Hari Ketujuhbelas
Avis sekarang lebih siap, membawa senter. Soalnya keadaan yang menurut Aa dan rekan-rekan itu sudah terang, kalau menurut Avis sih masih gelap. Setengah lima, baru saised dari shalat subuh. Hawa masih dingin, embun masih menyelimuti daun-daun teh, sinar matahari belum ada yang menyalaminya.
Kalau menurut mereka sih sudah siang. Para pemetik teh sudah berduyun-duyun ke lokasi mereka akan bekerja. Mereka berjalan seperti di ruangan yang terang benderang. Atau karena sudah hapal, mereka berjalan dengan mata tertutup ya? Hehe.
Jadi, biar jangan ditertawaan oleh Aa dan teh Alia, ia menyembunyikan senter ini dan baru menyalakannya setelah ia agak jauh. Memang sih, sekarang ia agak hapal jalan yang kemarin sudah ditempuh, tetapi kalau ia disuruh pergi sendiri tanpa bawa senter, maka ia akan sampai sekitar beberapa jam lagi karena ia akan merayap –bukan berjalan—sambil memegang cabang-cabang tanaman sebagai tanda ia ada di jalan yang benar.
Tapi itu hiperbola, deng. Hehe. Habis, sebenarnya selain hari sudah tidak begitu gelap lagi, juga ada sisa penampilan bulan yang baru akan tenggelam nanti setelah matahari terbit.
Menurut pak Hadi, ada jalan pintas ke tempat kemarin, lebih cepat. Tapi karena takut tersesat, maka ia menuruti jalan yang kemarin saja. Sekarang ia melewati Rumah Kaca. Masih menurut pak Hadi, Rumah Kaca itu tidak melulu berisi contoh tanaman teh, justru lebih banyak contoh tanaman lain. Itu karena banyak staf yang seperti Aa, kadang justru mengerjakan hal-hal iseng, hanya sekedar ingin tahu pada tanaman-tanaman tertentu.
Weleh! Rumah Kaca malah jadi tempat pelampiasan rasa ingin tahu bagi para ilmuwan seperti Aa! Avis tertawa sendiri, pantas saja Aa betah bekerja di sini, bukan hanya bekerja, dia juga bisa melampiaskan rasa ingin tahu ilmiahnya.
Dan Avis juga ingin memuaskan rasa ingin tahunya. Diliriknya Rumah Kaca.
Ada Nata di sana. Ya, mungkin saja dia salah lihat, pagi masih belum menampakkan cahaya jadi yang ia lihat hanya sosok siluet, tapi ia yakin yang ia lihat adalah Nata.
Tapi ia tidak berhenti. Tidak menyimpang untuk sekedar berkata ’Hai’ soalnya ia takut nanti malah mengganggu tugas orang. Tidak. Ia meneruskan langkahnya, terus menanjak.
Ia sampai di tempat yang kemarin. Biar enak, ia mencari tempat meneropong yang strategis. Jadi, walau berlama-lama di sana ia tidak akan pegel. Dikeluarkan senjata andalannya, teropong. Lalu ada sebungkus roti, sebenarnya di tempat seperti ini yang namanya roti itu pasti hasil membeli di kota, dan karena sudah agak lama tidak ada yang pergi ke kota, maka yang ia bawa itu bukan roti kota, tapi roti sumbu, alias singkong. Singkong rebus buatan bik Juju yang dengan rajinnya menyelipkan bungkusan daun pisang itu saat ia pamitan tadi subuh. Sesubuh itu sudah ada singkong rebus? Bik Juju bangunnya pagi sekali ya!
Hihi. Avis tersenyum sendiri. Diambilnya sepotong singkong, dan ia mengunyah sambil meneropong.
Sayang sarang elangnya belum begitu kelihatan. Masih tertutup kabut, yang untunglah tidak terlalu tebal. Avis berharap sebentar lagi kabut itu pergi dan ia bisa melihat elang itu lagi.
Jadi Avis meneropong ke arah lain. Kebanyakan masih terselimuti kabut. Konon kalau kabut turun, berarti siang harinya akan cerah. Benarkah? Avis tidak tahu, nanti saja akan ia tanyakan pada Aa.
Ketika ia kembali ke arah semula, sarang itu sudah terlihat. Induk elang sedang –kelihatannya—menyelisiki bulunya. Belum pergi. Dan ada seekor elang lagi di sebelahnya, elang dewasa. Mungkin jantannya? Kemarin tidak ada. Mungkin sedang pergi? Avis tertawa, mungkin kemarin elang jantannya sedang bertugas ke luar kota, dan hari ini sih ada bersama anaknya. Hehe.
Elang jantan itu lebih besar dari pasangannya, tapi kelihatannya lebih langsing. Ya jelas langsing, pikir Avis, jantan tidak harus hamil dan melahirkan. Betina yang hamil, melahirkan, dan menyusui. Hihi, ia tertawa sendiri lagi. Mana ada unggas hamil dan menyusui? Paling juga bertelur dan mengerami, dan proses mengerami ini justru akan mengambil persediaan lemak dalam tubuh betina karena dia harus diam terus selama berminggu-minggu.
Jantannya lepas landas disusul betinanya. Terbangnya cepat sekali, nyaris Avis tidak bisa mengikuti arahnya. Tidak seperti kemarin, terbangnya tidak begitu jauh. Mungkin karena betinanya bertugas menjaga anak, makanya ia tak terbang jauh-jauh. Tapi kali ini keduanya melesat cepat entah ke mana. Walau Avis memakai teropong namun ia menyerah juga, tidak bisa mengikuti terbangnya.
Duh, keluh Avis, kalau saja aku bisa terbang. Terbang bersama mereka pasti, pikir Avis, dan kalau ia bisa terbang beratus-ratus kilometer jauhnya, alangkah senangnya. Ia bisa melihat segalanya dari kejauhan, dari ketinggian.
Avis, tanyanya pada diri sendiri, apa pentingnya sih kamu ingin terbang tinggi? Kamu tidak punya sesuatu yang harus disembunyikan, tidak harus lari dari kenyataan. Kehidupanmu normal-normal saja, kalau ada saat di mana kamu sebal, kamu tidak harus melarikan diri dari kenyataan. Semua masalahmu bisa kau selesaikan dengan baik.
Avis meletakkan teropongnya di pangkuan. Ya, ia tidak punya masalah, semua baik-baik saja. Ia hanya ingin melihat sesuatu yang berbeda dengan apa yang ia lihat, itu saja.
Diangkatnya teropongnya lagi dan kali ini ia bisa melihat kedua elang tadi kembali, awalnya hanya titik kecil, kemudian semakin besar, dan akhirnya ia bisa melihat keduanya dengan jelas. Mereka mendarat dengan anggun di dekat anaknya.
”Bagus mendaratnya, ya?” suara Nata di sampingnya. Kaget Avis menurunkan teropongnya dan menoleh.
”Eh, Nata. Sejak kapan? Tadi aku lewat Rumah Kaca tapi tak mau mengganggu ah,” katanya.
”Kenapa tidak mampir saja? Jadi kita bisa melihat sama-sama.”
”Nggak ah. Takut mengganggu,” ulangnya.
Mereka terdiam dan meneropong lagi untuk beberapa saat. Kemudian Avis teringat sesuatu, singkongnya!
”Mau singkong? Bik Juju tadi membekaliku ini,” sahutnya sambil menyodorkan bungkusan yang masih terasa hangatnya sedikit.
”Mau dong, singkongnya bik Juju pasti enak,” sahut Nata sambil mengambil potongan terbesar, ”entah kenapa, singkongnya sih pasti sama saja, tapi kalau dimasak sama bik Juju pasti enak.”
Avis tertawa, ”Enakan mana dengan masakan rumah?” tanyanya. Spontan.
”Hm?” ia termangu. ”Aku tak tahu. Dari dulu jarang makan makanan rumah. Apalagi sekarang, sudah tak ada lagi orang rumah. Ayah dan ibu sudah lama meninggal. Dulu pas masih ada ibu saja aku sekolah berasrama, jadi jarang merasakan masakan rumah.”
”Oh. Sori,” ucap Avis pelan.
Mereka berdua menghabiskan singkong, lalu Avis mengangkat teropongnya lagi. Heran, ia tak puas-puasnya melihat makhluk itu.
”Kau pulang besok?” tanya Nata memecah keheningan.
”Iya. Pagi-pagi. Mumpung ada yang mau keluar ke kota,” katanya tak melepaskan pandangan dari teropongnya.
”Terus ke Bandungnya?”
”Ah, dari Bogor ke Bandung kan banyak bis, lagian kan siang-siang bukan malem-malem.”
“OK. Kapan ke sini lagi?”
Avis melepas teropongnya dan menatap Nata heran. Kenapa bertanya begitu? Pelan-pelan dijawabnya, ”Aku ... nggak tahu. Belum tahu.”
”Tapi, pasti ke sini lagi kan?” tanyanya menyelidik.
”Eng ...” Avis ragu, ”tegantung kesempatan sih.”
Seolah membaca keraguan Avis tentang kendaraan yang menuju ke lokasi, Nata kemudian menerangkan, ”Naik bis saja sampai jalan depan itu. Tapi jangan lupa sebelumnya telepon dulu ke Rumah Besar, nanti aku jemput. Ya?”
”Boleh?” Avis kegirangan.
”Ya boleh dong. Atu kalau kau tidak percaya padaku, bilang saja minta dijemput sama kakakmu ...”
”Percaya! Aku percaya. OK, nanti aku ke sini lagi,” kalaulah Nata itu seorang gadis pastilah sudah dipeluk. ”Tapi dalam waktu dekat mungkin aku mau ujian dulu, dan mungkin akan ada penyusunan tesis .. tapi aku pasti ke sini lagi. Aku janji.”
Nata seperti berusaha keras untuk bisa tersenyum, tapi ia tersenyum juga walau hasilnya lebih seperti orang menyeringai. ”Avis, kalau kau masih mau di sini, aku mau kembali ke Rumah Kaca. Tapi jangan lama-lama, panas matahari. Nanti sore menjelang matahari terbenam, datang lagi ke sini, kita lihat lagi. Ada sesuatu yang mungkin kau belum pernah lihat.”
”OK,” Avis penasaran juga. ”Aku di sini sejam lagi, terus nanti turun. Nanti sore aku ke sini lagi.”
Nata berdiri tak berkata-kata lagi, dan berjalan turun. Avis memandanginya hingga ia tak terlihat lagi. Lalu ia kembali meneropong hingga matahari sudah tak tertahankan lagi panasnya.
Satu catatan ia buat, kalau ia akan ke sini lagi pagi-pagi, ia harus membawa topi! Topi yang seperti tentara Jepang itu, yang pakai penutup tengkuk.
Ia pun berjalan turun perlahan. Jalan tidak lagi licin jam begini sih, beda dengan tadi subuh. Penasaran, pas melalui Rumah Kaca, ditengoknya.
Ada Nata di sana, tapi seperti sedang asyik. Dicobanya melambai, tapi sosok itu seperti sedang berkonsentrasi pada entah apa.
Oh baiklah, pikir Avis. Nanti sore juga ia akan ke sini. Avis meneruskan jalannya.
~0~0~0~0~0~0
Wordcount: 1.335
Akumulasi: 28.412 (MS Word) 28.389 (NaNoValidator)
Target: 28.334
Kalau menurut mereka sih sudah siang. Para pemetik teh sudah berduyun-duyun ke lokasi mereka akan bekerja. Mereka berjalan seperti di ruangan yang terang benderang. Atau karena sudah hapal, mereka berjalan dengan mata tertutup ya? Hehe.
Jadi, biar jangan ditertawaan oleh Aa dan teh Alia, ia menyembunyikan senter ini dan baru menyalakannya setelah ia agak jauh. Memang sih, sekarang ia agak hapal jalan yang kemarin sudah ditempuh, tetapi kalau ia disuruh pergi sendiri tanpa bawa senter, maka ia akan sampai sekitar beberapa jam lagi karena ia akan merayap –bukan berjalan—sambil memegang cabang-cabang tanaman sebagai tanda ia ada di jalan yang benar.
Tapi itu hiperbola, deng. Hehe. Habis, sebenarnya selain hari sudah tidak begitu gelap lagi, juga ada sisa penampilan bulan yang baru akan tenggelam nanti setelah matahari terbit.
Menurut pak Hadi, ada jalan pintas ke tempat kemarin, lebih cepat. Tapi karena takut tersesat, maka ia menuruti jalan yang kemarin saja. Sekarang ia melewati Rumah Kaca. Masih menurut pak Hadi, Rumah Kaca itu tidak melulu berisi contoh tanaman teh, justru lebih banyak contoh tanaman lain. Itu karena banyak staf yang seperti Aa, kadang justru mengerjakan hal-hal iseng, hanya sekedar ingin tahu pada tanaman-tanaman tertentu.
Weleh! Rumah Kaca malah jadi tempat pelampiasan rasa ingin tahu bagi para ilmuwan seperti Aa! Avis tertawa sendiri, pantas saja Aa betah bekerja di sini, bukan hanya bekerja, dia juga bisa melampiaskan rasa ingin tahu ilmiahnya.
Dan Avis juga ingin memuaskan rasa ingin tahunya. Diliriknya Rumah Kaca.
Ada Nata di sana. Ya, mungkin saja dia salah lihat, pagi masih belum menampakkan cahaya jadi yang ia lihat hanya sosok siluet, tapi ia yakin yang ia lihat adalah Nata.
Tapi ia tidak berhenti. Tidak menyimpang untuk sekedar berkata ’Hai’ soalnya ia takut nanti malah mengganggu tugas orang. Tidak. Ia meneruskan langkahnya, terus menanjak.
Ia sampai di tempat yang kemarin. Biar enak, ia mencari tempat meneropong yang strategis. Jadi, walau berlama-lama di sana ia tidak akan pegel. Dikeluarkan senjata andalannya, teropong. Lalu ada sebungkus roti, sebenarnya di tempat seperti ini yang namanya roti itu pasti hasil membeli di kota, dan karena sudah agak lama tidak ada yang pergi ke kota, maka yang ia bawa itu bukan roti kota, tapi roti sumbu, alias singkong. Singkong rebus buatan bik Juju yang dengan rajinnya menyelipkan bungkusan daun pisang itu saat ia pamitan tadi subuh. Sesubuh itu sudah ada singkong rebus? Bik Juju bangunnya pagi sekali ya!
Hihi. Avis tersenyum sendiri. Diambilnya sepotong singkong, dan ia mengunyah sambil meneropong.
Sayang sarang elangnya belum begitu kelihatan. Masih tertutup kabut, yang untunglah tidak terlalu tebal. Avis berharap sebentar lagi kabut itu pergi dan ia bisa melihat elang itu lagi.
Jadi Avis meneropong ke arah lain. Kebanyakan masih terselimuti kabut. Konon kalau kabut turun, berarti siang harinya akan cerah. Benarkah? Avis tidak tahu, nanti saja akan ia tanyakan pada Aa.
Ketika ia kembali ke arah semula, sarang itu sudah terlihat. Induk elang sedang –kelihatannya—menyelisiki bulunya. Belum pergi. Dan ada seekor elang lagi di sebelahnya, elang dewasa. Mungkin jantannya? Kemarin tidak ada. Mungkin sedang pergi? Avis tertawa, mungkin kemarin elang jantannya sedang bertugas ke luar kota, dan hari ini sih ada bersama anaknya. Hehe.
Elang jantan itu lebih besar dari pasangannya, tapi kelihatannya lebih langsing. Ya jelas langsing, pikir Avis, jantan tidak harus hamil dan melahirkan. Betina yang hamil, melahirkan, dan menyusui. Hihi, ia tertawa sendiri lagi. Mana ada unggas hamil dan menyusui? Paling juga bertelur dan mengerami, dan proses mengerami ini justru akan mengambil persediaan lemak dalam tubuh betina karena dia harus diam terus selama berminggu-minggu.
Jantannya lepas landas disusul betinanya. Terbangnya cepat sekali, nyaris Avis tidak bisa mengikuti arahnya. Tidak seperti kemarin, terbangnya tidak begitu jauh. Mungkin karena betinanya bertugas menjaga anak, makanya ia tak terbang jauh-jauh. Tapi kali ini keduanya melesat cepat entah ke mana. Walau Avis memakai teropong namun ia menyerah juga, tidak bisa mengikuti terbangnya.
Duh, keluh Avis, kalau saja aku bisa terbang. Terbang bersama mereka pasti, pikir Avis, dan kalau ia bisa terbang beratus-ratus kilometer jauhnya, alangkah senangnya. Ia bisa melihat segalanya dari kejauhan, dari ketinggian.
Avis, tanyanya pada diri sendiri, apa pentingnya sih kamu ingin terbang tinggi? Kamu tidak punya sesuatu yang harus disembunyikan, tidak harus lari dari kenyataan. Kehidupanmu normal-normal saja, kalau ada saat di mana kamu sebal, kamu tidak harus melarikan diri dari kenyataan. Semua masalahmu bisa kau selesaikan dengan baik.
Avis meletakkan teropongnya di pangkuan. Ya, ia tidak punya masalah, semua baik-baik saja. Ia hanya ingin melihat sesuatu yang berbeda dengan apa yang ia lihat, itu saja.
Diangkatnya teropongnya lagi dan kali ini ia bisa melihat kedua elang tadi kembali, awalnya hanya titik kecil, kemudian semakin besar, dan akhirnya ia bisa melihat keduanya dengan jelas. Mereka mendarat dengan anggun di dekat anaknya.
”Bagus mendaratnya, ya?” suara Nata di sampingnya. Kaget Avis menurunkan teropongnya dan menoleh.
”Eh, Nata. Sejak kapan? Tadi aku lewat Rumah Kaca tapi tak mau mengganggu ah,” katanya.
”Kenapa tidak mampir saja? Jadi kita bisa melihat sama-sama.”
”Nggak ah. Takut mengganggu,” ulangnya.
Mereka terdiam dan meneropong lagi untuk beberapa saat. Kemudian Avis teringat sesuatu, singkongnya!
”Mau singkong? Bik Juju tadi membekaliku ini,” sahutnya sambil menyodorkan bungkusan yang masih terasa hangatnya sedikit.
”Mau dong, singkongnya bik Juju pasti enak,” sahut Nata sambil mengambil potongan terbesar, ”entah kenapa, singkongnya sih pasti sama saja, tapi kalau dimasak sama bik Juju pasti enak.”
Avis tertawa, ”Enakan mana dengan masakan rumah?” tanyanya. Spontan.
”Hm?” ia termangu. ”Aku tak tahu. Dari dulu jarang makan makanan rumah. Apalagi sekarang, sudah tak ada lagi orang rumah. Ayah dan ibu sudah lama meninggal. Dulu pas masih ada ibu saja aku sekolah berasrama, jadi jarang merasakan masakan rumah.”
”Oh. Sori,” ucap Avis pelan.
Mereka berdua menghabiskan singkong, lalu Avis mengangkat teropongnya lagi. Heran, ia tak puas-puasnya melihat makhluk itu.
”Kau pulang besok?” tanya Nata memecah keheningan.
”Iya. Pagi-pagi. Mumpung ada yang mau keluar ke kota,” katanya tak melepaskan pandangan dari teropongnya.
”Terus ke Bandungnya?”
”Ah, dari Bogor ke Bandung kan banyak bis, lagian kan siang-siang bukan malem-malem.”
“OK. Kapan ke sini lagi?”
Avis melepas teropongnya dan menatap Nata heran. Kenapa bertanya begitu? Pelan-pelan dijawabnya, ”Aku ... nggak tahu. Belum tahu.”
”Tapi, pasti ke sini lagi kan?” tanyanya menyelidik.
”Eng ...” Avis ragu, ”tegantung kesempatan sih.”
Seolah membaca keraguan Avis tentang kendaraan yang menuju ke lokasi, Nata kemudian menerangkan, ”Naik bis saja sampai jalan depan itu. Tapi jangan lupa sebelumnya telepon dulu ke Rumah Besar, nanti aku jemput. Ya?”
”Boleh?” Avis kegirangan.
”Ya boleh dong. Atu kalau kau tidak percaya padaku, bilang saja minta dijemput sama kakakmu ...”
”Percaya! Aku percaya. OK, nanti aku ke sini lagi,” kalaulah Nata itu seorang gadis pastilah sudah dipeluk. ”Tapi dalam waktu dekat mungkin aku mau ujian dulu, dan mungkin akan ada penyusunan tesis .. tapi aku pasti ke sini lagi. Aku janji.”
Nata seperti berusaha keras untuk bisa tersenyum, tapi ia tersenyum juga walau hasilnya lebih seperti orang menyeringai. ”Avis, kalau kau masih mau di sini, aku mau kembali ke Rumah Kaca. Tapi jangan lama-lama, panas matahari. Nanti sore menjelang matahari terbenam, datang lagi ke sini, kita lihat lagi. Ada sesuatu yang mungkin kau belum pernah lihat.”
”OK,” Avis penasaran juga. ”Aku di sini sejam lagi, terus nanti turun. Nanti sore aku ke sini lagi.”
Nata berdiri tak berkata-kata lagi, dan berjalan turun. Avis memandanginya hingga ia tak terlihat lagi. Lalu ia kembali meneropong hingga matahari sudah tak tertahankan lagi panasnya.
Satu catatan ia buat, kalau ia akan ke sini lagi pagi-pagi, ia harus membawa topi! Topi yang seperti tentara Jepang itu, yang pakai penutup tengkuk.
Ia pun berjalan turun perlahan. Jalan tidak lagi licin jam begini sih, beda dengan tadi subuh. Penasaran, pas melalui Rumah Kaca, ditengoknya.
Ada Nata di sana, tapi seperti sedang asyik. Dicobanya melambai, tapi sosok itu seperti sedang berkonsentrasi pada entah apa.
Oh baiklah, pikir Avis. Nanti sore juga ia akan ke sini. Avis meneruskan jalannya.
~0~0~0~0~0~0
Wordcount: 1.335
Akumulasi: 28.412 (MS Word) 28.389 (NaNoValidator)
Target: 28.334
0 Comments:
Post a Comment
<< Home