Hari Keduapuluhsatu
Ujian semester sudah lewat. Selama itu Avis berhasil menutup kabar tentang Yudha rapat-rapat. Selesai ujian baru Alen mengetahuinya, saat ia berencana mengajak doule date, nonton.
“Aku enggak jalan sama Yudha lagi, Len,” sahut Avis saat Alen mencari-cari Yudha.
”Kamu putus?” tanya Alen penuh selidik.
”Bukan putus Len, kami memang belum pernah jadian,” sahut Alen pendek.
”Avis, memangnya ada apa? Kalian kelihatannya matching banget,” Alen menyayangkan.
Avis cuma mengangkat bahu sambil menggeleng. “Nggak ada apa-apa kok, Len. Kami memang nggak cocok aja untuk jadian, sahut Avis ringan, atau tepatnya berusaha terliat ringan. ”Aku ke perpus dulu ya?” tanpa menunggu jawaban Avis berlalu.
Entah apakah mereka memang sibuk, atau Yudha memang menghindar, selama saat ujian dan sesudahnya, Avis sama sekali tidak bertemu dengan Yudha. Mami dan Bik Niah sekali-dua kali bertanya, tapi karena Avis menjawab pendek dan dingin, mereka pun mafhum.
Aa datang sendiri –teh Alia sudah positif, dan belum aman dibawa jauh-jauh ke Bandung—dan seperti hendak bertanya tentang Yudha, tapi sebeum sempat bertanya, terlihat olehnya raut wajah Avis.
”Jadi, kau sudah memutuskan?” tanyanya langsung. Avis mengangguk. Aa tidak bicara lagi tentang itu, dan mengajaknya sekali lagi ke Hambalang.
Avis menggeleng. ”Lagi persiapan tesis,” katanya pendek.
”Ya udah. Tapi jangan memaksa diri. Kalau perlu menghilangkan stress, ke sana aja ya?”
Avis mengangguk. Dan tidak ada pembicaraan lagi tentang Yudha. Pembicaraan beralih pada kehamilan teh Alia.
”Aa-mu itu beruntung sekali,” sahut Mami, ”hidup di tengah alam yang masih asri, jauh dari polusi, kadar timbal yang tinggi, dan apapun itu sejenisnya,” ujar Mami bersemangat. ”Pertama kali ke dokter dulu. Di Bogor saja, nggak usah jauh-jauh ke Bandung. Nanti Mami tanyain nama dokter spesialis kandungan langganan tante Lidya,” Mami sudah hendak akan memutar nomer telepon oom Narto, ”trus nanti kalau dokter udah bilang normal, cari bidan deket lokasi, blablabla...” dan Mami pun meluncurkan segunung nasihat.
”Ya udah. Mami ke lokasi aja, yuk! Sekarang Aa mau ke Ayah,” katanya, Ayah adalah panggilan untuk ayahnya teh Alia, ”katanya Ibu juga mau ke lokasi. Barengan aja!”
”Euh ... gimana?” Mami bingung bercampur senang, ”Avis baturan Mami atuh?”
“Yee, Mami. Sok issssin-isssssin,” Avis meledek Mami, “Sana pergi sama Ayah sama Ibu nengok teh Alia. Avis kan lagi ngebut bikin tesis, biar bisa seminar bulan depan. Mudah-mudahan pas bayi lahir nanti, Avis udah lulus, ya kan Aa?”
Jadi akhirnya Mami berangkat dengan Ayah dan Ibu.
“Kamu beneran mau tinggal?” tanya Aa.
“Iya bener. Mami aja yang pergi. Salam buat teteh, cipika-cipiki! Salam buat pak Praja dan pak Hadi!” sahut Avis mendorong Mami naik ke mobil.
“Yang satu lagi nggak disalamin?” wajah Aa terlihat sangat jahil.
“Siapa?” Avis nggak ngeh.
“Pak Nata? O iya, Ade manggilnya Nata ya, nggak pakai ‘pak’,” dan Aa melarikan diri dari kejaran cubitan yang mematikan.
”Pak Nata teh saha, A?” Ibu yang duduk di sebelah Mami bertanya heran. Karena teh Alia juga sama-sama anak cikal, maka Ayah dan Ibu memanggil Ardi dengan Aa, sama dengan anaknya.
“Itu, Bu, adiknya pak Praja, bos Aa,” sahut Ardi yang sudah berhasil menghindar dari ancaman kematian, dan duduk di belakang kemudi dengan kematian.
“Masih muda?”
“Masih muda, Bu,”
“Cakep?” Mami ikut-ikutan bertanya.
“Yah, kalau cakep sih relatif, tapi dia orangnya diem. Sama orang lain biasanya jarang ngomong, itu yang udah kenal, apalagi sama orang baru, biasanya nggak pernah ngomong, Tapi sama Avis, ngobrol terus!”
Avis manyun.
“Wah, kalau begitu anak Mami semua nanti tinggal di Hambalang, cuma Mami yang tinggal di kota, kumaha ieu teh?” Mami berlagak khawatir.
“Ya, nggak apa-apa toh, Bu Arman. Jadi orang lain mudik ke desa kalau Lebaran, anak kita mudiknya ke kota,” kekeh Ayah.
”Uuuh, si Aa nih ngerjain melulu,” Avis sudah mangkel, tapi di depan mertua-nya Aa terpaksa agak jaim deh.
Dan mobil pun melaju. Dan Avis pun kembali mengerjakan persiapan seminarnya. Dan hari-hari pun berlalu.
*****
Hari itu dia maju sidang tesisnya, dan ia agak gelisah. Bukan kenapa-kenapa, kemarin Ayah dan Ibu-nya teh Alia sudah berangkat ke Hambalang bersama Mami lagi untuk menengok teh Alia. Nginep. Karena Aa sudah menelepon, nampaknya teh Alia akan melahirkan setiap saat.
Dan tadi subuh ada yang menelepon. Nomer ponsel, buka nomer telepon fixed. Dan subuh-subuh biasanya berita penting. Maka males-males juga diangkatnya ponselnya.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikum salam. Avis? Saya Nata ...”
Avis langsung terduduk. Nata? Ada apa dengan Aa? Dengan Mami? Dengan teh Alia dan kedua orangtuanya?
“Aduh, bikin kaget saja. Ada ap..”
”Bu Alia sudah melahirkan, barusan.”
”Alhamdulillah. Laki-laki perempuan?”
”Laki-laki. Sehat. Tiga koma satu kilo, empat puluh sembilan senti,” laporan lengkapnya.
”Wow,” cuma itu yang bisa diucapkannya.
”Lalu, kau mau ke sini? Sekarang?”
Avis terdiam. Hari ini sebenarnya dia maju sidang tesis, dan Mami sebenarnya nggak mau ninggalin dia sendirian, tapi karena dia menjamin semuanya akan baik-baik saja, lagian momen sidang dia udah pernah waktu S1 dulu sedang momen teh Alia baru kali ini, maka Mami dengan was-was berangkat juga.
”Er, nggak tau juga, Nata. Hari ini aku mau maju sidang ...”
”Iya, aku juga tau. Pak Ardi yang bilang. Sesudah sidang?”
Ya ampun. Hari ini juga? Avis bingung. Sidang biasanya selesai jam dua, beres-beres paling sampai jam tiga, pulang ke rumah dulu, paling cepat di baru bisa pergi jam empat sore. Jam empat sore, jam berapa dia sampai di Hambalang?
”Sesudah sidang?” ulangnya ragu, ”emm ... sekitar .. jam empat aku baru pergi, dan nyampenya mungkin udah magrib...”
”Aku jemput kamu?”
”Jemput?” Avis serasa kehilangan kata-kata. Sudah mah tadi malam tidurnya larut, bangun kaget subuh-subuh pula.
”Iya. Jemput. Tadi bu Arman nitip beberapa hal yang harus dibawa dari rumah, bu Mukhtar juga ada beberapa barang yang harus diambil dari rumahnya, jadi sekalian saja aku jemput kamu. Ya?”
”Kamu di mana?”
”Di lokasi.”
”Er ..”
Avis benar-benar kehabisan kata.
”OK. Aku anggap itu sebagai persetujuan. Aku berangkat dari sini jam sembilan, ke rumah bu Mukhtar dulu, terus ke kampus kamu, terus ke rumah kamu dulu, baru balik ke lokasi. Kamu ujian di gedung mana?”
”Gedung D lantai tiga,” tanpa sadar Avis memberikan nama tempatnya, dan itu berarti dia menyetujui rencana Nata?
”OK. Selamat sidang, ya, semoga sukses!” dan ponselnya ditutup.
Avis terdiam beberapa lama sebelum akhirnya tersadar, bergegas membereskan beberapa potong pakaian ke dalam ransel, dan menyimpannya di ruang tengah, lalu berjalan ke dapur menemui Bik Niah.
”Bik, teh Alia sudah melahirkan!”
”Aduh eneng! Alhamdulillah. Bagja temen! Istri pameget? Eneng bade ka ditu?”
“Lalaki, tilu kilo. Abdi ka kampus heula, engke bade dijemput ku rerencangan Aa. Bibi tunggu bumi nya?”
”Mangga. Da bibi mah biasana ge tunggu bumi. Sing atos-atos we,” sahut Bik Niah. Perempuan tua itu mengusap kedua mata dengan ujung kebayanya.
Avis bergegas mandi, hampir tidak sarapan kalau tidak dipaksa oleh Bik Niah. Dan untung saja ia sarapan. Di kampus ia bisa saja pingsan kalau tidak sarapan, begitu tegang perasaannya. Dulu waktu sidang S1 enggak begini.
Tapi ia baru sadar, waktu S1 dulu, tidak ada peristiwa apa pun yang menyertai. Kalau sekarang, selain dari teh Alia sudah melahirkan, habis sidang ia akan dijemput Nata?
Semua yang sudah dihapal, kata-kata untuk presentasi, data untuk pembuktian pada para dosen pembimbing, seakan lenyap begitu saja. Ia seperti tidak merasa apa-apa saat ia dipanggil, masuk ruangan, memaparkan penelitian, menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan menunggu hasil di ruangan dekan.
Sambil menunggu hasil dua rekan lain, ia melayangkan pandangan ke jendela luar. Rekan-rekannya yang masih belum akan selesai musim wisuda sekarang, melambai-lambaikan tangannya di luar. Ia melambai-lambai juga membalas. Alen juga ada, aduh tuh anak, kapan mau lulus? Mentang-mentang sudah punya calon suami –keluarga Tio sudah melamarnya bulan lalu—Tio sudah lulus dan bekerja, dia kok malah jadi malas menyelesaikan kuliahnya?
Petugas jurusan masuk. Sepertinya hasil kedua rekan yang tadi sudah selesai dihitung, dan sebentar lagi pasti acara judisium. Benar saja. Ibu Reni yang sedari tadi nampak paling sibuk, memberi isyarat padanya dan rekan-rekannya agar berdiri mendengarkan hasil judisium.
Dan sembari berdiri membereskan roknya, dilihatnya dengan ujung mata di jendela, ada sosok yang ia kenal. Dua malah.
Ada Yudha.
Dan ada Nata.
Keduanya tidak saling mengenal memang, tapi mengapa bisa datang bersamaan begitu? Yudha memakai kemeja putih tangan panjang dengan celana panjang hitam, sepertinya baru sidang juga?
Kenapa ... mesti bersamaan?
Rekan di sampingnya menyentuhnya perlahan, dan ia tersadar, mendengar samar-samar.
” ... dengan judisium Sangat Memuaskan.” Tepuk tangan. ”Dina Adiati, nomor pokok ...” dan dia menoleh-noleh mencuri-curi ke arah kedua laki-laki tadi. Mereka berdiri hampir berdampingan, tanpa saling mengetahui siapa yang ada di sisinya. Tepuk tangan lagi, dan selesai. Oke, jadi Sangat Memuaskan. Alhamdulillah.
Dia disalami oleh Dekan, oleh beberapa orang dosen yang ada, beberapa karyawan administratif, dan sesama peserta sidang. Lalu keluar dan berjalan pada mereka berdua. Pasang senyum, pastilah harus.
”Halo Yudha, halo Nata!” serunya riang yang seperti tidak dibuat-buat pada keduanya.
”Selamat Avis,” Nata mengulurkan tangannya terlebih dahulu. Yudha agak melongo melihat orang di sampingnya.
Lalu ia mengulurkan tangan juga memberi selamat, “Selamat Avis,” ujarnya, “dapat Sangat Memuaskan?”
Avis mengangguk, ”Kamu juga sidang hari ini? Sudah judisium?”
Yudha mengangguk. ”Sama,” katanya tanpa ditanya hasilnya.
”Oya, lupa, Yudha, ini rekan kerja Aa Ardi di Bogor, mau menjemputku, teh Alia melahirkan tadi subuh. Nata, ini Yudha, temanku, beda fakultas tapi ternyata sidangnya bareng ...”
Mereka berdua saling berpandangan sesaat sebelum mengulurkan kedua tangannya dan berkenalan.
”Ada yang harus dibereskan dulu?” tanya Nata, tapi memberikan isyarat bahwa mereka akan pergi bersama.
”Nggak. Paling hanya beres-beres barang di ruang ujian. Urus surat-surat nanti hari Senin, jam sekarang SBU udah tutup. Yudha bagaimana?” tanyanya sambil berjalan ke Ruang Ujian diikuti oleh keduanya.
”Sama, SBU baru buka lagi Senin, mending Senin saja beresin surat. Kamu sekarang langsung ke Bogor?” tanyanya agak kecewa.
Avis mengangguk. ”Kamu enggak pulang ke Jakarta dulu?”
Yudha menggeleng. ”Selesai urusan surat, baru pulang ke Jakarta. Keluar langsung dari tempat kost. Paling ke Bandung lagi nanti kalau wisuda, itu juga kalau nggak tabrakan dengan kerjaan,” tawanya sinis.
Ada yang menyayat hati Avis, tapi ia harus cepat-cepat menepisnya.
Barang-barangnya sudah beres, ia bersalaman dan berpelukan dengan rekan-rekannya, ada yang sudah lulus, ada yang belum, ada yang sepertinya entah kapan waktunya membikin tesis karena kerjaannya hanya luntang-lantung saja :P Cipika-cipiki dan dadah-dadah, selesai sudah.
Mereka keluar ke lapangan parkir, dan Yudha mengulurkan tangannya, ”OK, selamat sekali lagi, dan titip salam buat Aa, selamat atas kelahiran anaknya.”
Avis mengangguk. ”Makasih. Selamat juga buat kamu. Kita masih ketemu kan, Senin?”
”Mudah-mudahan sih.”
Avis naik ke mobil. ”Bye!”
Nata juga memberi isyarat dengan tangan.
Yudha melambaikan tangan.
Sudah agak jauh ketika Nata bertanya, “Cowoknya?”
Avis menggeleng. “Enggak. Temen biasa kok.”
“Jadi, cowoknya mana?”
Avis hanya tersenyum sambil menggeleng, malas menjawab.
Ponselnya berbunyi. SMS. Yudha.
‘Cowok yang ini bukan?’
Avis menggeleng. Yudha kok kepikiran begitu sih. Ia mengetikkan jawabannya.
”Nggak ada cowok yang mana-mana, Yud. Aku cuma belum mau saja. Dia cuma disuruh jemput sama Aa kok’
Sent.
Dan soal ponsel membuatnya terpikir sesuatu.
“Nata, tadi pagi itu dari lokasi ya?”
”Iya, kenapa?”
”Memangnya sudah ada sinyal?”
”Kan sekarang sudah ada di semua kecamatan di seluruh propinsi,” katanya mengulang iklan suatu provider kartu GSM.
Avis tertawa. ”Jadi itu nomermu, ya,” katanya dan mencari-cari nomer tadi pagi yang belum sempat di-save. ”Dapet nomerku dari mana?”
Dan ia langsung sadar akan kebodohannya saat Nata menjawab, tentu saja, ”Dari Pak Ardi.”
Avis langsung mesem. Dan men-save nomer itu dengan nama ’Nata’.
Mereka langsung ke rumah, Avis berganti baju, mengambilkan barang-barang yang dipesankan Mami, dan ia melongok sejenak ke dapur, “Bik, masak apa?”
”Itu sudah bibi sediakan di meja. Makan dulu, sama pak itu juga sekalian,” kata Bik Niah sambil membawa kobokan melengkapi meja.
Avis kembali ke ruang tengah, ”Nata, makan dulu yuk. Sudah disediakan sama bibi.”
Tanpa banyak bicara Nata berjalan mengikuti ke ruang makan, tersenyum sedikit pada Bik Niah, dan makan dalam diam.
Perjalanan ke Bogor juga sebagian besar dijalani dalam diam. Avis jadi kagok, dia harus bicara apa. Tidak begitu lama, tidak macet walau hari ini hari Sabtu, mobil sudah berbelok ke jalan yang ia sangat kenal walau ia baru sekali ke sana.
”Teh Alia melahirkannya di mana?” Avis bertanya, tak terbayang.
”Di rumah. Bidan desa dipanggil, tak lama terus lahir. Normal, tak ada faktor penyulit,” kata Nata sambil membelok ke kumpulan rumah, langsung ke rumah kecil rumah Ardi.
Sepertinya orang-orang ada di dalam rumah semua saat dia datang, karena saat mobil berhenti, keadaannya sunyi. Waktu ia masuk, baru terdengar hiruk pikuk Ayah berbincang dengan Aa, dan Mami bergosip dengan Ibu dan teh Alia, bahwa yang baru punya bayi itu harus begini, harus begitu, bayinya harus begitu harus begini.
”Eeeh, ini yang baru sidang! Gimana hasilnya?” Mami baru sadar kalau ada orang lain di ruangan. Semua menoleh padanya.
”Sudah selesai,” katanya dan menuju pada Ayah untuk mencium tangannya, ke Ibu juga, ke Mami juga, dan ditarik Aa untuk berbuat hal yang sama padanya tapi mereka kemudian jadi saling tarik-tarikan tangan.
”Dapet Sangat Memuaskan,” sahut Nata, sambil membawakan barang pesanan Ibu maupun pesanan Mami.
”Aah! Selamat!” semuanya berseru, terutama teh Alia, dari tempat tidur sambil menyusui bayinya.
”Makasih, makasih, tapi yag paling penting ya ini,” katanya dan memeluk teh Alia, cipiki-cipika, dan mencubit halus pipi bayi. ”Namanya siapa, Teh?”
”Yang sudah terpilih sih Lutfi. Mungkin nanti pakai Muhammad atau Ahmad, terserah pada bapak dan kakeknya yang sedang memusyawarahkannya dengan segala argumentasi,” sahut teh Alia sambil tertawa.
”Lutfi. Duh, teteh, kalau di Sunda sih ...”
”...pasti jadi Lutpi,” sambung tetehnya dan mereka berdua berderai tertawa. ”makanya, mungkin dipanggilnya nanti Upi. Biar sekalian.”
Mereka semua tertawa lagi. Upi. Upi. Upi... hihi, Avis seperti menyenandungkan nama itu.
”Oya,” Avis seperti baru ingat, ”Tadi ada Yudha, dia juga sidang hari ini. Dia titip salam buat Aa dan Teteh, selamat katanya.”
”Oh, dia udah sidang juga?” Mami sepertinya rada handeueul tidak jadi mendapat Yudha sebagai menantu, kalau dilihat dari raut wajahnya sih.
”Udah. Tadi,” Avis melirik sekilas pada Aa, dan pandangannya tajam ke arahnya. Cepat ia memalingkan wajah. ”Mami tidurnya di mana?”
”Oya,” Aa bergerak mengatur, “Avis tidur sama Mami di kamar darurat ini,” katanya menunjukkan ruang di sebelah lemari tinggi yang sekarang ditutup oleh kain tirai. Disibaknya hingga terlihat ada sebuah ranjang. ”Darurat, habis rumah sagede pelok kieu diserbu oleh pasukan dari Bandung,” tawanya.
Avis ikut tertawa sambil menjinjing ranselnya ke ‘kamarnya’. Masih di ‘kamar’ terdengar Nata pamit pada Ayah, Ibu, dan Mami.
”Sudah sore, saya pamit dulu,” katanya.
Avis bergegas keluar. “Makasih ya, Nata, sudah dijemput.”
Nata sepertinya berusaha agar tampak tersenyum, tapi Avis maklum, dan tersenyum juga padanya.
Lokasi itu sepertinya kecil, tapi sesore sampai sepertiga malam, rumah Ardi penuh oleh pengunjung, sudah barang tentu pak Praja, pak Hadi, staf-staf peneliti, staf administrasi pekerja yang baru pulang, beberapa pemetik teh yang sepertinya dikenal baik oleh teh Alia, bahkan bik Juju entah berapa kali bolak-balik dari Rumah Besar membawakan singkong rebus, kacang rebus, hui boled, dan entah apa lagi untuk susuguh.
Malam tiba, semua juga lelah, apalagi para orang tua yang menunggu dari tadi malam menjelang subuh. Avis sedang berganti dengan piama, sementara Mami sudah terbaring di kasur.
“Vis, Nata itu juga boleh kok,” Mami tiba-tiba nyeletuk.
“Idih, si Mami teh. Udah Aa, sekarang Mami, semua meni sibuk menjodoh-jodohkan Avis.”
”Ya, abis Avis umurnya udah cukup, gelar sampai udah S2, pekerjaan mah nggak usah dicari, di sini juga nanti ada geura.”
”Ah, Mami mah. Udah, ah, Avis ngantuk!” dan ditenggelamkan dirinya di bantal. Sejenak masih didengarnya napas Mami di sebelahnya, tapi sedetik kemudian ia merasa seperti tidur sendirian. Tak ada siapapun di sebelahnya.
Ia terbangun.
Ia memang sendirian di ranjang.
Tidak sebagai Avis. Tapi Dyah. Dan waktunya sudah pagi, waktu bangun.
Ia bangun malas-malasan, tetapi kemudian ia seperti teringat sesuatu, dan cepat-cepat ia ke kamar mandi. Air mandi sudah disiapkan nampaknya, hangat dan wangi. Ia mandi cepat-cepat, sebagai ratu ia bisa saja berlama-lama menikmati, tapi kalau ia ingat kewajiban ...
Kembali lagi ke kamar, seorang dayang sudah menanti. ”Yang Mulia, mau sarapan di mana?”
”Di Taman Dalam saja, kalau bisa sekalian panggilkan Ki Seta,” sahutnya. Ia seperti merasa harus cepat-cepat mempelajari semua ilmu yang harus dikuasai seorang Ratu, semakin banyak ia belajar, semakin banyak pula rasanya yang harus ia kuasai.
Untung saja negaranya kecil dan ia tidak harus selalu memakai atribut yang aneh-aneh. Ada negara yang ia pernah lihat, Raja dan Ratunya harus selalu berpakaian kenegaraan lengkap kalau keluar dari kamar, lengkap dengan busana yang superberat dan pasti superpanas, dengan dandanan rambut Ratunya yang mengerikan, plus mahkota yang guede… Untung saja ia bukan Ratu di sana, karena di sini ia cukup pakai baju biasa saja.
Ia selesai berpakaian dan pergi ke Taman Dalam. Ki Seta nampak sudah ada di sana. Seorang dayang menghidangkan semangkuk bubur di hadapan masing-masing mereka, menuangkan air, lalu ia mohon diri. Tinggal mereka berdua. Dyah mempersilakan Ki Seta makan dan ia pun mulai menyuap.
Awalnya mereka berdua terdiam menghabiskan hidangan. Setelah meneguk air, Dyah langsung bertanya, “Hari ini, Ki Seta?”
”Hari ini mungkin kita bicara tentang negara-negara? Morion misalnya?”
Dyah mengangguk. Ki Seta mengeluarkan peta di sampingnya, dibukanya gulungannya.
”Morion adanya di bagian Barat,” ia menunjukkan sebuah wilayah yang nampaknya luas sekali. ”Dulu asalnya hanya di bagian ini,” Ki Seta menunjuk sudut kecil di utara, ”sekarang menjadi seluas begini. Ada memang negara-negara satelit yang menyerahkan diri ke dalam perlindungannya,” Ki Seta menunjuk beberapa wilayah, ”tapi sebagian besar jatuh ke dalam kekuasaannya melalui peperangan. Aneksasi,” Ki Seta bersungguh-sungguh.
”Andai tidak ada traktat itu, kita juga harus waspada padanya, karena negara ini sangat agresif. Negara terakhir yang sedang diperanginya adalah Khudzul, negara tetangga kita, dan kukira sebentar lagi juga sudah akan jatuh.”
Sekarang Ki Seta wajahnya keras, dan menuntut agar Dyah serius mendengarkannya.
”Yang Mulia, dan ini terjadi walau Morion tidak punya pemimpin. Morion sudah lama tidak dipimpin oleh seorang raja. Morion hanya diperintah oleh seregu Dewan, yang dipimpin oleh seorang Resi yang dulunya adalah Penasihat Spiritual Raja.”
”Mengapa, apakah Raja tidak meninggalkan keturunan?”
”Dulu Ratu pernah melahirkan seorang anak, lalu meninggal sesaat setelah dilahirkan. Walau ada desas-desus bahwa anak itu dikutuk oleh Penasihat Spiritualnya, menjadi monster dan dibuang entah ke mana, tapi berita resminya sih, Raja tidak punya keturunan lain. Ratu meninggal setelah melahirkan, Raja tidak menikah lagi, dan beberapa tahun yang lalu ia meninggal. Ia tidak punya saudara, sehingga kekuasaan akhirnya jatuh pada seregu Dewan Penasihat Negara, yang praktisnya sih dikuasai oleh Penasihat Spiritualnya.”
”Penasihat Spiritual, seperti Ki Seta terhadap saya, Ki?”
Ki Seta mengangguk sambil tersenyum.
“Nampaknya negara ini mengerikan ya, Ki Seta?”
”Ya, sepintas memang mengerikan. Sepertinya negara ini hanya mementingkan penguasaan wilayah sebesar-besarnya. Dan akhirnya membuat rakyat menderita, mereka dipaksa membayar pajak yang besar untuk membuat militer yang kuat, lalu militer yang kuat digunakan untuk penaklukan, rakyat di daerah penaklukan harus membayar pajak yang besar lagi, untuk membiayai militer yang kuat lagi, dan seterusnya seperti lingkaran yang tak berujung.
”Tidak seperti negara kita di mana malah rakyat digratiskan segalanya, pendidikan, kesehatan ...” Dyah nampak melamun.
Ki Seta mengangguk. ”Bersyukurlah, Yang Mulia, bahwa negara kita ini dikaruniai melimpah oleh-Nya, dan dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang bekerja untuk rakyat, bukan rakyat yang dipaksa bekerja untuk pemimpin.”
Dyah terdiam. ”Sebenarnya, adakah wilayah yang akan mengadakan pemberontakan pada Morion?”
”Oh, banyak. Negara Mahesa, tadinya memberontak. Belum lagi negara-negara kecil lainnya, tapi entah selalu ada kekuatan yang bisa menahan mereka. Bukan hanya pasukan fisik, tapi kukira kekuatan sihir juga berperan di sini.”
”Ki Seta,” Dyah berkata pelan tapi nada suaranya seperti penuh ketakutan, ”kalau terjadi sesuatu di negara kita, apakah Ki Seta bisa menahannya dengan kekuatan sihir?”
”Hamba akan berusaha menahannya, Yang Mulia, dan sudah barang tentu mereka yang termasuk ke dalam Penyihir Negara akan membantu.” Ia melihat raut wajah Ratu-nya dan bertanya, ”Maafkan hamba, Yang Mulia, tapi apakah ada ketakutan akan diserang oleh Morion? Bukankah diadem itu terasa ringan pada Yang Mulia saat pelantikan kemarin?”
”Diadem yang terasa ringan itu bukan berarti tidak ada masalah, Ki Seta, kau sendiri yang mengatakan, tetapi bahwa aku akan berhasil mengatasi masalah, itu kan artinya?”
Ki Seta mengangguk dalam-dalam, sambil mengembuskan napas panjang. Ia sendiri takut mengatakan pada Ratunya, tetapi ia memang melihat ada noda-noda hitam akan menghiasi sejarah negara ini. Ia selalu berdoa pada Hyang Esa agar noda-noda itu tidak terjadi sekarang, tapi siapa yang tahu?
”Sudahlah, Ki Seta. Sekarang jadwal kita ke Kriya, bukan?”
Ki Seta mengangguk. Dyah berdiri. Tapi sekelilingnya bergoyang, dan ia perlahan terbangun. Terbangun sebagai Avis.
Alarm ponselnya berbunyi. Setengah lima.
Mami juga sudah bangun, sudah keluar dari kamar mandi nampaknya, karena sedang memegang mukenanya.
Ia cepat-cepat ke kamar mandi, shalat, dan membuka ranselnya. Berganti pakaian dan mengeluarkan teropongnya.
“Mau ke mana, Avis?”
“Mau lihat elang,” sahut Avis pelan, sepertinya kamar yang lain masih tenang.
”Ya ampun. Kamu ini nggak melewatkan kesempatan,”Mami menggeleng-gelengkan kepala.
”Maunya sih kemarin juga melihat elang, tapi sampai sini udah gelap, nggak akan kelihatan lagi. Lagian elangnya juga pasti udah bobo,” sahutnya manja. Diciumnya kedua pipi Mami, ”Bilangin Avis ke atas ya, Aa pasti tau. Dah!”dan ia berlari berjingkat-jingkat melintasi lantai kayu, membuka pintu.
Sekarang peralatannya lengkap. Teropong, senter, topi dengan penutup punuk. Bisa melihat elang sampai tengah hari kalau ia mau. Ia berjalan hati-hati, sudah lebih setahun ia melewati jalan-jalan ini, tapi semua masih tetap sama.
Sampai di atas, ada seseorang yang sedang meneropong. Tanpa melepas pandangannya dari sarang elang, ia menyapa, “Kukira kau tidak akan ke sini.”
Avis tidak menjawab, hanya duduk bersila disamping Nata, dan mulai meneropong.
“Sekarang anaknya sudah bisa terbang. Dia sudah mulai disapih. Kaya’nya dia mulai disuruh mencari sarang lain sendiri,” sahutnya menerangkan.
Memang, elang yang muda itu seperti yang sudah diusir-usir dari sarangnya.
”Kenapa ekornya panjang yang muda ya?” Avis bertanya.
”Sayapnya juga rentangannya lebih panjang yang muda,” Nata menerangkan, “dia masih membutuhkan keseimbangan dari alat bantu, sayapnya dan ekornya. Kalau sudah seimbang, bulu-bulu ekor dan sayapnya akan jatuh berganti yang lebih pendek.”
Avis mengangguk dan meneruskan meneropong. Cahaya mulai menerangi, naik perlahan-lahan.
”Kau masih akan di sini?” tanya Nata. Avis menurunkan teropongnya, dan melihat Nata sedang menatapnya.
”Mungkin. Nata mau bekerja sekarang?”
Nata mengangguk. ”Jalannya masih hapal kan? Jangan terlalu siang, nanti kepanasan.”
Avis menunjukkan topinya. Nata menyeringai, tapi, ”Jangan terlalu bergantung pada topi. Kalau sudah panas, turun saja. Kau masih bisa melihat lain hari.”
Avis mengangguk.
~0~0~0~0~0
Wordcount: 3.261
Akumulasi: 36.583 (MSWord) 36.559 (NaNoValidator)
Target: 35.000
Whups! Jauh melebihi target! Hihi .. lagi enak ngetik ..
“Aku enggak jalan sama Yudha lagi, Len,” sahut Avis saat Alen mencari-cari Yudha.
”Kamu putus?” tanya Alen penuh selidik.
”Bukan putus Len, kami memang belum pernah jadian,” sahut Alen pendek.
”Avis, memangnya ada apa? Kalian kelihatannya matching banget,” Alen menyayangkan.
Avis cuma mengangkat bahu sambil menggeleng. “Nggak ada apa-apa kok, Len. Kami memang nggak cocok aja untuk jadian, sahut Avis ringan, atau tepatnya berusaha terliat ringan. ”Aku ke perpus dulu ya?” tanpa menunggu jawaban Avis berlalu.
Entah apakah mereka memang sibuk, atau Yudha memang menghindar, selama saat ujian dan sesudahnya, Avis sama sekali tidak bertemu dengan Yudha. Mami dan Bik Niah sekali-dua kali bertanya, tapi karena Avis menjawab pendek dan dingin, mereka pun mafhum.
Aa datang sendiri –teh Alia sudah positif, dan belum aman dibawa jauh-jauh ke Bandung—dan seperti hendak bertanya tentang Yudha, tapi sebeum sempat bertanya, terlihat olehnya raut wajah Avis.
”Jadi, kau sudah memutuskan?” tanyanya langsung. Avis mengangguk. Aa tidak bicara lagi tentang itu, dan mengajaknya sekali lagi ke Hambalang.
Avis menggeleng. ”Lagi persiapan tesis,” katanya pendek.
”Ya udah. Tapi jangan memaksa diri. Kalau perlu menghilangkan stress, ke sana aja ya?”
Avis mengangguk. Dan tidak ada pembicaraan lagi tentang Yudha. Pembicaraan beralih pada kehamilan teh Alia.
”Aa-mu itu beruntung sekali,” sahut Mami, ”hidup di tengah alam yang masih asri, jauh dari polusi, kadar timbal yang tinggi, dan apapun itu sejenisnya,” ujar Mami bersemangat. ”Pertama kali ke dokter dulu. Di Bogor saja, nggak usah jauh-jauh ke Bandung. Nanti Mami tanyain nama dokter spesialis kandungan langganan tante Lidya,” Mami sudah hendak akan memutar nomer telepon oom Narto, ”trus nanti kalau dokter udah bilang normal, cari bidan deket lokasi, blablabla...” dan Mami pun meluncurkan segunung nasihat.
”Ya udah. Mami ke lokasi aja, yuk! Sekarang Aa mau ke Ayah,” katanya, Ayah adalah panggilan untuk ayahnya teh Alia, ”katanya Ibu juga mau ke lokasi. Barengan aja!”
”Euh ... gimana?” Mami bingung bercampur senang, ”Avis baturan Mami atuh?”
“Yee, Mami. Sok issssin-isssssin,” Avis meledek Mami, “Sana pergi sama Ayah sama Ibu nengok teh Alia. Avis kan lagi ngebut bikin tesis, biar bisa seminar bulan depan. Mudah-mudahan pas bayi lahir nanti, Avis udah lulus, ya kan Aa?”
Jadi akhirnya Mami berangkat dengan Ayah dan Ibu.
“Kamu beneran mau tinggal?” tanya Aa.
“Iya bener. Mami aja yang pergi. Salam buat teteh, cipika-cipiki! Salam buat pak Praja dan pak Hadi!” sahut Avis mendorong Mami naik ke mobil.
“Yang satu lagi nggak disalamin?” wajah Aa terlihat sangat jahil.
“Siapa?” Avis nggak ngeh.
“Pak Nata? O iya, Ade manggilnya Nata ya, nggak pakai ‘pak’,” dan Aa melarikan diri dari kejaran cubitan yang mematikan.
”Pak Nata teh saha, A?” Ibu yang duduk di sebelah Mami bertanya heran. Karena teh Alia juga sama-sama anak cikal, maka Ayah dan Ibu memanggil Ardi dengan Aa, sama dengan anaknya.
“Itu, Bu, adiknya pak Praja, bos Aa,” sahut Ardi yang sudah berhasil menghindar dari ancaman kematian, dan duduk di belakang kemudi dengan kematian.
“Masih muda?”
“Masih muda, Bu,”
“Cakep?” Mami ikut-ikutan bertanya.
“Yah, kalau cakep sih relatif, tapi dia orangnya diem. Sama orang lain biasanya jarang ngomong, itu yang udah kenal, apalagi sama orang baru, biasanya nggak pernah ngomong, Tapi sama Avis, ngobrol terus!”
Avis manyun.
“Wah, kalau begitu anak Mami semua nanti tinggal di Hambalang, cuma Mami yang tinggal di kota, kumaha ieu teh?” Mami berlagak khawatir.
“Ya, nggak apa-apa toh, Bu Arman. Jadi orang lain mudik ke desa kalau Lebaran, anak kita mudiknya ke kota,” kekeh Ayah.
”Uuuh, si Aa nih ngerjain melulu,” Avis sudah mangkel, tapi di depan mertua-nya Aa terpaksa agak jaim deh.
Dan mobil pun melaju. Dan Avis pun kembali mengerjakan persiapan seminarnya. Dan hari-hari pun berlalu.
*****
Hari itu dia maju sidang tesisnya, dan ia agak gelisah. Bukan kenapa-kenapa, kemarin Ayah dan Ibu-nya teh Alia sudah berangkat ke Hambalang bersama Mami lagi untuk menengok teh Alia. Nginep. Karena Aa sudah menelepon, nampaknya teh Alia akan melahirkan setiap saat.
Dan tadi subuh ada yang menelepon. Nomer ponsel, buka nomer telepon fixed. Dan subuh-subuh biasanya berita penting. Maka males-males juga diangkatnya ponselnya.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikum salam. Avis? Saya Nata ...”
Avis langsung terduduk. Nata? Ada apa dengan Aa? Dengan Mami? Dengan teh Alia dan kedua orangtuanya?
“Aduh, bikin kaget saja. Ada ap..”
”Bu Alia sudah melahirkan, barusan.”
”Alhamdulillah. Laki-laki perempuan?”
”Laki-laki. Sehat. Tiga koma satu kilo, empat puluh sembilan senti,” laporan lengkapnya.
”Wow,” cuma itu yang bisa diucapkannya.
”Lalu, kau mau ke sini? Sekarang?”
Avis terdiam. Hari ini sebenarnya dia maju sidang tesis, dan Mami sebenarnya nggak mau ninggalin dia sendirian, tapi karena dia menjamin semuanya akan baik-baik saja, lagian momen sidang dia udah pernah waktu S1 dulu sedang momen teh Alia baru kali ini, maka Mami dengan was-was berangkat juga.
”Er, nggak tau juga, Nata. Hari ini aku mau maju sidang ...”
”Iya, aku juga tau. Pak Ardi yang bilang. Sesudah sidang?”
Ya ampun. Hari ini juga? Avis bingung. Sidang biasanya selesai jam dua, beres-beres paling sampai jam tiga, pulang ke rumah dulu, paling cepat di baru bisa pergi jam empat sore. Jam empat sore, jam berapa dia sampai di Hambalang?
”Sesudah sidang?” ulangnya ragu, ”emm ... sekitar .. jam empat aku baru pergi, dan nyampenya mungkin udah magrib...”
”Aku jemput kamu?”
”Jemput?” Avis serasa kehilangan kata-kata. Sudah mah tadi malam tidurnya larut, bangun kaget subuh-subuh pula.
”Iya. Jemput. Tadi bu Arman nitip beberapa hal yang harus dibawa dari rumah, bu Mukhtar juga ada beberapa barang yang harus diambil dari rumahnya, jadi sekalian saja aku jemput kamu. Ya?”
”Kamu di mana?”
”Di lokasi.”
”Er ..”
Avis benar-benar kehabisan kata.
”OK. Aku anggap itu sebagai persetujuan. Aku berangkat dari sini jam sembilan, ke rumah bu Mukhtar dulu, terus ke kampus kamu, terus ke rumah kamu dulu, baru balik ke lokasi. Kamu ujian di gedung mana?”
”Gedung D lantai tiga,” tanpa sadar Avis memberikan nama tempatnya, dan itu berarti dia menyetujui rencana Nata?
”OK. Selamat sidang, ya, semoga sukses!” dan ponselnya ditutup.
Avis terdiam beberapa lama sebelum akhirnya tersadar, bergegas membereskan beberapa potong pakaian ke dalam ransel, dan menyimpannya di ruang tengah, lalu berjalan ke dapur menemui Bik Niah.
”Bik, teh Alia sudah melahirkan!”
”Aduh eneng! Alhamdulillah. Bagja temen! Istri pameget? Eneng bade ka ditu?”
“Lalaki, tilu kilo. Abdi ka kampus heula, engke bade dijemput ku rerencangan Aa. Bibi tunggu bumi nya?”
”Mangga. Da bibi mah biasana ge tunggu bumi. Sing atos-atos we,” sahut Bik Niah. Perempuan tua itu mengusap kedua mata dengan ujung kebayanya.
Avis bergegas mandi, hampir tidak sarapan kalau tidak dipaksa oleh Bik Niah. Dan untung saja ia sarapan. Di kampus ia bisa saja pingsan kalau tidak sarapan, begitu tegang perasaannya. Dulu waktu sidang S1 enggak begini.
Tapi ia baru sadar, waktu S1 dulu, tidak ada peristiwa apa pun yang menyertai. Kalau sekarang, selain dari teh Alia sudah melahirkan, habis sidang ia akan dijemput Nata?
Semua yang sudah dihapal, kata-kata untuk presentasi, data untuk pembuktian pada para dosen pembimbing, seakan lenyap begitu saja. Ia seperti tidak merasa apa-apa saat ia dipanggil, masuk ruangan, memaparkan penelitian, menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan menunggu hasil di ruangan dekan.
Sambil menunggu hasil dua rekan lain, ia melayangkan pandangan ke jendela luar. Rekan-rekannya yang masih belum akan selesai musim wisuda sekarang, melambai-lambaikan tangannya di luar. Ia melambai-lambai juga membalas. Alen juga ada, aduh tuh anak, kapan mau lulus? Mentang-mentang sudah punya calon suami –keluarga Tio sudah melamarnya bulan lalu—Tio sudah lulus dan bekerja, dia kok malah jadi malas menyelesaikan kuliahnya?
Petugas jurusan masuk. Sepertinya hasil kedua rekan yang tadi sudah selesai dihitung, dan sebentar lagi pasti acara judisium. Benar saja. Ibu Reni yang sedari tadi nampak paling sibuk, memberi isyarat padanya dan rekan-rekannya agar berdiri mendengarkan hasil judisium.
Dan sembari berdiri membereskan roknya, dilihatnya dengan ujung mata di jendela, ada sosok yang ia kenal. Dua malah.
Ada Yudha.
Dan ada Nata.
Keduanya tidak saling mengenal memang, tapi mengapa bisa datang bersamaan begitu? Yudha memakai kemeja putih tangan panjang dengan celana panjang hitam, sepertinya baru sidang juga?
Kenapa ... mesti bersamaan?
Rekan di sampingnya menyentuhnya perlahan, dan ia tersadar, mendengar samar-samar.
” ... dengan judisium Sangat Memuaskan.” Tepuk tangan. ”Dina Adiati, nomor pokok ...” dan dia menoleh-noleh mencuri-curi ke arah kedua laki-laki tadi. Mereka berdiri hampir berdampingan, tanpa saling mengetahui siapa yang ada di sisinya. Tepuk tangan lagi, dan selesai. Oke, jadi Sangat Memuaskan. Alhamdulillah.
Dia disalami oleh Dekan, oleh beberapa orang dosen yang ada, beberapa karyawan administratif, dan sesama peserta sidang. Lalu keluar dan berjalan pada mereka berdua. Pasang senyum, pastilah harus.
”Halo Yudha, halo Nata!” serunya riang yang seperti tidak dibuat-buat pada keduanya.
”Selamat Avis,” Nata mengulurkan tangannya terlebih dahulu. Yudha agak melongo melihat orang di sampingnya.
Lalu ia mengulurkan tangan juga memberi selamat, “Selamat Avis,” ujarnya, “dapat Sangat Memuaskan?”
Avis mengangguk, ”Kamu juga sidang hari ini? Sudah judisium?”
Yudha mengangguk. ”Sama,” katanya tanpa ditanya hasilnya.
”Oya, lupa, Yudha, ini rekan kerja Aa Ardi di Bogor, mau menjemputku, teh Alia melahirkan tadi subuh. Nata, ini Yudha, temanku, beda fakultas tapi ternyata sidangnya bareng ...”
Mereka berdua saling berpandangan sesaat sebelum mengulurkan kedua tangannya dan berkenalan.
”Ada yang harus dibereskan dulu?” tanya Nata, tapi memberikan isyarat bahwa mereka akan pergi bersama.
”Nggak. Paling hanya beres-beres barang di ruang ujian. Urus surat-surat nanti hari Senin, jam sekarang SBU udah tutup. Yudha bagaimana?” tanyanya sambil berjalan ke Ruang Ujian diikuti oleh keduanya.
”Sama, SBU baru buka lagi Senin, mending Senin saja beresin surat. Kamu sekarang langsung ke Bogor?” tanyanya agak kecewa.
Avis mengangguk. ”Kamu enggak pulang ke Jakarta dulu?”
Yudha menggeleng. ”Selesai urusan surat, baru pulang ke Jakarta. Keluar langsung dari tempat kost. Paling ke Bandung lagi nanti kalau wisuda, itu juga kalau nggak tabrakan dengan kerjaan,” tawanya sinis.
Ada yang menyayat hati Avis, tapi ia harus cepat-cepat menepisnya.
Barang-barangnya sudah beres, ia bersalaman dan berpelukan dengan rekan-rekannya, ada yang sudah lulus, ada yang belum, ada yang sepertinya entah kapan waktunya membikin tesis karena kerjaannya hanya luntang-lantung saja :P Cipika-cipiki dan dadah-dadah, selesai sudah.
Mereka keluar ke lapangan parkir, dan Yudha mengulurkan tangannya, ”OK, selamat sekali lagi, dan titip salam buat Aa, selamat atas kelahiran anaknya.”
Avis mengangguk. ”Makasih. Selamat juga buat kamu. Kita masih ketemu kan, Senin?”
”Mudah-mudahan sih.”
Avis naik ke mobil. ”Bye!”
Nata juga memberi isyarat dengan tangan.
Yudha melambaikan tangan.
Sudah agak jauh ketika Nata bertanya, “Cowoknya?”
Avis menggeleng. “Enggak. Temen biasa kok.”
“Jadi, cowoknya mana?”
Avis hanya tersenyum sambil menggeleng, malas menjawab.
Ponselnya berbunyi. SMS. Yudha.
‘Cowok yang ini bukan?’
Avis menggeleng. Yudha kok kepikiran begitu sih. Ia mengetikkan jawabannya.
”Nggak ada cowok yang mana-mana, Yud. Aku cuma belum mau saja. Dia cuma disuruh jemput sama Aa kok’
Sent.
Dan soal ponsel membuatnya terpikir sesuatu.
“Nata, tadi pagi itu dari lokasi ya?”
”Iya, kenapa?”
”Memangnya sudah ada sinyal?”
”Kan sekarang sudah ada di semua kecamatan di seluruh propinsi,” katanya mengulang iklan suatu provider kartu GSM.
Avis tertawa. ”Jadi itu nomermu, ya,” katanya dan mencari-cari nomer tadi pagi yang belum sempat di-save. ”Dapet nomerku dari mana?”
Dan ia langsung sadar akan kebodohannya saat Nata menjawab, tentu saja, ”Dari Pak Ardi.”
Avis langsung mesem. Dan men-save nomer itu dengan nama ’Nata’.
Mereka langsung ke rumah, Avis berganti baju, mengambilkan barang-barang yang dipesankan Mami, dan ia melongok sejenak ke dapur, “Bik, masak apa?”
”Itu sudah bibi sediakan di meja. Makan dulu, sama pak itu juga sekalian,” kata Bik Niah sambil membawa kobokan melengkapi meja.
Avis kembali ke ruang tengah, ”Nata, makan dulu yuk. Sudah disediakan sama bibi.”
Tanpa banyak bicara Nata berjalan mengikuti ke ruang makan, tersenyum sedikit pada Bik Niah, dan makan dalam diam.
Perjalanan ke Bogor juga sebagian besar dijalani dalam diam. Avis jadi kagok, dia harus bicara apa. Tidak begitu lama, tidak macet walau hari ini hari Sabtu, mobil sudah berbelok ke jalan yang ia sangat kenal walau ia baru sekali ke sana.
”Teh Alia melahirkannya di mana?” Avis bertanya, tak terbayang.
”Di rumah. Bidan desa dipanggil, tak lama terus lahir. Normal, tak ada faktor penyulit,” kata Nata sambil membelok ke kumpulan rumah, langsung ke rumah kecil rumah Ardi.
Sepertinya orang-orang ada di dalam rumah semua saat dia datang, karena saat mobil berhenti, keadaannya sunyi. Waktu ia masuk, baru terdengar hiruk pikuk Ayah berbincang dengan Aa, dan Mami bergosip dengan Ibu dan teh Alia, bahwa yang baru punya bayi itu harus begini, harus begitu, bayinya harus begitu harus begini.
”Eeeh, ini yang baru sidang! Gimana hasilnya?” Mami baru sadar kalau ada orang lain di ruangan. Semua menoleh padanya.
”Sudah selesai,” katanya dan menuju pada Ayah untuk mencium tangannya, ke Ibu juga, ke Mami juga, dan ditarik Aa untuk berbuat hal yang sama padanya tapi mereka kemudian jadi saling tarik-tarikan tangan.
”Dapet Sangat Memuaskan,” sahut Nata, sambil membawakan barang pesanan Ibu maupun pesanan Mami.
”Aah! Selamat!” semuanya berseru, terutama teh Alia, dari tempat tidur sambil menyusui bayinya.
”Makasih, makasih, tapi yag paling penting ya ini,” katanya dan memeluk teh Alia, cipiki-cipika, dan mencubit halus pipi bayi. ”Namanya siapa, Teh?”
”Yang sudah terpilih sih Lutfi. Mungkin nanti pakai Muhammad atau Ahmad, terserah pada bapak dan kakeknya yang sedang memusyawarahkannya dengan segala argumentasi,” sahut teh Alia sambil tertawa.
”Lutfi. Duh, teteh, kalau di Sunda sih ...”
”...pasti jadi Lutpi,” sambung tetehnya dan mereka berdua berderai tertawa. ”makanya, mungkin dipanggilnya nanti Upi. Biar sekalian.”
Mereka semua tertawa lagi. Upi. Upi. Upi... hihi, Avis seperti menyenandungkan nama itu.
”Oya,” Avis seperti baru ingat, ”Tadi ada Yudha, dia juga sidang hari ini. Dia titip salam buat Aa dan Teteh, selamat katanya.”
”Oh, dia udah sidang juga?” Mami sepertinya rada handeueul tidak jadi mendapat Yudha sebagai menantu, kalau dilihat dari raut wajahnya sih.
”Udah. Tadi,” Avis melirik sekilas pada Aa, dan pandangannya tajam ke arahnya. Cepat ia memalingkan wajah. ”Mami tidurnya di mana?”
”Oya,” Aa bergerak mengatur, “Avis tidur sama Mami di kamar darurat ini,” katanya menunjukkan ruang di sebelah lemari tinggi yang sekarang ditutup oleh kain tirai. Disibaknya hingga terlihat ada sebuah ranjang. ”Darurat, habis rumah sagede pelok kieu diserbu oleh pasukan dari Bandung,” tawanya.
Avis ikut tertawa sambil menjinjing ranselnya ke ‘kamarnya’. Masih di ‘kamar’ terdengar Nata pamit pada Ayah, Ibu, dan Mami.
”Sudah sore, saya pamit dulu,” katanya.
Avis bergegas keluar. “Makasih ya, Nata, sudah dijemput.”
Nata sepertinya berusaha agar tampak tersenyum, tapi Avis maklum, dan tersenyum juga padanya.
Lokasi itu sepertinya kecil, tapi sesore sampai sepertiga malam, rumah Ardi penuh oleh pengunjung, sudah barang tentu pak Praja, pak Hadi, staf-staf peneliti, staf administrasi pekerja yang baru pulang, beberapa pemetik teh yang sepertinya dikenal baik oleh teh Alia, bahkan bik Juju entah berapa kali bolak-balik dari Rumah Besar membawakan singkong rebus, kacang rebus, hui boled, dan entah apa lagi untuk susuguh.
Malam tiba, semua juga lelah, apalagi para orang tua yang menunggu dari tadi malam menjelang subuh. Avis sedang berganti dengan piama, sementara Mami sudah terbaring di kasur.
“Vis, Nata itu juga boleh kok,” Mami tiba-tiba nyeletuk.
“Idih, si Mami teh. Udah Aa, sekarang Mami, semua meni sibuk menjodoh-jodohkan Avis.”
”Ya, abis Avis umurnya udah cukup, gelar sampai udah S2, pekerjaan mah nggak usah dicari, di sini juga nanti ada geura.”
”Ah, Mami mah. Udah, ah, Avis ngantuk!” dan ditenggelamkan dirinya di bantal. Sejenak masih didengarnya napas Mami di sebelahnya, tapi sedetik kemudian ia merasa seperti tidur sendirian. Tak ada siapapun di sebelahnya.
Ia terbangun.
Ia memang sendirian di ranjang.
Tidak sebagai Avis. Tapi Dyah. Dan waktunya sudah pagi, waktu bangun.
Ia bangun malas-malasan, tetapi kemudian ia seperti teringat sesuatu, dan cepat-cepat ia ke kamar mandi. Air mandi sudah disiapkan nampaknya, hangat dan wangi. Ia mandi cepat-cepat, sebagai ratu ia bisa saja berlama-lama menikmati, tapi kalau ia ingat kewajiban ...
Kembali lagi ke kamar, seorang dayang sudah menanti. ”Yang Mulia, mau sarapan di mana?”
”Di Taman Dalam saja, kalau bisa sekalian panggilkan Ki Seta,” sahutnya. Ia seperti merasa harus cepat-cepat mempelajari semua ilmu yang harus dikuasai seorang Ratu, semakin banyak ia belajar, semakin banyak pula rasanya yang harus ia kuasai.
Untung saja negaranya kecil dan ia tidak harus selalu memakai atribut yang aneh-aneh. Ada negara yang ia pernah lihat, Raja dan Ratunya harus selalu berpakaian kenegaraan lengkap kalau keluar dari kamar, lengkap dengan busana yang superberat dan pasti superpanas, dengan dandanan rambut Ratunya yang mengerikan, plus mahkota yang guede… Untung saja ia bukan Ratu di sana, karena di sini ia cukup pakai baju biasa saja.
Ia selesai berpakaian dan pergi ke Taman Dalam. Ki Seta nampak sudah ada di sana. Seorang dayang menghidangkan semangkuk bubur di hadapan masing-masing mereka, menuangkan air, lalu ia mohon diri. Tinggal mereka berdua. Dyah mempersilakan Ki Seta makan dan ia pun mulai menyuap.
Awalnya mereka berdua terdiam menghabiskan hidangan. Setelah meneguk air, Dyah langsung bertanya, “Hari ini, Ki Seta?”
”Hari ini mungkin kita bicara tentang negara-negara? Morion misalnya?”
Dyah mengangguk. Ki Seta mengeluarkan peta di sampingnya, dibukanya gulungannya.
”Morion adanya di bagian Barat,” ia menunjukkan sebuah wilayah yang nampaknya luas sekali. ”Dulu asalnya hanya di bagian ini,” Ki Seta menunjuk sudut kecil di utara, ”sekarang menjadi seluas begini. Ada memang negara-negara satelit yang menyerahkan diri ke dalam perlindungannya,” Ki Seta menunjuk beberapa wilayah, ”tapi sebagian besar jatuh ke dalam kekuasaannya melalui peperangan. Aneksasi,” Ki Seta bersungguh-sungguh.
”Andai tidak ada traktat itu, kita juga harus waspada padanya, karena negara ini sangat agresif. Negara terakhir yang sedang diperanginya adalah Khudzul, negara tetangga kita, dan kukira sebentar lagi juga sudah akan jatuh.”
Sekarang Ki Seta wajahnya keras, dan menuntut agar Dyah serius mendengarkannya.
”Yang Mulia, dan ini terjadi walau Morion tidak punya pemimpin. Morion sudah lama tidak dipimpin oleh seorang raja. Morion hanya diperintah oleh seregu Dewan, yang dipimpin oleh seorang Resi yang dulunya adalah Penasihat Spiritual Raja.”
”Mengapa, apakah Raja tidak meninggalkan keturunan?”
”Dulu Ratu pernah melahirkan seorang anak, lalu meninggal sesaat setelah dilahirkan. Walau ada desas-desus bahwa anak itu dikutuk oleh Penasihat Spiritualnya, menjadi monster dan dibuang entah ke mana, tapi berita resminya sih, Raja tidak punya keturunan lain. Ratu meninggal setelah melahirkan, Raja tidak menikah lagi, dan beberapa tahun yang lalu ia meninggal. Ia tidak punya saudara, sehingga kekuasaan akhirnya jatuh pada seregu Dewan Penasihat Negara, yang praktisnya sih dikuasai oleh Penasihat Spiritualnya.”
”Penasihat Spiritual, seperti Ki Seta terhadap saya, Ki?”
Ki Seta mengangguk sambil tersenyum.
“Nampaknya negara ini mengerikan ya, Ki Seta?”
”Ya, sepintas memang mengerikan. Sepertinya negara ini hanya mementingkan penguasaan wilayah sebesar-besarnya. Dan akhirnya membuat rakyat menderita, mereka dipaksa membayar pajak yang besar untuk membuat militer yang kuat, lalu militer yang kuat digunakan untuk penaklukan, rakyat di daerah penaklukan harus membayar pajak yang besar lagi, untuk membiayai militer yang kuat lagi, dan seterusnya seperti lingkaran yang tak berujung.
”Tidak seperti negara kita di mana malah rakyat digratiskan segalanya, pendidikan, kesehatan ...” Dyah nampak melamun.
Ki Seta mengangguk. ”Bersyukurlah, Yang Mulia, bahwa negara kita ini dikaruniai melimpah oleh-Nya, dan dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang bekerja untuk rakyat, bukan rakyat yang dipaksa bekerja untuk pemimpin.”
Dyah terdiam. ”Sebenarnya, adakah wilayah yang akan mengadakan pemberontakan pada Morion?”
”Oh, banyak. Negara Mahesa, tadinya memberontak. Belum lagi negara-negara kecil lainnya, tapi entah selalu ada kekuatan yang bisa menahan mereka. Bukan hanya pasukan fisik, tapi kukira kekuatan sihir juga berperan di sini.”
”Ki Seta,” Dyah berkata pelan tapi nada suaranya seperti penuh ketakutan, ”kalau terjadi sesuatu di negara kita, apakah Ki Seta bisa menahannya dengan kekuatan sihir?”
”Hamba akan berusaha menahannya, Yang Mulia, dan sudah barang tentu mereka yang termasuk ke dalam Penyihir Negara akan membantu.” Ia melihat raut wajah Ratu-nya dan bertanya, ”Maafkan hamba, Yang Mulia, tapi apakah ada ketakutan akan diserang oleh Morion? Bukankah diadem itu terasa ringan pada Yang Mulia saat pelantikan kemarin?”
”Diadem yang terasa ringan itu bukan berarti tidak ada masalah, Ki Seta, kau sendiri yang mengatakan, tetapi bahwa aku akan berhasil mengatasi masalah, itu kan artinya?”
Ki Seta mengangguk dalam-dalam, sambil mengembuskan napas panjang. Ia sendiri takut mengatakan pada Ratunya, tetapi ia memang melihat ada noda-noda hitam akan menghiasi sejarah negara ini. Ia selalu berdoa pada Hyang Esa agar noda-noda itu tidak terjadi sekarang, tapi siapa yang tahu?
”Sudahlah, Ki Seta. Sekarang jadwal kita ke Kriya, bukan?”
Ki Seta mengangguk. Dyah berdiri. Tapi sekelilingnya bergoyang, dan ia perlahan terbangun. Terbangun sebagai Avis.
Alarm ponselnya berbunyi. Setengah lima.
Mami juga sudah bangun, sudah keluar dari kamar mandi nampaknya, karena sedang memegang mukenanya.
Ia cepat-cepat ke kamar mandi, shalat, dan membuka ranselnya. Berganti pakaian dan mengeluarkan teropongnya.
“Mau ke mana, Avis?”
“Mau lihat elang,” sahut Avis pelan, sepertinya kamar yang lain masih tenang.
”Ya ampun. Kamu ini nggak melewatkan kesempatan,”Mami menggeleng-gelengkan kepala.
”Maunya sih kemarin juga melihat elang, tapi sampai sini udah gelap, nggak akan kelihatan lagi. Lagian elangnya juga pasti udah bobo,” sahutnya manja. Diciumnya kedua pipi Mami, ”Bilangin Avis ke atas ya, Aa pasti tau. Dah!”dan ia berlari berjingkat-jingkat melintasi lantai kayu, membuka pintu.
Sekarang peralatannya lengkap. Teropong, senter, topi dengan penutup punuk. Bisa melihat elang sampai tengah hari kalau ia mau. Ia berjalan hati-hati, sudah lebih setahun ia melewati jalan-jalan ini, tapi semua masih tetap sama.
Sampai di atas, ada seseorang yang sedang meneropong. Tanpa melepas pandangannya dari sarang elang, ia menyapa, “Kukira kau tidak akan ke sini.”
Avis tidak menjawab, hanya duduk bersila disamping Nata, dan mulai meneropong.
“Sekarang anaknya sudah bisa terbang. Dia sudah mulai disapih. Kaya’nya dia mulai disuruh mencari sarang lain sendiri,” sahutnya menerangkan.
Memang, elang yang muda itu seperti yang sudah diusir-usir dari sarangnya.
”Kenapa ekornya panjang yang muda ya?” Avis bertanya.
”Sayapnya juga rentangannya lebih panjang yang muda,” Nata menerangkan, “dia masih membutuhkan keseimbangan dari alat bantu, sayapnya dan ekornya. Kalau sudah seimbang, bulu-bulu ekor dan sayapnya akan jatuh berganti yang lebih pendek.”
Avis mengangguk dan meneruskan meneropong. Cahaya mulai menerangi, naik perlahan-lahan.
”Kau masih akan di sini?” tanya Nata. Avis menurunkan teropongnya, dan melihat Nata sedang menatapnya.
”Mungkin. Nata mau bekerja sekarang?”
Nata mengangguk. ”Jalannya masih hapal kan? Jangan terlalu siang, nanti kepanasan.”
Avis menunjukkan topinya. Nata menyeringai, tapi, ”Jangan terlalu bergantung pada topi. Kalau sudah panas, turun saja. Kau masih bisa melihat lain hari.”
Avis mengangguk.
~0~0~0~0~0
Wordcount: 3.261
Akumulasi: 36.583 (MSWord) 36.559 (NaNoValidator)
Target: 35.000
Whups! Jauh melebihi target! Hihi .. lagi enak ngetik ..
0 Comments:
Post a Comment
<< Home