Hari Ketujuh
Ada editan dari bagian terakhir hari kelima. Hari keenam hanya ngetik beberapa baris, huhuhu... dan balas dendam hari ini :P
~0~0~0~0~0~0~0
Sinar mentari belum sampai ke bumi ketika Avis membuka tirai jendela kamarnya. Sembari melintas hendak ke kamar mandi, dihidupkan ponselnya lalu diletakkan kembali di atas buffet. Namun langkahnya terhenti di pintu kamar mandi ketika ponselnya menyuarakan "tiit tuut tiit" tanda ada pesan masuk saat ponselnya off.
Penasaran Avis berbalik dan meraih ponselnya. Dipencetnya tombol 'Yes' untuk masuk ke inbox, dan dilihatnya nama Alen disamping ikon amplop tertutup.
'Uh, ngapain si Alen nge-SMS subuh-subuh gini?' tanya Avis dalam hati, melihat kalimat yang terpampang di layar.
hope you can meet your soulmate today
Avis memencet-mencet tombol ponselnya me-reply "Apaan sih Len?" lalu memencet 'Yes' pada ikon 'Send' lalu meletakkan ponselnya lagi di atas bufet, melanjutkan acaranya ke kamar mandi.
Tidak ada jawaban atas SMS-nya, dan kesibukan rutin pagi hari membuat Avis melupakan pesan aneh itu. Dia sudah siap sekarang. Sudah mandi, sudah dandan, sudah sarapan. Dia keluar dari kamar yang sudah dirapikan.
“Mam, berangkat ya? Mana pesanan Alen? Ah ini dia. Avis kuliah sampai jam sebelas, trus kuliah lagi jam dua sampai jam empat, mending nggak pulang aja ya? Pulangnya nanti sore. Dah, Mam!”
Avis berjalan sembari menyambar dua keresek kotak kue, dan cium pipi kiri cium pipi kanan Maminya.
“Jangan kesorean. Nanti sore kan teh Alia mau ke sini. Terus kan mau ngepas baju dulu. Oya, nanti kalau lagi break kuliah, sekalian mampir dulu ke rumah uwak Hany, ngambil daftar nama tambahan buat undangan. Tadi malam uwak Hany udah janji.”
”Oke, Boss. Berangkat dulu, Mam!”
“Ee-eh!” suara Ardi berteriak dari dalam kamar, “mau ke mana? Jangan lupa nanti sore jangan ngelayap ke mana-mana! Dan jangan lupa ke uwak Hany, uwak kan udah janji ...”
”Iya, Tuan Besar, Hamba akan melaksanakan perintahmu, dan jangan takut, akan Hamba ambil daftar nama di istana uwak Hany ...”
Sebuah bantal besar melayang ke arah Avis, tapi si empunya nama sudah melarikan diri ke Timbuktu dengan dua keresek kotak kue. Hihi..
”Udah, Avis berangkat nih, takut telat. Assalamualaikum!”
”Waalaikum salam.”
Langkah ringan Avis membawanya ke beberapa rumah jauhnya ke depan. Alen, anak pemilik rumah, seumuran dengan Avis dan sekuliahan, sudah menunggu.
”Woits! Tepat waktu, euy!”
”Ya iya, atuh. Ini bawa ke dalam, trus hari ini mau kuliah nggak?”
”Mau, tunggu sebentar,” Alen masuk ke dalam rumah dan berteriak, ”Mamah! Ini pesanan dari bu Arman udah datang! Alen pergi kuliah ya, Mam!”
”Eeh, tunggu,” ibunya Alen keluar tergopoh-gopoh, ”Aduh, Apis, nuhun nya! Engke teh janten? Wartosan kaping sabaraha nya, ke ibu ngabantuan satiasa-tiasa,”
Begitulah kalau kau punya nama dengan unsur huruf ’f’ atau ’v’ dan kau tinggal di suatu tempat di Jawa Barat, bersiap-siaplah kau akan dipanggil dengan nama yang berunsur ’p’. Kalau huruf ’f’ maka akan berubah menjadi ’ep’ dan kalau ’v’ akan berubah menjadi ’pe’. Seperti Avis jadi ’Apis’. Hehe..
Avis pasrah saja dipanggil demikian. Bagaimana lagi. Sama orang tua lagi. Dan orangtua yang baik lagi. Dan ia menjawab sopan, ”Cios, Bu. Sasih payun, insya Allah. Mangga, engke diwartosan.”
”Hayu!” gamit Alen berjalan keluar rumah.
”Mangga, Bu!” pamit Avis.
”Mangga, neng. Kade nya, Alen! Uihna tong sore teuing!”
”Muhun, mamah, moal sonten teuing, wengi we!”
Ibunya Alen tertawa, Avis juga tergelak. Ibu dan anak ini sama saja tukang becanda. Dan ibu-anak ini juga sama-sama nggak bisa masak, makanya urusan masakan atau kue selalu pesan ke Mami.
Mereka berdua berjalan bersisian, mesti jalan dulu sebelum sampai ke jalan besar dan naik angkot.
”Len, apaan sih, subuh-subuh ngirim SMS?” tanya Avis penasaran.
”Ada deh,” wajah Alen penuh rahasia.
”Apa sih?”
”Lihat saja nanti di kampus. Itu juga kalau ada peminat,” Alen senyum-senyum sendiri. Sepertinya apapun yang dilakukan Avis tak akan menggoyahkan pendiriannya. Jadi Avis sibuk melakukan apapun yang kira-kira bisa membocorkan rahasia, tapi sepanjang jalan ke kampus Alen hanya tersenyum-senyum saja, plus bersenandung tak tentu judul lagunya. Avis menyerah, tak bertanya lagi, dan mencubit lengan Alen sebelum mereka berpisah jurusan. Avis dan Alen beda jurusan, tapi kadang ada kelas yang mulainya sama, maka mereka berangkat sama-sama.
Masih ada waktu sebelum kuliah dimulai, jadi Avis melangkahkan kakinya ke papan pengumuman di ujung deretan kelas. Papan pengumuman tak resmi itu --bukan papan tempat menempelkan hasil ujian atau perubahan jadwal kuliah-- biasa dipergunakan para mahasiswa untuk mengiklankan sesuatu, biasanya mencari teman berbagi kamar kos, atau jualan sesuatu.
Sekali Avis pernah melihat iklan "dijual Harry Potter 1-4 murah, BU" makanya ia terus berharap suatu ketika akan ada yang memasang iklan "dijual murah History of Middle-Earth" yang di QB dilihatnya berharga limaratus ribuan se-eksemplar ..
Alen pernah mengejeknya soal itu "ada kok, Vis, HoME murah, pernah diiklanin di SCTV,"
"Ha?" Avis terbengong, sebelum sadar Alen telah menukas "iya, di acara Mimpi Kali Ye .." Dan bantal pun melayang ke wajah Alen.
Hari inipun Avis masih iseng berharap ada yang memasang iklan seperti itu. HoME, atau LotR yang sejilid. Atau apapun asal berbau-bau Tolkien.
Alen tahu betapa sahabatnya ini tergila-gila pada segala sesuatu yang berbau Tolkien. Alen sendiri lebih menyukai Harry Potter yang baru masuk terjemahannya. Dia tidak cukup punya kesabaran untuk menemukan arti segala kata-kata aneh yang ditemukannya di buku karya Tolkien dalam kamus. Namun paling tidak dia cukup punya kesabaran untuk mendengarkan Avis nyerocos mengulang-ulang kalimat-kalimat yang disukainya.
Avis sendiri menyukainya tatkala ia menemukannya di koleksi buku Papi. Sejak itu ia tergila-gila, Hobbits, Lord of the Rings, Silmarillion, dan buku-buku penunjang lainnya. Berbahasa Inggris. Waktu kemudian tahun ini ia mendapati buku berbahasa Indonesianya sudah diterbitkan, ia membelinya juga, walau ia tidak begitu menyukainya. Ia kembali ke bahasa Inggris.
Avis tersenyum sendiri. Alen memang sahabat terbaik yang pernah ia punyai. Bahkan setelah mereka kuliah dan berbeda jurusan, bahkan setelah Alen punya pacar-pun, perhatian terhadap Avis tidak berkurang. Sering mereka jalan bertiga, dan malah Avis sendiri yang merasa risih.
"Benar tidak menganggu, nih?" tanyanya suatu ketika.
"Jelas tidak," sahut Tio pacar Alen, yang sahabat Avis juga, "eh, sebenarnya cukup mengganggu juga sih,"
"Kalau gitu aku pergi sendiri saja," sahut Avis.
"Bukan itu jalan keluarnya," senyum Tio.
"Lantas?"
"Kamu juga cari pacar. Lalu kita jalan berempat," Alen dan Tio tertawa berbarengan.
"Huh, kalian ini," rungut Avis.
"Nel, Tio bener lho. Kamu ini sebenarnya mau nunggu apa sih? Umur udah mateng, masa' mahasiswi S2 masih dilarang pacaran sama Mami," goda Alen.
"Aku mau cari cowok yang ngertiin aku," balas Avis ngasal.
"Apa dia mesti ngertiin juga segala buku Tolkien itu?" terka Alen.
Ucapan Alen menyentakkan sesuatu di lubuk hati Avis. Iya juga sih! Kenapa aku suka merasa nggak klop bicara dengan cowok, saat mereka tahu kesukaanku, kemudian mereka mengaku 'aduh, aku sih pusing baca LotR'. Kenapa ya?
Tio nyengir jahil, "kalau gitu kamu buat sayembara cari jodoh aja, Nel. Seperti putri-putri jaman kerajaan dulu. Barangsiapa bisa membuktikan kalau dia sama maniaknya terhadap Tolkien --atau bahkan lebih-- denganmu, kalau perempuan akan dijadikan saudara, kalau laki-laki akan dijadikan suami,"
Tidak ada bantal untuk dilemparkan ke arah Tio kali ini, jadi Avis harus cukup puas dengan pura-pura manyun saja.
Tapi hari ini sepertinya Avis membutuhkan sesuatu untuk dilemparkan ke arah Alen sahabatnya itu. Karena di salah satu pojok papan pengumuman dari styrofoam itu tertempel kertas memo dengan tulisan Alen yang sangat dikenalnya, dengan huruf kapital dengan spidol merah berdiameter besar: DICARI: COWOK YANG PAHAM SELUKBELUK TOLKIEN DAN KARYA-KARYANYA BUAT DIJADIIN KEKASIH. HUBUNGI 081xxx xxx xxx
Dan nomor itu adalah nomor ponselnya!
Avis cepat-cepat merenggut kertas itu dari board, meremasnya dan membuangnya ke tempat sampah terdekat. Dia melirik kanan kiri, suasana masih relatif sepi. Mudah-mudahan saja belum ada yang sempat membaca pesan itu. Lalu tiba-tiba dia teringat, mungkin ini maksud SMS Alen tadi subuh?
Sialan, sialan, dan sialan .. awas nanti kalau ketemu ..
'Tiit tuut tiit' tiba-tiba ponselnya berteriak menyatakan ada pesan masuk. Sebuah nomor tak dikenal. Avis memencet 'Yes' untuk melihat pesannya.
Mae govannen, Yavanna. Aulë.
Aulë? Salah satu Ainur? Siapa sih orang ini dan apa sih maksudnya ... mendadak Avis tertegun sendiri. Dalam Simarillion, Yavanna adalah istri Aulë, berarti orang ini .. bermaksud akan ..
Kalau bisa ingin sekali Avis lenyap ditelan bumi. Pesan Alen di papan pengumuman tadi sudah ada yang membaca! Dan orang itu kebetulan pembaca karya-karya Tolkien .. dan .. Sejenak Avis seperti orang linglung. Pesan di ponselnya dibiarkan beberapa saat, sebelum akhirnya seseorang menggamit pundaknya.
"Avis, kelasmu udah mau masuk tuh,"
Masih setengah linglung Avis menggumamkan terima kasih tak jelas dan berlari menuju kelasnya. Sayang sekali karena nyaris telat, maka barisan bangku di belakang sudah penuh, dan tinggallah ia duduk di depan hampir berhadap-hadapan dengan dosen.
Setengah menyumpah karena mahasiswa S2 masih diperlakukan sama dengan S1, kuliah dengan berceramah bla bla bla, Avis terpaksa menyimpan dulu ponselnya ke dalam tas dan berusaha konsentrasi penuh pada makhluk cerewet di hadapannya.
Begitu dosen-rajin-berkicau itu keluar kelas, Avis buru-buru mengeluarkan ponselnya lagi, dan melihat ada sebuah pesan yang tidak terdengar nada masuknya tadi. Nomornya masih sama, nomor tak dikenal tadi.
Cormamin lindua elle lle. My heart sings to see thee.
Yakin seratus persen orang ini pasti telah membaca memo Alen. Setengah tergesa dipencetnya keypad ponselnya. Reply.
Siapapun anda, maaf ya. Pesan yang ditulis di papan pengumuman itu kerjaan orang iseng, tolong jangan ditanggapi.
Dipencetnya tombol 'send'. Dan entah apa yang menggerakkan tangannya, ia lalu men-scroll ikon 'add number', menamai nomor baru tadi dengan 'Aulë'.
Tak perlu lama menunggu --sebenarnya apakah ia memang menunggunya?-- selang beberapa detik ponselnya menjerit 'tiit tuut tiit' dan sebuah nama kini muncul di ponsel.
Aulë.
Tapi kalau mau kenalan boleh kan?
Avis benar-benar merasa perlu mencari sesuatu untuk dilemparkan pada Alen, sesuatu yang keras dan bikin benjol minimal duapuluh senti. Dia bingung, mau dijawab atau tidak. Akhirnya diputuskan untuk mendiamkan saja pesan itu, dimasukan saja ponselnya ke dalam tas.
Belum juga retsleting tasnya ditarik, ponsel itu sudah menjerit-jerit lagi. Setengah ragu Avis merogoh tasnya, dan benar saja, di samping ikon amplop tertutup ada nama itu lagi.
Diam itu artinya setuju kan?
Ggrrrrrrrhhh, Avis sudah berharap ada bulan purnama dan dirinya berubah menjadi manusia serigala untuk menggigit atau mencakar Alen. Dan lebih sewot lagi ketika ponselnya menjerit-jerit lagi, kali ini pesan dari Alen.
Bagaimana, sudah ada peserta ?
Kali ini lekas-lekas ditekannya tombol 'Reply' dan Avis menulis dengan kecepatan tinggi, tak sabar menanti jeda antar-karakter.
ALEEEEEEEEEENNNNN, APA-APAAN SIH LOE !!!!!!!!
Send.
'Tiit tuut tiit'
Alen.
Berarti udah ada peserta kan?
'Tiit tuut tiit'
Aulë.
Bagaimana, diterima tidak perkenalanku?
Dengan gemas Avis mematikan ponselnya dan berjalan asal saja menuju perpustakaan. Di perpustakaan kampusnya, yang sayang sekali tidak ada satupun karya Tolkien, Avis berjalan menuju pojok baca. Di situ boleh membawa buku-buku dari luar, cuma buat numpang baca saja, numpang keheningan yang sudah semestinya diciptakan oleh sebuah perpustakaan.
Di salahsatu kursi kosong ia berhenti, menaruh tasnya di sandaran kursi dan mulai menimbang-nimbang antara mengerjakan summary salah satu matakuliahnya atau membaca lagi Silmarillion. Baru saja ia akan memutuskan ketika ekor matanya menangkap orang yang duduk di kursi di sebelahnya.
Pria itu jangkung, dan nampak begitu atletis dengan jeans, t-shirt dan sepatu kanvasnya. Wajahnya juga .. yah .. Ben Affleck-lah dilihat dari pinggir. Tapi bukan itu yang membuat Avis terkesima.
Buku bersampul biru itu sangat familiar buat Avis. Pria itu sedang menekuni The Silmarillion!
Merasa ada yang memperhatikan, pria itu menoleh, "Hai!" sapanya.
"E-eh .." Avis geragapan, mukanya terasa panas ketahuan memperhatikan, "Hai. Sedang baca Silmarillion?"
Pertanyaan tolol! Tentu saja. Masa sedang baca Sailor Moon, meski tulisannya hampir sama ..
"He-eh. Baru mulai. Kamu sudah pernah baca?"
Avis mengangguk, sementara detak jantungnya menjadi tidak karuan.
"Lumayan musingin ya? Kaya' baca buku sejarah. Tapi menarik juga .." sementara berbicara alis matanya bergerak-gerak bikin Avis tambah salah tingkah, "eh, ngomong-ngomong kita belum kenalan. Namaku Yudha," ujarnya mengulurkan tangan.
"Avis," disambutnya uluran tangan itu dengan gemetar.
"Avis? Aneh juga. Panjangnya apa tuh?"
"Panjangnya Aviiiiiiiiiiiiiis," Avis mencoba becanda untuk menutupi salting-nya, "ups, entar Ibu Perpus ngamuk lagi .." matanya celingukan mencari sosok penjaga perpustakaan. Untung tak nampak.
Sementara Yudha terkekeh, "kamu lucu juga. Sebenernya siapa sih?" ujarnya penasaran di sela tawanya. Ai mak! Kalau ketawa manis amat, Avis terpaksa mengakui.
"Avista. Memangnya aneh?"
“Avis itu kan artinya burung,” Yudha ketawa pelan, matanya sama saja celingukan mencari penjaga perpustakaan.
Avis tersenyum. Memang. Sejak sadar bahwa Avis itu artinya unggas, kenangannya pada Papi timbul lagi, hari terakhir di Puncak, mengawasi elang.
Dan alangkah senangnya dia saat dibacanya Lord of the Rings, ditemukannya salahsatu Maiar, Radagast, menguasai binatang dan burung. Dan burung yang paling disenanginya itu, elang, adalah yang menyelamatkan Frodo dan Sam dari gunung Mordor, Gwaihir.
“Heh. Kok senyum-senyum sendiri,” tegur Yudha.
“Hehe. Abis disamain dengan burung.”
Yudha sudah akan menyambung, tetapi ponselnya berbunyi. “Sebentar, ya,” sahutnya meminta ijin, dan ia keluar dari perpustakaan, berbicara di ponsel.
Tiba-tiba timbul ide di kepala Avis. Apakah … apakah dia ini yang mengaku Aulë? Boleh dicoba nih!
Ketika dilihat Yudha sudah selesai berbicara dan masuk kembali ke perpustakaan, Avis mengeluarkan ponselnya, dan memencet ’Call’, mencari nama dan klik di nama ’Aulë’.
Ponsel di tangan Yudha tiba-tiba berdering lagi. Dan wajah Yudha langsung jadi pucat begitu membaca nama di layar ponselnya.
Avis berdiri dan berjalan keluar perpustakaan, melewati Yudha. ”Aku pulang dulu ya, bye!”
“Avis!” Yudha langsung mengejarnya, “Jadi iklan kamu yang ada di Papan Pengumuman?” ia menjejerinya.
“Iya,” Avis mengeluh, “Tapi kan aku udah bilang, bukan aku yang pasang. Ada temanku yang iseng.”
”Untung aku iseng ke jurusanmu tadi,” Yudha nyengir, ”Sudahlah, jangan disesali. Kan enggak rugi kenalan sama pemuda tampan ini.”
”Hoekh!” Avis pura-pura muntah mendengar kata ’tampan’ itu. ”Kata siapa tampan? Lagian, aku tertarik sama bukumu, bukan sama kamu. Nggak setiap orang baca buku itu.”
Yudha tertawa. ”Iya. Lebih banyak orang tertarik baca Lord of the Rings-nya saja, atau bahkan the Hobbits-nya saja. Sebetulnya aku juga baru baca sekali, dan mesti baca lagi karena cukup pusing baca nama-namanya.”
Avis terdiam. Kenapa malah memberi jalan untuk orang ini terus bicara? Jadi dia diam saja. Dan berjalan terus ke luar kompleks, ke jalan dan mencegat angkot.
”Eh, eh, mau ke mana?” Yudha terheran-heran.
”Mau pulang,” Avis berkata singkat.
Angkot berhenti di depan mereka, dan Avis naik. Untung bagi dia, tempat yang tersedia hanya satu hingga Yudha yang tadinya mau ikut naik, terpaksa batal.
”OK,” sahutnya, ”Kan masih ada nomer HP. Bye, Avis!”
Avis memalingkan mukanya dan pura-pura tak mendengar. Dikeluaran ponselnya, tak peduli akan pantangannya untuk mengeluarkan ponsel di angkutan umum, bahaya, memancing jambret itu namanya. Avis membuka ’kirim SMS’ dan menulis untuk Anel, tapi setelah sejenak ia teringat, kalau ia mengaku kesal pada Yudha ke Anel, berarti ia mengaku telah mendapatkan ’peserta’ sesuai istilah Anel.
Jaid ia diam saja.
Ia tidak ingat bahwa ia akan kuliah lagi nanti sore, dan ia baru ingat akan ke rumahnya uwak Hany, setelah di tengah jalan. Terpaksa ia turun dan naik angkot lain lagi.
Dari semua saudaranya, Avis paling senang ke rumah uwak Hany. Dan juga ke Oom Narto, tapi Oom Narto kan rumahnya di Bogor. Jadi agak jarang ketemunya. Tapi kalau ke uwak Hany, bisa dibilang seminggu sekali.
Rumahnya tidak bisa dibilang luas, tapi berasa lapang. Mungkin kalau sekarang sih prinsipnya minimalis. Nggak banyak pernak-pernik. Konon dulu kebiasaan uwak Hany biar anak-anaknya bebas bermain. Tapi setelah anak-anaknya besar, bahkan menikah dan keluar dari rumah, prinsip itu tetap saja dianut. Childproof, katanya, entah ia tak tahu artinya ’bebas untuk anak’ atau ’bebas anak’. Tapi yang ia tahu, uwak Hany tak perlu merasa risi kalau ada anak kecil main, tak usah takut ada keramik yang pecah, tak usah risau akan ada pajangan yang terguling. Dan menurut Avis, membersihkannya simpel, nggak seperti kalau ada barang berukir, hehe.
Ia masuk ke halamannya, dan terus ke belakang. Pintu belakang selalu terbuka. Ia masuk dan uluk salam.
”Assalaamualaikum!”
”Waalaikum salam! Eh, tuh ada Avis. Udah makan? Makan dulu, itu ada pais kesukaanmu. Meni arendogan laukna, geura!” uwak Hany membuka tudung saji di meja makan.
Avis sudah tidak perlu disuruh dua kali, langsung menyimpan tasnya, mencuci tangan, dan mengambil piring.
”Uwak Hafiz mana, wak?” tanyanya basa-basi. Uwak Hafiz, suaminya uwak Hany, sudah pensiun, tapi masih rajin keluar rumah, entah berkunjung pada teman-teman pensiunan, apalagi kalau ada yang sakit, ke toko buku beli ataupun tidak, ataupun hanya sekedar ‘mengukur jalan’. Jalan beneran, nggak naik angkot apalagi nyupir mobil.
“Ke pak Ahmad. Biasa, nyari info pensiunan yang lain, apa ada yang sakit atau apa saja,” uwak Hany duduk di seberangnya di meja makan. “Ini ada tambahan, uwak lupa, waktu dulu uwak bikin undangan buat Andi. Yang dicontreng itu nggak usah, itu kan temen uwak Hafiz, bukan keluarga kita.”
Avis mengambil daftar yang disodorkan. Daftar nama dan alamat untuk undangan. Biasanya kita cuma kenal ‘mang Dede’ dan tidak tahu bahwa namanya ‘Ahmad Hanafiah’, dan sebagainya. Kan malu kalau nulis di undangan ‘mang Dede’, ala anak kecil banget sih.
Avis menghabiskan makanan di mulutnya, baru, “Nuhun, wak. Si Aa meni nggak sabaran, nyuruh Avis ke sini, takut telat nyebarin undangan, katanya, kalau nama-namanya belum ada semua.”
”Heh? Aya di dieu si Aa?”
”Ada wak, cuma sehari dia cuti. Mau ngepas baju hari ini, besok juga udah balik lagi ke Hambalang.”
”Ya, udah atuh, cepet-cepet kasihin ke si Aa, biar cepet diprint, terus dibagiin. Udah nggak sabaran, dasar barudak,” uwak Hany tersenyum memaklumi. ”Terus, Alia mau dibawa ke Hambalang?”
”Mau aja dia sih, wak. Lagian pan Hambalang kan nggak terlalu jauh, dari Bogor juga deket, ke Bandung juga deket.”
”Aeh, udah berapa lama ya, uwak nggak ke Bogor? Biasanya Narto yang ke sini,” senyum uwak Hany tambah lebar. ”Eh, Avis, masa’ makannya cuma segitu?”
Avis tersenyum, membawa piringnya ke dapur dan mencucinya. “Udah atuh, wak. Nanti Avis jadi gendut.”
Uwak Hany terkekeh. “Duh, anak jaman sekarang. Pengen langsing aja. Perasaan uwak kamu tuh masih anak kecil aja, pantesnya gendut dan pakai pita.”
Avis juga terkekeh. Dia masih ingat jaman dia kecil dulu, diekor kuda dua, dan pakai pita merah, gendut dan membuat orang pengen mencubit saja.
”Uwak, biarin aja Avis SMP ya? Sudah Makan Pergi lagi? Habis mau kuliah lagi nanti jam dua,” Avis menarik tasnya dari kursi. Dimasukkan kertas-kertas yang diberikan uwak Hany dengan hati-hati, taruhannya nyawa kalau ia sampai menghilangkannya, begitu kata Ardi tadi pas ia pergi.
”Ya, udah, sok sana. Sebentar lagi ujan kaya’nya, kamu bawa payung? Duh, anak sekarang malas-malas bawa payung, jangankan yang laki-laki, yang perempuan juga males. Padahal kan payung nggak seberapa besar. Lagian, itu si Mami udah ke pak Hadi? Kalau nggak disarang, bisa-bisa nanti pas acaranya malah hujan lagi. Padahal kan sekarang belum waktunya musim hujan,” uwak Hany merepet panjang lebar.
”Iya, uwak, nanti Avis bilang sama Mami. Pergi dulu, ya, assalamualaikum.”
”Waalaikumsalam.”
Saat ia kembali ke kampusnya, saat kuliah sore, saat ia pulang, Yudha sudah terlupakan. Dengan riang ia membuka pintu halaman, ”Assalamualaikum, Mami, si Aa sudah ada belum?”
Mami sedang membereskan meja makan, ”Eh, si Ade. Belum, Aa masih di bu Nur.” Bu Nur itu penjahit keluarga. ”Udah ke uwak Hany?”
Avis tidak berbicara, hanya dikeluarkannya kertas-kertas yang tadi diberikan uwak Hany. Mami menerimanya dan langsung ke kamar, mencocokkan dengan daftar yang ia punya tentu saja. ”Avis, terusin beresin mejanya. Piringnya yang biru muda itu, yang di lemari kanan bawah.”
”OK, Mam,” Avis melempar tasnya di kamar asal saja, dan kembali ke ruang makan. Dikeluarkan piring sesuai petunjuk. Biarpun teh Alia sudah sering ke sini, sekarang kan ceritanya diajak makan malam nih.
”Masaknya udah, Mam?” tanya Avis mengontrol dapur.
“Udah dong, tinggal sotonya yang belum diangetin lagi. Nanti saja kalau sudah akan makan,” Mami muncul di dapur. ”Sana, mandi dulu. Paling-paling sebentar lagi teh Alia ke sini.”
”OK lagi, Mam,” dan Avis-pun terbang ke kamar mandi.
*****
Teh Alia itu memang cantik tapi sederhana. Mungkin itu sebabnya si Aa memilihnya, jadi dia bisa dibawa ke Hambalang. Maklum, pekerjaan si Aa itu memang bukan pekerjaan kantoran. Dia itu sarjana pertanian yang mengabdikan ilmunya, bukan sarjana pertanian yang kerja di bank :P Sudah sejak lulus S2 dia kerja di Hambalang, di perkebunan. Dan dia menginginkan istri yang bisa dibawa ke sana, yang tidak merasa terpencil dengan tidak adanya mall atau salon.
Beruntung dia tidak sulit mendapatnya. Tidak sampai dua tahun setelah dia lulus S2-nya, Mami sudah bersiap mendapat menantu. Dan Avis juga senang, tetehnya cantik dan ramah. Kalau belum kenal sih dia pendiam, tapi kalau sudah kenal, wah .. selain seru ngobrolnya, kelakuan isengnya ada aja. Makanya Alia dan Avis dengan segera menjadi kawan baik, beraliansi beberja sama dalam mengisengi si Aa.
Kalau Avis bekerja sendirian, akal isengnya biasanya cepet ketahuan, tapi kalau bekerja sama dengan teh Alia, biasanya wajah teh Alia bisa menutupi isengnya. Pura-pura tidak tahu, pura-pura kaget, padahal dia yang punya ide. Duh, biasanya Avis tidak tahan untuk menahan tawa, dan terpaksa masuk kamar mandi agar tidak ketahuan.
Avis tersenyum-senyum sendiri saat ia habis mengelap piring sendok setelah mencucinya. Sudah jam sepuluh malam, Aa sedang mengantar teh Alia pulang, dan besok ia sudah pergi ke Bogor lagi, ke Hambalang lagi. Bulan depan mereka akan menikah, dan seminggu setelah itu Aa dan teteh akan pindah ke Hambalang.
Alangkah sepinya. Dengan Aa bekerja di Bogor saja sekarang juga sudah sepi. Walau ada karyawan yang menginap, tetap saja rasanya tidak afdol. Apalagi kalau Aa sudah menikah, jatah pulang ke Bandung tentu harus dibagi dua dengan ke mertua. Apalagi kalau teteh sudah hamil dan punya anak nanti, mungkin akan lebih jarang lagi kembali ke Bandung.
Terdengar gemerincing gembok pintu depan. Aa pasti sudah pulang. Motornya terdengar halus memasuki halaman. Pintu ditutup dan digembok lagi. Motor dituntun ke arah garasi, dan terdengar pintu garasi dibuka. Motor dimasukkan, dan Aa terdengar mengunci pintu garasi. Ia masuk ke rumah setelah menyimpan sepatunya di rak sepatu dekat pintu masuk rumah.
”Ade udah tidur, Mi?” terdengar suara kunci-kunci –pasti kunci motor, kunci gembok, dan kunci garasi—digantungkan di display di atas meja telepon. Kemudian sarung tangan, helm, dan entah apa lagi ditaruh di meja telepon.
”Belum,” terdengar suara Mami dari kamar, ”itu masih cuci piring.”
Aa mendekat ke kamar Mami, ”Mami juga belum tidur? Ayo, nanti capek lagi, besok lagi aja beberesnya.”
Avis masuk ke ruang makan dan melihat-lihat apa lagi yang masih kotor. Sudah bersih semua, dan ia kembali ke dapur, beres-beres. Piring-piring yang sudah kering dimasukkan ke lemari seperti semula. Sendok garpu masuk ke laci. Makanan yang masih bersisa masuk ke panci dan katelnya, dan ditutupnya setelah tadi dihangatkan sekali lagi. Serasa habis lebaran, ada kakaren, semua tumis-tumis dikumpulkan dan dihangatkan sekali lagi supaya tidak cepat basi, supaya setelah capek berlebaran tidak usah masak lagi karena masih ada kakaren.
Seakarang sudah lebih rapi. Diambilnya sapu, dibersihkan sampai bersih. Kaya’nya lebih baik kalau dipel, tapi ini sudah malam, jadi besok lagi saja deh. Besok pagi, subuh-subuh juga bisa.
Disimpannya sapu, dipadamkan lampunya, dan ditutupnya dapur. Avis menguap sekali, dan dua kali. Huh, capek sekali hari ini. Avis melihat lampu kamar Mami masih menyala, mungkin Mami belum tidur. Kamar Aa juga masih menyala, tapi si Aa mah memang biasa menyala sampai setelah tengah malam, terkadang orangnya sih udah tidur dari tadi dan lupa mematikan lampu. Nanti saja ia akan terbangun di tengah malam dan baru mematikan lampu. Dasar si Aa.
Avis masuk kamar, mengganti bajunya dengan piama, dan bersiap untuk tidur. Tapi, tenggorokannya terasa gatal, tidak enak. Pasti besok akan jadi radang, nyeri menelan. Aduuuh, padahal besok akan ada presentasi, dan bagian kelompoknya maju. Sebenarnya bukan bagian dia yag ngomong, tapi karena harus maju semua, nanti pas tanya jawab tentunya diharapkan semua berpartisipasi. Duh, nggak enaknya.
Avis mendehem-dehem. Euh. Minum air putih hangat, begitu kata Mami dulu. Dan Avis dengan malas-malasan terpaksa bangun lagi, daripada besok nggak bisa presentasi. Keluar kamar, ke ruang makan,dan dituangnya segelas air, dicampur air panas dari termos.
Hm, masih berasa nggak enak. Tunggu, Mami kan punya FG Troches –menyebut merek, hihi—Avis beranjak ke kamar Mami.
Dibukanya kamar Mami, “Mami, punya Troches nggak? Tenggorokan Avis terasa nggak enak,” katanya. Dan sedetik kemudian Avis baru sadar, ada Aa di situ. Dan suasananya sepertinya sedang serius.
Mami hanya mengangguk ke arah kotak obatnya.
”Ups, sori, lagi serius ya?” Avis cepat bergerak ke kotak obat Mami. Dibukanya, diamatinya sejenak, dan terlihat permen obat itu ada di sudut. Diambilnya, ditutupnya kembali kotak obat Mami, dan ia bergegas keluar lagi.
Sejenak terlihat olehnya di atas meja kecil di sisi ranjang Mami, ada sebuah kotak, berisi sebuah bungkusan, dan sebuah patung sedang dipegang Mami, sepertinya akan diberikan pada Aa. Tapi Avis bergegas kembali ke luar, ditutupnya pintu dan ia kembali ke kamarnya. Setelah ditutupnya pintu kamar, baru dirasa olehnya bahwa degup jantungnya lebih kencang dari biasa.
Berkelebatan bayangan demi bayangan. Surat Papi yang tidak sengaja terbaca olehnya saat ia masuk ke kamar baca Papi, terlintas lagi. Jadi itu yang harus diberikan oleh Mami pada Aa dan padanya nanti? Patung kayu hitam? Patung yang hendak diberikan Mami pada Aa sepertinya berbentuk manusia bercaping.
Lalu, yang untuknya? Bungkusan apakah itu? Apakah patung kayu hitam juga seperti punyanya Aa?
Avis membaringkan badan dengan gelisah. Bukan, bukan gelisah karena tenggorokan sakit menelan. Entah apa yang membuatnya menjadi gelisah begini. Dicobanya memejamkan mata.
Dan ia seperti berpindah tempat, berpindah alam.
~0~0~0~0~0~0~0
Word Count: 4.100
Akumulasi: 11.681
Target: 11.667
Hufh! Besok deh postingannya dibenerin, ada yang harus dicetak italic, tapi males. Trus ada yang harus pake catatan kaki, terjemahan misalnya. Besok aja deh!
~0~0~0~0~0~0~0
Sinar mentari belum sampai ke bumi ketika Avis membuka tirai jendela kamarnya. Sembari melintas hendak ke kamar mandi, dihidupkan ponselnya lalu diletakkan kembali di atas buffet. Namun langkahnya terhenti di pintu kamar mandi ketika ponselnya menyuarakan "tiit tuut tiit" tanda ada pesan masuk saat ponselnya off.
Penasaran Avis berbalik dan meraih ponselnya. Dipencetnya tombol 'Yes' untuk masuk ke inbox, dan dilihatnya nama Alen disamping ikon amplop tertutup.
'Uh, ngapain si Alen nge-SMS subuh-subuh gini?' tanya Avis dalam hati, melihat kalimat yang terpampang di layar.
hope you can meet your soulmate today
Avis memencet-mencet tombol ponselnya me-reply "Apaan sih Len?" lalu memencet 'Yes' pada ikon 'Send' lalu meletakkan ponselnya lagi di atas bufet, melanjutkan acaranya ke kamar mandi.
Tidak ada jawaban atas SMS-nya, dan kesibukan rutin pagi hari membuat Avis melupakan pesan aneh itu. Dia sudah siap sekarang. Sudah mandi, sudah dandan, sudah sarapan. Dia keluar dari kamar yang sudah dirapikan.
“Mam, berangkat ya? Mana pesanan Alen? Ah ini dia. Avis kuliah sampai jam sebelas, trus kuliah lagi jam dua sampai jam empat, mending nggak pulang aja ya? Pulangnya nanti sore. Dah, Mam!”
Avis berjalan sembari menyambar dua keresek kotak kue, dan cium pipi kiri cium pipi kanan Maminya.
“Jangan kesorean. Nanti sore kan teh Alia mau ke sini. Terus kan mau ngepas baju dulu. Oya, nanti kalau lagi break kuliah, sekalian mampir dulu ke rumah uwak Hany, ngambil daftar nama tambahan buat undangan. Tadi malam uwak Hany udah janji.”
”Oke, Boss. Berangkat dulu, Mam!”
“Ee-eh!” suara Ardi berteriak dari dalam kamar, “mau ke mana? Jangan lupa nanti sore jangan ngelayap ke mana-mana! Dan jangan lupa ke uwak Hany, uwak kan udah janji ...”
”Iya, Tuan Besar, Hamba akan melaksanakan perintahmu, dan jangan takut, akan Hamba ambil daftar nama di istana uwak Hany ...”
Sebuah bantal besar melayang ke arah Avis, tapi si empunya nama sudah melarikan diri ke Timbuktu dengan dua keresek kotak kue. Hihi..
”Udah, Avis berangkat nih, takut telat. Assalamualaikum!”
”Waalaikum salam.”
Langkah ringan Avis membawanya ke beberapa rumah jauhnya ke depan. Alen, anak pemilik rumah, seumuran dengan Avis dan sekuliahan, sudah menunggu.
”Woits! Tepat waktu, euy!”
”Ya iya, atuh. Ini bawa ke dalam, trus hari ini mau kuliah nggak?”
”Mau, tunggu sebentar,” Alen masuk ke dalam rumah dan berteriak, ”Mamah! Ini pesanan dari bu Arman udah datang! Alen pergi kuliah ya, Mam!”
”Eeh, tunggu,” ibunya Alen keluar tergopoh-gopoh, ”Aduh, Apis, nuhun nya! Engke teh janten? Wartosan kaping sabaraha nya, ke ibu ngabantuan satiasa-tiasa,”
Begitulah kalau kau punya nama dengan unsur huruf ’f’ atau ’v’ dan kau tinggal di suatu tempat di Jawa Barat, bersiap-siaplah kau akan dipanggil dengan nama yang berunsur ’p’. Kalau huruf ’f’ maka akan berubah menjadi ’ep’ dan kalau ’v’ akan berubah menjadi ’pe’. Seperti Avis jadi ’Apis’. Hehe..
Avis pasrah saja dipanggil demikian. Bagaimana lagi. Sama orang tua lagi. Dan orangtua yang baik lagi. Dan ia menjawab sopan, ”Cios, Bu. Sasih payun, insya Allah. Mangga, engke diwartosan.”
”Hayu!” gamit Alen berjalan keluar rumah.
”Mangga, Bu!” pamit Avis.
”Mangga, neng. Kade nya, Alen! Uihna tong sore teuing!”
”Muhun, mamah, moal sonten teuing, wengi we!”
Ibunya Alen tertawa, Avis juga tergelak. Ibu dan anak ini sama saja tukang becanda. Dan ibu-anak ini juga sama-sama nggak bisa masak, makanya urusan masakan atau kue selalu pesan ke Mami.
Mereka berdua berjalan bersisian, mesti jalan dulu sebelum sampai ke jalan besar dan naik angkot.
”Len, apaan sih, subuh-subuh ngirim SMS?” tanya Avis penasaran.
”Ada deh,” wajah Alen penuh rahasia.
”Apa sih?”
”Lihat saja nanti di kampus. Itu juga kalau ada peminat,” Alen senyum-senyum sendiri. Sepertinya apapun yang dilakukan Avis tak akan menggoyahkan pendiriannya. Jadi Avis sibuk melakukan apapun yang kira-kira bisa membocorkan rahasia, tapi sepanjang jalan ke kampus Alen hanya tersenyum-senyum saja, plus bersenandung tak tentu judul lagunya. Avis menyerah, tak bertanya lagi, dan mencubit lengan Alen sebelum mereka berpisah jurusan. Avis dan Alen beda jurusan, tapi kadang ada kelas yang mulainya sama, maka mereka berangkat sama-sama.
Masih ada waktu sebelum kuliah dimulai, jadi Avis melangkahkan kakinya ke papan pengumuman di ujung deretan kelas. Papan pengumuman tak resmi itu --bukan papan tempat menempelkan hasil ujian atau perubahan jadwal kuliah-- biasa dipergunakan para mahasiswa untuk mengiklankan sesuatu, biasanya mencari teman berbagi kamar kos, atau jualan sesuatu.
Sekali Avis pernah melihat iklan "dijual Harry Potter 1-4 murah, BU" makanya ia terus berharap suatu ketika akan ada yang memasang iklan "dijual murah History of Middle-Earth" yang di QB dilihatnya berharga limaratus ribuan se-eksemplar ..
Alen pernah mengejeknya soal itu "ada kok, Vis, HoME murah, pernah diiklanin di SCTV,"
"Ha?" Avis terbengong, sebelum sadar Alen telah menukas "iya, di acara Mimpi Kali Ye .." Dan bantal pun melayang ke wajah Alen.
Hari inipun Avis masih iseng berharap ada yang memasang iklan seperti itu. HoME, atau LotR yang sejilid. Atau apapun asal berbau-bau Tolkien.
Alen tahu betapa sahabatnya ini tergila-gila pada segala sesuatu yang berbau Tolkien. Alen sendiri lebih menyukai Harry Potter yang baru masuk terjemahannya. Dia tidak cukup punya kesabaran untuk menemukan arti segala kata-kata aneh yang ditemukannya di buku karya Tolkien dalam kamus. Namun paling tidak dia cukup punya kesabaran untuk mendengarkan Avis nyerocos mengulang-ulang kalimat-kalimat yang disukainya.
Avis sendiri menyukainya tatkala ia menemukannya di koleksi buku Papi. Sejak itu ia tergila-gila, Hobbits, Lord of the Rings, Silmarillion, dan buku-buku penunjang lainnya. Berbahasa Inggris. Waktu kemudian tahun ini ia mendapati buku berbahasa Indonesianya sudah diterbitkan, ia membelinya juga, walau ia tidak begitu menyukainya. Ia kembali ke bahasa Inggris.
Avis tersenyum sendiri. Alen memang sahabat terbaik yang pernah ia punyai. Bahkan setelah mereka kuliah dan berbeda jurusan, bahkan setelah Alen punya pacar-pun, perhatian terhadap Avis tidak berkurang. Sering mereka jalan bertiga, dan malah Avis sendiri yang merasa risih.
"Benar tidak menganggu, nih?" tanyanya suatu ketika.
"Jelas tidak," sahut Tio pacar Alen, yang sahabat Avis juga, "eh, sebenarnya cukup mengganggu juga sih,"
"Kalau gitu aku pergi sendiri saja," sahut Avis.
"Bukan itu jalan keluarnya," senyum Tio.
"Lantas?"
"Kamu juga cari pacar. Lalu kita jalan berempat," Alen dan Tio tertawa berbarengan.
"Huh, kalian ini," rungut Avis.
"Nel, Tio bener lho. Kamu ini sebenarnya mau nunggu apa sih? Umur udah mateng, masa' mahasiswi S2 masih dilarang pacaran sama Mami," goda Alen.
"Aku mau cari cowok yang ngertiin aku," balas Avis ngasal.
"Apa dia mesti ngertiin juga segala buku Tolkien itu?" terka Alen.
Ucapan Alen menyentakkan sesuatu di lubuk hati Avis. Iya juga sih! Kenapa aku suka merasa nggak klop bicara dengan cowok, saat mereka tahu kesukaanku, kemudian mereka mengaku 'aduh, aku sih pusing baca LotR'. Kenapa ya?
Tio nyengir jahil, "kalau gitu kamu buat sayembara cari jodoh aja, Nel. Seperti putri-putri jaman kerajaan dulu. Barangsiapa bisa membuktikan kalau dia sama maniaknya terhadap Tolkien --atau bahkan lebih-- denganmu, kalau perempuan akan dijadikan saudara, kalau laki-laki akan dijadikan suami,"
Tidak ada bantal untuk dilemparkan ke arah Tio kali ini, jadi Avis harus cukup puas dengan pura-pura manyun saja.
Tapi hari ini sepertinya Avis membutuhkan sesuatu untuk dilemparkan ke arah Alen sahabatnya itu. Karena di salah satu pojok papan pengumuman dari styrofoam itu tertempel kertas memo dengan tulisan Alen yang sangat dikenalnya, dengan huruf kapital dengan spidol merah berdiameter besar: DICARI: COWOK YANG PAHAM SELUKBELUK TOLKIEN DAN KARYA-KARYANYA BUAT DIJADIIN KEKASIH. HUBUNGI 081xxx xxx xxx
Dan nomor itu adalah nomor ponselnya!
Avis cepat-cepat merenggut kertas itu dari board, meremasnya dan membuangnya ke tempat sampah terdekat. Dia melirik kanan kiri, suasana masih relatif sepi. Mudah-mudahan saja belum ada yang sempat membaca pesan itu. Lalu tiba-tiba dia teringat, mungkin ini maksud SMS Alen tadi subuh?
Sialan, sialan, dan sialan .. awas nanti kalau ketemu ..
'Tiit tuut tiit' tiba-tiba ponselnya berteriak menyatakan ada pesan masuk. Sebuah nomor tak dikenal. Avis memencet 'Yes' untuk melihat pesannya.
Mae govannen, Yavanna. Aulë.
Aulë? Salah satu Ainur? Siapa sih orang ini dan apa sih maksudnya ... mendadak Avis tertegun sendiri. Dalam Simarillion, Yavanna adalah istri Aulë, berarti orang ini .. bermaksud akan ..
Kalau bisa ingin sekali Avis lenyap ditelan bumi. Pesan Alen di papan pengumuman tadi sudah ada yang membaca! Dan orang itu kebetulan pembaca karya-karya Tolkien .. dan .. Sejenak Avis seperti orang linglung. Pesan di ponselnya dibiarkan beberapa saat, sebelum akhirnya seseorang menggamit pundaknya.
"Avis, kelasmu udah mau masuk tuh,"
Masih setengah linglung Avis menggumamkan terima kasih tak jelas dan berlari menuju kelasnya. Sayang sekali karena nyaris telat, maka barisan bangku di belakang sudah penuh, dan tinggallah ia duduk di depan hampir berhadap-hadapan dengan dosen.
Setengah menyumpah karena mahasiswa S2 masih diperlakukan sama dengan S1, kuliah dengan berceramah bla bla bla, Avis terpaksa menyimpan dulu ponselnya ke dalam tas dan berusaha konsentrasi penuh pada makhluk cerewet di hadapannya.
Begitu dosen-rajin-berkicau itu keluar kelas, Avis buru-buru mengeluarkan ponselnya lagi, dan melihat ada sebuah pesan yang tidak terdengar nada masuknya tadi. Nomornya masih sama, nomor tak dikenal tadi.
Cormamin lindua elle lle. My heart sings to see thee.
Yakin seratus persen orang ini pasti telah membaca memo Alen. Setengah tergesa dipencetnya keypad ponselnya. Reply.
Siapapun anda, maaf ya. Pesan yang ditulis di papan pengumuman itu kerjaan orang iseng, tolong jangan ditanggapi.
Dipencetnya tombol 'send'. Dan entah apa yang menggerakkan tangannya, ia lalu men-scroll ikon 'add number', menamai nomor baru tadi dengan 'Aulë'.
Tak perlu lama menunggu --sebenarnya apakah ia memang menunggunya?-- selang beberapa detik ponselnya menjerit 'tiit tuut tiit' dan sebuah nama kini muncul di ponsel.
Aulë.
Tapi kalau mau kenalan boleh kan?
Avis benar-benar merasa perlu mencari sesuatu untuk dilemparkan pada Alen, sesuatu yang keras dan bikin benjol minimal duapuluh senti. Dia bingung, mau dijawab atau tidak. Akhirnya diputuskan untuk mendiamkan saja pesan itu, dimasukan saja ponselnya ke dalam tas.
Belum juga retsleting tasnya ditarik, ponsel itu sudah menjerit-jerit lagi. Setengah ragu Avis merogoh tasnya, dan benar saja, di samping ikon amplop tertutup ada nama itu lagi.
Diam itu artinya setuju kan?
Ggrrrrrrrhhh, Avis sudah berharap ada bulan purnama dan dirinya berubah menjadi manusia serigala untuk menggigit atau mencakar Alen. Dan lebih sewot lagi ketika ponselnya menjerit-jerit lagi, kali ini pesan dari Alen.
Bagaimana, sudah ada peserta ?
Kali ini lekas-lekas ditekannya tombol 'Reply' dan Avis menulis dengan kecepatan tinggi, tak sabar menanti jeda antar-karakter.
ALEEEEEEEEEENNNNN, APA-APAAN SIH LOE !!!!!!!!
Send.
'Tiit tuut tiit'
Alen.
Berarti udah ada peserta kan?
'Tiit tuut tiit'
Aulë.
Bagaimana, diterima tidak perkenalanku?
Dengan gemas Avis mematikan ponselnya dan berjalan asal saja menuju perpustakaan. Di perpustakaan kampusnya, yang sayang sekali tidak ada satupun karya Tolkien, Avis berjalan menuju pojok baca. Di situ boleh membawa buku-buku dari luar, cuma buat numpang baca saja, numpang keheningan yang sudah semestinya diciptakan oleh sebuah perpustakaan.
Di salahsatu kursi kosong ia berhenti, menaruh tasnya di sandaran kursi dan mulai menimbang-nimbang antara mengerjakan summary salah satu matakuliahnya atau membaca lagi Silmarillion. Baru saja ia akan memutuskan ketika ekor matanya menangkap orang yang duduk di kursi di sebelahnya.
Pria itu jangkung, dan nampak begitu atletis dengan jeans, t-shirt dan sepatu kanvasnya. Wajahnya juga .. yah .. Ben Affleck-lah dilihat dari pinggir. Tapi bukan itu yang membuat Avis terkesima.
Buku bersampul biru itu sangat familiar buat Avis. Pria itu sedang menekuni The Silmarillion!
Merasa ada yang memperhatikan, pria itu menoleh, "Hai!" sapanya.
"E-eh .." Avis geragapan, mukanya terasa panas ketahuan memperhatikan, "Hai. Sedang baca Silmarillion?"
Pertanyaan tolol! Tentu saja. Masa sedang baca Sailor Moon, meski tulisannya hampir sama ..
"He-eh. Baru mulai. Kamu sudah pernah baca?"
Avis mengangguk, sementara detak jantungnya menjadi tidak karuan.
"Lumayan musingin ya? Kaya' baca buku sejarah. Tapi menarik juga .." sementara berbicara alis matanya bergerak-gerak bikin Avis tambah salah tingkah, "eh, ngomong-ngomong kita belum kenalan. Namaku Yudha," ujarnya mengulurkan tangan.
"Avis," disambutnya uluran tangan itu dengan gemetar.
"Avis? Aneh juga. Panjangnya apa tuh?"
"Panjangnya Aviiiiiiiiiiiiiis," Avis mencoba becanda untuk menutupi salting-nya, "ups, entar Ibu Perpus ngamuk lagi .." matanya celingukan mencari sosok penjaga perpustakaan. Untung tak nampak.
Sementara Yudha terkekeh, "kamu lucu juga. Sebenernya siapa sih?" ujarnya penasaran di sela tawanya. Ai mak! Kalau ketawa manis amat, Avis terpaksa mengakui.
"Avista. Memangnya aneh?"
“Avis itu kan artinya burung,” Yudha ketawa pelan, matanya sama saja celingukan mencari penjaga perpustakaan.
Avis tersenyum. Memang. Sejak sadar bahwa Avis itu artinya unggas, kenangannya pada Papi timbul lagi, hari terakhir di Puncak, mengawasi elang.
Dan alangkah senangnya dia saat dibacanya Lord of the Rings, ditemukannya salahsatu Maiar, Radagast, menguasai binatang dan burung. Dan burung yang paling disenanginya itu, elang, adalah yang menyelamatkan Frodo dan Sam dari gunung Mordor, Gwaihir.
“Heh. Kok senyum-senyum sendiri,” tegur Yudha.
“Hehe. Abis disamain dengan burung.”
Yudha sudah akan menyambung, tetapi ponselnya berbunyi. “Sebentar, ya,” sahutnya meminta ijin, dan ia keluar dari perpustakaan, berbicara di ponsel.
Tiba-tiba timbul ide di kepala Avis. Apakah … apakah dia ini yang mengaku Aulë? Boleh dicoba nih!
Ketika dilihat Yudha sudah selesai berbicara dan masuk kembali ke perpustakaan, Avis mengeluarkan ponselnya, dan memencet ’Call’, mencari nama dan klik di nama ’Aulë’.
Ponsel di tangan Yudha tiba-tiba berdering lagi. Dan wajah Yudha langsung jadi pucat begitu membaca nama di layar ponselnya.
Avis berdiri dan berjalan keluar perpustakaan, melewati Yudha. ”Aku pulang dulu ya, bye!”
“Avis!” Yudha langsung mengejarnya, “Jadi iklan kamu yang ada di Papan Pengumuman?” ia menjejerinya.
“Iya,” Avis mengeluh, “Tapi kan aku udah bilang, bukan aku yang pasang. Ada temanku yang iseng.”
”Untung aku iseng ke jurusanmu tadi,” Yudha nyengir, ”Sudahlah, jangan disesali. Kan enggak rugi kenalan sama pemuda tampan ini.”
”Hoekh!” Avis pura-pura muntah mendengar kata ’tampan’ itu. ”Kata siapa tampan? Lagian, aku tertarik sama bukumu, bukan sama kamu. Nggak setiap orang baca buku itu.”
Yudha tertawa. ”Iya. Lebih banyak orang tertarik baca Lord of the Rings-nya saja, atau bahkan the Hobbits-nya saja. Sebetulnya aku juga baru baca sekali, dan mesti baca lagi karena cukup pusing baca nama-namanya.”
Avis terdiam. Kenapa malah memberi jalan untuk orang ini terus bicara? Jadi dia diam saja. Dan berjalan terus ke luar kompleks, ke jalan dan mencegat angkot.
”Eh, eh, mau ke mana?” Yudha terheran-heran.
”Mau pulang,” Avis berkata singkat.
Angkot berhenti di depan mereka, dan Avis naik. Untung bagi dia, tempat yang tersedia hanya satu hingga Yudha yang tadinya mau ikut naik, terpaksa batal.
”OK,” sahutnya, ”Kan masih ada nomer HP. Bye, Avis!”
Avis memalingkan mukanya dan pura-pura tak mendengar. Dikeluaran ponselnya, tak peduli akan pantangannya untuk mengeluarkan ponsel di angkutan umum, bahaya, memancing jambret itu namanya. Avis membuka ’kirim SMS’ dan menulis untuk Anel, tapi setelah sejenak ia teringat, kalau ia mengaku kesal pada Yudha ke Anel, berarti ia mengaku telah mendapatkan ’peserta’ sesuai istilah Anel.
Jaid ia diam saja.
Ia tidak ingat bahwa ia akan kuliah lagi nanti sore, dan ia baru ingat akan ke rumahnya uwak Hany, setelah di tengah jalan. Terpaksa ia turun dan naik angkot lain lagi.
Dari semua saudaranya, Avis paling senang ke rumah uwak Hany. Dan juga ke Oom Narto, tapi Oom Narto kan rumahnya di Bogor. Jadi agak jarang ketemunya. Tapi kalau ke uwak Hany, bisa dibilang seminggu sekali.
Rumahnya tidak bisa dibilang luas, tapi berasa lapang. Mungkin kalau sekarang sih prinsipnya minimalis. Nggak banyak pernak-pernik. Konon dulu kebiasaan uwak Hany biar anak-anaknya bebas bermain. Tapi setelah anak-anaknya besar, bahkan menikah dan keluar dari rumah, prinsip itu tetap saja dianut. Childproof, katanya, entah ia tak tahu artinya ’bebas untuk anak’ atau ’bebas anak’. Tapi yang ia tahu, uwak Hany tak perlu merasa risi kalau ada anak kecil main, tak usah takut ada keramik yang pecah, tak usah risau akan ada pajangan yang terguling. Dan menurut Avis, membersihkannya simpel, nggak seperti kalau ada barang berukir, hehe.
Ia masuk ke halamannya, dan terus ke belakang. Pintu belakang selalu terbuka. Ia masuk dan uluk salam.
”Assalaamualaikum!”
”Waalaikum salam! Eh, tuh ada Avis. Udah makan? Makan dulu, itu ada pais kesukaanmu. Meni arendogan laukna, geura!” uwak Hany membuka tudung saji di meja makan.
Avis sudah tidak perlu disuruh dua kali, langsung menyimpan tasnya, mencuci tangan, dan mengambil piring.
”Uwak Hafiz mana, wak?” tanyanya basa-basi. Uwak Hafiz, suaminya uwak Hany, sudah pensiun, tapi masih rajin keluar rumah, entah berkunjung pada teman-teman pensiunan, apalagi kalau ada yang sakit, ke toko buku beli ataupun tidak, ataupun hanya sekedar ‘mengukur jalan’. Jalan beneran, nggak naik angkot apalagi nyupir mobil.
“Ke pak Ahmad. Biasa, nyari info pensiunan yang lain, apa ada yang sakit atau apa saja,” uwak Hany duduk di seberangnya di meja makan. “Ini ada tambahan, uwak lupa, waktu dulu uwak bikin undangan buat Andi. Yang dicontreng itu nggak usah, itu kan temen uwak Hafiz, bukan keluarga kita.”
Avis mengambil daftar yang disodorkan. Daftar nama dan alamat untuk undangan. Biasanya kita cuma kenal ‘mang Dede’ dan tidak tahu bahwa namanya ‘Ahmad Hanafiah’, dan sebagainya. Kan malu kalau nulis di undangan ‘mang Dede’, ala anak kecil banget sih.
Avis menghabiskan makanan di mulutnya, baru, “Nuhun, wak. Si Aa meni nggak sabaran, nyuruh Avis ke sini, takut telat nyebarin undangan, katanya, kalau nama-namanya belum ada semua.”
”Heh? Aya di dieu si Aa?”
”Ada wak, cuma sehari dia cuti. Mau ngepas baju hari ini, besok juga udah balik lagi ke Hambalang.”
”Ya, udah atuh, cepet-cepet kasihin ke si Aa, biar cepet diprint, terus dibagiin. Udah nggak sabaran, dasar barudak,” uwak Hany tersenyum memaklumi. ”Terus, Alia mau dibawa ke Hambalang?”
”Mau aja dia sih, wak. Lagian pan Hambalang kan nggak terlalu jauh, dari Bogor juga deket, ke Bandung juga deket.”
”Aeh, udah berapa lama ya, uwak nggak ke Bogor? Biasanya Narto yang ke sini,” senyum uwak Hany tambah lebar. ”Eh, Avis, masa’ makannya cuma segitu?”
Avis tersenyum, membawa piringnya ke dapur dan mencucinya. “Udah atuh, wak. Nanti Avis jadi gendut.”
Uwak Hany terkekeh. “Duh, anak jaman sekarang. Pengen langsing aja. Perasaan uwak kamu tuh masih anak kecil aja, pantesnya gendut dan pakai pita.”
Avis juga terkekeh. Dia masih ingat jaman dia kecil dulu, diekor kuda dua, dan pakai pita merah, gendut dan membuat orang pengen mencubit saja.
”Uwak, biarin aja Avis SMP ya? Sudah Makan Pergi lagi? Habis mau kuliah lagi nanti jam dua,” Avis menarik tasnya dari kursi. Dimasukkan kertas-kertas yang diberikan uwak Hany dengan hati-hati, taruhannya nyawa kalau ia sampai menghilangkannya, begitu kata Ardi tadi pas ia pergi.
”Ya, udah, sok sana. Sebentar lagi ujan kaya’nya, kamu bawa payung? Duh, anak sekarang malas-malas bawa payung, jangankan yang laki-laki, yang perempuan juga males. Padahal kan payung nggak seberapa besar. Lagian, itu si Mami udah ke pak Hadi? Kalau nggak disarang, bisa-bisa nanti pas acaranya malah hujan lagi. Padahal kan sekarang belum waktunya musim hujan,” uwak Hany merepet panjang lebar.
”Iya, uwak, nanti Avis bilang sama Mami. Pergi dulu, ya, assalamualaikum.”
”Waalaikumsalam.”
Saat ia kembali ke kampusnya, saat kuliah sore, saat ia pulang, Yudha sudah terlupakan. Dengan riang ia membuka pintu halaman, ”Assalamualaikum, Mami, si Aa sudah ada belum?”
Mami sedang membereskan meja makan, ”Eh, si Ade. Belum, Aa masih di bu Nur.” Bu Nur itu penjahit keluarga. ”Udah ke uwak Hany?”
Avis tidak berbicara, hanya dikeluarkannya kertas-kertas yang tadi diberikan uwak Hany. Mami menerimanya dan langsung ke kamar, mencocokkan dengan daftar yang ia punya tentu saja. ”Avis, terusin beresin mejanya. Piringnya yang biru muda itu, yang di lemari kanan bawah.”
”OK, Mam,” Avis melempar tasnya di kamar asal saja, dan kembali ke ruang makan. Dikeluarkan piring sesuai petunjuk. Biarpun teh Alia sudah sering ke sini, sekarang kan ceritanya diajak makan malam nih.
”Masaknya udah, Mam?” tanya Avis mengontrol dapur.
“Udah dong, tinggal sotonya yang belum diangetin lagi. Nanti saja kalau sudah akan makan,” Mami muncul di dapur. ”Sana, mandi dulu. Paling-paling sebentar lagi teh Alia ke sini.”
”OK lagi, Mam,” dan Avis-pun terbang ke kamar mandi.
*****
Teh Alia itu memang cantik tapi sederhana. Mungkin itu sebabnya si Aa memilihnya, jadi dia bisa dibawa ke Hambalang. Maklum, pekerjaan si Aa itu memang bukan pekerjaan kantoran. Dia itu sarjana pertanian yang mengabdikan ilmunya, bukan sarjana pertanian yang kerja di bank :P Sudah sejak lulus S2 dia kerja di Hambalang, di perkebunan. Dan dia menginginkan istri yang bisa dibawa ke sana, yang tidak merasa terpencil dengan tidak adanya mall atau salon.
Beruntung dia tidak sulit mendapatnya. Tidak sampai dua tahun setelah dia lulus S2-nya, Mami sudah bersiap mendapat menantu. Dan Avis juga senang, tetehnya cantik dan ramah. Kalau belum kenal sih dia pendiam, tapi kalau sudah kenal, wah .. selain seru ngobrolnya, kelakuan isengnya ada aja. Makanya Alia dan Avis dengan segera menjadi kawan baik, beraliansi beberja sama dalam mengisengi si Aa.
Kalau Avis bekerja sendirian, akal isengnya biasanya cepet ketahuan, tapi kalau bekerja sama dengan teh Alia, biasanya wajah teh Alia bisa menutupi isengnya. Pura-pura tidak tahu, pura-pura kaget, padahal dia yang punya ide. Duh, biasanya Avis tidak tahan untuk menahan tawa, dan terpaksa masuk kamar mandi agar tidak ketahuan.
Avis tersenyum-senyum sendiri saat ia habis mengelap piring sendok setelah mencucinya. Sudah jam sepuluh malam, Aa sedang mengantar teh Alia pulang, dan besok ia sudah pergi ke Bogor lagi, ke Hambalang lagi. Bulan depan mereka akan menikah, dan seminggu setelah itu Aa dan teteh akan pindah ke Hambalang.
Alangkah sepinya. Dengan Aa bekerja di Bogor saja sekarang juga sudah sepi. Walau ada karyawan yang menginap, tetap saja rasanya tidak afdol. Apalagi kalau Aa sudah menikah, jatah pulang ke Bandung tentu harus dibagi dua dengan ke mertua. Apalagi kalau teteh sudah hamil dan punya anak nanti, mungkin akan lebih jarang lagi kembali ke Bandung.
Terdengar gemerincing gembok pintu depan. Aa pasti sudah pulang. Motornya terdengar halus memasuki halaman. Pintu ditutup dan digembok lagi. Motor dituntun ke arah garasi, dan terdengar pintu garasi dibuka. Motor dimasukkan, dan Aa terdengar mengunci pintu garasi. Ia masuk ke rumah setelah menyimpan sepatunya di rak sepatu dekat pintu masuk rumah.
”Ade udah tidur, Mi?” terdengar suara kunci-kunci –pasti kunci motor, kunci gembok, dan kunci garasi—digantungkan di display di atas meja telepon. Kemudian sarung tangan, helm, dan entah apa lagi ditaruh di meja telepon.
”Belum,” terdengar suara Mami dari kamar, ”itu masih cuci piring.”
Aa mendekat ke kamar Mami, ”Mami juga belum tidur? Ayo, nanti capek lagi, besok lagi aja beberesnya.”
Avis masuk ke ruang makan dan melihat-lihat apa lagi yang masih kotor. Sudah bersih semua, dan ia kembali ke dapur, beres-beres. Piring-piring yang sudah kering dimasukkan ke lemari seperti semula. Sendok garpu masuk ke laci. Makanan yang masih bersisa masuk ke panci dan katelnya, dan ditutupnya setelah tadi dihangatkan sekali lagi. Serasa habis lebaran, ada kakaren, semua tumis-tumis dikumpulkan dan dihangatkan sekali lagi supaya tidak cepat basi, supaya setelah capek berlebaran tidak usah masak lagi karena masih ada kakaren.
Seakarang sudah lebih rapi. Diambilnya sapu, dibersihkan sampai bersih. Kaya’nya lebih baik kalau dipel, tapi ini sudah malam, jadi besok lagi saja deh. Besok pagi, subuh-subuh juga bisa.
Disimpannya sapu, dipadamkan lampunya, dan ditutupnya dapur. Avis menguap sekali, dan dua kali. Huh, capek sekali hari ini. Avis melihat lampu kamar Mami masih menyala, mungkin Mami belum tidur. Kamar Aa juga masih menyala, tapi si Aa mah memang biasa menyala sampai setelah tengah malam, terkadang orangnya sih udah tidur dari tadi dan lupa mematikan lampu. Nanti saja ia akan terbangun di tengah malam dan baru mematikan lampu. Dasar si Aa.
Avis masuk kamar, mengganti bajunya dengan piama, dan bersiap untuk tidur. Tapi, tenggorokannya terasa gatal, tidak enak. Pasti besok akan jadi radang, nyeri menelan. Aduuuh, padahal besok akan ada presentasi, dan bagian kelompoknya maju. Sebenarnya bukan bagian dia yag ngomong, tapi karena harus maju semua, nanti pas tanya jawab tentunya diharapkan semua berpartisipasi. Duh, nggak enaknya.
Avis mendehem-dehem. Euh. Minum air putih hangat, begitu kata Mami dulu. Dan Avis dengan malas-malasan terpaksa bangun lagi, daripada besok nggak bisa presentasi. Keluar kamar, ke ruang makan,dan dituangnya segelas air, dicampur air panas dari termos.
Hm, masih berasa nggak enak. Tunggu, Mami kan punya FG Troches –menyebut merek, hihi—Avis beranjak ke kamar Mami.
Dibukanya kamar Mami, “Mami, punya Troches nggak? Tenggorokan Avis terasa nggak enak,” katanya. Dan sedetik kemudian Avis baru sadar, ada Aa di situ. Dan suasananya sepertinya sedang serius.
Mami hanya mengangguk ke arah kotak obatnya.
”Ups, sori, lagi serius ya?” Avis cepat bergerak ke kotak obat Mami. Dibukanya, diamatinya sejenak, dan terlihat permen obat itu ada di sudut. Diambilnya, ditutupnya kembali kotak obat Mami, dan ia bergegas keluar lagi.
Sejenak terlihat olehnya di atas meja kecil di sisi ranjang Mami, ada sebuah kotak, berisi sebuah bungkusan, dan sebuah patung sedang dipegang Mami, sepertinya akan diberikan pada Aa. Tapi Avis bergegas kembali ke luar, ditutupnya pintu dan ia kembali ke kamarnya. Setelah ditutupnya pintu kamar, baru dirasa olehnya bahwa degup jantungnya lebih kencang dari biasa.
Berkelebatan bayangan demi bayangan. Surat Papi yang tidak sengaja terbaca olehnya saat ia masuk ke kamar baca Papi, terlintas lagi. Jadi itu yang harus diberikan oleh Mami pada Aa dan padanya nanti? Patung kayu hitam? Patung yang hendak diberikan Mami pada Aa sepertinya berbentuk manusia bercaping.
Lalu, yang untuknya? Bungkusan apakah itu? Apakah patung kayu hitam juga seperti punyanya Aa?
Avis membaringkan badan dengan gelisah. Bukan, bukan gelisah karena tenggorokan sakit menelan. Entah apa yang membuatnya menjadi gelisah begini. Dicobanya memejamkan mata.
Dan ia seperti berpindah tempat, berpindah alam.
~0~0~0~0~0~0~0
Word Count: 4.100
Akumulasi: 11.681
Target: 11.667
Hufh! Besok deh postingannya dibenerin, ada yang harus dicetak italic, tapi males. Trus ada yang harus pake catatan kaki, terjemahan misalnya. Besok aja deh!
0 Comments:
Post a Comment
<< Home