My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Wednesday, October 31, 2007

Hari Pertama

Today's Menu:
Music: Letto lagi
Snack: Oreo, nemu Oreo setengah bungkus sisa Diva
Minuman: Teh hangat ...

PS: kenapa jam 14.00 WIB bisa ditulis sebagai jam 21 dan masih tanggal 31 Oktober yah?

~0~0~0~0~0

Sang Elang

… unggas berwarna kegelapan itu membentangkan sayapnya
melayang meniti pawana
tanpa sekalipun mengepakkan sayap
perkasa ditemani sang bayu
memintasi jagad, melintasi buana ...

Puncak, Juli 1989

Sosok gelap itu melayang di langit kejauhan. Dalam dua lingkaran lensa tertangkap makhluk anggun itu, sepasang mata kecil mengikuti perjalanannya meniti angin.

”Jauhnya jangkauan terbangnya bisa tiga ratus kilometer, Vis,” sela suara pria, berat, menandakan kedewasaan.

”Tiga ratus kilometer? Jauh juga ya, Pi?” pemilik mata di balik teropong itu menjawab. Suara perempuan kecil.

Dan mata kecil itu terus mengikuti sampai hanya terlihat seperti titik di ujung cakrawala. Masih sana terus memandang dengan teropongnya, dan betapa girangnya ketika titik di ujung cakrawala itu membesar perlahan, pertanda makhluk itu berputar berbalik arah, kembali ke arahnya.

”Memang sudah jarang, Avis, elang di sini. Semakin banyak perumahan, pohon-pohon ditebang. Mereka semakin tersingkirkan.”

”Sayang, ya Pi. Padahal mereka kan keren begitu,” Avis tak melepaskan matanya dari elang itu. Semakin dekat kelihatan bahwa sekarang ada dua ekor.

”Papi, itu ada dua!” tangan kirinya melambai-lambai ke arah datangnya elang.

”Mana?” papinya mengangkat teropongnya sendiri dan mengamati. ”Oya. Pasti sama pasangannya. Kalau elang biasanya terbang sendiri, kecuali dengan pasangannya. Atau betina dengan anaknya, mengajar terbang.”

”Tapi kalau mengajar terbang, mungkin nggak tinggi begitu, Pi.”

Papinya tertawa. ”Pintar juga kau!”

”Hehe..” Avis masih tak melepaskan matanya.

”Tahukah kau, kalau unggas ini dipasangin pita di kakinya, jadi lambang negara?”

”He..?” Avis melepas teropongnya.

”Iya. Elang Jawa itu yang menginspirasi pembuat lambang negara. Jadi, pikirkan saja elang itu menoleh ke kanan, kakinya dipasangin ’Bhinneka Tunggal Ika’ trus ...”

”Trus bulu-bulunya dihitung ya, Pi, bulu di sayap, bulu di kaki, ...” Avis tidak menyelesaikan ucapannya karena papinya mengelitik pinggangnya, ”Papi! Apaan sih, geli ...” dan mereka berdua tertawa bersama-sama.

Tapi tak lama, Avis kembali menatap elang-elang yang masih betah berada di angkasa. ”Sayang sekali ya, Pi. Terus, ke mana mereka akan berlindung kalau lingkungan di sini terus dijadikan perumahan?”

Papi menggeleng perlahan. ”Papi juga tidak tahu, Avis. Yang Papi tahu, di Lembah Cilengkrang, Gunung Ciremai, masih banyak populasinya. Lalu, mungkin di Subang juga masih ada. Mungkin mereka akan pindah ke sana”

Avis menghela napas.

”Hayo, masih betah di sini?” seorang pemuda berlari mendekat dari mobil yang diparkir di pinggir jalan. Sedari tadi nampaknya hanya mengamati terus kedua ayah-anak itu.

”Ah, Aa, masih betah nih. Tunggu nanti sampai elangnya nggak kelihatan lagi,” seru Avis manja seraya menempelkan mata lagi di teropongnya.

”Pinjem! Aa juga pengen liat!” kakaknya menggoda sambil berlagak seperti akan merebut teropongnya.

”Aaaaaa! Papi, ini si Aa nih!”

Papi hanya tertawa karena sang kakak malah meminjam teropong sang ayah, dan bersama mereka berdua kakak beradik mengawasi elang-elang itu bermanuver di angkasa.

Avista Dwiastuti, kelas dua SMP, dan kakaknya Ardi Pratama, kelas satu SMA. Seperti yang rajin bertengkar, tapi sebenarnya keduanya saling menyayangi, Papi mengamati. Alangkah jarangnya kesempatan seperti ini. Dia sebagai orangtua seperti yang sibuk mengurusi bisnisnya, seperti tidak ada waktu untuk hal yang lain, tapi jika ada waktu seperti sekarang, selalu disempatkannya utnuk dihabiskan bersama. Dengan istrinya yang sabar, dengan kedua anaknya yang sedang berangkat dewasa.

‘Waktunya tinggal sedikit lagi,’ bisik Papi pada dirinya sendiri, lirih nyaris tak terdengar oleh kedua anaknya.

“Aa, Avis baru tahu kalau elang terbang, diem ’gitu.” Avis berucap sambil tak lepas dari teropongnya.

“Diem gimana?”

“Sayapnya nggak mengepak-ngepak kaya burung gereja. Kalau sambil mengepak-ngepak mungkin lebih cepet terbangnya ya, A?”

“Haha! Si Ade mah. Mereka juga mengepak-ngepak, kalau tinggal landas. Kalau sudah tinggi, mereka menemukan alur angin, tinggal diikuti. Makanya sayapnya dibentangkan begitu. Jadi meniti angin. Menghemat tenaga. Kalau mengepak-ngepak kan cape.”

“Euh…” Avis seperti terpana.

“Memangnya kamu baru tahu, Vis?” Papi menengahi.

”Baru tahu. Avis kira semua burung terbang mengepak-ngepakkan sayap, kalau enggak bisa jatuh.”

Bertiga tertawa terbahak-bahak. Ardi sampai mengusap airmatanya. Tapi Papi kemudian terdiam.

“Mungkin karena kita jarang keluar ke alam bebas ya, makanya Avis baru tahu,” katanya pelan. Bertiga mereka terdiam.

”Makanya, kita sering-sering keluar ya, Pi? Minggu depan ke sini lagi ya?”

”Kita lihat saja nanti. Tapi kalaupun tidak ke Puncak, mungkin kita bisa ke Pulau Seribu? Di sana masih banyak burung migran, apalagi kalau di Australia sedang musim dingin, mereka hijrah ke tempat yang lebih hangat. Sebaliknya kalau di utara, di Jepang atau Cina sedang musim dingin, yang datang burung migran dari sana.”

”Ke Pulau Seribu juga boleh. Tapi Avis nanti juga pengen ke Lembah Ci ... apa tadi kata Papi? Yang masih banyak elangnya?”

”Lembah Cilengkrang. Taman Nasional Gunung Ciremai. Iya, nanti libur, insya Allah,” Papi mengusap dadanya. “Kamu jadi suka sama elang?” selidik Papi.

”Iya. Abis keren, Pi. Duh, apa Avis bisa melihat dari dekat? Bisa menangkap mereka? Kaya’nya keren kalau elangnya hinggap di tangan Avis ...”

”Euh, kamu mah. Pengen punya harimau, biar bisa dibelai-belai seperti kucing. Sekarang pengen dihinggapi elang. Mau dikelepek seperti burung merpati?” ledek Ardi.

”Papiiiii! Ini Aa, ngeledek terus dari tadi,” Avis mengadu.

Ardi terkekeh dan lari menghindar saat dikejar Avis.

”Pii ...” suara Mami memanggil dari dalam mobil, ”oom Narto tuh!”

Papi menoleh, berbalik lalu melangkah ke mobil, meraih peralatan ORARI-nya dan mulai asyik bercakap. Mami menggerutu tak jelas dan turun dari mobil, berjalan mendekati anak-anak.

”Si Papi teh. Kalau udah mulai rojer-rojer sama Oom Narto aja, lupa tuh semua,” gerutu Mami.

”Aah, biarin aja, Mi. Mumpung Avis lagi asyik ngeliatin elang. Kalo enggak, nanti Papi pasti nyuruh buru-buru naik ke mobil dan balik ke Jakarta,” sahut Ardi. ”Nih, Mami juga pengen liat elang?” Ardi menyorongkan teropongnya.

Mami jadi terkekeh. ”Nggak, nggak. Kenapa Mami mesti pengen liat elang sekarang? Dulu juga udah sering ngeliat elang nyamber anak ayam. Mami dulu kan waktu kecil punya tugas menjaga anak-anak ayam biar jangan disamber elang. Abah itu sayang bener sama anak-anak ayam.”

“Dan seringnya sih anak ayamnya disamber elang, soalnya …” Ardi mulai akan meledek lagi.

”... soalnya Mami lebih senang main sondah atau kasti daripada ngejaga anak ayam,” Mami terkekeh lagi. ”Tapi biar galak gitu, Uyut kalian itu nggak mau membunuh elang. Paling cuma disieuh-sieuh,” Mami memperagakan gaya kakeknya, Uyutnya anak-anak, menggebah elang.

Sieuh, sieuh
Manuk kaditu ka dayeuh,
di dieu sagala euweuh,
sia moal bisa seubeuh,
da aya nu ngageugeuh.

Sieuh, sieuh
Manuk ulah arék datang,
bisa nyorang kana régang,
kudu nyingkah mangka anggang,
di dieu aya pangilang.

Sieuh, sieuh
Manuk ulah arék ganggu,
da aing anu rék tunggu.

”Iiih, si Mami nyanyi,” kebiasaan Ardi nyeletuk ngeledek nggak ada habisnya.

”Itu nembang, bukan nyanyi,” tukas Mami, ”nembang kakawihan.”

”Duh, apa lagi itu?”

”Kamu kan orang Sunda juga? Biar Papi orang seberang, tapi kan kamu punya setengah darah Sunda. Masa’ nggak tahu nembang,” Mami mulai deh keluar Sunda-nya.

Papi keluar dari mobil dan memanggil anak-anak. “Di, Vis, kata oom Narto jalan udah lancar lagi. Mobil yang tabrakan tadi udah diderek. Hayu, kita terusin. Biar sampai Jakarta nggak terlalu malem.”

”Yaaaaa,” Avis masih belum rela melepas teropongnya, ”bentar lagi, atuh, Pi! Nanti sampai sudah gelap, sampai nggak keliatan lagi elangnya.”

“Tadi yang ngajak ngeliat elang kan Papi, nggak bisa dong tiba-tiba berhenti begitu. Udah, sekali-sekali biarin anak-anak seneng, jangan selalu rurusuhan begitu. Lagian kan nggak ada yang diburu di Jakarta juga?” Mami menarik Papi ke penjual jagung bakar. Papi menurut saja akhirnya.

”Deeeuh, itu si Mami dan Papi pacaran lagi,” Ardi toel-toel Avis. Avis langsung berlari mendekat.

”Mau jagung bakarnyaaaaaaaa!” teriaknya mendekat.

”Yeeh, kirain kalian akan asyik terus ngeliatin elang, nggak lapar,” ujar Papi sambil memesankan jagung bakar.

”Ngeliatin elang sih terus, tapi kan perut juga harus diisi,” Ardi langsung duduk di tengah di antara Mami dan Papi, ”dan juga upaya menghalangi Mami dan Papi pacaran lagi. Auch!”

Dua jitakan mendarat di kepala Ardi, dari kiri dan kanan.

Sambil menunggu jagung matang dibakar, Avis kembali mengawasi gerak-gerik elang yang sekarang berputar di tebing nun jauh di sana.

”Kaya’nya ada sarangnya di situ, makanya mereka berputar terus di situ. Daerah mana tuh, ya?” Papi berpikir, ”masih Bogor kaya’nya.”

Ardi menyorongkan jagung yang sudah matang pada Papi, ”Mungkin. Mungkin kita bisa tanya oom Narto, dia tahu nggak?”

Papi mengangguk. Avis mendekat, mengambil jagungnya, dan meniupinya, ”Iya Pi, nanti ke sini lagi ya? Atau, tanya ke oom Narto dulu, mungkin dia tahu di mana letaknya, dan kita bisa lebih dekat ...”

”Dan kamu bisa menangkapnya, membawa pulang, dan memeluknya di kasurmu ...”

”Aa-aaaaaaaaaaaaaaa!”

Papi hanya tersenyum memandangi kelakuan anaknya. Tak terlihat oleh mereka, tak terlihat oleh istrinya, ia menghela napas.

Setelah menghabiskan jagung bakar, Avis kembali memantengi gerak-gerik sepasang elang nun jauh di sana. Tak bosan-bosannya, walau kemudian harus memakai topi karena satu dua titik hujan gerimis turun. Walau kemudian harus agak mundur berteduh di penjual jagung karena hujan semakin deras. Namun akhirnya menyerah juga setelah malam mengambil alih alam.

*****

Jakarta, malamnya

Mereka sampai di Jakarta jam sembilan malam. Setelah beres-beres, mandi, dan pelukan hangat terimakasih atas liburan yang mengesankan, baik di Bandung maupun di Puncak melihat elang, Avis dan Ardi lelap di pelukan malam.

Mami juga sudah masuk kamar, tapi nampaknya belum tidur. Lampu masih dinyalakan, sepertinya masih membaca.

Papi masuk ke ruang bacanya. Dengan hati-hati dibukanya kunci laci di meja kerjanya. Laci itu selalu terkunci, tak ada yang berani membukanya. Tidak bahkan Mami. Lagipula, memang jarang yang ada masuk ke ruang baca Papi. Anak-anak punya lemari buku sendiri, yang penuh dengan bacaan mereka masing-masing. Untuk apa mereka masuk ke ruang baca Papi? Paling-paling kalau dipanggil Papi, atau kalau disuruh mengambilkan sesuatu.

Pelan-pelan ditariknya laci itu. Dikeluarkannya dua bungkusan kertas coklat tebal, nampaknya agak berat. Panjangnya sekira sejengkal. Dibukanya yang satu, sebuah patung petani memegang cangkul, dari kayu. Kayu hitam nampaknya. Eboni. Dipandanginya agak lama. Lalu dibungkusnya kembali. Diambilnya selembar kertas, ditulisnya sesuatu. Dimasukkan ke dalam amplop kecil, diberinya nama, direkatkannya pada bungkusan patung petani dengan selotip. Dikembalikannya ke laci.

Dibukanya bungkusan satu lagi. Sama juga, kayu hitam. Seekor elang bertengger. Dengan hati-hati ditariknya kedua sayapnya. Ternyata sayapnya bisa dilipat dan bisa direntangkan, mekanismenya seperti kipas. Sekarang posenya gagah, sayap terentang lebar, memandang ke keluasan alam. Kali ini dipandanginya lebih lama dari yang tadi. Nampak seperti memikirkan sesuatu. Terdiam tak bersuara. Terdiam tak bergerak.

Akhirnya ia bergerak mengambil selembar kertas. Seperti yang tadi, ia menulis sesuatu. Dimasukkan ke dalam amplop. Diberinya nama. Ia memandangi elang itu sekali lagi sebelum ia melipat sayapnya, dan membungkusnya lagi dengan kertas coklat. Ditempelkan surat yang barusan. Dan dimasukkannya ke dalam laci. Dikuncinya.

Tapi kunci itu tidak dimasukkan ke rencengan kunci yang lain seperti biasanya. Malah diletakkannya di atas meja. Diambilnya sehelai kertas lain, ditulisnya:

Mami Aisyah,

Simpanlah untuk Ardi dan Avis. Kalau mereka menikah, berikanlah pada mereka.

With lots of love,
Papi Arman

Diletakkannya di atas meja, tepat di tengah. Ditindihnya dengan kunci laci tadi. Karena permukaan meja itu kosong, kertas dan kunci itu diharapkan akan langsung menarik perhatian.

Papi berdiri. Lampu ruangan dimatikan. Pintu ditutup. Ia berjalan ke kamar. Mami masih bangun tapi nampaknya sudah mengantuk. Ia menaruh majalahnya, dan mematikan lampu kamar. Papi masuk, dan menutup pintu.

Papi berbaring di sampingnya, mencium Mami, memeluknya. Mami berbaring di atas dada Papi, memejamkan mata. Papi juga memejamkan mata. Tapi tak langsung tidur.

Dengan lirih ia bergumam, ”Aku siap sekarang.”


~0~0~0~0~0

Word Count: 1.816
Akumulasi: 1.816
Target: 1.666

Dah ah. Besok nulis lagi, sekarang mau nyiapin makan dulu ..

0 Comments:

Post a Comment

<< Home