Hari Kedua
Menu hari ini:
Music: Andra & The Backbone dan Letto berulang-ulang
Snack: Euh, ketan masuk snack nggak ya?
Minuman: Susu coklat
~0~0~0~0~0
Avis membereskan ruang tamu, perasaannya tak menentu. Kursi-kursi tamu digeser bersama Ardi yang kelihatannya juga tak menentu. Lalu karpet-karpet digelar. Orang-orang akan berdatangan tentu, walau sekarang baru jam 5 pagi.
Mami hanya bisa duduk di ruang tengah. Mereka bertiga, Avis, Ardi, dan Mami, penampilannya tak menentu. Mata sembab, bengkak dan merah. Hidung merah dan terus menerus berair. Rambut kusut, untunglah Mami dan Avis menutupinya dengan kerudung. Tapi yang paling parah Mami. Dia sudah seperti orang linglung. Kalau dibiarkan berjalan ke sana ke mari, jalannya limbung. Nampaknya hanya sedikit lagi dia akan pingsan. Karenanya Avis dan Ardi memaksanya duduk saja di ruang tengah, memberinya segelas teh hangat, dan mengerjakan hal-hal lainnya berdua.
Lagipula lama kelamaan yang membantu bertambah banyak seiring selesainya shalat subuh di masjid terdekat. Mendengar pengumuman yang disiarkan via pengeras suara masjid tadi, para jamaah subuh pasti langsung ke rumah bu Arman. Beberapa bapak-bapak kembali ke masjid, mengambil kain kafan dan peralatan lain, sedang beberapa bapak lainnya ke bagian belakang rumah, menyiapkan tempat dan air untuk memandikan.
Ruang tamu siap menerima orang-orang. Avis duduk di dekat Mami. Ardi ikut ke belakang memandikan. Ibu-ibu menyalami Mami, memeluknya, menepuk-nepuknya, mengucapkan kata-kata penghiburan.
”Yang sabar, ya Jeng. Pak Arman itu orangnya baik, pasti dilapangkan jalannya oleh Dia.”
”Papi nggak sakit apa-apa, Bu,” Mami mulai berkata dengan pelan, ”Kemarin baru saja menjemput anak-anak pulang berlibur di Bandung. Kemarin masih meneropong elang bersama Avis,” Mami menaruh tangannya di bahu Avis, ”Dan Papi tidur dengan tenang, saya tidur di dadanya, sampai subuh tadi, tidak menyadari kalau Papi sudah dingin, sudah tidak ada ...” Mami menutupkan ujung kerudungnya ke wajahnya. Menangis tak bersuara.
Ya, pikir Avis getir, kemarin mereka membicarakan elang yang tak punya lingkungan lagi, dan sekarang ia tak punya Papi. Papi pergi begitu tiba-tiba, Avis tertidur lelap kecapekan tadi malam, dan subuh ini ia dibangunkan oleh Mami yang setengah histeris. Bangun dengan kaget dan mendapati bahwa ia tak punya Papi lagi ...
Bapak-bapak yang memandikan tubuh Papi menggotong tubuhnya ke ruang tengah, sudah dikafani tapi belum menutupi wajahnya. Mereka mengatur arah baringnya, agar bisa disalatkan. Ardi basah dan lelah, terlebih lagi masih kaget tak percaya, bahwa tubuh yang baru saja ikut dipangkunya memang sudah tak ada lagi.
“Bu Arman, mungkin mau melihat sekali lagi,” ustadz Harun mempersilakan Mami mendekat.
Mami bergerak turun, dan berjalan perlahan. Ia memperhatikan wajah damai Papi, membelai pipinya, dan mencium kedua pipinya. Mungkin kedamaian di wajah Papi menular pada Mami dan dia menjadi tenang.
Mami membiarkan kedua anaknya juga mencium Papi, lalu ia meminta pada ustadz Harun untuk menutup wajah Papi. Beberapa orang kemudian menyelesaikan pembungkusan jenazah dengan kafan hingga rapi.
”Untuk yang akan menyalatkan, silakan bersiap-siap,” sahut ustadz Harun. Avis sudah menyiapkan mukena untuknya dan untuk Mami, dan Ardi sudah berganti kaus dengan yang kering.
Karena banyak jemaah subuh baru saja bubar dari masjid, maka jemaah shalat jenazah ini pun menjadi banyak. Hampir semua penghuni kompleks, yang rajin shalat subuh ke masjid, hadir.
Selesai shalat jenazah, ustadz Harun bertanya dengan hati-hati pada Mami, ”Bu Arman, akan dimakamkan di manakah?”
Mami tercenung sejenak, tapi kemudian Ardi menyela, ”Mam, oom Narto menelepon. Tadi Ardi menelpon mengabari keadaan Papi. Om Narto bilang, kalau mau dimakamkan di Bandung, dia akan berangkat duluan dari Bogor dan tidak akan ke sini dulu. Biar dia yang mempersiapkan segala sesuatunya di Bandung.”
Mami mengangguk. ”Baiklah. Biar dimakamkan di Bandung saja. Paling tidak di Bandung ada banyak kerabat.”
Ardi mengangguk lagi. “Ardi teleponkan mobil jenazah ya, Mam. Mami siap-siap saja, makan dulu biar nggak masuk angin.” Ardi memberi isyarat pada Avis untuk mendampingi Mami.
Avis mengangguk. Aa-nya yang biasa menggodainya, sekarang bersikap dewasa begitu, ia juga harus kuat. Mami harus didampingi. Biar Mami menolak untuk makan, Mami harus dibujuk. Bangun dari subuh belum kemasukan apa-apa, lalu mau pergi ke Bandung mengantar Papi, harus kuat. Lagian tetangga sudah membawakan makanan. Kalau dalam keadaan seperti sekarang, mana terpikir?
Waktu terus berlalu, tamu-tamu berdatangan. Relasi Papi, teman-teman arisan Mami, teman-teman sekolah Ardi dan Avis. Dan Avis juga sibuk bersiap-siap, paling tidak tiga hari di Bandung. Untung ranselnya dan ransel Ardi kemarin belum dibongkar. Memang masih ada pakaian yang kotor, tinggal dikeluarkan dan diganti dengan pakaian bersih. Pakaian Mami. Lalu segala tetek bengek. Tapi kalau ada yang lupa, biarlah, mungkin di rumah Kakek bisa dicari.
Mami seperti mengatakan sesuatu dari jarak jauh. Avis mendekat. Foto Papi. Oh, iya, foto Papi. Ini nggak bisa dicari di rumah Kakek. Avis berlari ke ruang baca Papi, di situ ada foto terbaru Papi yang besar, yang menghiasi dinding, dikelilingi foto sekeluarga, foto Mami-Papi, foto anak-anak saja ... Avis meraih foto Papi sendiri di dinding. Dan sudah akan keluar dari ruang baca, ketika terbaca surat yang tergeletak di meja.
’Untuk Mami? Seperti yang ... sudah direncanakan?” Avis membatin. Tapi ia tak berpikir lebih lama lagi, diambilnya surat itu berserta kuncinya. Ia keluar dari ruang baca, dan ditutupnya ruangan itu.
Foto berpigura itu diletakkan disandarkan di antara ransel-ransel dan tas pergi Mami.Lalu ia menyelinap di antara tamu, mendekati Mami.
“Mami, ini ada surat di meja Papi,” Avis berbisik pelan pada Mami, ”dan ada kuncinya.”
Mami membaca selintas, tapi raut wajahnya mengatakan bahwa ia tak mengerti. ”Kuncinya mana?” tanya Mami.
Avis memberikan kuncinya.
Mami memandanginya tak mengerti.
”Ya, sudahlah. Mana tas Mami, bawa ke sini. Nanti kalau sudah salse, Mami baca lagi,” ucap Mami lirih seperti ditujukan pada diri sendiri. Avis mengangguk dan pergi mengambil tas Mami.
Ardi muncul di pintu depan, ”Mobil jenazah sudah ada, Mi. Kalau sudah siap, kita pergi sekarang saja. Surat-surat sudah dibereskan sama pak RT, rumah sudah dititipkan sama bu Awang. Mudah-mudahan tidak macet, bisa sampai di Bandung jam satu, dan bisa langsung dimakamkan.”
”Mudah-mudahan,” amin pak Ustadz, ”Lebih bersegera, lebih baik. Lagipula sekarang bukan musim hujan, moga-moga tetap cerah. Yang lain, masih adakah yang mau menyalatkan?”
Mereka menunggu sampai semua yang ada selesai menyalatkan, lalu pak RT mengucapkan sedikit selamat jalan, dan pak Ustadz mendoakan semua, agar yang meninggal dilapangkan jalannya, agar yang ditinggalkan mendapat kekuatan.
Mami dan Avis naik Kijang mereka, disupiri oleh anak bu Awang yang lumayan hapal jalan-jalan di Bandung. Ardi naik mobil jenazah mengawal Papi. Masih ada beberapa mobil yang akan mengikuti mereka sampai ke Bandung.
Jalan ke Bandung yang kemarin rasanya baru saja tadi ditelusuri, kini Avis sudah kembali lagi ke sana. Hatinya tercekat ketika ia melintasi daerah Puncak. Kemarin ia dan Papi masih bersenda gurau di sana. Kemarin Ardi masih meledek Mami yang pacaran sama Papi. Kemarin mereka masih menyayangkan nasib elang yang semakin kehilangan habitatnya karena ulah manusia. Kemarin ... dan Avis tercekat. Walau tanpa teropong, ia bisa tahu ada dua elang yang sedang bermanuver di udara sana, persis seperti kemarin. Dua titik kecil itu, sama seperti kemarin, Dan ada sesuatu yang membuat jantungnya seperti berhenti.
Mungkinkah ia berhalusinasi? Tapi di angkasa, seperti ada wajah Papi memandangnya. Seperti menjadi latar belakang dari kedua elang yang sedang berputar membubung tinggi untuk meniti angin. Wajah itu tersenyum, seperti yang sedang bersenda gurau bersama kedua elang. Tapi matanya menatap ke arah Avis. Seperti mengatakan, Papi sudah ada di sini, Avis, Papi sudah bersama mereka, elang-elang itu, di atas, mengawasimu dan Ardi. Jangan menangis, jangan bersedih, kita hanya berbeda alam, tetapi Papi bersamamu.
Avis mengejapkan matanya, dan langit bersih tanpa awan. Tidak ada wajah Papi di atas sana. Mungkin ia memang berhalusinasi?
Ia menyandarkan kepalanya di kursi. Dipejamkan matanya. Lalu lintas lancar, dan mereka bisa saja sampai ke Bandung dalam dua jam.
Apakah kenangannya akan elang akan terkuburkan bersama dengan Papi?
*****
Mami memutar kunci dan mendorong pintu sehingga terbuka. Seminggu telah mereka tinggalkan Jakarta dan kenangan akan Papi meluap lagi.
Mereka bertiga masuk, menyeret ransel dan tas pakaian. Tidak akan sama lagi kehidupan. Tidak akan sama. Bahkan mungkin saja akan berubah, pikir Avis. Biarlah, yang penting sekarang, mandi, membereskan baju kotor, dan mungkin di lemari pantry akan dicarinya sebungkus mi instan nanti.
”Buat aku juga, Vis,” sahut Ardi. Tak terduga dia sudah ada di belakangnya di dapur, sudah mandi.
“Kenapa bikin mi instan?” suara Mami dari kamar, “uwak Hany tadi kan membekalkan pais lauk. Waktu kalian mandi tadi, Mami sudah masak nasi, sekarang mungkin sudah matang,” Mami keluar kamar, bersiap pergi ke kamar mandi.
”Eh,” Avis melengos malu, ”Avis pengen yang hangat-hangat. Yang berkuah,” kilahnya.
”Ardi juga,” Ardi hanya membeo.
“Ya sudahlah,” Mami masuk kamar mandi, tapi kemudian keluar lagi, “Buatin Mami juga, tapi nanti pas Mami keluar kalmar mandi ya?”
Itu hal yang biasa dulu. Mami atau Papi kalau minta mi instan, harus pas diangkat dari panci, pas dimakan. Mending Mami menunggu dulu di meja sampai Avis membawakan mangkoknya, daripada mangkok dulu yang menunggu Mami atau Papi datang ke meja.
Dan sekarang permintaan itu datang lagi. Rasanya ... hal seperti itu sudah lama sekali tidak terjadi.
Avis nyaris menangis mengenang Papi, tapi cepat-cepat ditahannya. Mi instan yang di panci sudah matang, dipindahkan ke mangkok dan diserahkan pada Ardi.
”Tumben, kok buat aku dulu?” Ardi menerima mangkoknya. Biasanya Avis membuat untuk dirinya sendiri yang mi-nya tidak terlalu matang, lalu membuatkan untuk Ardi, dan hasilnya saat mi Ardi matang, mi-nya juga matang.
”Abis mi-nya udah matang, jadi buat Aa aja dulu,” cetusnya sambil lalu. Dibukanya bungkus baru, sambil memperkirakan waktu mi-nya matang, waktu Mami selesai mandi, dan waktu mi Mami matang. Diputuskannya untuk memasak mi-nya dulu, lalu memasak punya Mami. Dan ternyata matang tepat waktu, Mami datang ke meja pas Avis menuangkan mi ke mangkok.
”Ah, curang! Sekarang kalian berdua menikmati makanan bersama, ari Ardi dicuekin,” keluh Ardi sambil memperhatikan mangkoknya yang sudah bersih berkilat.
”Ya, bikin lagi aja, atuh,” celoteh Avis sambil meniupi mi-nya.
”Vis, Di, Mami sebenarnya pengen ngomong nih,” Mami menatap kedua anaknya, terutama yang satu yang sudah hendak beranjak pergi.
”Ada apa, Mi?”
”Soal ... kita.” Mami seperti kehilangan kata-kata.
”Soal kita sepeninggal Papi, ya Mi?” Ardi duduk mendekat.
“Iya. Ini sebenarnya cuma pemikiran Mami, tapi Mami pengen masukan dari kalian. Mami ngerti kalau kalian sudah ... punya banyak teman di Jakarta ini. Dan agak susah juga kalau kita pindah ke Bandung. Tapi ... kita tidak punya saudara di Jakarta ini. Kita dulu pindah karena bisnis Papi berjalan dengan baik di Jakarta. Tapi kalau Mami disuruh meneruskan ... Mami nggak bisa.”
Mami mengaduk-aduk mi-nya dan memakannya asal-asalan. Avis dan Ardi menunggu.
”Mami pikir, kalau di Bandung banyak saudara. Lalu, Mami juga punya warisan rumah di Kembar. Mungkin kita bisa ... usaha di sana. Mungkin Mami bisa buka katering atau bikin kue. Soalnya kalau nerusin usaha Papi, Mami sih nggak bisa.”
”Di sini tetangga juga banyak dan baik-baik, tapi kalau ada sesuatu yang terjadi ... Mami ingin deket saudara. Mungkin Mami ogoan nya?” sahut Mami pelan.
”Nggak, Mi. Itu juga terpikir oleh Ardi. Mumpung sekolah juga baru mulai, mumpung Ardi baru kelas satu.”
”Iya, Mi. Teman-teman Avis juga banyak di sini, tapi Avis yakin bisa punya teman banyak di Bandung. Dan mereka yang di sini kan bisa Avis hubungi lewat telepon. Selain itu, Jakarta-Bandung kan tidak terlalu jauh, tiga-empat jam juga sudah sampai, kalau kami mau ketemuan.”
”Jadi, kalian setuju?”
Ardi dan Avis berbarengan mengangguk.
“Avis dimasukin di SMP 13 ya, Mi? Biar sama Dania sekolahnya?” Avis menyebut nama sepupunya.
Mami tersenyum. ”Iya. Itu nanti Mami tanyakan ke uwak Hany. Apa saja yang harus dipersiapkan untuk pindah sekolah. Terus ke pak RT bikin surat pindah. Beresin barang-barang. Terutama buku-buku Papi,” suara Mami memelan menyebutnya. ”Mami tak tahu mending dibawa atau di kemanakan buku Papi yang segitu banyaknya itu.”
”Dibawa aja, Mi, mungkin besok-besok Ardi atau Avis akan perlu. Buku-buku Papi kelihatannya bagus-bagus kok.”
”Ya sudah. Buku Papi duluan.” sahut Mami. ”Rumah ini, mau dijual atau dikontrakin aja? Kalian kan punya hak waris atas rumah ini.
”Mending dikontrakin aja, Mi. Kali aja nanti Ardi atau Avis kuliah di Jakarta, nggak usah susah-susah kos.”
Mami memaksakan diri tersenyum. ”Kalau begitu, habis ini langsung beresin buku Papi dan kita pindah!”
Ardi dan Avis juga sama-sama memaksakan diri tersenyum.
Tapi Avis tiba-tiba teringat sesuatu. Surat Papi. Surat Papi untuk Mami yang ditemukannya saat mencari foto itu. Itu tentang apa? Apa yang harus diberikan oleh Mami pada Ardi dan dirinya, saat mereka menikah nanti?
Tapi lamunannya terpecah dengan keluhan Mami, ”Yaaaa, mi-nya udah terlalu lembek nih, dan nggak panas lagi deh!”
~0~0~0~0~0~0
Word Count: 2.009
Akumulasi (tambah pemisah): 3.827
Target: 3.334
Music: Andra & The Backbone dan Letto berulang-ulang
Snack: Euh, ketan masuk snack nggak ya?
Minuman: Susu coklat
~0~0~0~0~0
Avis membereskan ruang tamu, perasaannya tak menentu. Kursi-kursi tamu digeser bersama Ardi yang kelihatannya juga tak menentu. Lalu karpet-karpet digelar. Orang-orang akan berdatangan tentu, walau sekarang baru jam 5 pagi.
Mami hanya bisa duduk di ruang tengah. Mereka bertiga, Avis, Ardi, dan Mami, penampilannya tak menentu. Mata sembab, bengkak dan merah. Hidung merah dan terus menerus berair. Rambut kusut, untunglah Mami dan Avis menutupinya dengan kerudung. Tapi yang paling parah Mami. Dia sudah seperti orang linglung. Kalau dibiarkan berjalan ke sana ke mari, jalannya limbung. Nampaknya hanya sedikit lagi dia akan pingsan. Karenanya Avis dan Ardi memaksanya duduk saja di ruang tengah, memberinya segelas teh hangat, dan mengerjakan hal-hal lainnya berdua.
Lagipula lama kelamaan yang membantu bertambah banyak seiring selesainya shalat subuh di masjid terdekat. Mendengar pengumuman yang disiarkan via pengeras suara masjid tadi, para jamaah subuh pasti langsung ke rumah bu Arman. Beberapa bapak-bapak kembali ke masjid, mengambil kain kafan dan peralatan lain, sedang beberapa bapak lainnya ke bagian belakang rumah, menyiapkan tempat dan air untuk memandikan.
Ruang tamu siap menerima orang-orang. Avis duduk di dekat Mami. Ardi ikut ke belakang memandikan. Ibu-ibu menyalami Mami, memeluknya, menepuk-nepuknya, mengucapkan kata-kata penghiburan.
”Yang sabar, ya Jeng. Pak Arman itu orangnya baik, pasti dilapangkan jalannya oleh Dia.”
”Papi nggak sakit apa-apa, Bu,” Mami mulai berkata dengan pelan, ”Kemarin baru saja menjemput anak-anak pulang berlibur di Bandung. Kemarin masih meneropong elang bersama Avis,” Mami menaruh tangannya di bahu Avis, ”Dan Papi tidur dengan tenang, saya tidur di dadanya, sampai subuh tadi, tidak menyadari kalau Papi sudah dingin, sudah tidak ada ...” Mami menutupkan ujung kerudungnya ke wajahnya. Menangis tak bersuara.
Ya, pikir Avis getir, kemarin mereka membicarakan elang yang tak punya lingkungan lagi, dan sekarang ia tak punya Papi. Papi pergi begitu tiba-tiba, Avis tertidur lelap kecapekan tadi malam, dan subuh ini ia dibangunkan oleh Mami yang setengah histeris. Bangun dengan kaget dan mendapati bahwa ia tak punya Papi lagi ...
Bapak-bapak yang memandikan tubuh Papi menggotong tubuhnya ke ruang tengah, sudah dikafani tapi belum menutupi wajahnya. Mereka mengatur arah baringnya, agar bisa disalatkan. Ardi basah dan lelah, terlebih lagi masih kaget tak percaya, bahwa tubuh yang baru saja ikut dipangkunya memang sudah tak ada lagi.
“Bu Arman, mungkin mau melihat sekali lagi,” ustadz Harun mempersilakan Mami mendekat.
Mami bergerak turun, dan berjalan perlahan. Ia memperhatikan wajah damai Papi, membelai pipinya, dan mencium kedua pipinya. Mungkin kedamaian di wajah Papi menular pada Mami dan dia menjadi tenang.
Mami membiarkan kedua anaknya juga mencium Papi, lalu ia meminta pada ustadz Harun untuk menutup wajah Papi. Beberapa orang kemudian menyelesaikan pembungkusan jenazah dengan kafan hingga rapi.
”Untuk yang akan menyalatkan, silakan bersiap-siap,” sahut ustadz Harun. Avis sudah menyiapkan mukena untuknya dan untuk Mami, dan Ardi sudah berganti kaus dengan yang kering.
Karena banyak jemaah subuh baru saja bubar dari masjid, maka jemaah shalat jenazah ini pun menjadi banyak. Hampir semua penghuni kompleks, yang rajin shalat subuh ke masjid, hadir.
Selesai shalat jenazah, ustadz Harun bertanya dengan hati-hati pada Mami, ”Bu Arman, akan dimakamkan di manakah?”
Mami tercenung sejenak, tapi kemudian Ardi menyela, ”Mam, oom Narto menelepon. Tadi Ardi menelpon mengabari keadaan Papi. Om Narto bilang, kalau mau dimakamkan di Bandung, dia akan berangkat duluan dari Bogor dan tidak akan ke sini dulu. Biar dia yang mempersiapkan segala sesuatunya di Bandung.”
Mami mengangguk. ”Baiklah. Biar dimakamkan di Bandung saja. Paling tidak di Bandung ada banyak kerabat.”
Ardi mengangguk lagi. “Ardi teleponkan mobil jenazah ya, Mam. Mami siap-siap saja, makan dulu biar nggak masuk angin.” Ardi memberi isyarat pada Avis untuk mendampingi Mami.
Avis mengangguk. Aa-nya yang biasa menggodainya, sekarang bersikap dewasa begitu, ia juga harus kuat. Mami harus didampingi. Biar Mami menolak untuk makan, Mami harus dibujuk. Bangun dari subuh belum kemasukan apa-apa, lalu mau pergi ke Bandung mengantar Papi, harus kuat. Lagian tetangga sudah membawakan makanan. Kalau dalam keadaan seperti sekarang, mana terpikir?
Waktu terus berlalu, tamu-tamu berdatangan. Relasi Papi, teman-teman arisan Mami, teman-teman sekolah Ardi dan Avis. Dan Avis juga sibuk bersiap-siap, paling tidak tiga hari di Bandung. Untung ranselnya dan ransel Ardi kemarin belum dibongkar. Memang masih ada pakaian yang kotor, tinggal dikeluarkan dan diganti dengan pakaian bersih. Pakaian Mami. Lalu segala tetek bengek. Tapi kalau ada yang lupa, biarlah, mungkin di rumah Kakek bisa dicari.
Mami seperti mengatakan sesuatu dari jarak jauh. Avis mendekat. Foto Papi. Oh, iya, foto Papi. Ini nggak bisa dicari di rumah Kakek. Avis berlari ke ruang baca Papi, di situ ada foto terbaru Papi yang besar, yang menghiasi dinding, dikelilingi foto sekeluarga, foto Mami-Papi, foto anak-anak saja ... Avis meraih foto Papi sendiri di dinding. Dan sudah akan keluar dari ruang baca, ketika terbaca surat yang tergeletak di meja.
’Untuk Mami? Seperti yang ... sudah direncanakan?” Avis membatin. Tapi ia tak berpikir lebih lama lagi, diambilnya surat itu berserta kuncinya. Ia keluar dari ruang baca, dan ditutupnya ruangan itu.
Foto berpigura itu diletakkan disandarkan di antara ransel-ransel dan tas pergi Mami.Lalu ia menyelinap di antara tamu, mendekati Mami.
“Mami, ini ada surat di meja Papi,” Avis berbisik pelan pada Mami, ”dan ada kuncinya.”
Mami membaca selintas, tapi raut wajahnya mengatakan bahwa ia tak mengerti. ”Kuncinya mana?” tanya Mami.
Avis memberikan kuncinya.
Mami memandanginya tak mengerti.
”Ya, sudahlah. Mana tas Mami, bawa ke sini. Nanti kalau sudah salse, Mami baca lagi,” ucap Mami lirih seperti ditujukan pada diri sendiri. Avis mengangguk dan pergi mengambil tas Mami.
Ardi muncul di pintu depan, ”Mobil jenazah sudah ada, Mi. Kalau sudah siap, kita pergi sekarang saja. Surat-surat sudah dibereskan sama pak RT, rumah sudah dititipkan sama bu Awang. Mudah-mudahan tidak macet, bisa sampai di Bandung jam satu, dan bisa langsung dimakamkan.”
”Mudah-mudahan,” amin pak Ustadz, ”Lebih bersegera, lebih baik. Lagipula sekarang bukan musim hujan, moga-moga tetap cerah. Yang lain, masih adakah yang mau menyalatkan?”
Mereka menunggu sampai semua yang ada selesai menyalatkan, lalu pak RT mengucapkan sedikit selamat jalan, dan pak Ustadz mendoakan semua, agar yang meninggal dilapangkan jalannya, agar yang ditinggalkan mendapat kekuatan.
Mami dan Avis naik Kijang mereka, disupiri oleh anak bu Awang yang lumayan hapal jalan-jalan di Bandung. Ardi naik mobil jenazah mengawal Papi. Masih ada beberapa mobil yang akan mengikuti mereka sampai ke Bandung.
Jalan ke Bandung yang kemarin rasanya baru saja tadi ditelusuri, kini Avis sudah kembali lagi ke sana. Hatinya tercekat ketika ia melintasi daerah Puncak. Kemarin ia dan Papi masih bersenda gurau di sana. Kemarin Ardi masih meledek Mami yang pacaran sama Papi. Kemarin mereka masih menyayangkan nasib elang yang semakin kehilangan habitatnya karena ulah manusia. Kemarin ... dan Avis tercekat. Walau tanpa teropong, ia bisa tahu ada dua elang yang sedang bermanuver di udara sana, persis seperti kemarin. Dua titik kecil itu, sama seperti kemarin, Dan ada sesuatu yang membuat jantungnya seperti berhenti.
Mungkinkah ia berhalusinasi? Tapi di angkasa, seperti ada wajah Papi memandangnya. Seperti menjadi latar belakang dari kedua elang yang sedang berputar membubung tinggi untuk meniti angin. Wajah itu tersenyum, seperti yang sedang bersenda gurau bersama kedua elang. Tapi matanya menatap ke arah Avis. Seperti mengatakan, Papi sudah ada di sini, Avis, Papi sudah bersama mereka, elang-elang itu, di atas, mengawasimu dan Ardi. Jangan menangis, jangan bersedih, kita hanya berbeda alam, tetapi Papi bersamamu.
Avis mengejapkan matanya, dan langit bersih tanpa awan. Tidak ada wajah Papi di atas sana. Mungkin ia memang berhalusinasi?
Ia menyandarkan kepalanya di kursi. Dipejamkan matanya. Lalu lintas lancar, dan mereka bisa saja sampai ke Bandung dalam dua jam.
Apakah kenangannya akan elang akan terkuburkan bersama dengan Papi?
*****
Mami memutar kunci dan mendorong pintu sehingga terbuka. Seminggu telah mereka tinggalkan Jakarta dan kenangan akan Papi meluap lagi.
Mereka bertiga masuk, menyeret ransel dan tas pakaian. Tidak akan sama lagi kehidupan. Tidak akan sama. Bahkan mungkin saja akan berubah, pikir Avis. Biarlah, yang penting sekarang, mandi, membereskan baju kotor, dan mungkin di lemari pantry akan dicarinya sebungkus mi instan nanti.
”Buat aku juga, Vis,” sahut Ardi. Tak terduga dia sudah ada di belakangnya di dapur, sudah mandi.
“Kenapa bikin mi instan?” suara Mami dari kamar, “uwak Hany tadi kan membekalkan pais lauk. Waktu kalian mandi tadi, Mami sudah masak nasi, sekarang mungkin sudah matang,” Mami keluar kamar, bersiap pergi ke kamar mandi.
”Eh,” Avis melengos malu, ”Avis pengen yang hangat-hangat. Yang berkuah,” kilahnya.
”Ardi juga,” Ardi hanya membeo.
“Ya sudahlah,” Mami masuk kamar mandi, tapi kemudian keluar lagi, “Buatin Mami juga, tapi nanti pas Mami keluar kalmar mandi ya?”
Itu hal yang biasa dulu. Mami atau Papi kalau minta mi instan, harus pas diangkat dari panci, pas dimakan. Mending Mami menunggu dulu di meja sampai Avis membawakan mangkoknya, daripada mangkok dulu yang menunggu Mami atau Papi datang ke meja.
Dan sekarang permintaan itu datang lagi. Rasanya ... hal seperti itu sudah lama sekali tidak terjadi.
Avis nyaris menangis mengenang Papi, tapi cepat-cepat ditahannya. Mi instan yang di panci sudah matang, dipindahkan ke mangkok dan diserahkan pada Ardi.
”Tumben, kok buat aku dulu?” Ardi menerima mangkoknya. Biasanya Avis membuat untuk dirinya sendiri yang mi-nya tidak terlalu matang, lalu membuatkan untuk Ardi, dan hasilnya saat mi Ardi matang, mi-nya juga matang.
”Abis mi-nya udah matang, jadi buat Aa aja dulu,” cetusnya sambil lalu. Dibukanya bungkus baru, sambil memperkirakan waktu mi-nya matang, waktu Mami selesai mandi, dan waktu mi Mami matang. Diputuskannya untuk memasak mi-nya dulu, lalu memasak punya Mami. Dan ternyata matang tepat waktu, Mami datang ke meja pas Avis menuangkan mi ke mangkok.
”Ah, curang! Sekarang kalian berdua menikmati makanan bersama, ari Ardi dicuekin,” keluh Ardi sambil memperhatikan mangkoknya yang sudah bersih berkilat.
”Ya, bikin lagi aja, atuh,” celoteh Avis sambil meniupi mi-nya.
”Vis, Di, Mami sebenarnya pengen ngomong nih,” Mami menatap kedua anaknya, terutama yang satu yang sudah hendak beranjak pergi.
”Ada apa, Mi?”
”Soal ... kita.” Mami seperti kehilangan kata-kata.
”Soal kita sepeninggal Papi, ya Mi?” Ardi duduk mendekat.
“Iya. Ini sebenarnya cuma pemikiran Mami, tapi Mami pengen masukan dari kalian. Mami ngerti kalau kalian sudah ... punya banyak teman di Jakarta ini. Dan agak susah juga kalau kita pindah ke Bandung. Tapi ... kita tidak punya saudara di Jakarta ini. Kita dulu pindah karena bisnis Papi berjalan dengan baik di Jakarta. Tapi kalau Mami disuruh meneruskan ... Mami nggak bisa.”
Mami mengaduk-aduk mi-nya dan memakannya asal-asalan. Avis dan Ardi menunggu.
”Mami pikir, kalau di Bandung banyak saudara. Lalu, Mami juga punya warisan rumah di Kembar. Mungkin kita bisa ... usaha di sana. Mungkin Mami bisa buka katering atau bikin kue. Soalnya kalau nerusin usaha Papi, Mami sih nggak bisa.”
”Di sini tetangga juga banyak dan baik-baik, tapi kalau ada sesuatu yang terjadi ... Mami ingin deket saudara. Mungkin Mami ogoan nya?” sahut Mami pelan.
”Nggak, Mi. Itu juga terpikir oleh Ardi. Mumpung sekolah juga baru mulai, mumpung Ardi baru kelas satu.”
”Iya, Mi. Teman-teman Avis juga banyak di sini, tapi Avis yakin bisa punya teman banyak di Bandung. Dan mereka yang di sini kan bisa Avis hubungi lewat telepon. Selain itu, Jakarta-Bandung kan tidak terlalu jauh, tiga-empat jam juga sudah sampai, kalau kami mau ketemuan.”
”Jadi, kalian setuju?”
Ardi dan Avis berbarengan mengangguk.
“Avis dimasukin di SMP 13 ya, Mi? Biar sama Dania sekolahnya?” Avis menyebut nama sepupunya.
Mami tersenyum. ”Iya. Itu nanti Mami tanyakan ke uwak Hany. Apa saja yang harus dipersiapkan untuk pindah sekolah. Terus ke pak RT bikin surat pindah. Beresin barang-barang. Terutama buku-buku Papi,” suara Mami memelan menyebutnya. ”Mami tak tahu mending dibawa atau di kemanakan buku Papi yang segitu banyaknya itu.”
”Dibawa aja, Mi, mungkin besok-besok Ardi atau Avis akan perlu. Buku-buku Papi kelihatannya bagus-bagus kok.”
”Ya sudah. Buku Papi duluan.” sahut Mami. ”Rumah ini, mau dijual atau dikontrakin aja? Kalian kan punya hak waris atas rumah ini.
”Mending dikontrakin aja, Mi. Kali aja nanti Ardi atau Avis kuliah di Jakarta, nggak usah susah-susah kos.”
Mami memaksakan diri tersenyum. ”Kalau begitu, habis ini langsung beresin buku Papi dan kita pindah!”
Ardi dan Avis juga sama-sama memaksakan diri tersenyum.
Tapi Avis tiba-tiba teringat sesuatu. Surat Papi. Surat Papi untuk Mami yang ditemukannya saat mencari foto itu. Itu tentang apa? Apa yang harus diberikan oleh Mami pada Ardi dan dirinya, saat mereka menikah nanti?
Tapi lamunannya terpecah dengan keluhan Mami, ”Yaaaa, mi-nya udah terlalu lembek nih, dan nggak panas lagi deh!”
~0~0~0~0~0~0
Word Count: 2.009
Akumulasi (tambah pemisah): 3.827
Target: 3.334
0 Comments:
Post a Comment
<< Home