My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Friday, November 09, 2007

Hari Kesembilan

~0~0~0~0~0~0

Tapi suasana hatinya tidak buruk sehingga ia bisa saja menerima guyonan Anel. Kalau tidak mungkin begitu melihat Yudha saja ia sudah akan melarikan diri.

”Habis ini masih ada kuliah?” tanya Yudha.

Avis menggeleng tak menjawab karena sibuk menyeruput es tehnya. Lalu baru ia menjawab, ”Nggak. Tapi mau ke perpustakaan dulu.”

”Oh. Aku masih ada kuliah satu lagi, sampai jam tiga. Habis kuliah, boleh kucari kamu di perpustakaan?” tanya Yudha penuh harap.

Alen memandangnya bertanya. ”Kenapa dia mesti nanya-nanya begitu, Vis?”

Avis tertawa, tapi dirasa pipinya memerah. ”Enggak tau.”

Untungnya Yudha bersedia menyimpan rahasianya, tidak membongkar peristiwa kemarin tatkala dia sewot dan asal saja naik angkot, lupa kalau masih ada kuliah dan mesti ke rumah uwak Hany.

”Ya, udah. Aku kuliah dulu. Sampai nanti, kalau kau masih mau menungguku,” sahut Yudha bernada jahil, berdiri membawa buku-bukunya.

Sepeninggal Yudha, Alen langsung saja memberondong Avis dengan segudang pertanyaan, bagaimana bisa ada yang bereaksi akan iklannya di papan pengumuman, bagaimana jalannya pertemuan, bagaimana ... bagaimana ...

”Aduh, ini ibu-ibu kalau sudah arisan, lupa deh sama segalanya,” Tio si pemilik suara duduk di dekat Alen, membawa senampan makanan. ”Udah lupa lagi sama suami, dari tadi udah lapar, bukannya dimasakin, jadi aja terpaksa makan dari warung.”

Alen terkikik dan mencubit tangan Tio sambil menggerutu, ”Duh, kagetnya. Kirain siapa. Lagian, kukira kamu baru keluar jam satu.”

”Lha, ini kan udah jam satu,” Tio memperlihatkan jamnya, 01.12.

”Ah! Hehe, sori kelupaan. Jadi tadi makan sendiri aja,” Alen tersipu-sipu.

”Bohong, ding, Tio, dia emang dari tadi udah berniat mau makan sendiri, nggak akan nungguin si akang,” goda Avis, seakan mendapat kesempatan.

”Eh, iya, bener. Tadinya aku mau masuk kantin ini cuma mau nungguin kamu dulu, tapi tiba-tiba aku melihat pemandangan yang sangat langka, Tio!” seru Alen bersemangat, ”Tau nggak ...”

Dan Avis meraba ke arah mana pembicaraan Alen, buru-buru menangkupkan kedua tangannya ke mulut Alen, mencegahnya berbicara lebih jauh, membocorkan rahasia negara.

”Tau nggak kenapa? Ada gosip terbaru?” Tio menuangkan kuah sotonya sekaligus ke piring nasinya, menuangkan sesendok sambal, dan mengaduknya, meniupnya sedikit dan menyuap sesendok demi sesendok dengan kecepatan tinggi.

”Eh, ini bukan gosip!” Alen berusaha membebaskan diri dari bekapan Avis, ”Ini beneran. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Saksinya juga se-kantin!

”Saksi se-kantin, emangnya apaan!” gerutu Avis.

”Iya, Avis tadi kan bertemu dengan pujaan hatinya,” ujar Alen cepat-cepat sebelum Avis sempat membekapnya lagi.

”Pujaan hati, apaan. Tio jangan dengarkan, dia benar-benar penyebar gosip nomer wahid!” seru Avis sewot.

“Tenang, tenang. Jadi, bagaimana kejadian yang sebenarnya, ibu-ibu?”

“Begini,” Alen menurunkan nada dalam suaranya, di bawah tatapan mata yang mengerikan dari sahabatnya, “Tadi Avis makan bareng dengan kenalan barunya. Cakep, lho, Tio. Kamu aja kalah kalau dibandingkan dengannya. Tinggi, atletis, trus kaya’nya nggak merokok, ya kan Vis? Trus …”

Tas Avis melayang ke arah Alen, untung saja Alen sempat merunduk, kalau tidak mungkin gelarnya sudah berganti menjadi almarhum :P

“Bentar, bentar. Aku kalah cakep?” Tio sekarang yang menatap Alen dengan aura yang mengerikan –pura-pura sih.

”Hehe. Enggak, enggak. Ampun, Yang Mulia, Hamba nggak akan pernah membandingkan kecakepan Yang Mulia dengan orang lain, apalagi dengan rakyat jelata,” canda Alen.

”Iya, bagus deh Tio. Sebentar lagi pasti kamu sudah dilupakannya, dan dia jadi bersanding dengannya. Kamu cuma bakal jadi kacung,” kompor Avis, dan tertawa.

“Eh, bener ini Tio, biasanya kan si Avis ini cuek banget dengan yang namanya laki-laki, kamu juga kan pernah nggak masuk hitungan.” Dan Avis diam-diam memang membenarkan, kalau Alen nggak gigih membawa Tio bersamanya, tentu saja Avis nggak akan mengenalnya. Dengan teman-teman seangkatan, Avis memang mengenalnya, tapi hanya sebatas kenal nama. Kecuali kalau jadi teman kelompok. Heran, kalau untuk yang namanya tugas kelompok, Avis bisa mengenali, si A pintar kalau menyusun kata, si B bagus dalam menyusun kalimat tapi nggak bisa disuruh ngomong di depan kelas, dan sebagainya, dan itu termasuk anak laki-laki!

”Sedang yang ini, kulihat dia pas banget dengan Avis. Makanya, ini bukan gosip, Tio, ini kenyataan.”

”Namanya?” Tio bertanya, nampak tak begitu ingin tahu.

“Yudha, anak Planologi.”

“Oh, si Yudha. Ya, dia sih emang termasuk dalam Top Ten di Plano,” sahut Tio sambil mengusap mulutnya, baru habis minum.

Deg! Mengapa Avis merasa jantungnya jadi copot dan turun ke bawah kursi begini?

”Top Ten? Emangnya tangga lagu?” sahutnya berusaha menutupi perasaannya.

”Cie..cie ..cie.. Begitu ingin tahunya! Oya, aku lupa, kalau Plano, pasti Tio banyak tahu, deketan sih kuliahnya. Tapi, buat apa dia makan di kantin sini? Plano kan kebanyakan di kantin B?” Alen menampakkan wajah ingin tahu, ”Eh! Ya jelas, aku ini kok nggak tahu sih. Jelas dia lagi nungguin kamu, Avis! Coba, buat apa dia makan di kantin sini, jauh kan dari ruangan mereka, katanya mau kuliah lagi, pasti dia telat masuknya,” Alen serasa mendapat angin, dari tadi menggoda Avis.

”Ih! Tau! Buat apa dia makan di sini, ya siapa yang tahu?” Avis mengelak sebisa-bisa. ”Udah ah, aku mau ke perpus dulu. Bisa-bisa nggak selesai tugas bu Ani. Daah!”

”Eeh, bentar! Tunggu Avis!” tapi Avis meninggalkannya begitu saja. Biarin aja, nanti kalau Tio sudah selesai merokok, mereka pasti akan menyusul. Biasa.

Memang dari dulu, dari awal mereka bersahabat, Alen rasanya tidak pernah melihat Avis bersama seorang cowok. Cowok yang diakui sebagai teman spesial. Kalau dengan teman biasa sih sering, jalan cari buku, naik motor berdua ke rumah dosen, menjenguk teman yang sakit, survei, dan entah apa lagi. Tapi semua juga mengakui kalau cowok-cowok itu tak ada yang istimewa di mata Avis.

Itu kalau kata Avis. Kalau menurut POV cowoknya sih, sudah entah berapa yang punya perasaan lebih pada Avis. Tapi Avisnya cuek. Sampai sekarang, sudah S2. Waktu wisuda S1 saja yang mendampinginya si Aa. Yang nggak kenal sih, bisa saja menyangka cowoknya Avis, tapi buat yang kenal? ’Yaa, Avis, masa wisuda bawa-bawa kakak, bawa calon suami dong!’

Itu kata orang. Belum lagi kalau saja Avis bisa merasa gerah, bukan hanya lulus terus kawin, yang masih kuliah udah pada kawin juga banyak kok. Sedang Avis, sudah di tahun akhir kuliah S2 masih seperti burung yang bebas di udara.

Burung yang bebas di udara?

Kalau dipikir-pikir memang iya. Avis seperti yang masih ingin bebas terbang di udara. Seperti burung. Bukan burung tekukur, bukan burung merpati. Tapi burung elang.

Burung elang yang melayang tinggi tanpa mengepakkan sayapnya, mengintai dari atas dengan ketajaman matanya, menemukan mangsanya, menyambar dengan kecepatan tinggi, ketepatan yang akurat, dan dalam waktu sekejap mata kembali lagi ke ketinggian semula.

Boleh dibilang, kenangan ini yang membekas terdalam di diri Avis. Kenangan terakhir bersama Papi.

Papi memang jarang membawa mereka bermain ke alam bebas, tapi sekalinya itu terjadi, pasti akan meninggalkan bekas yang dalam. Kesan yang dalam.

Papi pernah membawa mereka ke sebuah sungai kecil yang masih bersih jernih airnya. Nggak memancing, nggak ngapa-ngapain, hanya duduk-duduk saja memandangi aliran airnya. Memandangi ikan kalau ada yang lewat. Memandangi kupu-kupu, burung kecil, serangga yang kebetulan singgah. Duduk saja sampai bosan.

Sambil membicarakan ikan apa yang lewat barusan. Burung apakah itu. Burung itu makannya madu, dan paruhnya panjang. Kalau yang ini burung anu. Kalau serangga ini berbisa. Kalau yang ini walau menyeramkan tapi tidak berbahaya. Air itu sampai sini masih bersih, tapi seterusnya akan melewati anu-anu-anu, dan sampailah di kota, dan jadilah air yang sudah kotor, Blablabla.

Begitu memang kesukaan Papi. Bicara pelan-pelan dalam keheningan.

Mami sebenarnya tidak begitu suka begitu. Kalau ke sebuah sungai atau kolam, ya memancinglah. Kalau ke padang luas, bisa sambil barbekyu. Kalau ke gunung, setelah cape-cape hiking sampai ke ketinggian tertentu, masang tenda, masang api unggun, bersiap-siap masaklah, jangan cuma merenung-renung saja duduk di batu.

Atau, lebih baik nggak usahlah. Mami lebih suka pergi ke tempat yang lebih ramai. Pergi ke Ciater, walau alam, tapi banyak orang di sana. Pergi ke Tangkuban Perahu. Atau pergi ke Taman Safari kalau pengen liat binatang.

Makanya sejak kepergian Papi, mereka tidak pernah pergi ke tempat yang disuka Papi. Melihat elang, walau berhenti di pinggir jalan, karena ada info Oom Narto bahwa jalan ke Bogor ada kecelakaan dan jalannya jadi macet, jadi peristiwa terakhir yang diingat Avis.

Dan sampai saat ini, itulah yang diidamkan Avis. Pergi melihat elang, seperti yang pernah dijanjikan Papi. Yang tidak pernah akan terlaksana.

Ya, selain karena Mami tidak begitu suka, juga karena mereka sekeluarga kemudian harus bekerja keras untuk hidup. Ya, tidak keras banget sih, mereka masih bisa makan di luar, nonton sekali-sekali, beli baju bukan hanya di waktu lebaran, beli buku selain buku sekolah, Aa bisa menabung dan kemudian beli motor...

Tapi hari-hari mereka diisi dengan pesanan kue, belanja bahan, nganter-nganter, di samping sekolah dan sedikit gaul. Namun Avis masih menyimpan keinginan untuk melihat elang. Seperti dulu.

Walau sekarang makin tipis harapannya. Kalau ia berkesempatan ke luar kota, ia selalu menolak untuk tidur di sepanjang jalan, dan sebisanya jalan siang jangan jalan malam. Maka ia akan memasang mata memandang langit, mencari elang. Tapi tak ada. Alam semakin dikuasai manusia, dipenuhi oleh bangunan. Binatang semakin tersingkirkan.

Mami pernah cerita, dulu harus menjaga anak ayam biar tidak disambar elang. Dulu. Dan Mami kan tidak hidup di desa nun jauh di sana, Mami hidup di Bandung. Di kota. Dan Mami harus menjaga anak ayam biar tidak disambar elang, berarti elang pun masih ada di kota.

Sekarang? Jangankan di kota, di desa yang jauh dari kota saja makin susah menemukan elang. Bahkan Avis sampai sekarang belum menemukan lagi elang.

Seperti waktu itu.

Avis mengeluh. Tapi ia sudah berada di perpustakaan. Dan kalau tidak bergegas mencari tugas bu Ani, nanti nggak keburu lagi. Ditepisnya pikiran yang mengganggu, dan bergegas kembali ke alam nyata.

Disimpannya tas di loker, lalu mencari rak yang dituju. Segera ia tenggelam dalam buku-buku.

~0~0~0~0~0~0

Word Count: 1.570
Akumulasi: 15.036
Target: 15.000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home