Hari Keenambelas
Mereka berjalan di tengah remangnya pagi, belum cukup cahaya menerangi. Avis, pak Praja, pak Hadi, dan dua orang pekerja. Embun masih meraja. Avis berjalan agak tertatih-tatih, buatnya ini masih gelap. Tapi untuk pak Praja dan yang lainnya, ini sudah cukup terang, ini sudah siang!
Seperempat jam berjalan, dan agak mendaki terasa oleh Avis, ketika terlihat sebuah rumah kaca di kejauhan. Mereka mendekatinya. Selain rumah kaca juga ada ruangan biasa yang tidak tembus pandang, seperti rumah biasa. Pak Praja mendekati ruangan itu lalu mengetuk pintunya. Rupanya ada dua pintu, pintu dari Rumah Kaca, dan pintu ini.
Seperti yang sedang menunggu seseorang, pintu itu terbuka begitu diketuk.
Seseorang keluar dari pintu, ”Ayo, sekarang saja.”
Pak Praja menarik Avis mendekat, ”Ta, ini adiknya Pak Ardi, Avis. Dia ingin ikut melihat sarang elang itu.”
”Oh,” canggung dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Avis menerima uluran tangannya, dan dia agak kaget juga karena jabatan tangannya erat, cukup erat untuk tangan yang terlihat canggung. ”Kau panggil aku Nata saja,” katanya kikuk, ”Kau bawa teropong?”
Avis mengangguk. Benda itu yang pertama kali dikemas ketika Aa mengatakan di perkebunan ada yang menemukan sarang elang! Dikeluarkannya dari balutan sweater hangatnya.
Seperti hanya sekilas pak Nata memperhatikannya, tapi ia langsung bisa menilainya, ”Wah! Buatan lama, tapi bermutu sekali. Tidak akan kalah dengan buatan sekarang!”
Avis tersenyum. ”Iya, ini diberikan almarhum Papi padaku tahun 1989. Mungkin pembuatannya sebelum itu.”
”Jelas,” katanya, ”sepertinya buatan tahun 1987 atau 1986.” Tiba-tiba ia seperti orang yang kepergok berbicara terlalu banyak, ia langsung saja terdiam. Ia langsung masuk kembali, mereka menunggu beberapa saat, dan ia kembali dengan membawa teropong juga.
”Kita pergi sekarang?” tanya pak Praja. Pak Nata mengangguk, dan mereka melangkah lagi.
Avis diam-diam memperhatikan. Pak Praja itu anak sulung, kata Aa tadi sebelum ia pergi, sedangkan pak Nata itu bungsu. Bedanya hampir enam belas tahun. Jadi, kalau sekarang pak Praja umurnya 49 tahun, dia sekarang mestinya 33. Tapi kalau dia tidak diberitahu kalau pak Praja dan pak Nata kakak adik, mungkin ia akan mengira mereka berdua orang lain sama sekali.
Ada sesuatu dalam tarikan wajahnya yang kelihatan terlalu keras, terlalu tegang. Entah apa, Avis tidak meneruskan lagi analisisnya, ketika mereka tiba di persimpangan jalan setapak, di antara gerumbulan tanaman teh itu.
”Sektor, 17, sektor 18, dan sektor 19, ya. Kami ke sini saja langsung ya, kau temani nak Avis melihat sarang elang itu,” instruksi pak Praja, yang disambut anggukan pak Nata. Pak Praja, pak Hadi dan kedua pekerja itu berbelok.
Pak Nata lalu meneruskan jalannya, kelihatannya terus naik. Benar saja, setelah beberapa saat, mereka tiba di puncak.
Dan terlihat bahwa puncak bukit ini berseberangan langsung ke Gunung Pangrango! Avis merasa ia bisa menjulurkan tangannya dan menyentuh Pangrango, kalau saja puncak Pangrango itu tidak diselimuti kabut. Tubuhnya menggeletar, sebagian karena dingin melihat kabut itu, sebagian lagi karena terlalu senang akan melihat sarang elang.
”Di sana,” sahut pak Nata sambil menunjuk, dan ia mengangkat teropongnya, mengarahkannya ke suatu bagian di Pangrango. Avis mengikutinya, mengarahkan teropongnya, dan ... itu dia! Sarang elang itu! Tepat di pinggir tebing yang tidak terselimuti kabut, terlihat sarang yang indah. Dengan seekor elang –nampaknya induk elang—sedang berdiri dan bersiap untuk melayang, mungkin akan mencari makan untuk anak-anaknya.
”Indah sekali,” desis Avis perlahan. Deburan jantungnya menjadi lebih kencang sekarang. Impiannya sejak SMP kini terlaksana, kini terpuaskan.
”Anaknya satu,” sahut pak Nata pendek.
”Bagaimana pak Nata tahu anaknya satu?” Avis takjub.
”Kalau induknya terbang mendekat membawa makanan, dia berdiri menyambut, jadi kelihatan. Ngomong-ngomong, saya jangan dipanggil pak, ah. Panggil Nata saja,” kikuknya kelihatan lagi.
Avis tersenyum. Umur mereka sepertinya memang tidak jauh berbeda, jadi memang mungkin saja pak ... eh, maksudku Nata merasa jengah diperlakukan demikian. Avis melihat lagi lewat teropongnya. Tak akan puas-puas dia melihat.
Induk elang itu terbang, tapi tidak begitu jauh. Ia meyambar sesuatu, dan kembali ke sarang. Tapi berbeda dengan penjelasan Nata tadi, ia tidak bisa melihat anaknya. Mungkin induknya melepaskan mangsanya ke bawah sehingga si anak langsung mematuknya, tanpa harus menyambar dari patuknya.
”Avis,” panggil Nata, Avis menoleh dari teropongnya. ”Kau masih hapal jalan ke persimpangan tadi?”
Avis mengangguk.
”Kalau kutinggal, kau bisa menemukannya ya? Aku ke sana dulu, mungkin mereka butuh bantuan. Kalau kau selesai duluan, kau pergi ke persimpangan itu, dari situ belok ke kiri, terus sekitar dua ratus meter. Kami pasti ada di situ. Kalau kami yang selesai duluan, kami akan langsung menjemputmu ke sini.”
Avis mengangguk lagi. Nata melangkah turun, hanya dalam hitungan detik ia sudah menghilang. Avis meneropong lagi. Tak akan puas-puasnya.
Kali ini induk elang itu seperti akan pergi lagi. Avis bisa menikmatinya, gerak demi gerak, seperti dalam film dengan slow motion. Dan sekarang ada tambahan lagi, kabut yang perlahan terusir, matahari yang semakin naik, sinarnya menyilaukan. Tapi tidak panas. Atau belum panas, masih hangat.
Induk elang itu kembali lagi, tapi tidak membawa mangsa. Ia seperti sedang berputar-putar, entah sedang apa. Mungkin ia … mungkin ia sedang memperlihatkan caranya terbang? Avis berpikir begitu, saat perlahan terlihat olehnya kepala anak burung itu muncul. Anak elang! Ah, lucunya! Seperti kata Aa dulu, langsung saja timbul keinginannya untuk menggendong dan membelainya. Duuuh, gemas. Benar-benar menggemaskan.
Avis tersenyum sendiri. Avis tertawa sendiri. Alangkah indahnya saat ini. Kalau kau melihat dari lensanya, kilatan sinar matahari yang baru saja naik, kabut tipis yang mulai terusir, seekor induk elang melayang dengan anggun, berbalik dan memutar di dekat sarangnya, dan seekor anak elang! Avis tak akan menukar keindahan ini dengan satu milyar, bahkan dengan satu trilyun pun!
Entah berapa lama ia berada di sana, tahu-tahu ia sudah dikelilingi pak Praja, pak Hadi, dan pak ...eh, maksudnya Nata.
”Ayo, sudah dulu melihatnya. Turun dulu, kita sarapan dulu,” sahut pak Praja.
”Eh, sekarang sudah jam berapa?” Avis merasa linglung, dan melihat jam tangannya. Setengah sembilan!
Pak Praja dan yang lainnya menertawakannya, dan ia juga akhirnya tertawa. Mereka kemudian turun, kembali ke Rumah Besar.
Seperti biasa jalan kembali selalu terasa lebih cepat dari jalan pergi. Ada tambahannya lagi, waktu mereka jalan tadi Avis merasa kagok pergi bersama mereka, tapi pulangnya mereka seperti sudah sangat akrab. Nata juga ikut dengan rombongan ini hingga ke Rumah Besar, tidak meninggalkan diri di Rumah Kaca.
”Jangan kembali ke rumah dulu,” cegah pak Praja saat Avis akan berbelok ke rumah yang ditinggali Aa, ”kita sarapan dulu saja. Ayo!”
Avis mulanya agak ragu, tapi Nata memberi isyarat agar ikut saja, maka iapun membelokkan arahnya.
Mereka sarapan bersama, bukan sarapan sih tapi makan pagi :P Mungkin kalau di luar negeri namanya brunch, soalnya breakfast bukan, lunch belum waktunya, tapi kalau di daerah dingin seperti di sini, kesempatan untuk mengisi perut seperti ini akan selalu disambut baik.
Pak Praja duduk di kepala meja, di kanannya kursi Avis yang sengaja dipilihkan oleh pak Praja sendiri, lalu di seberangnya Nata. Pak Hadi di sebelah Nata, sedang kedua pekerja yang tadi langsung ke belakang, ke dapur mungkin.
Saat Avis akan mengambil nasi, terpautlah pandangannya pada Nata. Laki-laki itu seperti sedang memandangnya tajam. Bukan, bukan seperti pandangan laki-laki pada perempuan seperti umumnya. Entah seperti apa disebutnya, seperti yang sedang menyelidik, mungkin.
Avis bergidik. Ia cepat membuang muka, berlagak sedang mengambil nasi. Ketika ia mengalihkan tempat nasi pada Nata, pandangannya sudah seperti biasa lagi.
Avis memejamkan mata, mengibaskan kepalanya, dan berkata pada dirinya bahwa itu mungkin hanya halusinasi. Ia ikut tertawa pada lelucon yang dilontarkan pak Hadi, dan bercakap-cakap seperti tasi. Untung kemudian datang teh Alia! Teh Alia, setelah sarapan dan Aa pergi ke kebun, setelah beres-beres sedikit, lalu bereksplorasi ke dapur. Bukan dapurnya, tapi dapur Rumah Besar. Ngobrol dengan jurumasak di sana sambil bantu-bantu sedikit, biasa, mencari tambahan ilmu memasak.
Jadi sekarang teh Alia bisa menjadi pendengar, tentang bagaimana elang yang dilihatnya. Sampai pak Praja dan pak Hadi tersenyum mendengar begitu antusiasnya Avis.
”Yah, kami harus bekerja lagi. Avis cerita sama Alia saja ya,” sahut pak Praja sambil berdiri, disusul pak Hadi dan Nata.
”Iya pak, makasih lho pak,” Avis pun ikut berdiri. Kalau ceritanya berdua saja dengan teh Alia, mending di rumah aja, nggak usah di Rumah Besar.
Saat pak Praja berdiri diikuti pak Hadi dan Nata, lalu Avis pun ikut berdiri, sekelebatan Avis melihat lagi wajah itu, pandangan itu. Kali ini ia tidak merasa takut, bahkan menjadi penasaran.
Mengapa Nata jadi begitu pandangannya? Seperti ... sedang melamun. Bukan, bukan sedang melamun. Tidak seperti begitu. Ia seperti … berpisah antara raga dan sukmanya. Sukmanya seperti entah ada di alam mana, yang jauh sekali dan tidak dapat diraih. Walau raganya ada di sini, hidup dan bercakap-cakap dengan yang lain, tetapi seperti mengawang-awang.
Hanya sepersekian detik, tapi Avis merasa Nata saat itu susah ditebak. Apakah dia sedang mendengarkan atau tidak. Apakah dia sedang ada atau tidak.
Sambil menuruni undakan dari Rumah Besar, ia terus memikirkan Nata. Kalau ia tidak diberitahu bahwa Nata itu adik dari pak Praja, mungkin ia tidak akan menduga. Wajahnya tidak mirip. Tapi ... tidak semua wajah adik-kakak sama. Apalagi di keluarga dengan sekian belas anak. Akan ada anak yang mirip ibu, ada anak yang mirip ayah, dan ada anak yang mirip dengan keduanya sehingga mungkin saja terlihat tidak sama.
Mungkin. Memang Avis merasa ada yang mengikat antara pak Praja dengan Nata. Ada garis yang sama antara wajah keduanya, tapi kalau dilihat sekilas, akan berbeda. Seperti kain batik, yang satu dijadikan kemeja, yang satu dijadikan kain penggendong, maka tampilannya akan berbeda. Tapi keduanya punya satu pengikat, sama-sama kain batik.
Apakah ... mereka berbeda ibu? Atau bahkan ayah? Tapi rasanya Aa tidak pernah bilang, atau Aa mungkin memang merasa tidak perlu bilang? Hm, rasanya tidak. Bukan itu. Ada garis kesamaan yang kuat antara pak Praja dan Nata, hanya saja wajahnya memang tidak sama, simpul Avis. Mungkin sifat yang membuat wajah menjadi berbeda, dalihnya, soalnya kelihatannya karakter mereka berdua tidak sama. Pak Praja sifatnya mengemong, sementara Nata lebih menyendiri. Kelihatannya. Soalnya mereka baru bertemu beberapa jam.
Ah, Avis, kamu kok jadi sok tahu begitu! Memang kuliahmu psikologi, tapi jadi sok menganalisis begini?
Avis cepat menepis pikirannya dan segera menyamakan langkah dengan teh Alia, ribut bercerita tentang unggas yang ia lihat tadi.
Sore Aa baru pulang, kelihatan lusuh. Bajunya kotor, begitu juga sepatu bootnya.
“Hallo, nona-nona yang cantik, bersih dan harum. Ada seorang gembel yang membutuhkan sentuhan tongkat wasiatmu, agar jadi pangeran yang tampan dan …” dan keduanya, adik dan istrinya, mendorongnya ke dalam ruang rahasia mereka alias kamar mandi, dan setelah itu memberinya ramuan penghangat perut alias sop buntut hangat.
“Dari mana dapat buntut? Kamu kan belum pernah belanja ke kota bareng bik Juju?”
“Ya, belanja ke kota sih belum, tapi bukan berarti nggak bisa dapet buntut ,” ujar teh Alia penuh rahasia.
“Trus, jadi buntut dari mana?”
”Ya, dari bik Juju.”
”Gimana...”
”Itu rahasia kami,” dan teh Alia tertawa bersama Avis.
”Huwah, dasar cewek-cewek! Baru beberapa jam di sini sudah berkoalisi dengan bik Juju,” gerutu Ardi sambil tersenyum. ”Vis, tadi pagi gimana? Nemu elangnya? Udah puas?”
”Nemu sih udah. Cantik banget. Induknya dan anaknya. Kaya’nya yang jadi anaknya sebentar lagi udah akan belajar terbang tuh, kata Nata, gelagatnya sih. Udah cukup umur.”
“Wahahaha, sekarang manggilnya Nata ya, bukan pak Nata lagi?”
”Ya dia yang mau gitu,” Avis bersungut-sungut, ”tapi nggak puas!”
“Nggak puas gimana? Sampai jam berapa tadi?”
“Jam sembilan.”
“Segitu siangnya? Ya, ampun. Nggak puas gimana?”
“Hehe. Pengen lagi…”
Ardi geleng-geleng kepala. “Kamu kan udah hapal jalan ke atas? Asal jangan mengganggu mereka yang sedang kerja saja. Bilang dulu sama pak Hadi minimal.”
”OK. Teh Alia, pinjem dulu, mau dipeluk nih,” dan kali ini Ardi dengan pasrah diperlakukan demikian. ”Tapi itu kan hanya sampai Senin. Selasa pagi aku pulang lagi ke Bandung. Lain kali ... boleh aku ke sini lagi?”
Ardi menengok pada Alia. ”Tergantung dia, yang punya kuasa di sini sekarang,” dan dia kembali pasrah dicubit oleh dua wanita itu.
~0~0~0~0~0~0~0
Word Count: 1.928
Akumulasi: 27.077 (MS Word) 27.056 (NaNoValidator)
Target: 26.667
Seperempat jam berjalan, dan agak mendaki terasa oleh Avis, ketika terlihat sebuah rumah kaca di kejauhan. Mereka mendekatinya. Selain rumah kaca juga ada ruangan biasa yang tidak tembus pandang, seperti rumah biasa. Pak Praja mendekati ruangan itu lalu mengetuk pintunya. Rupanya ada dua pintu, pintu dari Rumah Kaca, dan pintu ini.
Seperti yang sedang menunggu seseorang, pintu itu terbuka begitu diketuk.
Seseorang keluar dari pintu, ”Ayo, sekarang saja.”
Pak Praja menarik Avis mendekat, ”Ta, ini adiknya Pak Ardi, Avis. Dia ingin ikut melihat sarang elang itu.”
”Oh,” canggung dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Avis menerima uluran tangannya, dan dia agak kaget juga karena jabatan tangannya erat, cukup erat untuk tangan yang terlihat canggung. ”Kau panggil aku Nata saja,” katanya kikuk, ”Kau bawa teropong?”
Avis mengangguk. Benda itu yang pertama kali dikemas ketika Aa mengatakan di perkebunan ada yang menemukan sarang elang! Dikeluarkannya dari balutan sweater hangatnya.
Seperti hanya sekilas pak Nata memperhatikannya, tapi ia langsung bisa menilainya, ”Wah! Buatan lama, tapi bermutu sekali. Tidak akan kalah dengan buatan sekarang!”
Avis tersenyum. ”Iya, ini diberikan almarhum Papi padaku tahun 1989. Mungkin pembuatannya sebelum itu.”
”Jelas,” katanya, ”sepertinya buatan tahun 1987 atau 1986.” Tiba-tiba ia seperti orang yang kepergok berbicara terlalu banyak, ia langsung saja terdiam. Ia langsung masuk kembali, mereka menunggu beberapa saat, dan ia kembali dengan membawa teropong juga.
”Kita pergi sekarang?” tanya pak Praja. Pak Nata mengangguk, dan mereka melangkah lagi.
Avis diam-diam memperhatikan. Pak Praja itu anak sulung, kata Aa tadi sebelum ia pergi, sedangkan pak Nata itu bungsu. Bedanya hampir enam belas tahun. Jadi, kalau sekarang pak Praja umurnya 49 tahun, dia sekarang mestinya 33. Tapi kalau dia tidak diberitahu kalau pak Praja dan pak Nata kakak adik, mungkin ia akan mengira mereka berdua orang lain sama sekali.
Ada sesuatu dalam tarikan wajahnya yang kelihatan terlalu keras, terlalu tegang. Entah apa, Avis tidak meneruskan lagi analisisnya, ketika mereka tiba di persimpangan jalan setapak, di antara gerumbulan tanaman teh itu.
”Sektor, 17, sektor 18, dan sektor 19, ya. Kami ke sini saja langsung ya, kau temani nak Avis melihat sarang elang itu,” instruksi pak Praja, yang disambut anggukan pak Nata. Pak Praja, pak Hadi dan kedua pekerja itu berbelok.
Pak Nata lalu meneruskan jalannya, kelihatannya terus naik. Benar saja, setelah beberapa saat, mereka tiba di puncak.
Dan terlihat bahwa puncak bukit ini berseberangan langsung ke Gunung Pangrango! Avis merasa ia bisa menjulurkan tangannya dan menyentuh Pangrango, kalau saja puncak Pangrango itu tidak diselimuti kabut. Tubuhnya menggeletar, sebagian karena dingin melihat kabut itu, sebagian lagi karena terlalu senang akan melihat sarang elang.
”Di sana,” sahut pak Nata sambil menunjuk, dan ia mengangkat teropongnya, mengarahkannya ke suatu bagian di Pangrango. Avis mengikutinya, mengarahkan teropongnya, dan ... itu dia! Sarang elang itu! Tepat di pinggir tebing yang tidak terselimuti kabut, terlihat sarang yang indah. Dengan seekor elang –nampaknya induk elang—sedang berdiri dan bersiap untuk melayang, mungkin akan mencari makan untuk anak-anaknya.
”Indah sekali,” desis Avis perlahan. Deburan jantungnya menjadi lebih kencang sekarang. Impiannya sejak SMP kini terlaksana, kini terpuaskan.
”Anaknya satu,” sahut pak Nata pendek.
”Bagaimana pak Nata tahu anaknya satu?” Avis takjub.
”Kalau induknya terbang mendekat membawa makanan, dia berdiri menyambut, jadi kelihatan. Ngomong-ngomong, saya jangan dipanggil pak, ah. Panggil Nata saja,” kikuknya kelihatan lagi.
Avis tersenyum. Umur mereka sepertinya memang tidak jauh berbeda, jadi memang mungkin saja pak ... eh, maksudku Nata merasa jengah diperlakukan demikian. Avis melihat lagi lewat teropongnya. Tak akan puas-puas dia melihat.
Induk elang itu terbang, tapi tidak begitu jauh. Ia meyambar sesuatu, dan kembali ke sarang. Tapi berbeda dengan penjelasan Nata tadi, ia tidak bisa melihat anaknya. Mungkin induknya melepaskan mangsanya ke bawah sehingga si anak langsung mematuknya, tanpa harus menyambar dari patuknya.
”Avis,” panggil Nata, Avis menoleh dari teropongnya. ”Kau masih hapal jalan ke persimpangan tadi?”
Avis mengangguk.
”Kalau kutinggal, kau bisa menemukannya ya? Aku ke sana dulu, mungkin mereka butuh bantuan. Kalau kau selesai duluan, kau pergi ke persimpangan itu, dari situ belok ke kiri, terus sekitar dua ratus meter. Kami pasti ada di situ. Kalau kami yang selesai duluan, kami akan langsung menjemputmu ke sini.”
Avis mengangguk lagi. Nata melangkah turun, hanya dalam hitungan detik ia sudah menghilang. Avis meneropong lagi. Tak akan puas-puasnya.
Kali ini induk elang itu seperti akan pergi lagi. Avis bisa menikmatinya, gerak demi gerak, seperti dalam film dengan slow motion. Dan sekarang ada tambahan lagi, kabut yang perlahan terusir, matahari yang semakin naik, sinarnya menyilaukan. Tapi tidak panas. Atau belum panas, masih hangat.
Induk elang itu kembali lagi, tapi tidak membawa mangsa. Ia seperti sedang berputar-putar, entah sedang apa. Mungkin ia … mungkin ia sedang memperlihatkan caranya terbang? Avis berpikir begitu, saat perlahan terlihat olehnya kepala anak burung itu muncul. Anak elang! Ah, lucunya! Seperti kata Aa dulu, langsung saja timbul keinginannya untuk menggendong dan membelainya. Duuuh, gemas. Benar-benar menggemaskan.
Avis tersenyum sendiri. Avis tertawa sendiri. Alangkah indahnya saat ini. Kalau kau melihat dari lensanya, kilatan sinar matahari yang baru saja naik, kabut tipis yang mulai terusir, seekor induk elang melayang dengan anggun, berbalik dan memutar di dekat sarangnya, dan seekor anak elang! Avis tak akan menukar keindahan ini dengan satu milyar, bahkan dengan satu trilyun pun!
Entah berapa lama ia berada di sana, tahu-tahu ia sudah dikelilingi pak Praja, pak Hadi, dan pak ...eh, maksudnya Nata.
”Ayo, sudah dulu melihatnya. Turun dulu, kita sarapan dulu,” sahut pak Praja.
”Eh, sekarang sudah jam berapa?” Avis merasa linglung, dan melihat jam tangannya. Setengah sembilan!
Pak Praja dan yang lainnya menertawakannya, dan ia juga akhirnya tertawa. Mereka kemudian turun, kembali ke Rumah Besar.
Seperti biasa jalan kembali selalu terasa lebih cepat dari jalan pergi. Ada tambahannya lagi, waktu mereka jalan tadi Avis merasa kagok pergi bersama mereka, tapi pulangnya mereka seperti sudah sangat akrab. Nata juga ikut dengan rombongan ini hingga ke Rumah Besar, tidak meninggalkan diri di Rumah Kaca.
”Jangan kembali ke rumah dulu,” cegah pak Praja saat Avis akan berbelok ke rumah yang ditinggali Aa, ”kita sarapan dulu saja. Ayo!”
Avis mulanya agak ragu, tapi Nata memberi isyarat agar ikut saja, maka iapun membelokkan arahnya.
Mereka sarapan bersama, bukan sarapan sih tapi makan pagi :P Mungkin kalau di luar negeri namanya brunch, soalnya breakfast bukan, lunch belum waktunya, tapi kalau di daerah dingin seperti di sini, kesempatan untuk mengisi perut seperti ini akan selalu disambut baik.
Pak Praja duduk di kepala meja, di kanannya kursi Avis yang sengaja dipilihkan oleh pak Praja sendiri, lalu di seberangnya Nata. Pak Hadi di sebelah Nata, sedang kedua pekerja yang tadi langsung ke belakang, ke dapur mungkin.
Saat Avis akan mengambil nasi, terpautlah pandangannya pada Nata. Laki-laki itu seperti sedang memandangnya tajam. Bukan, bukan seperti pandangan laki-laki pada perempuan seperti umumnya. Entah seperti apa disebutnya, seperti yang sedang menyelidik, mungkin.
Avis bergidik. Ia cepat membuang muka, berlagak sedang mengambil nasi. Ketika ia mengalihkan tempat nasi pada Nata, pandangannya sudah seperti biasa lagi.
Avis memejamkan mata, mengibaskan kepalanya, dan berkata pada dirinya bahwa itu mungkin hanya halusinasi. Ia ikut tertawa pada lelucon yang dilontarkan pak Hadi, dan bercakap-cakap seperti tasi. Untung kemudian datang teh Alia! Teh Alia, setelah sarapan dan Aa pergi ke kebun, setelah beres-beres sedikit, lalu bereksplorasi ke dapur. Bukan dapurnya, tapi dapur Rumah Besar. Ngobrol dengan jurumasak di sana sambil bantu-bantu sedikit, biasa, mencari tambahan ilmu memasak.
Jadi sekarang teh Alia bisa menjadi pendengar, tentang bagaimana elang yang dilihatnya. Sampai pak Praja dan pak Hadi tersenyum mendengar begitu antusiasnya Avis.
”Yah, kami harus bekerja lagi. Avis cerita sama Alia saja ya,” sahut pak Praja sambil berdiri, disusul pak Hadi dan Nata.
”Iya pak, makasih lho pak,” Avis pun ikut berdiri. Kalau ceritanya berdua saja dengan teh Alia, mending di rumah aja, nggak usah di Rumah Besar.
Saat pak Praja berdiri diikuti pak Hadi dan Nata, lalu Avis pun ikut berdiri, sekelebatan Avis melihat lagi wajah itu, pandangan itu. Kali ini ia tidak merasa takut, bahkan menjadi penasaran.
Mengapa Nata jadi begitu pandangannya? Seperti ... sedang melamun. Bukan, bukan sedang melamun. Tidak seperti begitu. Ia seperti … berpisah antara raga dan sukmanya. Sukmanya seperti entah ada di alam mana, yang jauh sekali dan tidak dapat diraih. Walau raganya ada di sini, hidup dan bercakap-cakap dengan yang lain, tetapi seperti mengawang-awang.
Hanya sepersekian detik, tapi Avis merasa Nata saat itu susah ditebak. Apakah dia sedang mendengarkan atau tidak. Apakah dia sedang ada atau tidak.
Sambil menuruni undakan dari Rumah Besar, ia terus memikirkan Nata. Kalau ia tidak diberitahu bahwa Nata itu adik dari pak Praja, mungkin ia tidak akan menduga. Wajahnya tidak mirip. Tapi ... tidak semua wajah adik-kakak sama. Apalagi di keluarga dengan sekian belas anak. Akan ada anak yang mirip ibu, ada anak yang mirip ayah, dan ada anak yang mirip dengan keduanya sehingga mungkin saja terlihat tidak sama.
Mungkin. Memang Avis merasa ada yang mengikat antara pak Praja dengan Nata. Ada garis yang sama antara wajah keduanya, tapi kalau dilihat sekilas, akan berbeda. Seperti kain batik, yang satu dijadikan kemeja, yang satu dijadikan kain penggendong, maka tampilannya akan berbeda. Tapi keduanya punya satu pengikat, sama-sama kain batik.
Apakah ... mereka berbeda ibu? Atau bahkan ayah? Tapi rasanya Aa tidak pernah bilang, atau Aa mungkin memang merasa tidak perlu bilang? Hm, rasanya tidak. Bukan itu. Ada garis kesamaan yang kuat antara pak Praja dan Nata, hanya saja wajahnya memang tidak sama, simpul Avis. Mungkin sifat yang membuat wajah menjadi berbeda, dalihnya, soalnya kelihatannya karakter mereka berdua tidak sama. Pak Praja sifatnya mengemong, sementara Nata lebih menyendiri. Kelihatannya. Soalnya mereka baru bertemu beberapa jam.
Ah, Avis, kamu kok jadi sok tahu begitu! Memang kuliahmu psikologi, tapi jadi sok menganalisis begini?
Avis cepat menepis pikirannya dan segera menyamakan langkah dengan teh Alia, ribut bercerita tentang unggas yang ia lihat tadi.
Sore Aa baru pulang, kelihatan lusuh. Bajunya kotor, begitu juga sepatu bootnya.
“Hallo, nona-nona yang cantik, bersih dan harum. Ada seorang gembel yang membutuhkan sentuhan tongkat wasiatmu, agar jadi pangeran yang tampan dan …” dan keduanya, adik dan istrinya, mendorongnya ke dalam ruang rahasia mereka alias kamar mandi, dan setelah itu memberinya ramuan penghangat perut alias sop buntut hangat.
“Dari mana dapat buntut? Kamu kan belum pernah belanja ke kota bareng bik Juju?”
“Ya, belanja ke kota sih belum, tapi bukan berarti nggak bisa dapet buntut ,” ujar teh Alia penuh rahasia.
“Trus, jadi buntut dari mana?”
”Ya, dari bik Juju.”
”Gimana...”
”Itu rahasia kami,” dan teh Alia tertawa bersama Avis.
”Huwah, dasar cewek-cewek! Baru beberapa jam di sini sudah berkoalisi dengan bik Juju,” gerutu Ardi sambil tersenyum. ”Vis, tadi pagi gimana? Nemu elangnya? Udah puas?”
”Nemu sih udah. Cantik banget. Induknya dan anaknya. Kaya’nya yang jadi anaknya sebentar lagi udah akan belajar terbang tuh, kata Nata, gelagatnya sih. Udah cukup umur.”
“Wahahaha, sekarang manggilnya Nata ya, bukan pak Nata lagi?”
”Ya dia yang mau gitu,” Avis bersungut-sungut, ”tapi nggak puas!”
“Nggak puas gimana? Sampai jam berapa tadi?”
“Jam sembilan.”
“Segitu siangnya? Ya, ampun. Nggak puas gimana?”
“Hehe. Pengen lagi…”
Ardi geleng-geleng kepala. “Kamu kan udah hapal jalan ke atas? Asal jangan mengganggu mereka yang sedang kerja saja. Bilang dulu sama pak Hadi minimal.”
”OK. Teh Alia, pinjem dulu, mau dipeluk nih,” dan kali ini Ardi dengan pasrah diperlakukan demikian. ”Tapi itu kan hanya sampai Senin. Selasa pagi aku pulang lagi ke Bandung. Lain kali ... boleh aku ke sini lagi?”
Ardi menengok pada Alia. ”Tergantung dia, yang punya kuasa di sini sekarang,” dan dia kembali pasrah dicubit oleh dua wanita itu.
~0~0~0~0~0~0~0
Word Count: 1.928
Akumulasi: 27.077 (MS Word) 27.056 (NaNoValidator)
Target: 26.667
0 Comments:
Post a Comment
<< Home