Hari Kedelapan
Heuuuh!
Besok aja deh dirapiin. Juga yang hari kemarin :P
~0~0~0~0~0~0
Gelisah ia, dan merasa ia tersedot ke alam lain, ke dunia lain.
Ia sekarang berada di sebuah ruangan mewah, dengan suasana yang sama sekali lain dengan yang biasa. Ia merasa bahwa kesemua ini adalah miliknya, atau paling tidak adalah milik keluarganya, dan bahwa ia mempunyai tanggung jawab atas apa yang ia lihat.
Seorang tua berpakaian putih dengan rambut putin panjang, janggut putih panjang, dan membawa tongkat panjang memasuki ruangan.
”Daulat, Tuan Puteri, sudah siapkah?”
Ia mengangguk otomatis. Dalam keheranannya, segala apa yang ia lakukan berjalan otomatis, tidak nampak seperti ia harus berpikir dulu apakah yang harus ia lakukan.
Ia berdiri dan mengikuti orang tua ini. Rasanya ... ia pernah bertemu dengannya. Avis mendadak ingat, dulu ia pernah bermimpi seperti ini. Dan orang tua itu ada di ... pertambangan. Ya, benar, mimpi tentang pertambangan itu.
Dan segalanya menjadi jelas. Ia menjadi Tuan Puteri dari negara entah-apa namanya ini, dulu ia masih berumur sekitar tiga-empat belas, dan sekarang tentulah ia berusia dua puluh lima?
”Ki Seta,” ia merasa dirinya berkata, ”apakah ada laporan tentang perkebunan ini, yang tidak biasanya?”
”Tidak, Tuan Puteri. Semua berjalan seperti biasanya.” Ia menjejeri langkah Avis, er ... Tuan Puteri, dan menapaki jalan setapak yang rapi dan bersih di sekeliling istana, terus menuju jalan umum.
Namanya Tuan Puteri, tapi ia tidak diiringi dayang-dayang atau pengawal, pikir Avis, seperti bebas saja puteri ini berjalan-jalan ke mana ia suka. Orang bertemu dengannya, mengangguk memberi hormat, tersenyum, atau sekedar bersapa seperti bertemu dengan sesamanya saja. Mungkin negaranya kecil, pikir Avis, dan ia tidak memerlukan semua tatacara protokoler itu. Mungkin negaranya kecil sehingga tidak banyak tersedia orang untuk menjadi pelayan atau dayang-dayang untuk semua basa-basi itu. Ia berpikir tentang Nepal, negara kecil dengan ratu yang bersahaja, yang ia baca dalam fiksi Setangkai Edelweiss-nya Marga T. Mungkin seperti itu?
Sebentar berjalan ia bisa melihat sekarang ia ada di daerah dengan kehijauan yang merata, upluk-aplak, sejauh mata memandang. Ia dan Ki Seta masih berjalan, belum membelok ke salah satu kebun yang ada. Kebun tanaman palawija, terkanya, dan sesaat kemudian, ia mengubah pandangannya, kebun tanaman rempah. Ada tanaman kunyit, ia sudah biasa melihat tanamannya karena Mami menanamnya, selain untuk diambil umbinya, juga untuk diambil daunnya kalau Mami mau memasak masakan Padang. Ada tanaman lengkuas, jahe, dan beragam umbi-umbian rempah lainnya yang ia tidak hapal. Ah, ya, itu ada tanaman serai, ia hapal daunnya yang seperti rumput. Dan entah apa lagi tanaman yang ada di sini. Begitu banyak jenisnya.
Mereka kemudian membelok ke salah satu kebun. Ternyata kebun ini adalah kebun utama, darinya ia bisa masuk ke kebun-kebun lainnya. Banyak pekerja yang sedang merawat tanaman, ada juga yang sedang membersihkan tanah kosong, rupanya sedang dipersiapkan untuk tanaman jenis lain.
Selain pekerja, ada banyak anak-anak yang sepertinya sedang mempelajari tanaman-tanaman itu. Avis tertarik dan mendekati mereka.
”Tuan Puteri,” sahut mereka berbarengan sambil menghormat. Anak-anak yang lucu, pikir Avis, sambil mengangguk pada mereka.
”Sedang mempelajari apa sekarang?” tanyanya pada salah satu dari mereka.
”Umbi temulawak, Yang Mulia,” sahut yang agak besar. Sepertinya dia ketua kelasnya.
“Coba kau jelaskan, apa yang sudah kau dapatkan dari Tetua Andini tentang temulawak,” tanya Avis lagi.
Dengan lancar anak itu menjelaskan cara membedakan umbi temulawak dengan umbi lainnya, bagaimana menanamnya, bagaimana merawatnya agar tidak kena penyakit, apa khasiatnya, umbi yangsebesar apa yang mengandung khasiat terbaik, dan seterusnya. Avis mengangguk-angguk, menepuk pundak anak itu memberi penghargaan.
Lalu ia berpindah pada para pekerja, ditanyanya mereka tentang pekerjaan mereka, tentang penghasilan mereka, fasilitas yang mereka dapatkan, dan sebagainya.
Ki Seta hanya diam saja dan mengikutinya ke mana ia pergi. Setelah puas, Avis lalu mendekati seorang pekerja dan meminta ia membantunya mengumpulkan tanaman yang ia butuhkan hari ini.
Matahari sudah semakin tinggi ketika Avis kembali ke istana. Keranjangnya penuh dengan dedaunan, umbi-umbian dan bagian tumbuhan yang lain yang ia perlukan. Ki Seta kemudian berpamitan, setelah membuat janji besok akan ke Pertambanngan. Membalas sapaan para pengawal dan dayang yang berpapasan dengannya, ia langsung menuju ruang bawah tanah.
Langkahnya terhenti oleh sebuah suara halus, "Tuan Puteri, tidak makan dulu?" Seorang wanita setengah baya dengan pakaian putih panjang menegurnya.
Avis tersenyum, menghampiri wanita itu dan memeluknya, "Nanti saja, Nini Saroja. Aku belum lapar. Aku mau melihat ramuan baru yang dibuat ayah," Avis bergegas menuruni tangga ke ruang bawah tanah.
Wanita itu menggeleng sambil tersenyum melihat kelakuannya.
Avis menyusuri lorong bawah tanah dan berhenti di salah satu pintu, mengetuknya. Tanpa menunggu jawaban dari dalam, ia mendorong pintu itu hingga terbuka.
Di dalam ada seorang pria setengah baya. Dan ketika pria itu berbalik, jantung Avis serasa terhenti. Papi! Rupanya persis seperti Papi. Tapi cepat ditepiskan pikirannya. Ia kembali memperhatikan ’ayahnya’ ini. Usianya tidak menghalanginya untuk bergerak lincah dari satu tabung kaca ke tabung kaca lain, mengamati isinya. Di sudut ada tungku dengan api yang berkobar. Sebuah kuali tanah liat di atasnya, isinya yang menggelegak menguarkan uap panas, sedang diaduk oleh seorang abdi tua, jangkung dan kurus.
"Ayah," panggil Avis perlahan.
Laki-laki gemuk itu menoleh, tersenyum melihat siapa yang datang.
"Ah, Dyah. Sudah selesai mengontrol kebun?" tangannya terkembang menyongsong putrinya dalam pelukan.
"Sudah, ayah. Anak-anak kelas 2 sedang belajar temulawak," Avis balas memeluk ayahnya, mengecup kedua pipinya. Si abdi tersenyum dari kejauhan menyaksikan adegan itu.
"Kelas 2, .. hmm .. Ayu?"
"Iya, ayah. Ibu Ayu yang memimpin mereka," Avis melepas pelukannya, meletakkan keranjang yang dibawanya di depan si ayah, "rasanya aku juga ingin seperti dia. Mengajar anak-anak membiakkan tumbuhan, mengenalkan mereka pada dunia ramuan .." Avis duduk sambil matanya menerawang jauh.
"Kau masih ingin jadi guru?"
Tanpa suara Avis mengangguk.
"Boleh saja. Untuk sementara waktu. Tetapi kau harus selalu ingat tugas utamamu," sang ayah bergerak ke arah kuali dan memeriksa isinya.
Avis mengeluh, "Kenapa harus aku, sih. Ayah, kenapa negeri kita tidak sama dengan negeri-negeri lain? Di mana-mana kerajaan diwariskan pada Putra Mahkota. Anak laki-laki, urutan keberapapun dia dalam kelahiran. Negeri kita kok lain sendiri?"
Sang ayah tersenyum, "Kakek-nenek moyang kita menyadari bahwa perempuanpun bisa memimpin sebaik laki-laki. Karenanya Undang-Undang negeri kita mensyaratkan anak pertama dari Raja atau Ratu berkuasa yang mewarisi tampuk pemerintahan, tak peduli anak perempuan atau laki-laki. Dan kau kan anak satu-satunya, jadi harus kau yang menggantikan ayah.”
”Kenapa tidak sepupu-sepupuku saja, kan mereka laki-laki, dan banyak yang cukup cakap untuk menjadi Putera Mahkota?”
Raja menggeleng, "Kecuali kau menikah dengan seorang raja, dan suamimu itu memboyongmu ke negerinya, kau akan tetap menjadi Puteri Mahkota. Titik. End of discussion. Nah, sekarang," sang raja menyendok cairan menggelegak dari kualinya, "tidakkah kau ingin tahu ramuan ayah yang baru?"
Avis teralih perhatiannya, "Iya, ayah. Bagaimana kemajuannya?"
Mata sang ayah berbinar melihat antusiasme di mata putrinya, "Ramuan ini bisa mempecepat penyembuhan luka. Menghentikan pendarahan, dan merangsang tumbuhnya sel-sel baru," berkata demikian sang ayah seraya menuangkan cairan dari kuali pada sebuah tabung kaca sehingga jelas terlihat warna keunguannya.
"Ambilkan Buku Sumber," titahnya pada si abdi. Laki-laki kurus itu membungkuk memberi hormat, lalu berjalan menuju lemari besar di ujung terjauh ruangan. Dibawanya sebuah buku bersampul kulit yang luarbiasa besar dan tebal. Dengan khidmat diletakkannya di depan sang Raja. Ia kemudiaan juga mengambilkan pena bulu dan botol tinta.
Sang Raja menggosokkan kedua telapak tangannya, lalu mulai menulis. Buku Sumber, sebagaimana dinamakan, adalah sumber dari segala ramuan yang dipelajari, diteliti, dan ditemukan di negeri itu. Isinya, dikutip dan disalin berulang-ulang untuk keperluan pengajaran maupun referensi para tabib, bukan hanya ramuan obat. Ramuan racunpun ada. Hanya saja bagian ini ditulis secara rahasia, dan secara magis hanya bisa dilihat oleh Raja atau Ratu dengan mantra tertentu. Mantra yang diturunkan bersamaan dengan penobatan Raja atau Ratu baru, diberikan berbarengan dengan Mahkota dan Tongkat Pusaka.
"Nah," sahutnya puas, lalu memberi isyarat pada sang abdi agar mengembalikan lagi Buku itu ke tempatnya. Lalu ia juga menitahkan agar ramuan itu dimasukkan dalam botol-botol kecil dan diberi label.
"Satu antarkan pada Tuan Puteri," dengan titah terakhirnya, ia mengajak putrinya keluar dari ruangan itu.
”Kau tenang saja, Dyah. Menjadi Ratu kan tidak sulit. Lagipula, kau kan sudah biasa mengelola orang banyak, mengetahui manajemen sebuah kerajaan. Dari kecil kau sudah terbiasa, jadi Ratu kan hanya sebutan saja.”
”Tapi bagaimana kalau aku harus berperang? Aku kan hanya belajar sedikit ilmu perang dari Ki Seta?”
Ayahnya tertawa, ”Siapa bilang jadi Ratu berarti siap untuk perang? Lagipula negara kita tak akan ada yang memerangi, kita punya Traktat.”
Avis misuh-misuh. Ayah tertawa. ”Ayo, kita makan saja sekarang. Bilang sama Bibi Kepala Dapur, biar siapkan makanan sekarang. Oya, ayah pengen makan cobek ikan, bilang sama Bibi untuk panggangkan ikannya, dan kamu bikin bumbunya. Jangan Bibi yang bikin, kurang kerasa kencurnya.”
”Oke, Ayah tersayang!”
Ayah masih melanjutkan tertawa saat Avis melangkah ke dapur kerajaan. Dan di sela tawanya ia mendesah, ”Alangkah senangnya kalau ibumu masih ada ...”
”Avis!”
Avis berguling sekali, dan ia masih merasa sedang melangkah ke dapur untuk membuat ikan cobek, sehingga ia mengabaikan panggilan itu. Tapi kemudian ia terkejut, namanya? Tadinya ia dipanggil ’Tuan Puteri’ kok sekarang jadi ’Avis’?
Ia terperanjat, dan panggilan itu terdengar lagi.
”Avis, bangun. Kamu kesiangan nanti, udah siang nih!”
Mami!
Avis langsung saja bangun dan membuka pintu, ”Mami! Aduh, kesiangan nih, jam berapa sekarang?”
Mami tertawa, ”Baru jam enam, tapi kamu kan pesen pengen dibangunin pagi-pagi. Hayo, cepet mandi sana!”
Avis menggosok matanya, ”Duh, kirain udah kesiangan. Mana mau presentasi lagi.”
Mami terkekeh. ”Udah, sana mandi. Mau bubur ayam nggak? Bentar lagi mang Udin lewat.”
“Mau! Beliin ya, Mam, kalau Avis lagi di kamar mandi. Trus, Aa mana?”
”Aa mah dari tadi subuh udah pergi, kan hari ini ada inspeksi di lokasi,” Mami berjalan ke ruang tamu untuk membuka pintu depan, bersih-bersih di depan, mumpung hari masih pagi dan udara masih segar.
Untung hari ini berlalu dengan menyenangkan. Bisa dibilang sehari ini Avis melupakan mimpinya. Masuk kelas dan presentasi dengan lancar, dan selesai itu ia ke kantin menunggu jam kuliah berikutnya. Tadi ia cuma makan bubur, sekarang sudah lapar lagi, dipesannya semangkok mi ayam.
Begitu duduk dan menyimpan tasnya di kursi, mangkoknya di meja, ada orang lain menaruh mangkok makanan di depannya.
”Boleh duduk di sini?” wajahnya polos dan penuh pengharapan.
Yudha. Avis tersenyum, ”Boleh. Asal hati-hati kalau makan deket burung.”
Yudha tertawa. Mereka duduk dan mulai menikmati makanannya. Belum dua-tiga suap, ada lagi yang menyimpan piring di sampingnya.
“Hayo, sekarang udah lupa sama teman lama!”
”Alen! Tadi berangkat pagi? Kukira nggak, tau gitu sih disamper. Buru-buru sih tadi pagi, takut terlambat mau presentasi.”
Alen tertawa renyah, ”Ya, nggak apa-apa. Ini siapa, nggak dikenalin?”
Avis tersipu, ”Ini Yudha, Planologi, ini Alen, Manajemen, tuh udah dikenalin kan?”
Mereka bersalaman. ”Ini benar-benar satu universitas, ya, kita datang dari jurusan yang berbeda,” sahut Yudha.
Alen melirik Avis, ”Ini peserta ya?”
Avis bingung.
”Peserta yang di Papan Pengumuman.”
Yudha tertawa. ”Iya. Bukan peserta sih, tepatnya korban.”
Avis merasa wajahnya memerah. ”Hus. Nah, Yudha, yang sebenarnya pasang pengumuman itu, makhluk ini!” katanya sambil menunjuk Alen, ”Iseng banget dia,” lanjutnya sambil bersungut-sungut dan meneruskan menghabiskan mi ayamnya.
~0~0~0~0~0~0
Word Count: 1.785
Akumulasi: 13.466
Target: 13.337
Besok aja deh dirapiin. Juga yang hari kemarin :P
~0~0~0~0~0~0
Gelisah ia, dan merasa ia tersedot ke alam lain, ke dunia lain.
Ia sekarang berada di sebuah ruangan mewah, dengan suasana yang sama sekali lain dengan yang biasa. Ia merasa bahwa kesemua ini adalah miliknya, atau paling tidak adalah milik keluarganya, dan bahwa ia mempunyai tanggung jawab atas apa yang ia lihat.
Seorang tua berpakaian putih dengan rambut putin panjang, janggut putih panjang, dan membawa tongkat panjang memasuki ruangan.
”Daulat, Tuan Puteri, sudah siapkah?”
Ia mengangguk otomatis. Dalam keheranannya, segala apa yang ia lakukan berjalan otomatis, tidak nampak seperti ia harus berpikir dulu apakah yang harus ia lakukan.
Ia berdiri dan mengikuti orang tua ini. Rasanya ... ia pernah bertemu dengannya. Avis mendadak ingat, dulu ia pernah bermimpi seperti ini. Dan orang tua itu ada di ... pertambangan. Ya, benar, mimpi tentang pertambangan itu.
Dan segalanya menjadi jelas. Ia menjadi Tuan Puteri dari negara entah-apa namanya ini, dulu ia masih berumur sekitar tiga-empat belas, dan sekarang tentulah ia berusia dua puluh lima?
”Ki Seta,” ia merasa dirinya berkata, ”apakah ada laporan tentang perkebunan ini, yang tidak biasanya?”
”Tidak, Tuan Puteri. Semua berjalan seperti biasanya.” Ia menjejeri langkah Avis, er ... Tuan Puteri, dan menapaki jalan setapak yang rapi dan bersih di sekeliling istana, terus menuju jalan umum.
Namanya Tuan Puteri, tapi ia tidak diiringi dayang-dayang atau pengawal, pikir Avis, seperti bebas saja puteri ini berjalan-jalan ke mana ia suka. Orang bertemu dengannya, mengangguk memberi hormat, tersenyum, atau sekedar bersapa seperti bertemu dengan sesamanya saja. Mungkin negaranya kecil, pikir Avis, dan ia tidak memerlukan semua tatacara protokoler itu. Mungkin negaranya kecil sehingga tidak banyak tersedia orang untuk menjadi pelayan atau dayang-dayang untuk semua basa-basi itu. Ia berpikir tentang Nepal, negara kecil dengan ratu yang bersahaja, yang ia baca dalam fiksi Setangkai Edelweiss-nya Marga T. Mungkin seperti itu?
Sebentar berjalan ia bisa melihat sekarang ia ada di daerah dengan kehijauan yang merata, upluk-aplak, sejauh mata memandang. Ia dan Ki Seta masih berjalan, belum membelok ke salah satu kebun yang ada. Kebun tanaman palawija, terkanya, dan sesaat kemudian, ia mengubah pandangannya, kebun tanaman rempah. Ada tanaman kunyit, ia sudah biasa melihat tanamannya karena Mami menanamnya, selain untuk diambil umbinya, juga untuk diambil daunnya kalau Mami mau memasak masakan Padang. Ada tanaman lengkuas, jahe, dan beragam umbi-umbian rempah lainnya yang ia tidak hapal. Ah, ya, itu ada tanaman serai, ia hapal daunnya yang seperti rumput. Dan entah apa lagi tanaman yang ada di sini. Begitu banyak jenisnya.
Mereka kemudian membelok ke salah satu kebun. Ternyata kebun ini adalah kebun utama, darinya ia bisa masuk ke kebun-kebun lainnya. Banyak pekerja yang sedang merawat tanaman, ada juga yang sedang membersihkan tanah kosong, rupanya sedang dipersiapkan untuk tanaman jenis lain.
Selain pekerja, ada banyak anak-anak yang sepertinya sedang mempelajari tanaman-tanaman itu. Avis tertarik dan mendekati mereka.
”Tuan Puteri,” sahut mereka berbarengan sambil menghormat. Anak-anak yang lucu, pikir Avis, sambil mengangguk pada mereka.
”Sedang mempelajari apa sekarang?” tanyanya pada salah satu dari mereka.
”Umbi temulawak, Yang Mulia,” sahut yang agak besar. Sepertinya dia ketua kelasnya.
“Coba kau jelaskan, apa yang sudah kau dapatkan dari Tetua Andini tentang temulawak,” tanya Avis lagi.
Dengan lancar anak itu menjelaskan cara membedakan umbi temulawak dengan umbi lainnya, bagaimana menanamnya, bagaimana merawatnya agar tidak kena penyakit, apa khasiatnya, umbi yangsebesar apa yang mengandung khasiat terbaik, dan seterusnya. Avis mengangguk-angguk, menepuk pundak anak itu memberi penghargaan.
Lalu ia berpindah pada para pekerja, ditanyanya mereka tentang pekerjaan mereka, tentang penghasilan mereka, fasilitas yang mereka dapatkan, dan sebagainya.
Ki Seta hanya diam saja dan mengikutinya ke mana ia pergi. Setelah puas, Avis lalu mendekati seorang pekerja dan meminta ia membantunya mengumpulkan tanaman yang ia butuhkan hari ini.
Matahari sudah semakin tinggi ketika Avis kembali ke istana. Keranjangnya penuh dengan dedaunan, umbi-umbian dan bagian tumbuhan yang lain yang ia perlukan. Ki Seta kemudian berpamitan, setelah membuat janji besok akan ke Pertambanngan. Membalas sapaan para pengawal dan dayang yang berpapasan dengannya, ia langsung menuju ruang bawah tanah.
Langkahnya terhenti oleh sebuah suara halus, "Tuan Puteri, tidak makan dulu?" Seorang wanita setengah baya dengan pakaian putih panjang menegurnya.
Avis tersenyum, menghampiri wanita itu dan memeluknya, "Nanti saja, Nini Saroja. Aku belum lapar. Aku mau melihat ramuan baru yang dibuat ayah," Avis bergegas menuruni tangga ke ruang bawah tanah.
Wanita itu menggeleng sambil tersenyum melihat kelakuannya.
Avis menyusuri lorong bawah tanah dan berhenti di salah satu pintu, mengetuknya. Tanpa menunggu jawaban dari dalam, ia mendorong pintu itu hingga terbuka.
Di dalam ada seorang pria setengah baya. Dan ketika pria itu berbalik, jantung Avis serasa terhenti. Papi! Rupanya persis seperti Papi. Tapi cepat ditepiskan pikirannya. Ia kembali memperhatikan ’ayahnya’ ini. Usianya tidak menghalanginya untuk bergerak lincah dari satu tabung kaca ke tabung kaca lain, mengamati isinya. Di sudut ada tungku dengan api yang berkobar. Sebuah kuali tanah liat di atasnya, isinya yang menggelegak menguarkan uap panas, sedang diaduk oleh seorang abdi tua, jangkung dan kurus.
"Ayah," panggil Avis perlahan.
Laki-laki gemuk itu menoleh, tersenyum melihat siapa yang datang.
"Ah, Dyah. Sudah selesai mengontrol kebun?" tangannya terkembang menyongsong putrinya dalam pelukan.
"Sudah, ayah. Anak-anak kelas 2 sedang belajar temulawak," Avis balas memeluk ayahnya, mengecup kedua pipinya. Si abdi tersenyum dari kejauhan menyaksikan adegan itu.
"Kelas 2, .. hmm .. Ayu?"
"Iya, ayah. Ibu Ayu yang memimpin mereka," Avis melepas pelukannya, meletakkan keranjang yang dibawanya di depan si ayah, "rasanya aku juga ingin seperti dia. Mengajar anak-anak membiakkan tumbuhan, mengenalkan mereka pada dunia ramuan .." Avis duduk sambil matanya menerawang jauh.
"Kau masih ingin jadi guru?"
Tanpa suara Avis mengangguk.
"Boleh saja. Untuk sementara waktu. Tetapi kau harus selalu ingat tugas utamamu," sang ayah bergerak ke arah kuali dan memeriksa isinya.
Avis mengeluh, "Kenapa harus aku, sih. Ayah, kenapa negeri kita tidak sama dengan negeri-negeri lain? Di mana-mana kerajaan diwariskan pada Putra Mahkota. Anak laki-laki, urutan keberapapun dia dalam kelahiran. Negeri kita kok lain sendiri?"
Sang ayah tersenyum, "Kakek-nenek moyang kita menyadari bahwa perempuanpun bisa memimpin sebaik laki-laki. Karenanya Undang-Undang negeri kita mensyaratkan anak pertama dari Raja atau Ratu berkuasa yang mewarisi tampuk pemerintahan, tak peduli anak perempuan atau laki-laki. Dan kau kan anak satu-satunya, jadi harus kau yang menggantikan ayah.”
”Kenapa tidak sepupu-sepupuku saja, kan mereka laki-laki, dan banyak yang cukup cakap untuk menjadi Putera Mahkota?”
Raja menggeleng, "Kecuali kau menikah dengan seorang raja, dan suamimu itu memboyongmu ke negerinya, kau akan tetap menjadi Puteri Mahkota. Titik. End of discussion. Nah, sekarang," sang raja menyendok cairan menggelegak dari kualinya, "tidakkah kau ingin tahu ramuan ayah yang baru?"
Avis teralih perhatiannya, "Iya, ayah. Bagaimana kemajuannya?"
Mata sang ayah berbinar melihat antusiasme di mata putrinya, "Ramuan ini bisa mempecepat penyembuhan luka. Menghentikan pendarahan, dan merangsang tumbuhnya sel-sel baru," berkata demikian sang ayah seraya menuangkan cairan dari kuali pada sebuah tabung kaca sehingga jelas terlihat warna keunguannya.
"Ambilkan Buku Sumber," titahnya pada si abdi. Laki-laki kurus itu membungkuk memberi hormat, lalu berjalan menuju lemari besar di ujung terjauh ruangan. Dibawanya sebuah buku bersampul kulit yang luarbiasa besar dan tebal. Dengan khidmat diletakkannya di depan sang Raja. Ia kemudiaan juga mengambilkan pena bulu dan botol tinta.
Sang Raja menggosokkan kedua telapak tangannya, lalu mulai menulis. Buku Sumber, sebagaimana dinamakan, adalah sumber dari segala ramuan yang dipelajari, diteliti, dan ditemukan di negeri itu. Isinya, dikutip dan disalin berulang-ulang untuk keperluan pengajaran maupun referensi para tabib, bukan hanya ramuan obat. Ramuan racunpun ada. Hanya saja bagian ini ditulis secara rahasia, dan secara magis hanya bisa dilihat oleh Raja atau Ratu dengan mantra tertentu. Mantra yang diturunkan bersamaan dengan penobatan Raja atau Ratu baru, diberikan berbarengan dengan Mahkota dan Tongkat Pusaka.
"Nah," sahutnya puas, lalu memberi isyarat pada sang abdi agar mengembalikan lagi Buku itu ke tempatnya. Lalu ia juga menitahkan agar ramuan itu dimasukkan dalam botol-botol kecil dan diberi label.
"Satu antarkan pada Tuan Puteri," dengan titah terakhirnya, ia mengajak putrinya keluar dari ruangan itu.
”Kau tenang saja, Dyah. Menjadi Ratu kan tidak sulit. Lagipula, kau kan sudah biasa mengelola orang banyak, mengetahui manajemen sebuah kerajaan. Dari kecil kau sudah terbiasa, jadi Ratu kan hanya sebutan saja.”
”Tapi bagaimana kalau aku harus berperang? Aku kan hanya belajar sedikit ilmu perang dari Ki Seta?”
Ayahnya tertawa, ”Siapa bilang jadi Ratu berarti siap untuk perang? Lagipula negara kita tak akan ada yang memerangi, kita punya Traktat.”
Avis misuh-misuh. Ayah tertawa. ”Ayo, kita makan saja sekarang. Bilang sama Bibi Kepala Dapur, biar siapkan makanan sekarang. Oya, ayah pengen makan cobek ikan, bilang sama Bibi untuk panggangkan ikannya, dan kamu bikin bumbunya. Jangan Bibi yang bikin, kurang kerasa kencurnya.”
”Oke, Ayah tersayang!”
Ayah masih melanjutkan tertawa saat Avis melangkah ke dapur kerajaan. Dan di sela tawanya ia mendesah, ”Alangkah senangnya kalau ibumu masih ada ...”
”Avis!”
Avis berguling sekali, dan ia masih merasa sedang melangkah ke dapur untuk membuat ikan cobek, sehingga ia mengabaikan panggilan itu. Tapi kemudian ia terkejut, namanya? Tadinya ia dipanggil ’Tuan Puteri’ kok sekarang jadi ’Avis’?
Ia terperanjat, dan panggilan itu terdengar lagi.
”Avis, bangun. Kamu kesiangan nanti, udah siang nih!”
Mami!
Avis langsung saja bangun dan membuka pintu, ”Mami! Aduh, kesiangan nih, jam berapa sekarang?”
Mami tertawa, ”Baru jam enam, tapi kamu kan pesen pengen dibangunin pagi-pagi. Hayo, cepet mandi sana!”
Avis menggosok matanya, ”Duh, kirain udah kesiangan. Mana mau presentasi lagi.”
Mami terkekeh. ”Udah, sana mandi. Mau bubur ayam nggak? Bentar lagi mang Udin lewat.”
“Mau! Beliin ya, Mam, kalau Avis lagi di kamar mandi. Trus, Aa mana?”
”Aa mah dari tadi subuh udah pergi, kan hari ini ada inspeksi di lokasi,” Mami berjalan ke ruang tamu untuk membuka pintu depan, bersih-bersih di depan, mumpung hari masih pagi dan udara masih segar.
Untung hari ini berlalu dengan menyenangkan. Bisa dibilang sehari ini Avis melupakan mimpinya. Masuk kelas dan presentasi dengan lancar, dan selesai itu ia ke kantin menunggu jam kuliah berikutnya. Tadi ia cuma makan bubur, sekarang sudah lapar lagi, dipesannya semangkok mi ayam.
Begitu duduk dan menyimpan tasnya di kursi, mangkoknya di meja, ada orang lain menaruh mangkok makanan di depannya.
”Boleh duduk di sini?” wajahnya polos dan penuh pengharapan.
Yudha. Avis tersenyum, ”Boleh. Asal hati-hati kalau makan deket burung.”
Yudha tertawa. Mereka duduk dan mulai menikmati makanannya. Belum dua-tiga suap, ada lagi yang menyimpan piring di sampingnya.
“Hayo, sekarang udah lupa sama teman lama!”
”Alen! Tadi berangkat pagi? Kukira nggak, tau gitu sih disamper. Buru-buru sih tadi pagi, takut terlambat mau presentasi.”
Alen tertawa renyah, ”Ya, nggak apa-apa. Ini siapa, nggak dikenalin?”
Avis tersipu, ”Ini Yudha, Planologi, ini Alen, Manajemen, tuh udah dikenalin kan?”
Mereka bersalaman. ”Ini benar-benar satu universitas, ya, kita datang dari jurusan yang berbeda,” sahut Yudha.
Alen melirik Avis, ”Ini peserta ya?”
Avis bingung.
”Peserta yang di Papan Pengumuman.”
Yudha tertawa. ”Iya. Bukan peserta sih, tepatnya korban.”
Avis merasa wajahnya memerah. ”Hus. Nah, Yudha, yang sebenarnya pasang pengumuman itu, makhluk ini!” katanya sambil menunjuk Alen, ”Iseng banget dia,” lanjutnya sambil bersungut-sungut dan meneruskan menghabiskan mi ayamnya.
~0~0~0~0~0~0
Word Count: 1.785
Akumulasi: 13.466
Target: 13.337
0 Comments:
Post a Comment
<< Home