Hari Ketiga
Menu hari ini masih sama seperti tadi ^0^
(Euh, minuman tambah susu coklat :P)
~0~0~0~0~0~0
Avis menghempaskan badannya hingga terbenam di sofa. Baru menurun-nurunkan barang dari mobil saja sudah begini lelah. Belum mengeluarkannya, membereskannya ... Dan sebagian besar barang sudah dikirim ke sini sebagian-sebagian, jadi ada tambahan kerjaan untuk membereskan barang selain dari yang tadi diturunkan dari mobil. Terutama buku-buku Papi dan pecah-belah Mami yang tak terpakai.
”Pecah-belah Mami yang dipak terdahulu itu nggak usah dibuka dulu deh, Vis,” sahut Mami, sama menghempaskan diri di sofa. ”Langsung saja petinya disusun di gudang, oya, mending bersihin gudang dulu pakai karbol, abis itu simpen peti-peti pecah-belah itu, taburi kamper yang banyak. Kapan baru kita perlu pakai piring-piring itu ya ...”
”Paling nanti kalau ngawinin Avis,” ledek Ardi, mulai lagi deh kebiasaannya.
”Yee, Aa kan lebih tua, jadi Aa dulu yang kawin,” sungut Avis.
”Tapi kamu kan perempuan, biasanya kawin lebih cepet. Lihat saja nanti, baru lulus SMA udah pengen kawin.”
Avis tidak menjawab, malah menguap lebar-lebar. Tadi pagi ia bagun pagi sekali, dinihari malah, jam setengah empat, menghabiskan membereskan barang-barang yang masih belum beres. Dan sampai di Bandung, langsung menurun-nurunkan barang pula.
“Sudah, Di, adikmu itu jangan diganggu. Biarin tidur. Sini bantuin Mami ngangkat kompor ke dapur, kita kan perlu masak air. Oya, rice cookernya juga sekalian, kalau enggak kita nggak bisa makan malam ...”
Merasa diberi angin, Avis kemudian membaringkan diri di sofa dan memejamkan mata, sebelum ada kardus menjatuhi kepalanya. ”Siapa sih yang ...” kemudian disadarinya bahwa kardus itu jatuh dari tumpukan di samping sofa. Lha, tadi yang menyusun tumpukan di samping sofa kan dia. Berarti dia yang kurang rapi menyusunnya, bisa jatuh begitu.
Dikembalikannya ke tumpukan, tapi kemudian dia baru sadar, tumpukannya terlalu tinggi. Suatu saat akan menjatuhinya lagi. Jadi kardus kecil tadi dipindahkan ke meja di samping sebelah sana sofa. Setengah dilemparnya karena dia sudah ingin memejamkan mata, tapi dia baru sadar bahwa kardus kecil ini cukup berat juga.
Dan karena barusan setengah dilempar, kardus itu jadi agak membuka. Avis terpaksa duduk dan meletakkan kardus itu dengan layak. Kardus bagian atasnya agak membuka, jadi Avis menutupnya. Selintas terlihat sebagian, seperti bungkusan kertas coklat. Bungkusan yang dikuwel-kuwel. Duh, entah punya siapa, atau entah itu isinya apa, Avis tidak begitu peduli. Setelah meletakkan kardus di meja dengan baik, ia berbaring lagi dan memejamkan mata.
Dan ia serasa ada di negara antah-berantah.
Lingkungannya hijau asri. Rasanya ia tak pernah pergi ke tempat yang begini asri. Suasananya sejuk. Pohon-pohon di mana-mana. Jalan yang sedang ia tapaki kecil, lebih pantas dibilang jalan setapak. Nanti dulu, jalannya beberapa buah. Ada jalan yang agak besar, ada dua mungkin jalan yang lebih kecil mengapitnya. Ia seperti sedang berjalandi jalan yang lebih kecil.
Dari kejauhan tedengar suara ribut. Seperti yang ia kenal. Er, .. mungkin bukan ia kenal, tapi ia pernah dengar. Di film? Dan ia benar, suara ribut itu berasal dari seekor kuda yang dipacu kencang oleh penunggangnya.
O, jadi itu fungsi jalan berlapis ini. Jalan yang ditengah, yang agak besar, dipakai oleh pengendara kuda atau kereta, dan pejalan kaki berjalan di jalan yang lebih kecil di sisinya.
Tunggu dulu! Aku ada di mana? Sejak kapan ada jalan kuda dan jalan pejalan kaki di sini? Di tahun 1989? Di Bandung? Paling-paling adanya di jalan Gelap Nyawang dan sekeliling Tamansari. Avis melihat berkeliling.
Tempatnya seperti ia kenal, seperti tempat yang biasa ia datangi sehari-hari. Tapi di mana? Apakah aku memang biasa datang ke tempat ini? Ada rasa biasa di situ.Seolah-olah ia memang penduduk di sini.
Avis berusaha mengamati berkeliling. Ada orang, banyak malah. Dan mereka tidak melihat padanya. Hal yang paling ia perhatikan ialah, pakaian mereka berbeda!
Yang laki-laki mengenakan celana panjang dan sesuatu seperti kemeja. Plus ikat kepala. Potongannya sih biasa-biasa, tapi warnanya kebanyakan kecoklatan, sogan. Putih, hitam, dan nuansa hijau. Wanitanya memakai baju seperti di jaman dulu, kain dan kebaya. Rambut panjang dikepang, yang sudah nampak seperti ibu-ibu, rambutnya dikonde.
Di manakah ia berada?
Mentari pagi menyapa ramah seorang laki-laki yang berjalan dengan wajah segar, sesegar embun yang masih melekat di pucuk dedaunan dan rerumputan. Hm, waktunya pagi-pagi berarti.
Laki-laki itu ditemani seorang anak, tidak begitu tepat disebut anak, seorang pemuda mungkin? Mereka berjalan tidak terlalu cepat. Lelaki yang lebih tua memakai baju warna gelap, menyandang sesuatu semacam bungkusan. Dari dalamnya menyembul, nampaknya sebuah beliung. Lelaki yang lebih muda tidak membawa apa-apa.
"Pagi, Raka," sebuah suara menyapanya.
"Selamat pagi, Mbok. Cuaca cerah hari ini ya, semoga cucian Mbok cepat kering," sahut laki-laki itu ramah pada sang penyapa, seorang wanita tua gemuk yang sedang memeras cucian dan menggantungnya pada seutas tali jemuran.
"Terima kasih, Raka. Giliran kerja?"
"Yups. Kapan giliran Juned?"
"Mungkin minggu depan. Inikah anakmu? Rama ya?"
”Iya. Akan aku perkenalkan pada lingkungan kerja, dia sudah hampir masuk usia kerja.”
”Ah, sudah hampir enambelas?”
”Baru empat belas kok, Mbok.”
“Baru empat belas?” wanita itu mengulang, “Kan dia baru boleh bekerja di umur enam…”
“Iya, makanya dia hanya akan kubawa melihat-lihat. Mumpung Guru Ajijaya sedang meliburkan mereka. Katanya Guru mau mencari tumbuhan ke desa lain.”
”Oh, Guru sedang ke luar desa? Jarang-jarang dia keluar. Tapi, ya benar, mumpung. Ya, sudah, semoga dapat batu yang bagus.”
“Makasih, Mbok! Permisi!”
Kedua laki-laki itu meneruskan perjalanannya, dan si Mbok juga meneruskan menjemur.
Avis mendekat pada kedua laki-laki itu dan mencoba untuk menegur, tapi tidak bisa. Ia tidak bisa berbicara, tidak bisa didengar, dan tidak bisa dilihat nampaknya.
Yah, kalau begitu, Avis memutuskan, mengikuti saja kedua laki-laki itu. Laki-laki yang lebih tua itu melanjutkan langkahnya sambil bersiul-siul seirama nyanyian unggas yang berloncatan dari dahan ke dahan. Matanya jauh memandang ke depan. Dari segala penjuru kampung ada banyak orang sepertinya, dengan ikat kepala, ada yang terlihat membawa beliung, ada juga yang peralatannya tersimpan rapi dalam bungkusan yang mereka sandang. Mereka saling melambaikan tangan, bertegur sapa sambil terus saja berjalan ke arah yang sama.
”Jadi, namanya Pertambangan. Seperti yang akan kau lihat nanti, ini dikuasai negara. Negara yang membaginya dengan adil. Soalnya kalau dikuasai satu orang, nanti ada yang sangat kaya, ada juga yang miskin tetap miskin.”
Pemuda itu mengangguk-angguk. Lalu bertanya ragu, ”Kenapa bisa sangat kaya?”
”Karena Pertambangan ini menghasilkan batu, bermacam batu. Ada yang hijau, ad ayang merah, ada yang biru, dna macam-macam lagi. Kecubung, safir, dan entah apa lagi yang kuhapal namanya. Kecuali mutiara, karena mutiara adanya di dalam laut. Dan ajaibnya, batu-batuan itu tak habis-habisnya, terus saja ada. Makanya dikuasai oleh negara. Hasilnya dibagikan pada rakyat lagi, berupa jalan yang bagus, pendidikan yang gratis, berobat ke tabib tidak bayar karena tabib dibayar negara. Dan kita hanya membayarnya dengan bekerja sukarela sebulan sekali di Pertambangan kalau kau laki-laki, atau di tempat Kriya kalau kau perempuan, di atas enam belas tahun.”
“Memangnya Kriya bikin apa, ayah?”
”Macam-macam, perhiasan, benda-benda pajangan. Dijual ke luar negara. Nanti kalau kau beruntung kau akan melihat saudagar-saudagar dari berbagai negara. Mereka kadang mengadakan transaksi di sini.”
“Kecuali kalau di Pertambangan menghasilkan batu yang keramat, itu tidak akan dikirim ke Kriya, akan langsung dibawa oleh para Penyihir Negara. Makanya nanti kau akan melihat, pekerjaan diawasi oleh Penyihir Negara. Siapa tahu ada batu yang sakti, yang keramat, sebelum para pekerja terkena akibat yang kita tidak tahu itu apa, biasanya langsung ditangani Penyihir Negara.”
“Memangnya suka ada, ayah?”
“Ada. Sering malah. Ayah juga suka lihat.”
Mereka berhenti, membelok di sebuah pertigaan. Jalannya menurun, dan semakin menurun. Sementara di sisi-sisinya terdapat bangunan-bangunan besar, seperti barak.
”Itu Kriya,” ayahnya menunjuk pada bangunan-bangunan besar itu. ”Ibu bekerja di situ sebulan sekali, sama seperti ayah.”
Pemuda itu mengangguk-angguk.
Kedua laki-laki itu menuruni jalan. Padahal jalannya menurun dan basah, tapi tidak licin. Entah terbuat dari apa jalan itu, batu kecil seperti kerikil, hitam dan mengilap, Avis memperhatikan.
Kemudian terlihat seperti sebuah sumur raksasa, mungkin seluas lapangan bola atau bahkan lebih luas lagi. Dalamnya entah berapa puluh meter. Terang, tidak gelap. Entah kenapa, mungkin karena batu-batu yang gemerlap itu? Suaranya gemuruh, bukan saja suara seperti mesin, juga ada suara air.
Sang ayah berjalan pasti ke satu titik di bibir sumur itu. Menyuruh anaknya duduk di batu di belakangnya. Ia sendiri lalu menurunkan bungkusannya, membukanya. Ada sebuah tali yang sudah diikat-ikat, dipakainya seperti bretel. Jadi tali pengaman ternyata.
Seseorang mundur dari posisinya di bibir sumur, dan langsung menyapa sang ayah, ”Hai, Raka. Ini anakmu?”
Sang ayah mengangguk. Orang itu melepaskan tali pengamannya, dan sang ayah menggantikannya. Tali pengamannya dicantolkan pada patok di bibir sumur, dan dia mulai bekerja.
Pertambangan ini berupa sumur raksasa yang sisinya dilingkari tangga-tangga spiral, menurun terus ke dasarnya. Rangka besi silang menyilang dilengkapi katrol untuk mengangkat timba-timba yang jumlahnya ratusan ke permukaan tanah. Dari timba-timba ini tanah yang bercampur dengan berbagai jenis batuan dituangkan ke atas bak sortir berjalan yang menuju ke pancuran raksasa. Pancuran air itu memisahkan batuan dari tanah yang langsung luruh diterpa air kembali ke permukaan. Batuan yang sudah terpisah tadi lalu dikirim melalui ban berjalan menuju Kriya untuk diolah lebih lanjut.
Sang ayah bertugas untuk mengangkat timba-timba dan menuangkan isinya ke bak sortir berjalan, beberapa langkah letaknya. Agak berbahaya memang, makanya ia menggunakan tali pengaman. Selain kemungkinan jatuh, tergelincir juga mungkin, karena air dari pancuran raksasa.
Jadi, suara seperti mesin tadi itu adalah suara katrol-katrol mengangkat timba, rupanya. Lalu suara air tentulah berasal dari pancuran raksasa, Avis mengamati.
Ada seorang tua berbaju putih, berjubah putih, berjanggut putih, bersurban putih, pokoknya serba putih. Dia berkeliling sambil mengamati ke sana ke mari. Seharusnya menyeramkan, tapi Avis malah merasa aman karenanya.
”Itu Penyihir Negara. Yang saat ini berugas namanya Ki Seta. Dia bukan saja mengawasi kalau-kalau ada batu bertuah, keramat, atau yang mengandung unsur penyembuh, tapi juga bertanggungjawab terhadap proses pertambangan secara keseluruhan. Jadi, agar tidak ada pekerja yang tergelincir, tidak ada yang jatuh, atau semacamnya.”
Avis baru mengerti, kenapa orang yang serba putih ini malah memancarkan rasa aman, bukannya menakutkan.
”Lalu, kenapa ayah malah pakai tali pengaman?”
”Yah, Penyihir juga kan manusia, mungkin saja mereka sedang lalai atau sedang ke hal lain perhatiannya, makanya kami juga tetap harus berusaha agar seaman mungkin,” ayah menarik tali timbanya.
Sepertinya iramanya sudah tertentu. Semua penarik tali timba menggunakan irama serupa. Iramanya enak juga didengarkan, seperti sebuah lagu saja. Avis mengetuk-ngetukkan jarinya di kaki saat ia duduk di bawah sebuah pohon dan memeperhatikan mereka yang sedang bekerja. Pemuda itu, Rama, juga nampaknya asyik memperhatikan. Para pekerja sepertinya juga tidak banyak bicara.
Penyihir yang bertugas, Ki Seta, matanya yang awas melihat sekeliling seolah acuh. Sepagi ini kegiatan baru dimulai dan biasanya belum ada batuan bertuah yang ditemukan. Kegiatan rutin berlanjut. Orang-orang menggerakkan alat penggali yang besar, memutar katrol dengan timba-timba tanah bercampur batu-batu yang diangkat dari bawah tanah, mengawasi penyortiran dengan bantuan aliran air dari sungai setempat, memisahkan jenis-jenis batuan untuk selanjutnya dibawa ke Kriya.
Mendadak terdengar keriuhan di gerbang Pertambangan. Avis mengangkat mukanya untuk melihat apa yang terjadi, tapi ia merasa badannya menjadi aneh. Badannya menjadi ringan dan melayang. Ia berusaha menahan tubuhnya agar tetap berada di tempat, tetapi sia-sia. Seakan ada yang menyedotnya, ia terus melayang. Terus, seakan sudah tahu ke mana ia harus berada.
Dan ia masuk ke dalam tubuh seorang gadis.
Seorang gadis kira-kira berusia awal belasan, mungkin dua atau tiga belas, dikelilingi orang-orang yang berebut menyalaminya, mencium tangannya. Beberapa pria berpakaian seragam pengawal disekelilingnya tidak berusaha mencegah, dan hanya mengawasi dengan waspada.
Gadis itu berpakaian putih-putih panjang. Bukan warna keperakan, namun terlihat bersinar. Mungkin aura keagungan yang menyertainya. Di kepalanya berkilat sebuah tiara, kecil tidak mencolok, namun cukup untuk membuatnya dikenali.
'Tuan Puteri,” orang yang tadi ia kenal sebagai Raka berdesis. Raka buru-buru melap tangannya pada bajunya yang tidak begitu bersih, dan ikut dalam rombongan yang berusaha menyalaminya. Anaknya ikut berdiri otomatis, dan ikut juga berbaris.
"Ayo, kembali bekerja, semuanya!" seorang mandor berteriak, sambil setengah terkekeh. Memang, semua alat bekerja menurut ritme tertentu, dan tentu saja akan kacau kalau ditinggalkan operatornya. Namun nampaknya semua juga tidak akan melewatkan kesempatan untuk bersalaman atau sukur-sukur bisa sedikit berbincang dengan Tuan Puteri. Avis melihat Penyihir Negara tersenyum simpul melihat ’kekacauan’ yang ada. Menurut penilaian Avis, mungkin Penyihir Negara sudah mengeluarkan sihirnya untuk menjaga agar peralatan tetap bekerja selama manusianya masih kacau begini.
Avis entah bagaimana mulanya, menyalami semuanya, menanyakan kabar dan dengan ramah melayani bincang-bincang mereka. Entah apa yang menuntunnya untuk berbicara seperti itu, ramah seolah terbiasa, dan tidak terbata-bata. Apa yang dibicarakannya, mengapa ia bisa berbicara seperti itu, ia tak tahu.
Kemudian ia beranjak menuju Kriya. Seperti otomatis. Di pertambangan semua kembali bekerja di tempat masing-masing, dan kini keriuhan tentulah akan beralih ke Kriya. Di sini juga terjadi seperti di Pertambangan. Avis dengan lancar menanyakan ini dan itu pada ibu-ibu dan gadis-gadis yang sedang bekerja.
Dan alangkah anehnya ia bisa mendengar apa yang orang lain katakan.
"Betapa cantiknya," gumam seorang pemuda di sebelah Raka.
"Siapa?"
"Tentu saja Tuan Puteri, siapa lagi memangnya? Adikmu? Anakmu? Anakmu kan laki-laki."
Raka terkekeh dan kembali menuangkan isi timba ke atas bak sortir. Pemuda di sebelahnya masih melamun-lamun, "kira-kira siapa kelak suaminya ya?"
"Hus! Tuan Puteri masih muda sekali, paling-paling baru tigabelas tahun. Paling-paling juga seorang Pangeran dari Negeri Seberang. Pangeran dari Melayu mungkin cocok,"
"Dari Melayu? Lalu Tuan Puteri kita akan diboyong ke sana? Lalu siapa yang akan memerintah negeri kita?"
"Benar juga ya? Tuan Puteri harus memilih orang dari negeri sendiri kalau mau tetap memerintah kita,"
Pemuda di sebelah Raka itu masih tersenyum-senyum sendiri. Raka menyikut, "Timbamu!"
"Ah!" teriaknya kaget karena isi timbanya nyaris tumpah di luar bak sortir, "sori, sori .."
"Ya ampun, kau ini. Melamun apa sih? Menjadi suami Tuan Puteri?"
Keduanya terkekeh berbarengan. Rama ikut terkekeh mendengar percakapan ayahnya.
Avis ingin tertawa mendengarnya, tapi ia memaksa diri untuk tetap berjalan anggun. Tapi, mengapa? Mengapa dia bisa masuk ke tubuh orang lain begini? Jadi Tuan Puteri lagi. Tuan Puteri di mana ini? Di negara mana? Dan mengapa ia bisa mendengar percakapan orang lain yang segitu jauhnya?
Dicobanya untuk mendengar suara orang lain di sudut yang lain. Bisa. Diubahnya arah pendengarannya. Bisa juga.
Saat ia berkonsentrasi, bisa juga ia memutuskan pendengarannya, dan hanya mendengarkan apa yang ada di sekitarnya.
”Tuan Puteri, kita kembali ke istana. Hari ini harus bertemu dengan petani dari utara untuk mendengarkan masalahnya.”
Avis jadi ingin tahu, putri dari manakah dia? Maka dia mengangguk, dan bersiap untuk berjalan, ke arah mana ia pergi.
Tapi badannya mendadak terasa melayang lagi, terasa ringan lagi, dan melayanglah ia terus, melayang-melayang-melayang ...
”Avis!”
Suara Mami.
”Avis, tidurnya di kamar saja. Jangan di sini. Sudah diberesin tuh, sama Aa. Sana, tidur yang bener, nanti masuk angin lagi.”
Avis menggelengkan kepalanya tidak percaya. Ini rumahnya di Bandung. Yang tadi itu hanya mimpi.
Tapi, mengapa terasa seperti mimpi?
Avis terbangun, terhuyung-huyung berdiri.
Mami sedang mengangkat kardus yang jatuh dan menimpa kepala Avis tadi, yang dipindahkannya ke meja tadi itu.
~0~0~0~0~0~0
Word Counter: 2.407
Akumulasi: 6.234
Target: 5.000
(Euh, minuman tambah susu coklat :P)
~0~0~0~0~0~0
Avis menghempaskan badannya hingga terbenam di sofa. Baru menurun-nurunkan barang dari mobil saja sudah begini lelah. Belum mengeluarkannya, membereskannya ... Dan sebagian besar barang sudah dikirim ke sini sebagian-sebagian, jadi ada tambahan kerjaan untuk membereskan barang selain dari yang tadi diturunkan dari mobil. Terutama buku-buku Papi dan pecah-belah Mami yang tak terpakai.
”Pecah-belah Mami yang dipak terdahulu itu nggak usah dibuka dulu deh, Vis,” sahut Mami, sama menghempaskan diri di sofa. ”Langsung saja petinya disusun di gudang, oya, mending bersihin gudang dulu pakai karbol, abis itu simpen peti-peti pecah-belah itu, taburi kamper yang banyak. Kapan baru kita perlu pakai piring-piring itu ya ...”
”Paling nanti kalau ngawinin Avis,” ledek Ardi, mulai lagi deh kebiasaannya.
”Yee, Aa kan lebih tua, jadi Aa dulu yang kawin,” sungut Avis.
”Tapi kamu kan perempuan, biasanya kawin lebih cepet. Lihat saja nanti, baru lulus SMA udah pengen kawin.”
Avis tidak menjawab, malah menguap lebar-lebar. Tadi pagi ia bagun pagi sekali, dinihari malah, jam setengah empat, menghabiskan membereskan barang-barang yang masih belum beres. Dan sampai di Bandung, langsung menurun-nurunkan barang pula.
“Sudah, Di, adikmu itu jangan diganggu. Biarin tidur. Sini bantuin Mami ngangkat kompor ke dapur, kita kan perlu masak air. Oya, rice cookernya juga sekalian, kalau enggak kita nggak bisa makan malam ...”
Merasa diberi angin, Avis kemudian membaringkan diri di sofa dan memejamkan mata, sebelum ada kardus menjatuhi kepalanya. ”Siapa sih yang ...” kemudian disadarinya bahwa kardus itu jatuh dari tumpukan di samping sofa. Lha, tadi yang menyusun tumpukan di samping sofa kan dia. Berarti dia yang kurang rapi menyusunnya, bisa jatuh begitu.
Dikembalikannya ke tumpukan, tapi kemudian dia baru sadar, tumpukannya terlalu tinggi. Suatu saat akan menjatuhinya lagi. Jadi kardus kecil tadi dipindahkan ke meja di samping sebelah sana sofa. Setengah dilemparnya karena dia sudah ingin memejamkan mata, tapi dia baru sadar bahwa kardus kecil ini cukup berat juga.
Dan karena barusan setengah dilempar, kardus itu jadi agak membuka. Avis terpaksa duduk dan meletakkan kardus itu dengan layak. Kardus bagian atasnya agak membuka, jadi Avis menutupnya. Selintas terlihat sebagian, seperti bungkusan kertas coklat. Bungkusan yang dikuwel-kuwel. Duh, entah punya siapa, atau entah itu isinya apa, Avis tidak begitu peduli. Setelah meletakkan kardus di meja dengan baik, ia berbaring lagi dan memejamkan mata.
Dan ia serasa ada di negara antah-berantah.
Lingkungannya hijau asri. Rasanya ia tak pernah pergi ke tempat yang begini asri. Suasananya sejuk. Pohon-pohon di mana-mana. Jalan yang sedang ia tapaki kecil, lebih pantas dibilang jalan setapak. Nanti dulu, jalannya beberapa buah. Ada jalan yang agak besar, ada dua mungkin jalan yang lebih kecil mengapitnya. Ia seperti sedang berjalandi jalan yang lebih kecil.
Dari kejauhan tedengar suara ribut. Seperti yang ia kenal. Er, .. mungkin bukan ia kenal, tapi ia pernah dengar. Di film? Dan ia benar, suara ribut itu berasal dari seekor kuda yang dipacu kencang oleh penunggangnya.
O, jadi itu fungsi jalan berlapis ini. Jalan yang ditengah, yang agak besar, dipakai oleh pengendara kuda atau kereta, dan pejalan kaki berjalan di jalan yang lebih kecil di sisinya.
Tunggu dulu! Aku ada di mana? Sejak kapan ada jalan kuda dan jalan pejalan kaki di sini? Di tahun 1989? Di Bandung? Paling-paling adanya di jalan Gelap Nyawang dan sekeliling Tamansari. Avis melihat berkeliling.
Tempatnya seperti ia kenal, seperti tempat yang biasa ia datangi sehari-hari. Tapi di mana? Apakah aku memang biasa datang ke tempat ini? Ada rasa biasa di situ.Seolah-olah ia memang penduduk di sini.
Avis berusaha mengamati berkeliling. Ada orang, banyak malah. Dan mereka tidak melihat padanya. Hal yang paling ia perhatikan ialah, pakaian mereka berbeda!
Yang laki-laki mengenakan celana panjang dan sesuatu seperti kemeja. Plus ikat kepala. Potongannya sih biasa-biasa, tapi warnanya kebanyakan kecoklatan, sogan. Putih, hitam, dan nuansa hijau. Wanitanya memakai baju seperti di jaman dulu, kain dan kebaya. Rambut panjang dikepang, yang sudah nampak seperti ibu-ibu, rambutnya dikonde.
Di manakah ia berada?
Mentari pagi menyapa ramah seorang laki-laki yang berjalan dengan wajah segar, sesegar embun yang masih melekat di pucuk dedaunan dan rerumputan. Hm, waktunya pagi-pagi berarti.
Laki-laki itu ditemani seorang anak, tidak begitu tepat disebut anak, seorang pemuda mungkin? Mereka berjalan tidak terlalu cepat. Lelaki yang lebih tua memakai baju warna gelap, menyandang sesuatu semacam bungkusan. Dari dalamnya menyembul, nampaknya sebuah beliung. Lelaki yang lebih muda tidak membawa apa-apa.
"Pagi, Raka," sebuah suara menyapanya.
"Selamat pagi, Mbok. Cuaca cerah hari ini ya, semoga cucian Mbok cepat kering," sahut laki-laki itu ramah pada sang penyapa, seorang wanita tua gemuk yang sedang memeras cucian dan menggantungnya pada seutas tali jemuran.
"Terima kasih, Raka. Giliran kerja?"
"Yups. Kapan giliran Juned?"
"Mungkin minggu depan. Inikah anakmu? Rama ya?"
”Iya. Akan aku perkenalkan pada lingkungan kerja, dia sudah hampir masuk usia kerja.”
”Ah, sudah hampir enambelas?”
”Baru empat belas kok, Mbok.”
“Baru empat belas?” wanita itu mengulang, “Kan dia baru boleh bekerja di umur enam…”
“Iya, makanya dia hanya akan kubawa melihat-lihat. Mumpung Guru Ajijaya sedang meliburkan mereka. Katanya Guru mau mencari tumbuhan ke desa lain.”
”Oh, Guru sedang ke luar desa? Jarang-jarang dia keluar. Tapi, ya benar, mumpung. Ya, sudah, semoga dapat batu yang bagus.”
“Makasih, Mbok! Permisi!”
Kedua laki-laki itu meneruskan perjalanannya, dan si Mbok juga meneruskan menjemur.
Avis mendekat pada kedua laki-laki itu dan mencoba untuk menegur, tapi tidak bisa. Ia tidak bisa berbicara, tidak bisa didengar, dan tidak bisa dilihat nampaknya.
Yah, kalau begitu, Avis memutuskan, mengikuti saja kedua laki-laki itu. Laki-laki yang lebih tua itu melanjutkan langkahnya sambil bersiul-siul seirama nyanyian unggas yang berloncatan dari dahan ke dahan. Matanya jauh memandang ke depan. Dari segala penjuru kampung ada banyak orang sepertinya, dengan ikat kepala, ada yang terlihat membawa beliung, ada juga yang peralatannya tersimpan rapi dalam bungkusan yang mereka sandang. Mereka saling melambaikan tangan, bertegur sapa sambil terus saja berjalan ke arah yang sama.
”Jadi, namanya Pertambangan. Seperti yang akan kau lihat nanti, ini dikuasai negara. Negara yang membaginya dengan adil. Soalnya kalau dikuasai satu orang, nanti ada yang sangat kaya, ada juga yang miskin tetap miskin.”
Pemuda itu mengangguk-angguk. Lalu bertanya ragu, ”Kenapa bisa sangat kaya?”
”Karena Pertambangan ini menghasilkan batu, bermacam batu. Ada yang hijau, ad ayang merah, ada yang biru, dna macam-macam lagi. Kecubung, safir, dan entah apa lagi yang kuhapal namanya. Kecuali mutiara, karena mutiara adanya di dalam laut. Dan ajaibnya, batu-batuan itu tak habis-habisnya, terus saja ada. Makanya dikuasai oleh negara. Hasilnya dibagikan pada rakyat lagi, berupa jalan yang bagus, pendidikan yang gratis, berobat ke tabib tidak bayar karena tabib dibayar negara. Dan kita hanya membayarnya dengan bekerja sukarela sebulan sekali di Pertambangan kalau kau laki-laki, atau di tempat Kriya kalau kau perempuan, di atas enam belas tahun.”
“Memangnya Kriya bikin apa, ayah?”
”Macam-macam, perhiasan, benda-benda pajangan. Dijual ke luar negara. Nanti kalau kau beruntung kau akan melihat saudagar-saudagar dari berbagai negara. Mereka kadang mengadakan transaksi di sini.”
“Kecuali kalau di Pertambangan menghasilkan batu yang keramat, itu tidak akan dikirim ke Kriya, akan langsung dibawa oleh para Penyihir Negara. Makanya nanti kau akan melihat, pekerjaan diawasi oleh Penyihir Negara. Siapa tahu ada batu yang sakti, yang keramat, sebelum para pekerja terkena akibat yang kita tidak tahu itu apa, biasanya langsung ditangani Penyihir Negara.”
“Memangnya suka ada, ayah?”
“Ada. Sering malah. Ayah juga suka lihat.”
Mereka berhenti, membelok di sebuah pertigaan. Jalannya menurun, dan semakin menurun. Sementara di sisi-sisinya terdapat bangunan-bangunan besar, seperti barak.
”Itu Kriya,” ayahnya menunjuk pada bangunan-bangunan besar itu. ”Ibu bekerja di situ sebulan sekali, sama seperti ayah.”
Pemuda itu mengangguk-angguk.
Kedua laki-laki itu menuruni jalan. Padahal jalannya menurun dan basah, tapi tidak licin. Entah terbuat dari apa jalan itu, batu kecil seperti kerikil, hitam dan mengilap, Avis memperhatikan.
Kemudian terlihat seperti sebuah sumur raksasa, mungkin seluas lapangan bola atau bahkan lebih luas lagi. Dalamnya entah berapa puluh meter. Terang, tidak gelap. Entah kenapa, mungkin karena batu-batu yang gemerlap itu? Suaranya gemuruh, bukan saja suara seperti mesin, juga ada suara air.
Sang ayah berjalan pasti ke satu titik di bibir sumur itu. Menyuruh anaknya duduk di batu di belakangnya. Ia sendiri lalu menurunkan bungkusannya, membukanya. Ada sebuah tali yang sudah diikat-ikat, dipakainya seperti bretel. Jadi tali pengaman ternyata.
Seseorang mundur dari posisinya di bibir sumur, dan langsung menyapa sang ayah, ”Hai, Raka. Ini anakmu?”
Sang ayah mengangguk. Orang itu melepaskan tali pengamannya, dan sang ayah menggantikannya. Tali pengamannya dicantolkan pada patok di bibir sumur, dan dia mulai bekerja.
Pertambangan ini berupa sumur raksasa yang sisinya dilingkari tangga-tangga spiral, menurun terus ke dasarnya. Rangka besi silang menyilang dilengkapi katrol untuk mengangkat timba-timba yang jumlahnya ratusan ke permukaan tanah. Dari timba-timba ini tanah yang bercampur dengan berbagai jenis batuan dituangkan ke atas bak sortir berjalan yang menuju ke pancuran raksasa. Pancuran air itu memisahkan batuan dari tanah yang langsung luruh diterpa air kembali ke permukaan. Batuan yang sudah terpisah tadi lalu dikirim melalui ban berjalan menuju Kriya untuk diolah lebih lanjut.
Sang ayah bertugas untuk mengangkat timba-timba dan menuangkan isinya ke bak sortir berjalan, beberapa langkah letaknya. Agak berbahaya memang, makanya ia menggunakan tali pengaman. Selain kemungkinan jatuh, tergelincir juga mungkin, karena air dari pancuran raksasa.
Jadi, suara seperti mesin tadi itu adalah suara katrol-katrol mengangkat timba, rupanya. Lalu suara air tentulah berasal dari pancuran raksasa, Avis mengamati.
Ada seorang tua berbaju putih, berjubah putih, berjanggut putih, bersurban putih, pokoknya serba putih. Dia berkeliling sambil mengamati ke sana ke mari. Seharusnya menyeramkan, tapi Avis malah merasa aman karenanya.
”Itu Penyihir Negara. Yang saat ini berugas namanya Ki Seta. Dia bukan saja mengawasi kalau-kalau ada batu bertuah, keramat, atau yang mengandung unsur penyembuh, tapi juga bertanggungjawab terhadap proses pertambangan secara keseluruhan. Jadi, agar tidak ada pekerja yang tergelincir, tidak ada yang jatuh, atau semacamnya.”
Avis baru mengerti, kenapa orang yang serba putih ini malah memancarkan rasa aman, bukannya menakutkan.
”Lalu, kenapa ayah malah pakai tali pengaman?”
”Yah, Penyihir juga kan manusia, mungkin saja mereka sedang lalai atau sedang ke hal lain perhatiannya, makanya kami juga tetap harus berusaha agar seaman mungkin,” ayah menarik tali timbanya.
Sepertinya iramanya sudah tertentu. Semua penarik tali timba menggunakan irama serupa. Iramanya enak juga didengarkan, seperti sebuah lagu saja. Avis mengetuk-ngetukkan jarinya di kaki saat ia duduk di bawah sebuah pohon dan memeperhatikan mereka yang sedang bekerja. Pemuda itu, Rama, juga nampaknya asyik memperhatikan. Para pekerja sepertinya juga tidak banyak bicara.
Penyihir yang bertugas, Ki Seta, matanya yang awas melihat sekeliling seolah acuh. Sepagi ini kegiatan baru dimulai dan biasanya belum ada batuan bertuah yang ditemukan. Kegiatan rutin berlanjut. Orang-orang menggerakkan alat penggali yang besar, memutar katrol dengan timba-timba tanah bercampur batu-batu yang diangkat dari bawah tanah, mengawasi penyortiran dengan bantuan aliran air dari sungai setempat, memisahkan jenis-jenis batuan untuk selanjutnya dibawa ke Kriya.
Mendadak terdengar keriuhan di gerbang Pertambangan. Avis mengangkat mukanya untuk melihat apa yang terjadi, tapi ia merasa badannya menjadi aneh. Badannya menjadi ringan dan melayang. Ia berusaha menahan tubuhnya agar tetap berada di tempat, tetapi sia-sia. Seakan ada yang menyedotnya, ia terus melayang. Terus, seakan sudah tahu ke mana ia harus berada.
Dan ia masuk ke dalam tubuh seorang gadis.
Seorang gadis kira-kira berusia awal belasan, mungkin dua atau tiga belas, dikelilingi orang-orang yang berebut menyalaminya, mencium tangannya. Beberapa pria berpakaian seragam pengawal disekelilingnya tidak berusaha mencegah, dan hanya mengawasi dengan waspada.
Gadis itu berpakaian putih-putih panjang. Bukan warna keperakan, namun terlihat bersinar. Mungkin aura keagungan yang menyertainya. Di kepalanya berkilat sebuah tiara, kecil tidak mencolok, namun cukup untuk membuatnya dikenali.
'Tuan Puteri,” orang yang tadi ia kenal sebagai Raka berdesis. Raka buru-buru melap tangannya pada bajunya yang tidak begitu bersih, dan ikut dalam rombongan yang berusaha menyalaminya. Anaknya ikut berdiri otomatis, dan ikut juga berbaris.
"Ayo, kembali bekerja, semuanya!" seorang mandor berteriak, sambil setengah terkekeh. Memang, semua alat bekerja menurut ritme tertentu, dan tentu saja akan kacau kalau ditinggalkan operatornya. Namun nampaknya semua juga tidak akan melewatkan kesempatan untuk bersalaman atau sukur-sukur bisa sedikit berbincang dengan Tuan Puteri. Avis melihat Penyihir Negara tersenyum simpul melihat ’kekacauan’ yang ada. Menurut penilaian Avis, mungkin Penyihir Negara sudah mengeluarkan sihirnya untuk menjaga agar peralatan tetap bekerja selama manusianya masih kacau begini.
Avis entah bagaimana mulanya, menyalami semuanya, menanyakan kabar dan dengan ramah melayani bincang-bincang mereka. Entah apa yang menuntunnya untuk berbicara seperti itu, ramah seolah terbiasa, dan tidak terbata-bata. Apa yang dibicarakannya, mengapa ia bisa berbicara seperti itu, ia tak tahu.
Kemudian ia beranjak menuju Kriya. Seperti otomatis. Di pertambangan semua kembali bekerja di tempat masing-masing, dan kini keriuhan tentulah akan beralih ke Kriya. Di sini juga terjadi seperti di Pertambangan. Avis dengan lancar menanyakan ini dan itu pada ibu-ibu dan gadis-gadis yang sedang bekerja.
Dan alangkah anehnya ia bisa mendengar apa yang orang lain katakan.
"Betapa cantiknya," gumam seorang pemuda di sebelah Raka.
"Siapa?"
"Tentu saja Tuan Puteri, siapa lagi memangnya? Adikmu? Anakmu? Anakmu kan laki-laki."
Raka terkekeh dan kembali menuangkan isi timba ke atas bak sortir. Pemuda di sebelahnya masih melamun-lamun, "kira-kira siapa kelak suaminya ya?"
"Hus! Tuan Puteri masih muda sekali, paling-paling baru tigabelas tahun. Paling-paling juga seorang Pangeran dari Negeri Seberang. Pangeran dari Melayu mungkin cocok,"
"Dari Melayu? Lalu Tuan Puteri kita akan diboyong ke sana? Lalu siapa yang akan memerintah negeri kita?"
"Benar juga ya? Tuan Puteri harus memilih orang dari negeri sendiri kalau mau tetap memerintah kita,"
Pemuda di sebelah Raka itu masih tersenyum-senyum sendiri. Raka menyikut, "Timbamu!"
"Ah!" teriaknya kaget karena isi timbanya nyaris tumpah di luar bak sortir, "sori, sori .."
"Ya ampun, kau ini. Melamun apa sih? Menjadi suami Tuan Puteri?"
Keduanya terkekeh berbarengan. Rama ikut terkekeh mendengar percakapan ayahnya.
Avis ingin tertawa mendengarnya, tapi ia memaksa diri untuk tetap berjalan anggun. Tapi, mengapa? Mengapa dia bisa masuk ke tubuh orang lain begini? Jadi Tuan Puteri lagi. Tuan Puteri di mana ini? Di negara mana? Dan mengapa ia bisa mendengar percakapan orang lain yang segitu jauhnya?
Dicobanya untuk mendengar suara orang lain di sudut yang lain. Bisa. Diubahnya arah pendengarannya. Bisa juga.
Saat ia berkonsentrasi, bisa juga ia memutuskan pendengarannya, dan hanya mendengarkan apa yang ada di sekitarnya.
”Tuan Puteri, kita kembali ke istana. Hari ini harus bertemu dengan petani dari utara untuk mendengarkan masalahnya.”
Avis jadi ingin tahu, putri dari manakah dia? Maka dia mengangguk, dan bersiap untuk berjalan, ke arah mana ia pergi.
Tapi badannya mendadak terasa melayang lagi, terasa ringan lagi, dan melayanglah ia terus, melayang-melayang-melayang ...
”Avis!”
Suara Mami.
”Avis, tidurnya di kamar saja. Jangan di sini. Sudah diberesin tuh, sama Aa. Sana, tidur yang bener, nanti masuk angin lagi.”
Avis menggelengkan kepalanya tidak percaya. Ini rumahnya di Bandung. Yang tadi itu hanya mimpi.
Tapi, mengapa terasa seperti mimpi?
Avis terbangun, terhuyung-huyung berdiri.
Mami sedang mengangkat kardus yang jatuh dan menimpa kepala Avis tadi, yang dipindahkannya ke meja tadi itu.
~0~0~0~0~0~0
Word Counter: 2.407
Akumulasi: 6.234
Target: 5.000
0 Comments:
Post a Comment
<< Home