My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Saturday, November 10, 2007

shaven vs Hulk Jr

HulkJr wrote:
Haloh.. Halooh...
Adakah di sini yang menulis nopel Humor selain ogut? :D


Coba baca excerpt-nya:

Pada sore itu, anak-anak SD Kampung Cihaneut pergi ngaji ke Musholla satu-satunya di sana. Terlihat aktivitas seperti biasanya, yaitu belajar merakit bom, belajar ngangkut tas yang isinya bom, dan.. Ups, ini pengajian apa belajar buat jadi teroris? (Pasti sebelumnya penulis dibayar Amerika tuh buat nulis itu.. hehehe) Ngaji mah dimana-mana juga belajarnya baca Quran, belajar Sholat, baca doa, dan lain sebagainya. Yeah, seperti itulah kegiatannya.
Jam 5 pengajian pun selesai, semua anak langsung menghambur keluar dari Musholla.
Tinggallah Junaedi atau yang biasa dipanggil Jujun, 7 tahun, sendirian di Musholla dan terlihat seperti kebingungan mencari sesuatu.
”Sendalkuu...
Where are you, Bey-beh!?” seru Jujun seakan-akan berharap sendalnya bakal menjawab. “Sungguh tega orang yang telah mencurimu.. hiks.. hiks..!”
Namun berapa lama pun Jujun mencari, sendalnya tidak pernah kembali, bahkan untuk mampir makan malam juga tidak pernah hadir. Dengan perasaan kesal, akhirnya dia memutuskan untuk pulang saja, dan kisah hilangnya sendal ini akan tetap berada di memorinya, sampai-sampai dia berjanji sampai kapanpun dia akan menemukan pelakunya.
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
9 Tahun kemudian…
“Ok, Class! Kali ini ibu ingin kalian menerangkan profesi apa atau cita-cita yang ingin
kalian peroleh ketika sudah lulus!” kata Bu Heni memulai pelajaran Bahasa Indonesia dengan menggebu-gebu di kelas 1-1 SMA PUT (Sekolah Menengah Atas
Pelangi Imut) seperti jiwanya masih muda, padahal sih sudah kepala 4. “Ibu mau dimulai dari Nani!”
“Siap, Bu! Nani teh pokoknya kalau sudah besar ingin punya wajah cantik, mobil banyak, punya suami orang kaya, terus…”
“Nani, Itu sih keinginan kamu, bukan cita-cita,” semprot bu Heni, membuat Nani terdiam dan menundukkan kepalanya.
“Ibu ulangi lagi ya, profesi apa yang ingin kamu peroleh di masa depan?” ujar Bu Heni sabar.
“Oh, jadi itu pertanyaannya, bu?” tanya Nani, Bu Heni hanya mengangguk. “Kalau gitu, nanti di masa depan, saya mau jadi cewek cantik, menarik, disuk..”
“Sudah cukup..” seru Bu Nani sambil tetap mencoba tersenyum. “Ibu lempar saja pertanyaan ini sekarang ke... Ujang Sumenep!”
“Hadir!!” Ujang langsung mengacungkan tangannya dan berdiri.
”Cita-cita saya, tak lain dan tak bukan adalah menjadi penerus Bapak saya yang sekarang sedang bekerja keras menafkahi anak-anaknya demi profesinya. Bahkan
sampai-sampai tubuhnya yang dulu gemuk sekarang menjadi langsing dan berotot.
Sungguh pekerjaan yang mulia dan..”
”Jadi, pekerjaannya apa?” potong Bu Heni mulai kesal.
”Profesinya adalah Petani, Bu, pokoknya saya akan menjadi petani yang sukses deh, soalnya saya juga pengen kayak bapak, jadi berotot dan keren, bisa menghidupi selu..”
”Oke, Petani, Roger That!” potong Bu Heni lagi, membuat Ujang langsung terdiam, namun kembali melanjutkan ceritanya kepada teman sebangkunya. ”Sekarang, lanjut ke yang lain.. Junaedi!”
Jujun yang sedari tadi sudah menunggu momen itu langsung berdiri dan menjawab dengan percaya diri,
”Saya.. akan... menjadi... Detektif!!” Semua kepala langsung menoleh ke arah Jujun seakan terpesona dengan gaya cool-nya Jujun.
”Emang detektif itu apa ya?” tanya Hamid salah seorang teman Jujun.
”Aku tahu, aku tahu!” seru Ramlan sambil mengacungkan kedua tangannya, tak sadar telah membuat suasana seluruh kelas seperti berada di bus kota, bau asem. ”De ’tektip ituh pasti adeknya Ka’tektip..”
Kontan saja jawaban Ramlan membuat seluruh kelas tertawa. Tak terkecuali bu Heni yang tertawa ngakak menggelegar, sambil ngesot di lantai.
Lumayan lha, lantai kelas jadi rada bersih dipel ama bu Guru.
”Hahaha... Kalian ini aneh-aneh saja. Detektif itu kalo di kita mah kayak satpam, Iya kan bu?” jawab Jujun gabungan antara polos dan sok tahu.
Ibu Heni yang sekarang sudah kembali berdiri dan berlagak seolah-olah akan menjawab pertanyaan dari juri Miss Universe, menjawab dengan tenang, ”Walah, ternyata belum pada tahu profesi ini ya? Jadi, detektif itu adalah suatu pekerjaan dimana pekerjaannya itu mengungkap suatu kasus yang biasanya sangat sulit dipecahkan dan ditemukan pelakunya, dengan mengumpulkan segala bukti yang ada di TKP atau Tempat Kejadian Perkara, maupun dari saksi-saksi..”
Jujun mengangguk-ngangguk. Sedangkan teman-temannya yang lain hanya bengong dan melongo, untung saja jin-jin di kelas mood-nya lagi pada baek, jadinya ga ada yang kesurupan.
”Kalau ibu boleh tahu, alasan kamu memilih untuk jadi detektif apa ya?” tanya Ibu Heni penasaran.
”Alasannya, karena dulu ada kasus tak terpecahkan di daerah saya, Bu, dan sampai sekarang saya masih penasaran dengan pelakunya,” urai Jujun dengan semangat. ”Dan juga, saya liat di film-film kok detektip banyak disukai cewek ya?”
”Booooo.. booo........!!” terdengarlah suara merdu anak-anak sekelas yang sepertinya kecewa dengan bagian terakhir jawaban Jujun yang sangat jujur.
* * *
”Juuuun! Jujuuun!!” panggil seseorang memanggil Jujun yang saat itu sedang berada di kantin sambil makan cimol kesukaannya, soalnya kalau beli cimol dapet banyak walaupun cuma serebu perak.
”Ada apa, Mer? Kok kamu kayaknya manggil aku mesra gitu?” tanya Jujun pada Meri yang saat ini kelihatan sangat kecapekan karena manggil-manggil Jujun dengan kekuatan sama dengan ketika berbicara dengan memakai TOA.
”Hosh... Hosh...!! Bagi minum dulu.. hosh.. hosh...” kata Meri masih ngos-ngosan, kayak habis ajojing di diskotik.
”Walah, ternyata minta ditraktir, kirain ada masalah apa!” ujar Jujun sambil menyodorkan minumannya pada Meri yang seketika itu juga minumannya
langsung amblas tak bersisa, sampai-sampai Jujun mengira gelasnya bocor.
”Fyuh, lega.. Makasih, Jun! Seger pisan lha! ’Ntar tagihannya kirim aja ke rekeningku ya.”
”Hehehe.. bisa aja kamu! Di sini kan kagak ada Bank, palingan juga nabung di celengan atau di bawah bantal,” canda Jujun membuat Meri tertawa terkikik menyaingi kuntilanak yang hobi nangkring di kuburan. ”Beneran nih ga ada masalah apa-apa?”
Seketika itu juga wajah Meri kembali pucat dan terlihat panik, ”Oh iya, Jun! Tasku, Jun! Tasku hilang! Sepertinya ada yang menyembunyikan, kamu bisa menemukannya kan? Katanya kamu bercita-cita jadi detektip kan? Yah, itung-itung kasus pertamamu sebagai detektip.. Yah.. Yah.. Pliiisss...!” Meri merayu Jujun sambil mengedipkan matanya dengan super genit, untung Jujun belum makan makanan berat, kalo ngga pasti langsung muntah deh.
”Ya udah, biar aku ga jij- Maksudnya, supaya aku bisa mengasah bakat detektifku, aku terima kasus ini, cuma bayarannya apa nih?”
”Ya ampun, Jun! Kamu sama teman gitu ya? Minta bayaran.. huhuu..” Meri yang memang paling males keluar duit langsung menangis tersedu-sedu ketika menyerahkan uang sepuluh ribu dari dompetnya kepada Jujun.
”Wah, makasih nih, Mer! Tapi ini masih DP-nya yah!” kata Jujun masih menggoda Meri, bibir Meri langsung mengerucut dan maju beberapa senti, hampir saja memecahkan Guinnes Record sebagai bibir termaju di dunia. ”Yuk, kita mulai penelitiannya, dimana tempat terakhir tasnya disimpan?”
”Di kelasku,” jawab Meri singkat.
”Langsung menuju TKP!” ujar Jujun bersemangat.
Di kelas, Jujun sudah mulai beraksi memeriksa seperti detektif di film-film yang dia tonton, kayak Doraemon, Crayon Sinchan, si Eneng dan Kaus Kaki ajaib, si Entong, dan lain-lain. Lho kok semua filmnya ga ada yang bertema detektif? Anda bingung? Penulis pun bingung.. Hidup Bingung! (dijitak si Jujun).
Jujun mulai mencari-cari petunjuk yang ada di kelas Meri yang kini sedang ditinggal oleh murid-murid karena masih istirahat, Jujun memulai penyelidikan dari pojokan kelas sampai akhirnya semua area disisir habis olehnya, bahkan roti yang ada di bangku Mudin pun disikat habis oleh Jujun.
ZWEET.. Jujun bergerak cepat seperti telah menemukan sesuatu. Dia melihat cermin di bawah meja guru yang langsung diambil olehnya.
”Beeuh, aku keren banget ya! Keren banget deh sumpah! Sungguh beruntung punya wajah seperti ini, mantap nian!”
’BLETAK!!’ Meri langsung menyadarkan Jujun, begitulah Jujun tiap ketemu cermin penyakit narsisme-nya keluar.
”Haduh, maap.. maap... Ini cermin kamu kan?” tanya Jujun yang dijawab singkat oleh Meri dengan anggukan, sepertinya Meri masih jijik melihat narsisnya Jujun. ”Berarti aku sudah tahu pelakunya.”
Meri kembali bersemangat, ”Beneran, Jun? Siapa tuh pelakunya? Mau aku hajar sampe mampus kalo bener-bener dia pelakunya!” sifat sangar Meri mulai keluar, dia memang merupakan satu-satunya cewek yang berotot di sekolah Jujun.
Abisnya kerjaan dia setiap hari kalo ngga gebukin kasur yang dijemur, ya nimba sumur di rumahnya. ”Cepetan dong, Jun, kasih tahu siapa pelakunya..”
”Fufufu...” Jujun berlagak cool. ”Yakin mau tahu pelakunya? Soalnya ini berhubungan dengan hidup dan matimu.”
”Hah? Separah itukah, Jun?” tanya Meri kaget.
”Enggak juga sih, kan lumayan tuh buat mendramatisir.. hehehe..”
”Yeee.. yang serius atuh! Siapa pelakunya?” tanya Meri semakin penasaran.
”Pelakunya.. adalah....” kata Jujun agak melama-lama, sampai Meri menahan napasnya saking tegangnya. ”Bapak Asep!”
”Apaaaah? Brooot...” pekik
Meri ditambah suara kentutnya gara-gara tadi kelamaan tahan napas jadi keluar lewat belakang deh. ”Tahu dari mana? Apa buktinya?” Meri langsung menyerbu
dengan pertanyaan beruntun karena masih penasaran.
”Nih, buktinya! Tadi aku menemukan itu di dekat cermin ini, sepertinya terjatuh karena tertiup angin,” ujar Jujun sambil menyerahkan secarik kertas kepada Meri yang langsung dibaca oleh Meri. ’Kepada Meri: Tas kamu Bapak sita, karena tadi kamu tidak ikut pelajaran Bapak, kalau mau tas kamu kembali segera menghadap Bapak TITIK SEBESAR UJUNG PULPEN. Your Love, Bapak Asep Tea.’
Bapak Asep adalah guru Kimia di SMA PUT yang memang terkenal sebagai guru yang tegas dan ’killer’. Dulu juga katanya pernah ada murid SMA PUT yang terbunuh gara-gara kecelakaan pesawat. Duh, ga nyambung, lagi-lagi penulis eror... Hidup Eror!
”Huaa.. Ternyata disita Bapak Asep, gimana dong nih, Jun?”
”Karena kasus sudah terpecahkan, Detektif Jujun memohon diri, semoga sukses!” kata Jujun dibuat se-Cool mungkin, ingin meniru gayanya Roger Moore di film Jaelangkung 5, eh, James Bond.
”Jujuunn.. jangan kabur dong, bantu aku.. Huaaa..! Jujuunn!!” Meri semakin menangis menjadi-jadi.
Kasus pertama Jujun diselesaikan dengan baik, memang kasus yang sekarang belum ada apa-apanya. Tapi, Jujun berjanji untuk tetap berjuang dalam menyelesaikan kasus sesusah apapun, yang penting jangan susah-susah banget deh.
Halah.
* * *

Dan bandingkan dengan buatan shaven:

Hari sudah hampir pagi, namun kegelapan masih bersinggasana, sinar mentari yang masih malu-malu belum mampu menggantikan gelapnya malam yang tak erbintang.
Butuh beberapa jam lagi bagi sang mentari untuk sepenuhnya bisa menggeser kedudukan raja malam. Cahaya bulan tak mampu menembus pekatnya awan, bintang seolah tak dijinkan berkelip, kabut tebal turun menyelimuti bumi Aesterra,
kegelapan benar-benar berjaya.

Dalam keremangan cahaya obor di setiap ujungnya, sebuah istana besar berdiri megah dan mengancam. Istana itu terletak di atas sebuah bukit berawa, dengan parit besar berisikan lumpur dan air kotor yang mengelilinginya. Cahaya yang temaram dan kabut yang tebal, ditambah gelapnya dinding dan hiasan hewan bersayap yang menyeringai menyeramkan menambah angkernya suasana di sekitar istana.

Dinding gelap, tebal dan tinggi yang berada di struktur luar istana mengelilingi halaman yang berada di dalam bagaikan pagar pelindung, di setiap ujungnya berdiri satu menara bulat yang menjulang ke atas langit. Di halaman dalam yang terlindung oleh dinding luar yang tak tertembus, menjulanglah satu kompleks istana raksasa dengan menara-menara yang berdiri megah.

Istana kegelapan itu adalah Istana Jaggar, pusat kerajaan Gargan.

Malam itu, di salah satu menara bulat yang menjulang di dinding luar Jaggar, dua sosok manusia ganjil mengendap-endap mencoba menaiki menara di tengah gelapnya malam.

Kegelapan yang…

JDUK!

“Adooohhhhh!!” Satu sosok tinggi kurus mengelus-elus kepalanya yang benjol setelah menabrak dinding menara yang terbuat dari batu. “Dalgude! Di mana kamu?! Dalgudeee!! Sapa yang naruh tembok di sini sih?”

“Iya… iyaaa… saya ada di sini, Yang Mulia.” Terdengar teriakan di ujung lain.

“Kenapa di sini gelap sekali? Mana saklar lampunya?”

“Cerita ini settingnya fantasi medieval, Yang Mulia. Lampu belum diciptakan.”

“Kepret! Ya sudah! Nyalakan lilin atau obor!”

“I-iya, Yang Mulia. Segera laksanakan, saya ambil api dulu di obor di ujung sana.”

JDUK! JDUK! JDUK! JDUK!

“Dalgudeee!! Suara apa itu jduk jduk?”

“Aduh, mo-mohon maap, Yang Mulia. Itu suara saya nubruk tembok. Saya juga gak bisa lihat apa-apa. Duh, benjol nih.”

Tak lama kemudian beberapa obor menyala dan menerangi menara yang tadinya gelap. Kedua sosok manusia itu melanjutkan perjalanan mereka ke atas menara, naik sampai ke ujung tertinggi di mana mereka bisa menikmati suasana malam yang gelap.

Sosok tinggi kurus yang berada di depan memiliki wajah yang susah dijabarkan dengan kata-kata, jelek nggak, ancur iya. Sosok itu memiliki kumis tipis melintang
jarang di atas bibir, gigi kelinci yang nongol ke depan lebih jauh dari hidung,
rambut tipis menjelang botak, hidung pesek dan mata yang terbelalak tapi
berpandangan kosong. Perawakan yang tinggi kurus dan membungkuk makin
memperburuk penampilannya. Walaupun penampilannya agak-agak ancur, tapi sosok ini mengenakan pakaian yang sangat megah dan mewah. Baju kebangsaan Gargan yang ia kenakan luar biasa indah dan terbuat dari kain yang sangat mahal walaupun hanya dihiasi warna hitam dan emas. Jubah bersayap berwarna gelap yang kadang berkibar ditiup angin malam menambah aksen angker sosok ganjil
ini.

Dalgude DePoyo, sosok hamba setia mengikuti langkah majikannya sampai ke atas menara. Tidak banyak yang bisa dijabarkan dari sosok Dalgude, wajahnya biasa-biasa saja, tidak ganteng tidak juga jelek. Rambutnya yang berwarna kecoklatan dipotong melingkar membentuk batok kelapa, wajahnya bulat dan berkesan sedikit gemuk, tubuhnya pendek dan gempal. Pakaiannya terbuat dari bahan yang mahal tapi berdesain sederhana. Sosok yang biasa-biasa saja.

Dalgude menggerutu dalam hati, dia tadi sedang terlelap dan membayangkan sedang bercinta dengan mantan kekasih di desa ketika tuannya membangunkan di tengah malam gelap ini. Entah apa maunya dia mengajak ke menara ini, apa coba yang mau dinikmati? Pemandangan gak kelihatan, anginnya dingin, bukannya terhibur bisa-bisa malah masuk angin. Duh, betapa inginnya dia kembali ke tempat tidur dan melanjutkan mimpi yang tadi.

“Dalgude.”

Panggilan sang majikan membuyarkan lamunan Dalgude. “Siap, Yang Mulia.”

Saat itu mereka berdua telah sampai di puncak menara. Seperti perkiraan Dalgude, tidak nampak apa-apa dari atas situ, pemandangan di luar sangat gelap dan tertutup kabut. Angin dingin berhembus menusuk kulit, untung saja Dalgude mengenakan baju berlapis-lapis.

“Dalgude.”

“Siap, Yang Mulia.” Apaan sih manggil melulu, batin Dalgude dongkol.

“Aku tidak bisa tidur.”

“Kenapa, Yang Mulia? Jangan-jangan Ibu Suri menyembunyikan lagi boneka beruang Yang Mulia?”

“Bukan masalah itu, Dalgude.”

“Lalu apa gerangan masalah yang sedang dipikirkan? Mungkin saya bisa membantu?”

“Ini masalah penaklukan, Dalgude. Besok pasukanku akan mulai bergerak menaklukkan seluruh penjuru negeri. Pasukanku yang kuat dan sangat kubanggakan.” Kata sosok berjubah di hadapan Dalgude.

“Oh itu.” Dalgude menarik nafas lega, kirain masalah apaan kok pake curhat segala. “Mungkin Yang Mulia terlalu senang sehingga tidak bisa tidur. Jangan khawatir, Yang Mulia. Di seluruh Aesterra tidak ada yang sanggup menyamai ketangguhan kekuatan pasukan Yang Mulia. Semua pasti akan takluk di hadapan Gargan.”

“Bukan itu yang membuatku tidak bisa tidur, Dalgude.” Sang majikan mendesah. Keningnya berkerut dan wajahnya masam, seperti ada masalah yang sangat berat yang saat ini sedang ia tanggung sendirian. Dalgude makin bingung, jangan-jangan ada masalah kenegaraan yang amat penting yang menyangkut kelangsungan kerajaan Gargan? Sang majikan melanjutkan. “Ini masalah nama, Dalgude.”

“Heh?”

“Masalah nama.”

“Heh??”

“Masalah nama. Kamu kok bolot.”

“I-iya, maksud saya, ada masalah apa dengan nama Yang Mulia?”

“Aku tidak pede menaklukkan dunia dengan namaku yang sekarang ini, Dalgude.”

“Walah.”

“Semua penjahat legendaris punya nama yang keren, Dalgude. Contohnya: Lex Luthor, The Joker, Magneto, Gerombolan Siberat, semua punya nama yang keren. Aku tidak yakin pada namaku sendiri… aku sedih…”

“Walah.”

“Aku akan mengganti namaku, Dalgude. Seluruh dunia akan takluk di bawah nama baruku! Hahaha!”

Dalgude geleng kepala, kadang-kadang majikannya memang gemar melakukan hal sinting. “Memangnya mau diganti pakai nama apa, Yang Mulia?”

“Dengar baik-baik, aku akan mengubah namaku menjadi: Lord Sauron!”

“Lho, nama itu bukannya sudah dipake di serial Lord of The Rings, Yang Mulia? Mungkin cari nama yang lain lagi?”

“He? Sudah dipake? Kalo begitu, aku akan menggunakan nama: Voldermort!”

“Ampun, Yang Mulia. Nama itu kan juga sudah dipake di seri Harry Potter, kita bisa dituntut sama JK Rowling kalau Yang Mulia pake nama itu. Mungkin Yang Mulia bisa…”

“Grr… gimana kalau: Darth Vader?!”

“Maaf. Itu juga sudah ada di serial Star Wars. Kalau saya boleh usul…”

“Gimana sih?! Ini gak boleh itu gak boleh! Ya sudah, daripada repot mendingan aku pake nama simpel aja: Pangeran Matahari!”

“Sekali lagi hamba mohon ampun, Yang Mulia. Tapi nama itu juga sudah digunakan oleh Bastian Tito di serial Wiro Sableng.”

“Kupret! Yang simpel gitu juga udah kepake? Kalau begitu nama mana yang belum dipake?”

“A-anu… saya tadi baru mau usul, bagaimana kalau memakai nama asli Yang Mulia saja? Lebih original dan tidak mengandung unsur plagiarisme. Lagipula kita kan harus bangga pada…”

“Edan kamu! Nama asliku kan Inez Croaz! Mana ada penjahat keren namanya Inez? Cowok pula! Ogah! Harus diganti!! Pokoknya harus diganti! Kalau gak diganti aku gak mau muncul lagi di cerita ini! Biarin pengarangnya bingung, salah sendiri kasih nama tokoh utama kok gak bermutu! Pake generator ato gimana kek, cari nama yang keren dikit! Sudah dikasih nama Inez, eh belakangnya Croaz pula, gak nyambung! Gak ada serem-seremnya!”

“Maaf Yang Mulia, tapi itu salah besar.” Dalgude mencoba membantah dan mengagungkan nama majikannya dengan bangga. “Nama Lord Croaz sudah sangat terkenal di seantero Aesterra. Siapa yang tidak mengenal Lord Croaz Raja Gargan? Raja agung dari sebuah kerajaan besar dengan pasukan perang yang paling tangguh di bumi Aesterra. Nama yang menyebarkan kengerian di setiap relung insani, nama yang dikagumi, disegani dan ditakuti. Saya yakin Yang Mulia, setelah menaklukan seluruh negeri, nama Yang Mulia akan makin dikenal, bahkan dikenang sepanjang masa: Lord Croaz Sang Penakluk, Raja Gargan, Raja seluruh negeri, Raja Aesterra!”

“Zzz…”

“Yang Mulia?”

“Zzzzzzz…”

“Ma-maaf, Yang Mulia?”

“Zzzzzzz… grooookkkkk.”

“Kepret. Malah ngorok.”

Angin dingin makin merasuk ke kulit, Dalgude memandang ke luar jendela menara, ke arah kegelapan. Sebentar lagi, Yang Mulia. Sebentar lagi. Batin hamba setia itu. Tak lama kemudian, iapun terlelap.


Euh, ini malah isinya copy-paste melulu. Hihi. Biarin, biar nggak males klik lagi link.

Apa yang ada di benakmu waktu membaca kedua tulisan ini?
Pernahkan kau membayangkan kedua penulis berbakat ini dikunci berdua, dan dititahkan pada mereka untuk menulis?

Wekekek...

*kabur sejauh-jauhnya, bukan ke Timbuktu karena shaven berdomisili di Timbuktu, jadi kalau kabur ke Timbuktu sih sama saja dengan menyerahkan diri*

0 Comments:

Post a Comment

<< Home