My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Thursday, November 15, 2007

Hari Kelimabelas

Avis bagai bernyanyi ketika mereka kembali dari Rumah Besar. Ardi dan Alia hanya saling pandang lalu tertawa tertahan melihat tingkah laku si Ade.

Setelah sampai di rumah, sampai di kamar masing-masing, Ardi berkata bahwa dia harus kembali ke Rumah Besar. Ada suatu masalah di salah satu sektor perkebunan.

”Jangan khawatir, nggak akan lama kok,” katanya.

”Nggak apa-apa. Lagian kan Aa bilang di sini aman,” sahut teh Alia.

”Iya. Nggak apa-apa, lagian Avis mau langsung tidur saja. Besok kan harus bangun pagi-pagi. Mau liat elang, mau liat elang!” senandungnya tak peduli ditertawakan kakak dan kakak iparnya. Ia masuk kamar. Ganti piama dan bersiap untuk tidur. Tapi … ada sesuatu yang dilupakannya, dan ia yakin ia tidak membawanya. Ah, mungkin teh Alia bawa.

Ia keluar kamar dan mengetuk pintu kamar kakaknya, “Teh … Teteh, masih bangun?”

Alia membuka pintu kamar, “Masih bangun atuh, Avis. Baru juga mau ganti baju. Tapi kaya’nya resletingnya macet,” Alia membalik dan memperlihatkan bagian belakang. Memang. Resletingnya nyangkut, jalannya miring dan jadinya melindas sebagian kain.

“Sini Avis bantuin,” ia mengikuti Alia yang duduk di sisi ranjang. Dengan hati-hati dimajukan lagi resleting itu pelan-pelan sambil mengeluarkan kain yang tertindas. Ah, akhirnya bebas semua. ”Udah tuh, Teh,” lapornya.

Alia menarik resletingnya sekali jadi. ”Fiuh! Lancar sekarang mah,” ujarnya lega.

Baru Avis teringat untuk apa ia ke sini. ”Teh, punya lotion anti nyamuk nggak?” tanyanya.

”Enggak. Lagian buat apa?” dimasukkannya daster dari atas kepala, menyusul dibukanya blus yang resletingnya macet tadi dari bawah, ”kalau di daerah dingin kaya’ begini sih nggak bakal ada nyamuk!”

”Eh. Iya ya?” Avis menyadari kebodohannya, ”Udah ah, Avis mau bobo. Selamat menunggu Aa, ya Teh!” katanya berdiri, berbalik untuk berjalan ke pintu, ketika dalam waktu sepersekian detik terlihat olehnya sebuah patung yang ia yakin patung itu adalah yang ia lihat waktu di Bandung, di kamar Mami malam-malam itu.

Patung seorang petani.

”Ah, teteh sih nggak akan nunggu Aa. Udah ngantuk,” senyum teh Alia padanya.

”Hehe, iya deh,” Avis memaksakan diri konsentrasi pada percakapan, bukan pada patung petani itu. ”Ya udah. Met bobo ya, Teh,” ia keluar. Teh Alia tersenyum lalu menutup pintu.
Seperti orang linglung Avis masuk ke kamarnya, menutup pintu dan merebahkan diri di kasur. Memejamkan mata.

”Tuan Puteri, Anda boleh saja bersedih. Tapi hamba meminta, Anda tetap melaksanakan tugas.” Suara itu rasanya ia kenal. Avis membuka matanya.

Dia tidak sedang berbaring di kamar di Hambalang, tidak memakai piama coklat muda yang bergambar burung mengembangkan sayap. Dia sedang berdiri di samping persemayaman seseorang, seseorang yang ia sangat sayangi, ayahnya. Dan suasana sedih merasuk sampai ke sudut hati terdalam.

Ayahnya seperti sedang tidur saja, tapi warna wajahnya yang ebrsemurat kelabu mengatakan hal lain. Ia sudah tiada, ia bukan sedang tidur. Avis ... Tuan Puteri Dyah Sekar mengulurkan tangannya, perlahan meraba wajah itu. Dingin. Kaku. Sudah tidak ada kehidupan lagi di situ.

Tapi wajahnya tersenyum. Menyiratkan kedamaian, kebahagiaan. Persis seperti ... Papi. Sekilas ia menjadi Avis, mengusap yang menetes bergulir ke pipinya. Tapi sekilas kemudian ia sudah kembali menjadi Dyah. Ya, Ki Seta benar, ia harus kuat. Ia harus kokoh karena ia akan menjadi tumpuan orang senegara, ia harus menajdi tauladan untuk semua.

Ia berbalik pada Ki Seta, ”Mari kita laksanakan,” sahutnya lirih.

Pagi hari itu benar-benar cerah. Langit biru tak berawan. Namun tak ada waktu untuk menikmati cuaca.

Dyah Sekar masuk ke ruang duka dengan pakaian kelabu muda, nyaris putih. Dari jauh kelihatannya seperti bercahaya. Ruangan juga penuh dengan orang, yang punya jabatan di istana mengenakan pakaian kelabu juga, sedangkan para istri atau suaminya mengenakan pakaian putih. Semuanya diam tak bicara.

Para pengawal sigap mendekati peti jenazah, mengangkatnya, lalu dengan langkah tegap mengusung peti itu memasuki kereta jenazah. Delapan ekor kuda pilihan telah siap menarik kereta itu. Di depan sekali seekor kuda dengan pelana kelabu keperakan menanti. Dengan sekali gerak yang gesit, Dyah menaiki kudanya. Seorang bentara mendampinginya membawa panji-panji negara.

Rombongan bergerak perlahan hampir tanpa suara. Di belakang kereta jenazah, semua unsur kerajaan mengiringi dengan berjalan kaki. Penduduk memadati kedua sisi jalan raya sepanjang perjalanan. Bukan hanya dari ibukota, tapi juga dari seluruh penjuru negara. Bahkan juga mungkin dari negara-negara tetangganya. Mereka mengikuti prosesi dengan khidmat. Tak jarang terdengar isak tangis di sela-sela keheningan.

Pendengaran Dyah kali ini menangkap percakapan penduduk setempat. Suara seorang anak perempuan kecil.
"Mereka mau ke mana, mbok?"

”Ke Melatigiri, nduk. Liat baik-baik, ini tidak akan terjadi lagi dalam beberapa puluh tahun hidupmu, nduk,” sahut perempuan tua di sisinya, nampak lebih seperti neneknya daripada ibunya.

”Jadi raja-raja kerajaan Sumekar dimakamkan di sana?” anak kecil itu bertanya lagi.

”Iya, nduk. Raja, ratu, pangeran atau putri, dan kerabat terdekat. Yang dimakamkan di sana berarti mendapat kehormatan untuk berdekatan dengan pendiri negara kita, nduk.”

Dyah tersenyum kecil mendengarnya. Upaya menanamkan kecintaan dari kecil, pikirnya. Ia meneruskan perjalanan, kudanya sudah terlatih untuk berjalan lambat di upacara-upacara seperti ini.

Rombongan maju lebih lambat lagi, karena mereka mulai mendaki

Hampir di puncak bukit, telah didirikan suatu bangunan beratap tak berdinding. Di sini telah menunggu para perwakilan dari negara-negara tetangga. Sumekar hanyalah negara kecil, jarang ada raja atau ratu yang pergi sendiri atas segala peristiwa di negara itu.

Mereka semua berdiri ketika rombongan mulai menginjakkan kaki di bukit itu.

Seorang prajurit meniup terompet dengan nada panjang memilukan. Menyusul seseorang berseragam membacakan silsilah raja-raja mulai dari pendiri Sumekar hingga sampai pada raja terakhir.

"Dan kini, Dyah Sekar putri Subita-sulaksana, keturunan ke sembilan belas dari Sumekar, akan meneruskan tampuk kepemimpinan Sumekar...”

Dyah maju mendekati liang lahat. Para pengusung peti jenazah mendekati kereta, dengan sigap mengangkat peti dan mengusungnya mendekati liang lahat. Peti berganti tangan kini para pengawal yang lain di dalam lubang yang menerima peti dan meletakkannya dengan hati-hati di dasar lubang.

Dyah berlutut di sisi liang lahat. Dan mengucap janjinya. ”Dyah Sekar, putra Subita-sulaksana, menyatakan kesetiaan pada Sumekar. Setiap tetes darah, tiap gerak dan ucap, dipersembahkan untuk Sumekar.”

Ada gaung agung terasa mengiringi setiap patah kata yang ia ucapkan, entah kenapa.

Suara terompet, dentuman meriam, dan rentak teratur tombak yang diketuk-ketukan ke tanah oleh sepasukan prajurit mengiringi ditutupnya peti jenazah dengan tanah, kembali ke dalam pelukan Ibu Pertiwi.

Hujan rintik-rintik membasahi bumi Sumekar ketika jenazah masuk ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Hari-hari dalam minggu ini rasanya membuat Dyah sangat lelah. Menemukan ayah sudah meninggal dengan damai di peraduannya membuat ia kaget. Rasanya ayah tidak mengidap penyakit apapun yang bisa membuat malaikat maut menjemputnya tiba-tiba saat ini. Tapi apapun alasannya, Takdir sudah berbicara.

Menyusul persiapan pemakaman, upacara pemakamannya sendiri, dan setelahnya ia harus menerima ucapan belasungkawa dari hampir segala kalangan, perwakilan-perwakilan negeri-negeri asing, pejabat-pejabat negerinya sendiri, Penyihir-Penyihir Agung ataupun penyihir biasa, Tabib-tabib dari manca negara maupun lokal, Perajin Permata manca negara maupun lokal, dan entah siapa lagi, dan terakhir ia juga masih harus menerima ucapan belasungkawa dari rakyatnya.

Ya, rakyatnya. Untuk merekalah ia akan mulai memerintah. Mulai bekerja. Bukan untuk para perwakilan negara asing, bukan untuk para bangsawan, bukan untuk pejabat, bukan untuk Penyihir Agung. Tapi untuk mereka yang bekerja di Pertambangan, untuk mereka yang bekerja di Kriya, untuk mereka yang bekerja di Perkebunan.

Ia harus bisa. Ia akan bisa.

Ki Seta masuk dan memberi hormat. Dari sekian banyak Penyihir Agung, Ki Sea terpilih menjadi penasihatnya. Tanpa ada rasa iri atau dengki.

”Tuan Puteri,” tegurnya halus. Tongkat panjangnya di sampirkan di sisi.

”Ki Seta,” sahutnya pelan, ”Walau aku sudah tahu sebagian tenang seluk-beluk pemerintahan, mungkin kau akan memberitahu lagi apa yang belum kutahu? Misalnya, tentang Traktat, bagaimanakah itu bisa terbentuk?” tanyanya.

”Daulat, Tuan Puteri. Hamba akan coba jelaskan,” ia mendekati salah satu peti penyimpanan keemasan, yang terbesar dan termewah kelihatannya. Matanya dipejamkan, dan ia membisikkan kata-kata, sepertinya mantra, yang panjang sekali.

Peti itu terbuka. Ki Seta mengeluarkan sebuah gulungan lontar berlapis tretesan emas. Dibawanya dekat meja kerja dan dibukanya gulungan. Isinya tulisan dari tretesan emas juga.

”Layang Kamasan ini ditandatangani oleh delapan raja-raja dari negara di sekeliling negara kita. Isinya adalah, mereka bersepakat tidak akan menyerang negara kita dalam bentuk apapun, kapanpun, sendiri-sendiri ataupun bersama-sama.”

”Hm. Dan mengapa, Ki Seta?”

”Hamba pikir Anda sudah mengetahuinya, Tuan Puteri?”

”Kau bacakan sekali lagi, Ki Seta.”

Ki Seta membacakan isi Layang Kamasan itu. Menurut surat itu, berabad-abad lalu telah terjadi wabah yang merenggut nyawa puluhan ribu dari masing-masing negara, kecuali negara Sumekar. Ternyata negara Sumekar punya ramuan yang bisa mengobatinya. Tabib-tabibnya kemudian disebar ke delapan negara untuk mengobati penduduk. Dan tabib-tabib dari seluruh negara kemudian berguru di negara Sumekar.

Ramuan diajarkan, bahan-bahannya dibagikan. Diberi tahu tumbuhan dan batuan apa saja bahannya, bagaimana menanamnya, bagaimana memetiknya, bagaimana mengolahnya. Dan wabah itu berhenti. Dan negara-negara itu berterimakasih pada negara Sumekar. Terutama beberapa negara besar yang anggota kerajaannya terkena wabah itu. Terutama negara Mahesa, yang tidak kurang tidak lebih, rajanya sendiri yang terkena, dan sembuh.

Karenanya kedelapan negara yang mendapat bantuan kemudian bersepakat untuk tidak akan pernah menyerang, mengakusisi, mengambil alih sebagai negara satelit, ataupun bentuk lain apapun terhadap negara Sumekar. Apapun.

”Begitu isi Layang Kamasan, Tuan Puteri.”

Dyah mengangguk. ”Karena itulah negara kita tidak pernah diserang negara lain?”

”Tidak,” Ki Seta mendekati peta yang tergantung di dinding. ”Kedelapan negara itu sekarang sudah berubah posisi, hanya ada enam negara. Dua negara,” Ki Seta menunjuk daerah-daerah tertentu, ”sudah menjadi bagian dari negara lain. Negara Kamarta sudah diserang oleh negara Ashina, dan negara Umai sudah diakuisisi menjadi bagian negara Sura.”

”Itukah,” Dyah hati-hati bertanya, ”mengapa negara kita tidak punya tentara?”

Ki Seta mengangguk. ”Negara kita tidak punya tentara. Kita hanya punya Bala Keamanan. Fungsinya hanya bila ada keributan, perkelahian, pencurian, dan sejenisnya. Hanya untuk menjaga tertib penduduk. Untuk menjadi yang punya wewenang bila ada pertikaian.”

”Benar-benar tidak punya tentara?”

“Yah, kalau bisa disebut sih, ada. Setiap anak yang sudah berumur enambelas tahun, dan akan masuk ke dalam daftar kerja bakti sekali setiap bulan, akan diberi latihan ketentaraan. Mereka masuk ke dalam Bala Cadangan. Tidak memandang apakah laki-laki ataukah perempuan. Tapi ... bila dibandingkan dengan latihan ketentaraan di negara-negara lain ... kalah jauh. Hanya untuk pengenalan saja. Lalu mereka yang menyukainya, bisa mendaftar untuk melanjutkan ke Bala Keamanan.”

Terdengar ketukan di pintu.

”Masuk,” sahut Dyah pendek.

Pintu terbuka dan Nini Saroja masuk.

”Daulat Tuan Puteri, apakah tidak lebih baik kalau Anda makan dulu? Sudah lewat waktu makan siang,” sahutnya sambil menyembah. Nini Saroja ini sudah mengabdi dua raja dan satu ratu, dan kini akan mengabdi pada satu ratu lagi. Nampaknya.

”Bawa ke sini saja, Nini. Sekalian bawa untuk Ki Seta. Aku tidak ingin membuang-buang waktu untuk mengenali negaraku.”

”Baiklah, Tuan Puteri,” Nini Saroja menyembah lagi dan mundur. Pintu tertutup.

”Apakah memang harus bergegas-gegas, Tuan Puteri?”

“Entahlah. Aku merasa, selama ini terlalu membuang waktu, tidak ingin mengenali negaraku, tata negaranya, sejarahnya. Yang aku lakukan hanya mengunjungi Pertambangan, mengunjungi Kriya, mengunjungi Perkebunan, mengunjungi Penyehat ... Tidak ada rasa ingin mempelajari tata negara, tidak suka menggunakan tata cara istiadat. Aku merasa aku ingin ayah terus hidup sehingga aku tidak usah memikul tanggungjawab begini ...”

”Yang Anda lakukan juga upaya untuk mengenali negara,” sahut Ki Seta pelan, diplomatis. ”Dengan mengunjungi mereka secara berkala, rakyat menjadi dekat pada Anda. Persis seperti Ayah Anda, sama dengan Kakek Anda, bahkan dengan leluhur-leluhur Anda yang lain. Semua menjadi raja atau ratu yang dekat pada rakyat.”

“Dekat pada rakyat, mungkin saja karena negara ini kecil, Ki Seta. Mungkin lain lagi halnya kalau aku menjadi penguasa negara Soron,” Dyah menghela napas.

Ki Seta tidak menjawab untuk beberapa saat. Kemudian ia berkata hati-hati, ”Kalaupun negara ini besar, kita bisa membuka pisowanan, mengumpulkan rakyat untuk mengeluhkan masalah mereka, setiap hari tertentu. Lalu, Tuan Puteri juga bisa menyamar dan turun ke daerah-daerah. Tentunya masih banyak lagi cara untuk mengenali daerah dan rakyat, Tuan Puteri.”

Dyah tersenyum. ”Untung negaraku kecil, Ki Seta! Dan rakyatku kukenal,” sahutnya renyah. Ki Seta juga tersenyum.

”Tuan Puteri, bagaimana kalau kita melihat tata cara istiadat untuk pemahkotaan minggu depan? Kukira pelajaran tentang sejarah, tata negara, dan sebagainya, bisa ditunda sampai selesai pelantikan,” usul Ki Seta.

”Yah, baiklah. Terus terang aku takut jika membicarakan pemahkotaan. Tapi ... takut tidak akan menolong. Aku harus menghadapinya. Minggu depan ya, hanya tujuh hari lagi ...” matanya menerawang. ”Baiklah,” kemudian sahutnya.

”Kita mulai dengan mahkota. Mahkota ini terbuat dari ...”

Ketukan lagi di pintu. Nini Saroja muncul dengan dua dayang-dayang di belakangnya.

“Bagaimana kalau kita mulai dengan makanan dulu, Ki Seta, jangan mulai dengan mahkota? Dengan perut terisi akan lebih lancar memberi pelajarannya,” sahutnya tersenyum.

Dyah mau tidak mau tersenyum. ”Baik, Nini. Kami akan segera mengisi perut, Nini,” katanya sambil berjalan ke arah meja kerjanya.

Terdengar keras bunyi yang sangat dikenalnya, bertuit-tuit. Seperti dikenal oleh Dyah. Bukan, bukan Dyah, tapi dikenal oleh Avis.

Avis menggeliat dan mencoba untuk sadar. Ia di mana? Bunyi apa sih itu?

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ya, itu bunyi alarm ponselnya! Tangannya meraih ke meja kecil di sisi tempat tidur, dan mematikannya tanpa melihat. Dia sudah hapal letak tombolnya.

Jadi sekarang sudah jam empat. Dia harus bersiap-siap untuk melihat elang.

Setengah sadar ia berjalan ke kamar mandi.

Mimpi yang aneh!

~0~0~0~0~0~0

Wordcount: 2.120
Akumulasi: 25.148 (MS Word) 25.127 (NaNo Validator)
Target: 25.000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home