Hari Keempatbelas
Sebenarnya ini belum selesai. Ambu masih mau nulis lagi. Tapi kaya'nya takut nggak ada kesempatan lagi buat masukin ke web hari ini :P besok paling bisanya. Jadi, seadanya aja lah!
~0~0~0~0~0~0
Mobil yang tadi berjalan di jalan mulus beraspal, kini berbelok ke jalan tanah. Jalannya rata sih, dan cukup lebar, tapi kalau hujan, kalau hujan gerimis akan licin sekali, dan kalau hujannya deras akan berlumpur.
Jalan masih terus seperti itu selama beberapa ratus meter, kemudian mereka berbelok lagi ke jalan yang lebih kecil. Selama itu, di samping kanan kiri jalan tertutup oleh tanaman teh dan teh melulu. Akhirnya pemandangan yang monoton itu terpecah ketika mereka tiba di tanah terbuka.
Tanah terbuka di depan sebuah rumah. Er, bukan sebuah, tapi sekompleks rumah. Er, bukan sekompleks juga sih, hanya beberapa rumah, dengan sebuah rumah yang agak besar di tengah, dan ada rumah-rumah yang agak kecil di sekelilingnya. Mungkin ada tiga atau empat.
Setelah mereka mendekat, ternyata rumah itu terbuat dari kayu. Semuanya. Avis sampai terpana, terpesona melihatnya.
Mereka turun di depan salah satu rumah yang kecil.
”Ini tempat Aa, bagian Aa. Ada dua kamar tidur, tapi kalau emergensi, tidur di ruang tengahnya juga bisa. Cukup luas kok.”
Avis turun dan menurunkan tasnya. Teh Alia juga turun dan memandang sekeliling dengan takjub.
”Li, bagaimana? Kalau kau tak suka, aku bisa ...”
”Aa, ini bagus sekali! Dan rumahnya dari kayu! Aa nggak pernah bilang!” sahut teh Alia riang. Setahu Avis, teh Alia memang mudah sekali dibuat gembira, hal-hal kecil saja sudah bisa mewarnai seluruh harinya.
Mereka masuk dan melihat-lihat sekeliling rumah mereka. Ardi memasukkan tas-tasnya dan Alia. Tas Avis sudah terlebih dulu dibawa Avis sendiri. Ardi menunjukkan kamar tamu untuk dipakai Avis, dan Avis menyimpan tasnya di sana. Ia keluar lagi dan mendapati Ardi sedang menurunkan beberapa kardus dari mobil.
”Li, ini ditaruh di mana?” teriak Ardi.
”Di dapur saja,” sahut teh Alia dari dalam kamar.
”Aku ke kantor dulu, Li. Kamu dan Avis liat-liat saja dulu, terserah mau ke mana. Di sini aman kok,” Ardi keluar dari dapur, menepuk-nepuk celananya yang terkena kotoran entah dari mana, mungkin dari kardus-kardus itu.
”Oke! Jangan khawatirkan kami!” teh Alia muncul dari kamar dan mengedip pada Avis. Itu artinya, ’petualangan baru akan segera dimulai’ hehe, nggak deng. Belum, maksudnya.
Dari jendela Avis melihat Ardi berjalan ke kantor, rumah besar itu ternyata. Avis dan teh Alia kemudian memeriksa rumah, lemari-lemari yang masih kosong, menunggu diisi, dapur yang hanya berisi sebuah panci, sebuah wajan, dan beberapa buah piring gelas.
Cekatan teh Alia membuka kardus-kardus dan membereskan isinya. Panci-panci, wajan-wajan, rice cooker dan entah apa lagi. Avis membantunya, dicarinya saklar terdekat, dan diletakkan rice cooker dekat situ. Disusunnya piring, gelas, mangkok, dan sendok garpu. Begitu tersusun barang terakhir, Ardi muncul di pintu dapur.
“Ow, langsung beres-beres! Tapi, nggak usah masak dulu, pak Administratur mau menjamu tuh katanya,” sahutnya sambil mengangkat kardus-kardus kosong, melipatnya rapi dan menyimpannya di atas para.
“Menjamu?” tanya teh Alia, melihat sekeliling, mencari sapu untuk membersihkan dapur yang sekarang kotor karena bekas kardus-kardus tadi.
“Hehe, pak Hadi yang bilang. Pak administraturnya sendiri lagi ada di kebun. Tadi Aa ke rumah sana mau lihat, pak administratur sudah ada apa belum, mau ngenalin kamu,” sahut Ardi sambil menghempaskan diri ke kursi di ruang tengah.
“Pak administraturnya tinggal di mana?” tanya teh Alia.
“Di rumah besar. Sekaligus kantor.”
”Sendiri? Maksudku, nggak sama keluarganya?”
”Keluarganya nggak mau ikut. Istri berikut tiga anaknya tinggal di Bogor. Hari Jumat sore biasanya pak admin pulang ke Bogor, Senin pagi balik lagi ke sini,” ujar Ardi. ”Kalau kamu nggak mau tinggal di sini, Aa simpen kamu di Bogor juga, kaya’ istrinya pak admin.”
”Yee, ngapain? Di sini kan dingin, pas banget buat pengantin baru,” sela Avis yang segera saja dihadiahi cubitan oleh iparnya.
”Trus,” sambung Avis, segera setelah mendapat tempat yang terlindung dari serangan teh Alia, ”pak admin itu katanya yang ngeliat sarang elang? Di mana?”
”Euh, ni anak, nggak sabaran. Yang ngeliat sarang elang itu sih katanya adiknya pak admin, peneliti di kebun ini juga. Maklum, namanya juga perkebunan keluarga. Minggu kemaren, waktu Aa belum pulang, pak admin bilang adiknya ngeliat sarang burung elang. Tanyain aja nanti ke pak admin. Atau kalau adiknya ada, sekalian tanyain ke dia.”
”Eh. Tapi namanya siapa, Aa, dari tadi pak Admin-pak Admin wae, saha sih?”
”Hehe. Poho euy. Habis orang-orang di sini pada manggilnya pak Admin wae sih. Pak Praja, kalau adiknya sih pak Nata.”
”Siga orang-orang kerajaan tempo dulu ya?”
Ketiganya tertawa.
”Hayo, yang mau mandi mandi dulu, sebentar lagi juga pak Praja pulang.”
“Teh Alia dulu aja,” Avis mengelak, karena rasanya dingin sekali di situ, lebih dingin dari Bandung bagian utara.
”Enggak bisa. Kamu aja dulu mandi, Aa mau bermesraan dulu dengan Tuan Puteri,” Ardi memeluk erat Alia yang langsung menjerit.
Sambil tertawa-tawa akhirnya Avis masuk kamar mandi duluan. Entah mandi atau tidak, pokoknya keluar sudah wangi. Mungkin cuma semprot-semprot minyak wangi doang :P
Malamnya mereka makan malam di Rumah Besar, begitu Avis menjulukinya. Memang rumah yang besar, banyak kamarnya. Dan di bagian depan luas tak bersekat, dipenuhi meja-meja, rak-rak yang penuh berisi sampel tanaman, dan entah apa lagi di sana. Meja-meja ada yang dipartisi, ada yang tidak. Ada yang dilengkapi komputer, ada yang mesin tik biasa, ada juga yang dilengkapi timbangan kecil.
Sedang di ruang tengah, di mana Avis sekarang berada, ada meja makan dan televisi berikut bantal-bantal di atas karpet. Tadinya Avis mengira nonton di situ bakal dingin, lesehan begitu di hawa dingin, ternyata duduk di atas lantai kayu begitu malah hangat ya? Paling tidak, tidak sedingin lantai keramik!
Bagian belakang baru terdiri dari banyak kamar. Ada yang dipakai oleh pak Praja, ada yang untuk keluarganya kalau kebetulan datang, dan ada juga beerapa kamar yang diisi oleh karyawan yang berstatus bujangan, atau keluarganya seperti keluarga pak Praja.
Kali itu banyak juga yang makan. Avis dan teh Alia diperkenalkan pada pak Praja, tapi pak Nata nampaknya tidak ada ya? Lalu ada pak Hadi, ada juga entah berapa orang lagi yang merupakan staf dan karyawan pak Praja.
Pak Praja sudah cukup berumur, sekitar lima puluh tahunan. Wajahnya seperti wajah orang-orang tua jaman dulu, pikir Avis, seperti kalau melihat gambar-gambar bung Karno, bung Hatta, nah seperti itulah.
Pak Praja memuji teh Alia yang mau menemani di lokasi perkebunan. Istrinya lebih suka berada di kota, katanya. Sekarang saja seharusnya ia ada di Bogor, tapi pak Hadi melapor ada sesuatu dengan tanaman di sektor tertentu yang harus ditangani, dan ia yang harus memutuskan kebijaksanaan mengenainya. Sebenarnya sih lewat telepon juga cukup, tapi entah kenapa ia suka mencari-cari alasan untuk berada di tengah-tengah tanaman begitu.
”Nak Alia, rupanya tidak begitu suka keramaian kota, ya?” tanyanya ramah.
”Ya, sebenarnya sih suka juga, tapi dibandingkan dengan dikelilingi tanaman seperti ini, saya lebih suka di sini.”
Pak Praja memandang bertanya pada Ardi.
”Dia lulusan Pertanian juga, pak, dia memang suka tanaman,” Ardi menerangkan.
”Wah, bagus itu. Nanti kalau bagian penelitian kekurangan tenaga, kita pakai nak Alia saja ya? Lebih mudah mencarinya, tinggal minta ijin saja pada pak Ardi,” katanya tersenyum.
”Beres, pak,” sahut Ardi. ”Pak Nata mana ya?” katanya melihat kegelisahan Avis sejak dari tadi saat mereka masuk ke Rumah Besar ini.
”Ada di Rumah Kaca di atas. Dia memang begitu, kalau sudah ada penelitian yang harus diselesaikan, mending sendirian di atas daripada turun ke sini. Nanti kalau turun, dia akan gelisah, nanya lagi nanya lagi. Mending disuruh tetap di atas saja. Lagipula di atas ada persediaan makanan kok, jadi tidak usak khawatir.”
”Iya, pak, memang mending begitu. Ini pak, adik saya, diceritain pak Nata menemukan sarang elang, jadi pengen ke sini. Maksa-maksa lagi, auch!” Ardi menjerit kecil saat Avis menendang mata kakinya.
”Oya? Kalau begitu besok pagi kita ke atas saja,” sahut pak Praja gembira. Nampaknya kegembiraannya adalah berada bersama alam, dan kalau ada orang lain yang suka berada di alam, dia bertambah senang. ”Namanya siapa, nak Ardi?”
Ardi menoleh pada Avis, dan Avis menjawab sendiri, ”Avis, pak.”
”Avis? Avis itu kan artinya unggas?”
Sudah entah berapa orang yang bertanya itu. Avis mengangguk membenarkan.
“OK, besok nak Avis bisa bangun pagi-pagi? Sekitar jam setengah lima? Kita melihat sarang elang bersama-sama, jemput pak Nata dulu deh besok pagi. Pakai baju yang hangat ya!”
Avis hanya bisa mengangguk, padahal hatinya sudah ingin berteriak gembira!
~0~0~0~0~0~0~0~0
Word Count: 1.329
Akumulasi: 23.028 (MS Word) 23.007 (NaNoValidator)
Target: 23.337
Hm, masih kurang :P
~0~0~0~0~0~0
Mobil yang tadi berjalan di jalan mulus beraspal, kini berbelok ke jalan tanah. Jalannya rata sih, dan cukup lebar, tapi kalau hujan, kalau hujan gerimis akan licin sekali, dan kalau hujannya deras akan berlumpur.
Jalan masih terus seperti itu selama beberapa ratus meter, kemudian mereka berbelok lagi ke jalan yang lebih kecil. Selama itu, di samping kanan kiri jalan tertutup oleh tanaman teh dan teh melulu. Akhirnya pemandangan yang monoton itu terpecah ketika mereka tiba di tanah terbuka.
Tanah terbuka di depan sebuah rumah. Er, bukan sebuah, tapi sekompleks rumah. Er, bukan sekompleks juga sih, hanya beberapa rumah, dengan sebuah rumah yang agak besar di tengah, dan ada rumah-rumah yang agak kecil di sekelilingnya. Mungkin ada tiga atau empat.
Setelah mereka mendekat, ternyata rumah itu terbuat dari kayu. Semuanya. Avis sampai terpana, terpesona melihatnya.
Mereka turun di depan salah satu rumah yang kecil.
”Ini tempat Aa, bagian Aa. Ada dua kamar tidur, tapi kalau emergensi, tidur di ruang tengahnya juga bisa. Cukup luas kok.”
Avis turun dan menurunkan tasnya. Teh Alia juga turun dan memandang sekeliling dengan takjub.
”Li, bagaimana? Kalau kau tak suka, aku bisa ...”
”Aa, ini bagus sekali! Dan rumahnya dari kayu! Aa nggak pernah bilang!” sahut teh Alia riang. Setahu Avis, teh Alia memang mudah sekali dibuat gembira, hal-hal kecil saja sudah bisa mewarnai seluruh harinya.
Mereka masuk dan melihat-lihat sekeliling rumah mereka. Ardi memasukkan tas-tasnya dan Alia. Tas Avis sudah terlebih dulu dibawa Avis sendiri. Ardi menunjukkan kamar tamu untuk dipakai Avis, dan Avis menyimpan tasnya di sana. Ia keluar lagi dan mendapati Ardi sedang menurunkan beberapa kardus dari mobil.
”Li, ini ditaruh di mana?” teriak Ardi.
”Di dapur saja,” sahut teh Alia dari dalam kamar.
”Aku ke kantor dulu, Li. Kamu dan Avis liat-liat saja dulu, terserah mau ke mana. Di sini aman kok,” Ardi keluar dari dapur, menepuk-nepuk celananya yang terkena kotoran entah dari mana, mungkin dari kardus-kardus itu.
”Oke! Jangan khawatirkan kami!” teh Alia muncul dari kamar dan mengedip pada Avis. Itu artinya, ’petualangan baru akan segera dimulai’ hehe, nggak deng. Belum, maksudnya.
Dari jendela Avis melihat Ardi berjalan ke kantor, rumah besar itu ternyata. Avis dan teh Alia kemudian memeriksa rumah, lemari-lemari yang masih kosong, menunggu diisi, dapur yang hanya berisi sebuah panci, sebuah wajan, dan beberapa buah piring gelas.
Cekatan teh Alia membuka kardus-kardus dan membereskan isinya. Panci-panci, wajan-wajan, rice cooker dan entah apa lagi. Avis membantunya, dicarinya saklar terdekat, dan diletakkan rice cooker dekat situ. Disusunnya piring, gelas, mangkok, dan sendok garpu. Begitu tersusun barang terakhir, Ardi muncul di pintu dapur.
“Ow, langsung beres-beres! Tapi, nggak usah masak dulu, pak Administratur mau menjamu tuh katanya,” sahutnya sambil mengangkat kardus-kardus kosong, melipatnya rapi dan menyimpannya di atas para.
“Menjamu?” tanya teh Alia, melihat sekeliling, mencari sapu untuk membersihkan dapur yang sekarang kotor karena bekas kardus-kardus tadi.
“Hehe, pak Hadi yang bilang. Pak administraturnya sendiri lagi ada di kebun. Tadi Aa ke rumah sana mau lihat, pak administratur sudah ada apa belum, mau ngenalin kamu,” sahut Ardi sambil menghempaskan diri ke kursi di ruang tengah.
“Pak administraturnya tinggal di mana?” tanya teh Alia.
“Di rumah besar. Sekaligus kantor.”
”Sendiri? Maksudku, nggak sama keluarganya?”
”Keluarganya nggak mau ikut. Istri berikut tiga anaknya tinggal di Bogor. Hari Jumat sore biasanya pak admin pulang ke Bogor, Senin pagi balik lagi ke sini,” ujar Ardi. ”Kalau kamu nggak mau tinggal di sini, Aa simpen kamu di Bogor juga, kaya’ istrinya pak admin.”
”Yee, ngapain? Di sini kan dingin, pas banget buat pengantin baru,” sela Avis yang segera saja dihadiahi cubitan oleh iparnya.
”Trus,” sambung Avis, segera setelah mendapat tempat yang terlindung dari serangan teh Alia, ”pak admin itu katanya yang ngeliat sarang elang? Di mana?”
”Euh, ni anak, nggak sabaran. Yang ngeliat sarang elang itu sih katanya adiknya pak admin, peneliti di kebun ini juga. Maklum, namanya juga perkebunan keluarga. Minggu kemaren, waktu Aa belum pulang, pak admin bilang adiknya ngeliat sarang burung elang. Tanyain aja nanti ke pak admin. Atau kalau adiknya ada, sekalian tanyain ke dia.”
”Eh. Tapi namanya siapa, Aa, dari tadi pak Admin-pak Admin wae, saha sih?”
”Hehe. Poho euy. Habis orang-orang di sini pada manggilnya pak Admin wae sih. Pak Praja, kalau adiknya sih pak Nata.”
”Siga orang-orang kerajaan tempo dulu ya?”
Ketiganya tertawa.
”Hayo, yang mau mandi mandi dulu, sebentar lagi juga pak Praja pulang.”
“Teh Alia dulu aja,” Avis mengelak, karena rasanya dingin sekali di situ, lebih dingin dari Bandung bagian utara.
”Enggak bisa. Kamu aja dulu mandi, Aa mau bermesraan dulu dengan Tuan Puteri,” Ardi memeluk erat Alia yang langsung menjerit.
Sambil tertawa-tawa akhirnya Avis masuk kamar mandi duluan. Entah mandi atau tidak, pokoknya keluar sudah wangi. Mungkin cuma semprot-semprot minyak wangi doang :P
Malamnya mereka makan malam di Rumah Besar, begitu Avis menjulukinya. Memang rumah yang besar, banyak kamarnya. Dan di bagian depan luas tak bersekat, dipenuhi meja-meja, rak-rak yang penuh berisi sampel tanaman, dan entah apa lagi di sana. Meja-meja ada yang dipartisi, ada yang tidak. Ada yang dilengkapi komputer, ada yang mesin tik biasa, ada juga yang dilengkapi timbangan kecil.
Sedang di ruang tengah, di mana Avis sekarang berada, ada meja makan dan televisi berikut bantal-bantal di atas karpet. Tadinya Avis mengira nonton di situ bakal dingin, lesehan begitu di hawa dingin, ternyata duduk di atas lantai kayu begitu malah hangat ya? Paling tidak, tidak sedingin lantai keramik!
Bagian belakang baru terdiri dari banyak kamar. Ada yang dipakai oleh pak Praja, ada yang untuk keluarganya kalau kebetulan datang, dan ada juga beerapa kamar yang diisi oleh karyawan yang berstatus bujangan, atau keluarganya seperti keluarga pak Praja.
Kali itu banyak juga yang makan. Avis dan teh Alia diperkenalkan pada pak Praja, tapi pak Nata nampaknya tidak ada ya? Lalu ada pak Hadi, ada juga entah berapa orang lagi yang merupakan staf dan karyawan pak Praja.
Pak Praja sudah cukup berumur, sekitar lima puluh tahunan. Wajahnya seperti wajah orang-orang tua jaman dulu, pikir Avis, seperti kalau melihat gambar-gambar bung Karno, bung Hatta, nah seperti itulah.
Pak Praja memuji teh Alia yang mau menemani di lokasi perkebunan. Istrinya lebih suka berada di kota, katanya. Sekarang saja seharusnya ia ada di Bogor, tapi pak Hadi melapor ada sesuatu dengan tanaman di sektor tertentu yang harus ditangani, dan ia yang harus memutuskan kebijaksanaan mengenainya. Sebenarnya sih lewat telepon juga cukup, tapi entah kenapa ia suka mencari-cari alasan untuk berada di tengah-tengah tanaman begitu.
”Nak Alia, rupanya tidak begitu suka keramaian kota, ya?” tanyanya ramah.
”Ya, sebenarnya sih suka juga, tapi dibandingkan dengan dikelilingi tanaman seperti ini, saya lebih suka di sini.”
Pak Praja memandang bertanya pada Ardi.
”Dia lulusan Pertanian juga, pak, dia memang suka tanaman,” Ardi menerangkan.
”Wah, bagus itu. Nanti kalau bagian penelitian kekurangan tenaga, kita pakai nak Alia saja ya? Lebih mudah mencarinya, tinggal minta ijin saja pada pak Ardi,” katanya tersenyum.
”Beres, pak,” sahut Ardi. ”Pak Nata mana ya?” katanya melihat kegelisahan Avis sejak dari tadi saat mereka masuk ke Rumah Besar ini.
”Ada di Rumah Kaca di atas. Dia memang begitu, kalau sudah ada penelitian yang harus diselesaikan, mending sendirian di atas daripada turun ke sini. Nanti kalau turun, dia akan gelisah, nanya lagi nanya lagi. Mending disuruh tetap di atas saja. Lagipula di atas ada persediaan makanan kok, jadi tidak usak khawatir.”
”Iya, pak, memang mending begitu. Ini pak, adik saya, diceritain pak Nata menemukan sarang elang, jadi pengen ke sini. Maksa-maksa lagi, auch!” Ardi menjerit kecil saat Avis menendang mata kakinya.
”Oya? Kalau begitu besok pagi kita ke atas saja,” sahut pak Praja gembira. Nampaknya kegembiraannya adalah berada bersama alam, dan kalau ada orang lain yang suka berada di alam, dia bertambah senang. ”Namanya siapa, nak Ardi?”
Ardi menoleh pada Avis, dan Avis menjawab sendiri, ”Avis, pak.”
”Avis? Avis itu kan artinya unggas?”
Sudah entah berapa orang yang bertanya itu. Avis mengangguk membenarkan.
“OK, besok nak Avis bisa bangun pagi-pagi? Sekitar jam setengah lima? Kita melihat sarang elang bersama-sama, jemput pak Nata dulu deh besok pagi. Pakai baju yang hangat ya!”
Avis hanya bisa mengangguk, padahal hatinya sudah ingin berteriak gembira!
~0~0~0~0~0~0~0~0
Word Count: 1.329
Akumulasi: 23.028 (MS Word) 23.007 (NaNoValidator)
Target: 23.337
Hm, masih kurang :P
0 Comments:
Post a Comment
<< Home