Hari Kelima
Ini nggak sempet dimasukin sesuai tanggal, jadi dimasukin sekarang. Hari keempat, nggak ngetik karena itu Hari Keluarga :P
~0~0~0~0~0
Dengan hati-hati Mami membawa kardus itu ke kamarnya tanpa menoleh lagi pada Avis. Avis memandang kardus itu, terpana.
Apa isi kardus itu? Kenapa Avis tiba-tiba sekarang merasa tertarik dengan kardus itu? Mungkin itu barang-barang Mami seperti yang lain, parfum atau keramik pajangan di kamar seperti yang biasa dan tidak pernah diperhatikan oleh Avis.
Tetapi Avis merasa ada seuatu. Rasanya ada keterhubungan dengan isi kardus. Dengan mimpinya yang tadi. Dengan dibawanya kardus itu, ia merasa ada yang hilang, direnggutkan darinya.
Avis menggelengkan kepalanya keras-keras.
Mungkin akibat terbangun tiba-tiba, jadi ia merasa kacau begini. Ya sudah, Avis berjalan ke kamarnya. Aa Ardi sudah membereskan barang-barangnya yang besar, sudah memasukkan koper, kasur sudah ada di ranjangnya, lemari, meja belajar dan meja rias juga sudah ada di tempatnya, tapi masih amburadul. Kasur belum diberi seprei, baju tentu saja belum dimasukkan ke lemari, dan buku-buku juga masih terikat dalam beberapa tumpukan.
Avis menghempaskan diri ke kasur, dan mencoba meneruskan tidur, tapi ia merasa tak nyaman. Jadi ia keluar ke kamar Mami.
”Mi, seprei di mana, Mi?” tanya sambil lalu, memperhatikan Mami yang masih mencoba merapikan isi lemarinya.
”Di lemari besar itu. Belum dibereskan, ambil sekalian dengan seprei untuk kamar si Aa, pasti dia nggak ingat pakai seprei,” Mami menunjuk ke arah lemari besar di sudut kamar.
Avis membuka pintu lemari besar dan mencari seprei single, dua set, diambilnya, dan ditutupnya lagi. Sekilas diamatinya, kardus yang tadi diambil dari sisi sofa, sudah kosong. Jadi isinya sudah dibereskan Mami entah di mana.
Muncul lagi perasaan kehilangan yang tadi. Tidak, ia tahu betul, ini bukan rasa kehilangan Papi. Rasa kehilangan Papi sudah ada sedari sejak mereka masih di Jakarta. Yang ini baru-baru saja timbul. Seperti kau diberi sesuatu, tapi diambil kembali dengan tiba-tiba.
Segera ditepisnya perasaan tadi, dan segera berjalan ke kamar Aa. Diintipnya sebentar, si Aa masih sedang sibuk membereskan buku-bukunya. Baju-bajunya sudah dibereskan, atau dengan kata lain sudah dimasukkan begitu saja ke dalam lemari tak peduli baju dalam, kaus atau kemeja.
“Iih, si Aa, baju kok sembarangan begini masukkinnya. Nanti pas mau pergi, kebingungan deh nyarinya,” sungut Avis sambil menarik kembali baju-baju itu keluar, dan mencoba menatanya.
”Nah, gitu atuh, Vis, buat apa ada Avis. Sekalian pasangin sepreinya, ya?” bujuknya manis.
Avis tertawa sambil melempar Aa-nya dengan bantal yang belum diberi sarung. Dengan rapi dibereskan baju dalam, kaus, celana panjang, dan celana pendek, kemeja-kemeja digantungkan di lemari sebelahnya. Lalu dipasangnya seprei, sarung bantal dan sarung guling.
“Udah minta selimut sama Mami? Di Bandung kan dingin,” Avis mengambil set sepreinya sendiri dan keluar dari kamar Ardi.
“Belum. Sekalian aja pangambilin, ih!” rayu Ardi.
”Huuu,” seru Avis sambil masuk ke kamarnya, ”nanti aja ah. Avis mau beresin kamar dulu.” Avis mulai membereskan baju, buku, dan memasangkan seprei. Meja riasnya hanya berisi sisir, bedak talek, pelembab dan lotion. Ada sebotol deodoran juga. Itu saja.
Mami masuk membawa seperangkat seragam. ”Ini seragam kamu yang lama, hanya badge lokasi-nya yang Mami ganti. Masih bagus kan! Jadi dari sekolah kamu yang baru, Mami hanya beli seragam batik dan seragam olahraga saja. Terus nanti kalau masuk, tanyain daftar bukunya, sama enggak dengan yang di Jakarta.”
”Iya, Mam. Seragamnya memang masih bagus, lha kan waktu naik kelas 2 Avis baru ganti,” ledek Avis sambil tertawa.
”Iya ya? Mami lupa, hehe...”
”Trus, Avis udah tanya sama Dania buku-bukunya. Nanti sore Dania ke sini, nganterin Avis beli buku ke Palasari. Don’t worry, Mam, asal siapin uangnya aja,” Avis menukas buru-buru.
“Iya, beres. Jam berapa Dania ke sini? Mai pakai apa?”
“Nggak tahu, pokoknya sore katanya. Pakai angkot aja, Mam, biar Avis tau jalan di sini. Dari sini jalan dulu ke Lingkar, naik yang abu. Trus ganti yang biru atau jalan kaki aja, masuk-masuk jalan kecil. Dania mau nunjukkin jalan-jalan kecilnya, lewat sekolah juga, nanti ... jreng, keluar di Palasari!” sahutnya centil.
Mami cuma mencubit ujung hidung Avis, dan keluar kamar sambil tertawa. “Trus si Aa gimana atuh rencananya,” sahutnya dan masuk ke kamar Ardi, menanyakan hal yang sama.
Avis kembali membereskan bajunya. Seragam digantungnya, juga beberapa baju lain yang perlu digantung. Sekarang buku-buku. Dibukanya tali pengikat, dan yang teratas adalah beberapa album foto yang langsung jatuh.
Diambilnya. Tak sengaja dilihatnya. Beberapa kawannya saat kelas satu dulu. Avis mendesah. Tidak disesalinya sih, keputusan untuk pindah ke Bandung. Mereka masih bisa berhubungan via surat atau telepon. Anggraeni karibnya juga suka main ke Bandung, dan berjanji akan menginap di Kembar nanti.
Aa Ardi malah belum punya sahabat di SMA, dia kan baru saja masuk, pikirnya. Jadi, soal teman-teman, mereka bisa dibilang tidak ada masalah.
Avis membereskan buku-bukunya lalu memasang seprei. Sekarang rasa ngantuk itu lenyap berganti dengan rasa lapar.
”Mam, masak apa sekarang?” Avis berjalan ke dapur di sela-sela tumpukan barang-barang yang masih tak karuan.
”Belum masak. Mami baru nyuruh Aa beli gudeg di Yu Atik di depan,” Mami muncul dari dapur membawa kardus yang sudah kosong, menumpukkannya di kumpulan kardus kosong depan gudang.
”Gudeg?” Avis membayangkan rasa manis seperti kolak itu dan bergidig.
”Nggak kok, kata uwak Hany, Yu Atik mah nggak asli gudeg Jogja. Gudeg yang ada airnya itu, yang berkuah,” Mami mengibas-ngibas tangannya. Lalu seperti orang yang sedang mencari-cari sesuatu dari kardus-kardus di depan.
”Nyari apa, Mam?”
”Ya yang isi dapur semua. Oven di mana ya? Trus loyang, cetakan kue? Penggorengan dadar, cetakan poffertjes ...” Mami berusaha membaca tulisan yang ada di kardus, “Udah Mami bilang suruh kasih nama biar kita nggak bingung bongkarnya. Jadi kardus yang nggak penting, masuk gudang aja dulu.” Mami sepertinya menemukan satu kardus lagi dan diseretnya ke dapur. Avis membantu mendorongnya.
“Jadi Mami beneran nih, mau katering aja?”
”Ya, nggak katering sih. Bikin kue aja, berdasarkan pesanan. Kalau katering yang tiap hari, nggak sanggup. Mami kan masih pengen jalan-jalan ke uwak Hany, ke Kakekmu, ... Besok Mami mau bikin risoles, kamu anter-anterin ke tetangga. Ceritanya perkenalan, sekalian promosi.”
”Siap, Mam!”
Mami berhenti membuka kardusnya ketika Ardi datang dengan keresek gudegnya. Dicuci tangannya, diambilnya mangkok-mangkok dan dituangkan gudeg, opor ayam, dan sambel kerecek. Avis mengambil piring-piring makan, gelas dan sendok, disimpannya di meja, lalu kembali lagi ke dapur mengambil nasi.
Mereka bertiga makan dalam diam sampai Mami berbicara.
“Papi sebenarnya meninggalkan sejumlah uang. Tapi itu akan Mami pakai untuk sekolah kalian. Sekolah kalian masih panjang, Mami nggak mau kalau harus berhenti.”
Ardi dan Avis mendengarkan, menunduk sambil terus mengunyah.
”Untuk sehari-hari, Mami akan mencoba bikin kue, pesanan aja dulu. Uwak Hany sudah berjanji mengirim pembantu besok. Kalau pembantunya cocok, mungkin akan kita tingkatkan, tapi itu saja dulu yang akan kita kerjakan. Mudah-mudahan lancar.”
Avis mengangkat wajahnya, ”Nanti Avis bantu-bantu bikinnya.”
Ardi juga tidak mau kalah, ”Ardi yang nganter-nganter, nganter kuenya atau nganter Mami ke pasar juga boleh.”
Mami tersenyum. Matanya berkaca-kaca. ”Sebenarnya Mami nggak mau seperti ini, tapi apa boleh buat. Peninggalan Papi nggak akan Mami usik-usik kecuali buat kalian kuliah nanti, itu keputusan Mami.”
”Mami merasa bersalah juga sih, kalian jadi terpaksa bekerja begini ...” Mami meletakkan sendoknya dan memandang keduanya.
”Kita jadi miskin, ibunya bikin kue, Avis jualan kue di nampan pagi-pagi sebelum sekolah, nggak berani pulang karena nampan kuenya ada yang numpahin sebelum dia dapet uang sepeserpun ...” Avis memasang wajah sedih.
”Terus kita tidurnya cuma sebentar, karena mengadonan kue dan mencetaknya semalaman, menggoreng pisang subuh-subuh, terus sekolah, pulang trus belanja bahan kue, trus mengadonan lagi ...” Ardi menimpali.
”Hus!” Mami menjitak Ardi yang paling dekat dengannya, “kesannya kita menderita banget …”
“Avis menangis karena belum bayar uang ujian, dan SPP-nya udah tiga bulan nunggak …” Ardi meneruskan dengan wajah menderita-banget-deh.
“Dan Mami juga bingung karena beras udah habis, minyak tanah habis, kayu bakar basah, nggak ada uang sepeserpun di tangan, warung udah nggak mau diutangin lagi …” Mami nggak kepalang basah akhirnya turut serta dalam dramatisasi kedua anaknya, tertawa gelak-gelak.
“Hus! Naudzubillahi min dzalik. Mudah-mudahan nggak sampai gitu deh. Tapi yang paling penting,” Mami serius sekarang, “kita bertiga harus tetap kompak. Mami nggak mau Ardi dan Avis bertengkar karena apapun. Kita harus saling melindungi …”
Mami mengusap matanya. Ardi dan Avis pura-pura memandangi piring mereka yang sekarang sudah habis isinya.
Dan mulai hari itu mereka sibuk. Dan Avis melupakan mimpinya, melupakan bungkusan kertas coklat tua dalam kardus, melupakan surat Papi dan isi lacinya.
*****
Sinar mentari belum sampai ke bumi ketika Avis membuka tirai jendela kamarnya. Tapi dia sudah siap. Sudah mandi, sudah dandan, sudah sarapan. Dia keluar dari kamar yang sudah dirapikan.
“Mam, berangkat ya? Mana pesanan Alen? Ah ini dia. Avis kuliah sampai jam sebelas, trus kuliah lagi jam dua sampai jam empat, mending nggak pulang aja ya? Pulangnya nanti sore. Dah, Mam!”
Avis berjalan sembari menyambar dua keresek kotak kue, dan cium pipi kiri cium pipi kanan Maminya.
“Jangan kesorean. Nanti sore kan teh Alia mau ke sini. Terus kan mau ngepas baju dulu. Oya, nanti kalau lagi break kuliah, sekalian mampir dulu ke rumah uwak Hany, ngambil daftar nama tambahan buat undangan. Tadi malam uwak Hany udah janji.”
”Oke, Boss. Berangkat dulu, Mam!”
“Ee-eh!” suara Ardi berteriak dari dalam kamar, “mau ke mana? Jangan lupa nanti sore jangan ngelayap ke mana-mana! Dan jangan lupa ke uwak Hany, uwak kan udah janji ...”
”Iya, Tuan Besar, Hamba akan melaksanakan perintahmu, dan jangan takut, akan Hamba ambil daftar nama di istana uwak Hany ...”
Sebuah bantal besar melayang ke arah Avis, tapi si empunya nama sudah melarikan diri ke Timbuktu dengan dua keresek kotak kue. Hihi..
”Udah, Avis berangkat nih, takut telat. Assalamualaikum!”
”Waalaikum salam.”
~0~0~0~0~0
Word Count: 1.549
Akumulasi: 7.783
Target: 8.334
Huwaaaa! Kelewat jauh euy! Hari ini mesti nyampe 10.000 dong, berarti masih kurang ... 2250 kata ..
*ditimpuks karena memelototi word count aja*
~0~0~0~0~0
Dengan hati-hati Mami membawa kardus itu ke kamarnya tanpa menoleh lagi pada Avis. Avis memandang kardus itu, terpana.
Apa isi kardus itu? Kenapa Avis tiba-tiba sekarang merasa tertarik dengan kardus itu? Mungkin itu barang-barang Mami seperti yang lain, parfum atau keramik pajangan di kamar seperti yang biasa dan tidak pernah diperhatikan oleh Avis.
Tetapi Avis merasa ada seuatu. Rasanya ada keterhubungan dengan isi kardus. Dengan mimpinya yang tadi. Dengan dibawanya kardus itu, ia merasa ada yang hilang, direnggutkan darinya.
Avis menggelengkan kepalanya keras-keras.
Mungkin akibat terbangun tiba-tiba, jadi ia merasa kacau begini. Ya sudah, Avis berjalan ke kamarnya. Aa Ardi sudah membereskan barang-barangnya yang besar, sudah memasukkan koper, kasur sudah ada di ranjangnya, lemari, meja belajar dan meja rias juga sudah ada di tempatnya, tapi masih amburadul. Kasur belum diberi seprei, baju tentu saja belum dimasukkan ke lemari, dan buku-buku juga masih terikat dalam beberapa tumpukan.
Avis menghempaskan diri ke kasur, dan mencoba meneruskan tidur, tapi ia merasa tak nyaman. Jadi ia keluar ke kamar Mami.
”Mi, seprei di mana, Mi?” tanya sambil lalu, memperhatikan Mami yang masih mencoba merapikan isi lemarinya.
”Di lemari besar itu. Belum dibereskan, ambil sekalian dengan seprei untuk kamar si Aa, pasti dia nggak ingat pakai seprei,” Mami menunjuk ke arah lemari besar di sudut kamar.
Avis membuka pintu lemari besar dan mencari seprei single, dua set, diambilnya, dan ditutupnya lagi. Sekilas diamatinya, kardus yang tadi diambil dari sisi sofa, sudah kosong. Jadi isinya sudah dibereskan Mami entah di mana.
Muncul lagi perasaan kehilangan yang tadi. Tidak, ia tahu betul, ini bukan rasa kehilangan Papi. Rasa kehilangan Papi sudah ada sedari sejak mereka masih di Jakarta. Yang ini baru-baru saja timbul. Seperti kau diberi sesuatu, tapi diambil kembali dengan tiba-tiba.
Segera ditepisnya perasaan tadi, dan segera berjalan ke kamar Aa. Diintipnya sebentar, si Aa masih sedang sibuk membereskan buku-bukunya. Baju-bajunya sudah dibereskan, atau dengan kata lain sudah dimasukkan begitu saja ke dalam lemari tak peduli baju dalam, kaus atau kemeja.
“Iih, si Aa, baju kok sembarangan begini masukkinnya. Nanti pas mau pergi, kebingungan deh nyarinya,” sungut Avis sambil menarik kembali baju-baju itu keluar, dan mencoba menatanya.
”Nah, gitu atuh, Vis, buat apa ada Avis. Sekalian pasangin sepreinya, ya?” bujuknya manis.
Avis tertawa sambil melempar Aa-nya dengan bantal yang belum diberi sarung. Dengan rapi dibereskan baju dalam, kaus, celana panjang, dan celana pendek, kemeja-kemeja digantungkan di lemari sebelahnya. Lalu dipasangnya seprei, sarung bantal dan sarung guling.
“Udah minta selimut sama Mami? Di Bandung kan dingin,” Avis mengambil set sepreinya sendiri dan keluar dari kamar Ardi.
“Belum. Sekalian aja pangambilin, ih!” rayu Ardi.
”Huuu,” seru Avis sambil masuk ke kamarnya, ”nanti aja ah. Avis mau beresin kamar dulu.” Avis mulai membereskan baju, buku, dan memasangkan seprei. Meja riasnya hanya berisi sisir, bedak talek, pelembab dan lotion. Ada sebotol deodoran juga. Itu saja.
Mami masuk membawa seperangkat seragam. ”Ini seragam kamu yang lama, hanya badge lokasi-nya yang Mami ganti. Masih bagus kan! Jadi dari sekolah kamu yang baru, Mami hanya beli seragam batik dan seragam olahraga saja. Terus nanti kalau masuk, tanyain daftar bukunya, sama enggak dengan yang di Jakarta.”
”Iya, Mam. Seragamnya memang masih bagus, lha kan waktu naik kelas 2 Avis baru ganti,” ledek Avis sambil tertawa.
”Iya ya? Mami lupa, hehe...”
”Trus, Avis udah tanya sama Dania buku-bukunya. Nanti sore Dania ke sini, nganterin Avis beli buku ke Palasari. Don’t worry, Mam, asal siapin uangnya aja,” Avis menukas buru-buru.
“Iya, beres. Jam berapa Dania ke sini? Mai pakai apa?”
“Nggak tahu, pokoknya sore katanya. Pakai angkot aja, Mam, biar Avis tau jalan di sini. Dari sini jalan dulu ke Lingkar, naik yang abu. Trus ganti yang biru atau jalan kaki aja, masuk-masuk jalan kecil. Dania mau nunjukkin jalan-jalan kecilnya, lewat sekolah juga, nanti ... jreng, keluar di Palasari!” sahutnya centil.
Mami cuma mencubit ujung hidung Avis, dan keluar kamar sambil tertawa. “Trus si Aa gimana atuh rencananya,” sahutnya dan masuk ke kamar Ardi, menanyakan hal yang sama.
Avis kembali membereskan bajunya. Seragam digantungnya, juga beberapa baju lain yang perlu digantung. Sekarang buku-buku. Dibukanya tali pengikat, dan yang teratas adalah beberapa album foto yang langsung jatuh.
Diambilnya. Tak sengaja dilihatnya. Beberapa kawannya saat kelas satu dulu. Avis mendesah. Tidak disesalinya sih, keputusan untuk pindah ke Bandung. Mereka masih bisa berhubungan via surat atau telepon. Anggraeni karibnya juga suka main ke Bandung, dan berjanji akan menginap di Kembar nanti.
Aa Ardi malah belum punya sahabat di SMA, dia kan baru saja masuk, pikirnya. Jadi, soal teman-teman, mereka bisa dibilang tidak ada masalah.
Avis membereskan buku-bukunya lalu memasang seprei. Sekarang rasa ngantuk itu lenyap berganti dengan rasa lapar.
”Mam, masak apa sekarang?” Avis berjalan ke dapur di sela-sela tumpukan barang-barang yang masih tak karuan.
”Belum masak. Mami baru nyuruh Aa beli gudeg di Yu Atik di depan,” Mami muncul dari dapur membawa kardus yang sudah kosong, menumpukkannya di kumpulan kardus kosong depan gudang.
”Gudeg?” Avis membayangkan rasa manis seperti kolak itu dan bergidig.
”Nggak kok, kata uwak Hany, Yu Atik mah nggak asli gudeg Jogja. Gudeg yang ada airnya itu, yang berkuah,” Mami mengibas-ngibas tangannya. Lalu seperti orang yang sedang mencari-cari sesuatu dari kardus-kardus di depan.
”Nyari apa, Mam?”
”Ya yang isi dapur semua. Oven di mana ya? Trus loyang, cetakan kue? Penggorengan dadar, cetakan poffertjes ...” Mami berusaha membaca tulisan yang ada di kardus, “Udah Mami bilang suruh kasih nama biar kita nggak bingung bongkarnya. Jadi kardus yang nggak penting, masuk gudang aja dulu.” Mami sepertinya menemukan satu kardus lagi dan diseretnya ke dapur. Avis membantu mendorongnya.
“Jadi Mami beneran nih, mau katering aja?”
”Ya, nggak katering sih. Bikin kue aja, berdasarkan pesanan. Kalau katering yang tiap hari, nggak sanggup. Mami kan masih pengen jalan-jalan ke uwak Hany, ke Kakekmu, ... Besok Mami mau bikin risoles, kamu anter-anterin ke tetangga. Ceritanya perkenalan, sekalian promosi.”
”Siap, Mam!”
Mami berhenti membuka kardusnya ketika Ardi datang dengan keresek gudegnya. Dicuci tangannya, diambilnya mangkok-mangkok dan dituangkan gudeg, opor ayam, dan sambel kerecek. Avis mengambil piring-piring makan, gelas dan sendok, disimpannya di meja, lalu kembali lagi ke dapur mengambil nasi.
Mereka bertiga makan dalam diam sampai Mami berbicara.
“Papi sebenarnya meninggalkan sejumlah uang. Tapi itu akan Mami pakai untuk sekolah kalian. Sekolah kalian masih panjang, Mami nggak mau kalau harus berhenti.”
Ardi dan Avis mendengarkan, menunduk sambil terus mengunyah.
”Untuk sehari-hari, Mami akan mencoba bikin kue, pesanan aja dulu. Uwak Hany sudah berjanji mengirim pembantu besok. Kalau pembantunya cocok, mungkin akan kita tingkatkan, tapi itu saja dulu yang akan kita kerjakan. Mudah-mudahan lancar.”
Avis mengangkat wajahnya, ”Nanti Avis bantu-bantu bikinnya.”
Ardi juga tidak mau kalah, ”Ardi yang nganter-nganter, nganter kuenya atau nganter Mami ke pasar juga boleh.”
Mami tersenyum. Matanya berkaca-kaca. ”Sebenarnya Mami nggak mau seperti ini, tapi apa boleh buat. Peninggalan Papi nggak akan Mami usik-usik kecuali buat kalian kuliah nanti, itu keputusan Mami.”
”Mami merasa bersalah juga sih, kalian jadi terpaksa bekerja begini ...” Mami meletakkan sendoknya dan memandang keduanya.
”Kita jadi miskin, ibunya bikin kue, Avis jualan kue di nampan pagi-pagi sebelum sekolah, nggak berani pulang karena nampan kuenya ada yang numpahin sebelum dia dapet uang sepeserpun ...” Avis memasang wajah sedih.
”Terus kita tidurnya cuma sebentar, karena mengadonan kue dan mencetaknya semalaman, menggoreng pisang subuh-subuh, terus sekolah, pulang trus belanja bahan kue, trus mengadonan lagi ...” Ardi menimpali.
”Hus!” Mami menjitak Ardi yang paling dekat dengannya, “kesannya kita menderita banget …”
“Avis menangis karena belum bayar uang ujian, dan SPP-nya udah tiga bulan nunggak …” Ardi meneruskan dengan wajah menderita-banget-deh.
“Dan Mami juga bingung karena beras udah habis, minyak tanah habis, kayu bakar basah, nggak ada uang sepeserpun di tangan, warung udah nggak mau diutangin lagi …” Mami nggak kepalang basah akhirnya turut serta dalam dramatisasi kedua anaknya, tertawa gelak-gelak.
“Hus! Naudzubillahi min dzalik. Mudah-mudahan nggak sampai gitu deh. Tapi yang paling penting,” Mami serius sekarang, “kita bertiga harus tetap kompak. Mami nggak mau Ardi dan Avis bertengkar karena apapun. Kita harus saling melindungi …”
Mami mengusap matanya. Ardi dan Avis pura-pura memandangi piring mereka yang sekarang sudah habis isinya.
Dan mulai hari itu mereka sibuk. Dan Avis melupakan mimpinya, melupakan bungkusan kertas coklat tua dalam kardus, melupakan surat Papi dan isi lacinya.
*****
Sinar mentari belum sampai ke bumi ketika Avis membuka tirai jendela kamarnya. Tapi dia sudah siap. Sudah mandi, sudah dandan, sudah sarapan. Dia keluar dari kamar yang sudah dirapikan.
“Mam, berangkat ya? Mana pesanan Alen? Ah ini dia. Avis kuliah sampai jam sebelas, trus kuliah lagi jam dua sampai jam empat, mending nggak pulang aja ya? Pulangnya nanti sore. Dah, Mam!”
Avis berjalan sembari menyambar dua keresek kotak kue, dan cium pipi kiri cium pipi kanan Maminya.
“Jangan kesorean. Nanti sore kan teh Alia mau ke sini. Terus kan mau ngepas baju dulu. Oya, nanti kalau lagi break kuliah, sekalian mampir dulu ke rumah uwak Hany, ngambil daftar nama tambahan buat undangan. Tadi malam uwak Hany udah janji.”
”Oke, Boss. Berangkat dulu, Mam!”
“Ee-eh!” suara Ardi berteriak dari dalam kamar, “mau ke mana? Jangan lupa nanti sore jangan ngelayap ke mana-mana! Dan jangan lupa ke uwak Hany, uwak kan udah janji ...”
”Iya, Tuan Besar, Hamba akan melaksanakan perintahmu, dan jangan takut, akan Hamba ambil daftar nama di istana uwak Hany ...”
Sebuah bantal besar melayang ke arah Avis, tapi si empunya nama sudah melarikan diri ke Timbuktu dengan dua keresek kotak kue. Hihi..
”Udah, Avis berangkat nih, takut telat. Assalamualaikum!”
”Waalaikum salam.”
~0~0~0~0~0
Word Count: 1.549
Akumulasi: 7.783
Target: 8.334
Huwaaaa! Kelewat jauh euy! Hari ini mesti nyampe 10.000 dong, berarti masih kurang ... 2250 kata ..
*ditimpuks karena memelototi word count aja*
0 Comments:
Post a Comment
<< Home