya sebagai Ratu. Biasanya dia menunjukkan antusias yang tinggi saat melihat hasil-hasil kerajinan di sana, bahkan sampai harus diingatkan akan waktu, bahwa dia masih punya kewajiban di tempat lain.

Sekarang tidak.

Sekarang seperti hanya menjalankan kewajiban saja, melihat hasil-hasil yang biasa, melihat hasil yang istimewa juga sambil memberikan komentar sekedar agar pembuatnya tidak kecewa.

Di Gedung Utama Kriya sebentar saja, kemudian Dyah mengusulkan agar ke pelatihan Bala. Ki Seta tahu apa yang sedang dipikirkan ratunya, mengikutinya tanpa banyak cakap.

Tidak biasanya Dyah berkunjung ke Pelatihan di luar jadwal. Biasanya yang menjadi fokus utamanya Kriya dan Perkebunan berikut ruangan percobaan ramuan-ramuan. Itu yang menjadi perhatian utamanya. Sejak dia masih berstatus puteri, itulah yang menjadi kesukaannya. Hal lain tidak diperhatikannya.

Tapi sejak ia menjadi Ratu, baru sadar ia. Bahwa ada banyak yang harus ia perhatikan, bukan hanya hal-hal yang menyenangkan dirinya saja, tetapi juga hal-hal yang tidak dia sukai, hal-hal yang menakutkan, hal-hal yang biasanya tidak dia pikirkan. Hal-hal yang –saat ayah masih ada—ia pikir memang sudah semestinya seperti begitu.

Ternyata tidak demikian.

Ayah ternyata memikirkan segalanya saat ia masih berkuasa. Ayah nampak sebagai orang yang bahagia, tapi ternyata segala hal ia urus dan atur agar rakyatnya bahagia. Dan itu hanya di negara kecil begini, bagaimana dengan raja di negara-negara besar ya? Memang pasti ada bawahan-bawahannya, tapi kan raja juga tidak bisa lepas tangan begitu saja.

Dyah bersama dengan Ki Seta mendatangi Pelatihan. Setiap anak yang sudah menginjak usia enam belas tahun, laki-laki maupun perempuan, wajib mengikuti Pelatihan. Dimulai dengan pelajaran teori selama seminggu, lalu pelatihan berbagai alat dan berbagai medan selama seminggu juga, lalu pelatihnya akan melihat alat apa yang disukainya atau paling dikuasainya, dan semingu yang terakhir akan diisi dengan latihan dengan alat itu. Setelah itu, alat itu boleh dibawa pulang. Ada yang membawa pulang pedang, ada panah, tombak, tapi ada juga yang dilihat oleh pelatihnya sebagai cerdas dalam strategi, maka dia bisa saja tidak membawa pulang senjata tetapi berjilid-jilid buku strategi.

Tetapi yang namanya negara damai, bisa dibilang sudah berabad-abad tidak pernah perang, maka senjata-senjata perang itu dibawa pulang oleh anak-anak yang lulus Pelatihan, disimpan di langit-langit rumah, dan dilupakan begitu saja.

Hari ini Dyah memperhatikan jalannya Pelatihan dengan seksama. Memang latihannya bagus, bermutu, tapi sekali lagi ini negara damai, sehingga segala materi seperti mengawang begitu saja. Bagaimana menjelaskan mengenai menghindari ranjau jika tak terbayangkan ranjau itu untuk apa kegunaannya? Jangankan peserta latih, pelatihnya saja hanya mengenal benda-benda perang itu dalam gambar. Selain itu, pedang, panah, tombak, dan lain-lain, tak terbayangkan untuk apa kegunaannya. Karena apa yang diajarkan adalah, melukai musuh, bahkan membunuh musuh, mengetahui strategi musuh lalu menghalangi jalannya, itu semua untuk apa? Sumekar tidak pernah punya musuh. Makanya, paling-paling tombak yang dibawa pulang bisa berguna untuk menakuti-nakuti pencuri, itu juga kalau ada, atau bisa juga untuk menakut-nakuti rubah yang masuk ke halaman rumah.

Kurang etos perang, pikir Dyah, karena mereka memang bukan negara militer. Negara mereka memang negara penyembuh, lebih banyak tabib di seluruh negara. Negara mereka memang negara perajin, lebih banyak pekerja tambang dan pekerja kriya di seluruh negara, dibandingkan dengan mereka yang memilih karir sebagai penjaga keamanan.

Dyah menghela napas. ”Pelatihan ini selesai saat makan siang, kan?”

”Benar, Yang Mulia,” sahut seorang pelatihnya.

”Jam dua, seluruh pelatih utama menghadap di istana,” katanya tegas.

”Daulat, Tuanku!” semua menyembah, sambil diam-diam saling melirik dengan heran.

“Tak akan ada apa-apa,” sahutnya mengubah nada, mereka mungkin saja heran karena ketegasannya. Tuan Puteri biasanya dikenal lemah lembut, tidak tegas keras seperti ini. ”Hanya pertemuan pertama setelah aku naik tahta.”

Wajah mereka tidak sepucat tadi. Dyah tersenyum, ”Kembalilah berlatih.” Dan ia juga berbalik kembali ke istana.

Ki Seta mengikuti tanpa suara. Dyah juga diam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Setibanya di istana ia langsung ke laboratorium, tempat para tabib sedang membuat ramuan.

Ia menyaksikan mereka bekerja, lalu memeriksa persediaan ramuan yang ada di lemari-lemari. Ia lalu mendekati Tabib Kepala yang sedang mengaduk suatu ramuan, bau yang sedap menguar dari kuali gerabah itu.

”Tabib Kepala, sedang membuat apa?”

“Yang Mulia, ini untuk mengurangi demam. Biasanya anak-anak suka mengeluh kalau mereka diberi kompres yang berbau, menggunakan ini mudah-mudahan mereka menjadi tidak rewel lagi kalau sedang sakit.”

“Mengurangi kerewelan anak-anak yang sedang sakit sama saja dengan menyembuhkan setengah penyakitnya,” Dyah berseri-seri, “Tabib Kepala, aku juga akan menghargai jika anda semua yang di sini lebih berkonsentrasi pada ramuan penyembuh daripada ramuan kosmetika. Ramuan kosmetika memang bagus, tapi untuk saat ini aku akan lebih menghargai ramuan penyembuh.”

”Daulat, Tuanku,” sahut mereka serempak.

”Tabib Kepala, aku juga mengundangmu untuk pertemuan jam dua nanti, bersama dengan para Pelatih.”

Tabib Kepala mengangguk, memberi sembah tanda mengerti.

Keluar dari laboratorium. Nini Saroja sudah nampak dari kejauhan. Ki Seta tersenyum. ”Yang Mulia, nampaknya kalau Nini Saroja sudah mendekat, Yang Mulia juga tidak bisa mengelak lagi.”

Dyah mau tak mau tersenyum juga. “Nampaknya yang paling berkuasa justru adalah Nini Saroja ya, semua tunduk di bawah perintahnya. Kalau tidak menuruti jadwalnya, maka kau akan terancam masuk angin.”

Ki Seta terkekeh. Nini Saroja mendekat, ”Yang Mulia, makan siang sudah siap.”

”Terima kasih, Nini Saroja,” Dyah menahan tawanya, dan mengedip pada Ki Seta.

Tapi sambil berjalan ke ruang makan, Dyah merasa semua yang ada di depannya bergoyang, terlihat kabur, dan lenyap. Gelap.

Yang terdengar hanyalah jangkrik yang berderik. Sunyi. Hening.

~0~0~0~0~0~0

Wordcount: 2.654
Akumulasi: 39.237 (MS Word) 39.212 (NaNoValidator)
Target: 36.667

0 Comments:

Post a Comment

<< Home