My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Monday, November 12, 2007

Hari Kesepuluh, Kesebelas, Keduabelas :P

Hehe, ini borongan, abis Ambu belum ngapdet..

~0~0~0~0~0~0

Dari buku-buku ternyata data yang ada hanya sedikit. Avis melihat deretan komputer di sisi sebelah sana, tidak begitu penuh. Dengan agak segan ia beranjak. Masalahnya, kalau disuruh mencari bahan di internet, maka waktunya hanya dipakai sepuluh menit untuk browsing bahan, dan berjam-jam sesudahnya untuk mengecek imel, buka milis, buka forum dan akhirny chatting. Berhubung internet barang baru, perlu diubek-ubak.

Tapi ia bisa menahan diri kali ini. Setelah mengesave bahannya di disket, ia kembali ke tempat duduk. Malas membuka buku-buku kuliah, ia kembali ke loker untuk mengambil Unfinished Tales, dan kembali menenggelamkan diri dalam tulisan Tolkien.

Entah sudah berapa lama ia asyik begitu, terkejut ia saat bahunya ditepuk. Yudha!

”Udah lama, Vis?”

”Hm? Nggak tahu ya, lumayan kaya’nya.”

”Si Alen itu ternyata pacarnya Tio ya? Baru tau ...”

”Iya. Biasanya Tio yang suka nyamperin. Alen sih jarang ke Sipil.”

”O. Pantes.”

”Kamu kenal Tio?”

”Dulu akrab waktu S1, ternyata dia masuk S2 barengan juga.”

Kali ini Avis yang mengangguk. Yudha kemudian beranjak, mencari sesuatu di rak-rak buku. Dapat, dan ia kembali.

“Kamu sendiri katanya mau cari bahan?”

”Udah dapet. Males ngerjainnya, nanti di rumah aja. Masih ada waktu.”

Yudha terkekeh. ”Mental kita. Biasa, ditunda sampai waktunya mepet.”

Avis tersenyum dipaksakan. Dan kembali menekuni bacaannya. Yudha juga tidak memaksakan, dan mulai membaca, membuat catatan. Ada mungkin sekitar setengah jam, sebelum ia menutup catatannya dan mengembalikan buku yang ia baca.

”Kamu mau pulang?”

Avis mengangkat wajahnya dan mendapati Yudha sedang menatapnya tepat di mata dengan pertanyaan ’maukah kau pulang denganku’ tercetak di wajahnya.

”Aku ... ng ... oke deh,” Avis menyelipkan pembatas buku sebelum ia menutup bukunya.

”Pulang ke mana?”

”Ya, ke rumah.”

”Eng, maksudku, rumahya di mana, gitu,” ada rasa mangkel di ujung kalimat Yudha.

Avis tertawa. ”Hehe. Di Kembar,” dia membuka lokernya, mengambil tasnya dan menyimpan Unfinished Tales-nya rapi-rapi. Jangan sampai ada halaman yang terlipat. Bisa keriting bukunya nanti.

Mereka berjalan bersisian, sambil Avis celingukan.

”Nyari siapa, Vis?”

”Alen. Tadi katanya mau nyusul ke perpus, tapi enggak. Biasanya dia suka pengen pulang bareng ...”

”Oh. Kirain ...”

”Kirain apa?”

”Kirain takut kepergok oleh Yang Bersangkutan ...”

”Siapa?” Avis telmi.

”Iya, jalan denganku nanti ada yang cemburu. Atau pulang-pulang nanti aku ada yang menginterogasi ...”

Avis cekikikan. ”Emangnya siapa?”

”Ya, kirain aja. Alen memangnya rumahnya deketan?”

”Deket. Cuma beda beberapa rumah.”

“Oh. Jadi udah lama juga temenan?”

”SMP bareng. SMA bareng. Kuliah beda jurusan tapi satu kampus.”

Yudha bersiul pelan. ”Yang aku tahu, Tio itu bukan dari Bandung.”

”Padang.”

”Oh iya betul. Memangnya dia udah lama jadian?”

”Dari S1. Keluarga kedua belah pihak sudah terus mendorong-dorong nyuruh kawin, tapi Alen kaya’nya masih betah. Nanti kalau sudah lulus S2 kaya’nya, kemungkinan tuntutan keluarga semakin dipergencar.”

Yudha tertawa. ”Kamu sendiri, tidak ada yang mendorong-dorong?”

“Hehe. Belum, masih punya kakak yang belum nikah. Nggak baik nga-runghal, melangkahi, katanya.”

“Tapi setelah kakak menikah, akan secepatnya menyusul, kan?”

”Idih, siapa juga yang akan menyusul? Lagian, ngapain nanya-nanya kawin segala,” Avis merasa wajahnya memerah.

Sebuah angkot berhenti di depan mereka. Avis naik disusul Yudha.

“Oh, jadi pakai angkot ini kalau mau ke rumahmu?” tanya Yudha, wajahnya jail.

”Kamu bukan dari Bandung?”

”Lahir di Bandung sih, tapi seumur-umur di Jakarta.”

Avis mengangguk-angguk, tapi dia berpikir juga, kalau Papi tidak meninggal, mungkin dia juga akan bernasib sama, cuma lahir di Bandung dan seumur-umur di Jakarta. ”Tapi paling tidak kau udah ... tujuh tahun di Bandung kalau kuliah di sini sih.”

Yudha mengangguk. ”Tapi selalu ada yang baru sih. Aku sudah sampai di Ciparay, ke Ciwidey, ke Ranca Upas, tapi jalan-jalan di dalam kota, aku selalu mesti nanya-nanya lagi.”

Avis kembali mengangguk. Dia juga selalu tanya-tanya lagi kalau pergi ke daerah yang baru dikenalnya. Yang bukan daerah operasionalnya.

~0~0~0~0~0~0~0~0

Avis terdiam, Yudha juga terdiam, melihat sekeliling via jendela angkot. Kalau Avis duduk di ujung angkot, terlihat dari jendela belakang, Alen selalu mengomentarinya, cover girl mode: on. Persis seperti cover girl, terlihat dari belakang.

Untung sekarang tidak cover girl mode: on, pikir Avis, berusaha untuk tidak tertawa atau tersenyum dengan pikiran itu.

Beberapa menit kemudian Avis mengeluarkan dompetnya, mengeluarkan ongkos. Terlihat oleh Yudha. Ia mendahului mengeluarkan ongkos dari saku celananya.

”Kali ini aku yang bayar ya, lain kali kamu,” sahutnya, jail terbayang di wajahnya.

”Hihi. Ya udah, makasih ya,” sahutnya, mulai bersiap untuk turun.

Persis sebelum tempat di mana ia harus turun, ada seorang yang menghentikan angkotnya. Jadi deh Avis nggak usah berteriak. Dulu sih sering ada bel untuk menghentikan angkot, sekarang semakin jarang angkot yang pakai bel untuk berhenti. Penumpang jadi harus berteriak-teriak menandakan ia akan turun.

”Eh, Avis! Baru pulang?” penumpang itu ternyata tetangga Avis. Ia mengalah, membiarkan Avis dan Yudha turun duluan.

”Iya, kang. Mangga,” sahutnya sopan dan si akang itu tersenyum sambil terus naik, matanya melirik pada Yudha. Sepertinya akan bertanya siapa dia, tapi angkot itu sudah keburu jalan, dan Avis selamat dari pertanyaannya.

Mereka berjalan lagi masuk ke jalan kecil, jalan rumah Avis. ”Itu rumah Alen,” sahut Avis tak perlu ditanya. Yudha mengangguk, dan sepertinya sudah akan bertanya ’rumahmu yang mana’ ketika Avis menghentikan langkahnya, membuka pintu pagar dan masuk. Yudha mengikutinya.

Avis langsung ke pintu belakang, membukanya perlahan. ”Assalamualaikum!” sahutnya pelan.

”Eh, si Ade. Saha eta?” Mami langsung bertanya ketika ia melihat Yudha di belakang Avis.

”Yudha, Mam, rerencangan,” sahutnya pendek.

“Temennya Avis, Tante,” sahutnya, dan mengulurkan tangan. Mami menerimanya berjabat tangan.

”Atuh ulah dicandak ka dapur, geulis. Sana, ke ruang tamu,” Mami mengusir mereka berdua dengan halus. Yudha yang mengaku sudah tujuh tahun di Bandung tapi masih belum berani untuk bicara bahasa Sunda, tapi sudah mengerti kalau diajak bicara Sunda, mengangguk ’diusir’ begitu oleh Mami.

”Duduk dulu,” Avis menyuruh Yudha saat mereka sampai ke ruang tamu. Avis berbalik ke kamarnya, menaruh dulu tasnya, dan kembali ke dapur membuat minuman. Dilihatnya Mami menggoreng risoles, dan Bik Niah sedang membungkusi kue lapis, dan di sisi Bi Niah ada setumpukan karton dus yang belum dijetrek. Masih berupa lembaran-lembaran kertas karton.

Tanpa disuruh Avis mengambil tumpukan karton itu, staplernya, dan dibawanya ke ruang tamu. Mami berteriak melarang.

”Eh, eh, Avis, udah, biarin, kamu kan ada tamu!”

”Biarin aja Mam, kan cuma mau ngobrol,” sahutnya sambil lalu. Ia duduk di depan Yudha, dan mulai menjetrek lembaran-lembaran karton menjadi dus-dus kue.

”Bikin apa, Vis?” Yudha bertanya, tapi sedetik kemudian ia mengerti, ”Buat dus kue ya?”

Avis mengangguk.

”Ibumu terima pesanan bikin kue?”

Avis mengangguk lagi, sambil terus menjetrek, kepalanya menunduk, tidak memandang pada Yudha.

”Sini aku bantuin, masih ada staplernya?”

”Bener?” tanya Avis sambil terus berdiri dan berjalan ke ruang tengah, membuka laci lemari buku di sana, mengambil sebuah stapler lagi berikut kotak isinya.

Mereka berdua menjepreti karton sampai bertumpuk dus-dus itu. Yudha menyusunnya rapi. Avis kembali ke dapur dan datang lagi dengan setumpuk plastik dan tisu, mengisi tiap dus dengannya. Yudha kemudian membantunya membawa dus-dus itu ke dapur.

”Euleuh, si eneng, keun we atuh ku Bibi,” sahut Bi Niah yang sekarang sudah menyelesaikan kue lapisnya.

”Wios atuh, Bi,” sahut Mami sambil mengangkat risoles gorengan terakhir, mengambil piring ceper di rak piring, dan diwadahinya beberapa potong risoles, ”da diburuhan ieuh. Nih, Vis,” Mami memberikan piring risoles itu pada Avis sambil tertawa.

”Hehe, dasar si Mami mah. Nih Yudha, kata Mami ini buat upahnya ngajetrekan dus,” sahut Avis juga sambil tertawa.

”Wah, Tante, lain kali kalau di tempat kos nggak ada makanan, Yudha ke sini aja ya, ngebantuin Tante, lumayan dapet sepotong risoles!” Yudha juga tertawa dan menjumput sepotong risoles dan memasukkan ke dalam mulutnya, ”Hanass! Hanass!”

Avis tertawa semakin keras, dan menyodorkan tisu pada Yudha, yang kemudian memegang risolesnya dengan tisu, dan menghindarkan dirinya dari menjadi korban pembunuhan dengan risoles panas dengan pelaku Avis :P

”Hihi, siapa suruh langsung main comot saja, nggak ditiupin dulu lagi,” Avis menutup mulutnya dalam rangka menghindari tertawa terlalu keras.

”Hehe. Sudah sana, ke depan lagi aja. Ini sudah selesai kok, Mami cuma tinggal masukin kuenya.”

”Nanti siapa yang nganter? Bi Niah?”

”Enggak, mau diambil,” kata Mami sambil mulai memasukkan risolesnya, tapi dusnya tidak langsung ditutup, takut nanti uap panas risolesnya akan terjebak di dalam dus, bisa membuat risolesnya cepet basi.

”Oh. Ya udah, Avis ke depan lagi ya!” dan ia mengisyaratkan Yudha untuk kembali ke ruang tamu, dengan sepiring risoles, yang satu—atau tepatnya sepotong—sedang dikonsumsi oleh Yudha.

”Mami kamu tiap hari bikin kue, Vis?” tanya Yudha, menghabiskan potongan terakhir risolesnya.

”Nggak, kalau ada pesanan aja. Kenapa, mau melamar jadi karyawan di sini?” ledek Avis sambil menaruh piringnya di meja. Mereka berdua duduk lagi. Avis mencomot risolesnya dengan tisu dan makan dengan santun sehingga tidak terjadi kecelakaan seperti tadi.

”Papi kamu?” tanya Yudha.

”Udah meninggal,” sahut Avis pendek.

“Oh. Sori.”

“Nggak apa-apa, udah lama kok. Itu makanya Mami bikin kue, biar anak-anak bisa sekolah.”

Padangan Yudha menyelidik, dan tatkala tidak ditemukan adanya raut kesedihan di wajah Avis, dia meneruskan jailnya, ”Trus, kamu jadi harus berjualan kue, pakai tampah, pagi-pagi...”

”Pagi-pagi sebelum masuk sekolah bawa kue ke ibu kantin, nanti pulangnya terima setoran dan kue yang nggak laku, trus sepulang sekolah jualan ke keliling kompleks, dan suatu hari nggak berani pulang karena baki kuenya ditumpahin sama anak berandalan padahal belum ada yang laku ...” Avis tertawa, ”basi. Si Aa tiap hari suka ngegangguin begitu, dulu.”

”Dulu? Memangnya Aa-mu sekarang ada di mana?”

”Udah kerja, di Bogor.”

Dan begitulah mereka berbincang-bincang tak menentu, kalau istilah sekarang sih, nggak penting. Hingga suasana mulai gelap.

”Aku pulang dulu, ya Vis? Kapan-kapan aku boleh main lagi ke sini? Terutama kalau Mami lagi ada kerjaan ngajetrekan dus,” sahutnya dengan mata jenaka.

”Hehe. Boleh aja.”

”Pamitin ke Mami.”

Sekarang Yudha menyebutnya sudah Mami, bukan Tante lagi.

”OK,” Avis beranjak dari kursinya dan melangkah ke dapur, diikuti oleh Yudha.

”Mami, ini udah mau pulang katanya.”

~0~0~0~0~0~0

“Oh, iya. Jangan kapok ya, main ke sini malah disuruh ngajetrekan dus ku Avis!”

”Hehe. Tapi kan dapet risoles panas, Mami!”

Ketiganya tertawa.

Bel pintu berbunyi. Seorang pemuda berdiri di depan pintu. Avis dan Yudha yang tadinya sudah mau keluar ke pintu belakang, sekarang jadi ke depan, sekalian membuka pintu.

”Eh, kang Chandra,” Avis membuka pintu lebar-lebar.

“Mau ngambil kue, Vis,” katanya. Matanya melirik ke arah Yudha.

“Oh, iya. Bentar,” Avis kembali lagi ke belakang, “Mamiiiii! Itu ada kang Chandra mau ngambil kue,” sahutnya ringan dan melangkah lagi ke depan. Kedua laki-laki itu masih saling berhadapan dalam diam, dengan wajah masing-masing memasang senyum yang sepertinya dipaksakan.

“Ini Yudha, temen kuliah, ini kang Chandra, tetangga,” sahut Avis renyah pada keduanya, mengenalkan satu pada yang lain.

Di dalam, Mami muncul diikuti Bik Niah yang membawa keresek-keresek besar berisi dus-dus kue yang tadi. ”Eh, nak Chandra. Pakai apa?”

”Pakai motor, Bu Arman.”

”Euh, gimana bawanya? Oh iya, pake tali aja ya? Bi, ambil tali rafia di dapur ...” seru Mami, tapi kang Chandra sudah keburu menukas.

”Saya bawa kok, bu Arman.”

Jadi Mami, Bik Niah, dan kang Chandra berjalan menuju motor yang diparkir di luar pagar, sambil mengomentari cara mengikatnya. Avis dan Yudha tetap di teras memandang mereka.

Setelah kang Chandra pergi, Mami dan Bik Niah kembali, baru Yudha beranjak.

Dan setelah Yudha menjauh menghilang dari pandangan Avis, ada sesuatu yang aneh, yang baru disadari kali ini oleh Avis. Kenapa ada rasa persaingan, hawa kompetisi antara kang Chandra dan Yudha? Terasa oleh Avis, keduanya seperti tidak nyaman. Avis bertanya-tanya, apakah hal ini hal yang baru? Sepertinya dari dulu banyak teman cowok Avis yang dibawa ke rumah, banyak juga yang bertemu dengan cowok-cowok tetangga, ada yang bahkan mengobrol. Kenapa ia tidak menyadari ada sesuatu yang lain dalam interaksi mereka?

Ia mencoba mengesampingkannya.

*****

Setelah kedatangannya yang pertama, Yudha beberapa kali datang. Avis berusaha untuk tidak ge-er, tidak merasa punya harapan sendiri, tidak cau ambon dikorangan. Terlintas bahwa ia memang sudah pantas punya pasangan, bukan hanya pacar tapi malah suami. Beberapa teman seangkatannya malah sudah punya anak. Apakah teman seangkatan di S1 dulu, atau di S2 sekarang. Bahkan teman di S2 kebanyakan masuk dengan status sudah menikah, beberapa di antaranya dengan perut menggelembung.

Avis mencoba tidak terlalu memikirkannya. Dijalaninya saja kehidupan seperti biasa. Dan sekarang, pernikahan si Aa sudah di depan mata. Mami sibuk luar biasa. Selama dua minggu sebelum pernikahan, ia tidak menerima pesanan, tapi malah mempersiapkan kue untuk pengajian, untuk siraman, pokoknya segala tetek bengek pernikahan.

”Sekarang Mami sih cuma nganter. Kalau pengantin laki-laki sih kan rada santai. Entah bagaimana nanti kalau Avis yang kawin, pihak pengantin wanita kan yang menyelenggarakan. Mungkin malah berbulan-bulan sibuknya, hihi..” si Aa menggoda Mami tatkala Mami sedang mengira-ngira kue apa yang pantas jadi isi dus saat pengajian, apa saja suvenirnya, mending pengajian pagi jam 10 atau pengajian sore jam 4.

”Hus, si Aa ini. Mam, sekarang kan banyak hujan, udah mending pagi aja. Daripada kehujanan sore-sore, mending saat hari masih cerah saja,” usul Avis.

”Iya, udah pagi aja. Jangan mikir primbon melulu!” si Aa meledek Mami yang terkadang masih mikir tanggal baik. ”Tangal yang baik itu, pertama awal bulan biar tamu nggak bingung isi amplop, lalu hari Minggu atau paling tidak Sabtu, biar enggak lagi ngantor. Itu aja patokannya,” Aa mencomot goreng tempe di piring di depannya.

”Idih, emangnya siapa yang ngikutin primbon. Mami cuma mikirin ujan enggak, terus ada enggak nanti yang datang, bisi we bentrok dengan acara apaan, kituh,” Mami membela diri, sewot.

”Ya udah, jadi Sabtu pagi pengajian, abis itu terus acara siraman, kalau bisa sepagi mungkin biar nggak kena ujan. Biasanya selepas jam 12 kan udah mendung tuh.”

”Ya, pengennya sih sepagi mungkin, tapi kalau pihak laki-laki kan mesti nungguin air kembang dari pihak wanita,” Avis menyela.

”Deuh, meni udah apal tata caranya, iya ini mah abis Aa, pasti Avis langsung nyusul,” goda Ardi sambil bersiap melarikan diri kala Avis mengacung-acungkan pisau yang dipakai untuk memotong-motong kue.

”Aviiiis! Nggak baik heureuy bawa-bawa pisau begitu, pamali! Bisi kausap jurig, geura!” Mami kaget melihat adegan yang diperagakan oleh kedua anaknya. ”Itu, Yudha, diundang enggak, Vis?”

”Yudha siapa, Mam?” Aa mendekat ingin tahu.

”Temennya Avis, akhir-akhir ini sering datang ke sini.”

”Naaah! Bener kan! Abis Aa, terus Ade sama si Yudha itu. Iya kan? Orang mana, Mam? Udah kerja?”

”Iiih, si Aa ini. Temen biasa, Aa! Bukan apa-apa!” Avis merasa wajahnya berubah merah. Dan ini diperhatikan oleh Ardi.

"Temen biasa gimana? Temen biasa tapi pipinya jadi merah gitu, tuh kan! Hayo, ngaku!” Aa makin mendesak, seperti mendapat mainan baru.

”Aaah, si Aa! Enggak, dia cuma temen biasa kok, A. Aa jangan mendramatisir gitu, kaya sinetron aja,” Avis misuh-misuh.

”Udah, udah. Sekarang Aa sama Mami ke rumah pak RT, bilangin jam pengajiannya, sekalian minta agar beliau berkenan datang. Nggak enak kan kalau enggak datang, itung-itung sowan. Lalu Avis ke Pasar Baru bentar, nggak apa-apa kan? Hari ini kan enggak ada kuliah? Nih, beliin ini,” Mami melambai-lambaikan daftar yang sudah disusunnya. ”Yang sudah dicontreng ini, tinggal pesen aja, bayar, nggak usah dibawa, suruh dianter aja ke sini nanti sore. Ke Cie Lin juga, kasiin aja daftar yang ini, bayar, suruh dianterin juga nanti sore. Yang lainnya beli biasa. Nggak berat kok!” Mami mengangsurkan daftar pada Avis, berikut sejumlah uang pada Avis.

”Nggak kok, hari ini emang sengaja enggak akan kuliah. Oke, Avis berangkat sekarang aja, ya Mam!” katanya senang menghindari gangguan-gangguan berikutnya. Lidahnya melet pada Ardi, yang lalu tertawa dan mengejar Avis.

Nyatanya sih yang berangkat duluan malah Ardi dan Mami. Avis karena belum mandi jadi baru berangkat setengah jam kemudian.

Avis menutup pintu pagarnya dan berbalik hendak melangkah, ketika terlihat sayup-sayup sosok yang dikenalnya. Ditunggunya hingga sosok itu mendekat.

”Yudha, kamu nggak kuliah?” semprot Avis begitu jarak mereka sudah tidak jauh lagi.

”Enggak,” sahut Yudha, ”iseng aja main ke sini. Kamu mau ke mana? Nggak kuliah?” tanya Yudha melihat Avis tidak membawa tas kuliahnya, hanya dompet.

”Mau ke Pasar Baru. Ada tugas, ada titah dari Yang Mulia Mami,” katanya renyah.

Yudha tertawa. ”Hayu atuh, aku temani,” tawarnya.

Mereka berjalan berjejeran, kemudian menanti angkot di jalan besar.

”Kamu nggak kuliah, bener nih?”

”Kuliahku kan sudah hampir habis. Jadwalnya cuma dua hari saja, selebihnya buat nyusun. Tapi lagi males. Lagi writer’s block. Makanya mending iseng aja ke sini, kali aja dikasih risoles lagi.”

”Hehe. Maminya lagi ke pak RT sama Aa.”

Angkot berhenti, mereka naik, dan kali ini mereka lebih banyak berdiam diri di jalan. Angkotnya penuh sih dan tidak kondusif (ceile) untuk ngobrol.

Mereka turun di Pasar Baru. Menyeberang jalan, Yudha memegang tangan Avis. Otomatis. Avis juga masih belum sadar. Tapi setelah mereka turun tangga di Pasar Baru, barulah Avis merasa aneh.

Yudha tidak melepaskan tangannya.

Avis memandang wajah Yudha, yang sedang memandang ke arah lain. Tidak ada yang aneh pada wajahnya.

Jadi ia membiarkan tangannya dipegang Yudha, sampai di depan toko Cie Lin. Di sana Yudha melepaskan tangannya dan membiarkan Avis melakukan pesanan, menunjuk-nunjuk, dan akhirnya membayar.

”Nanti sore anter ke rumah ya, Cici,” sahut Avis.

”Beres. Mami kan ada di rumah nanti sore?”

”Ada. Yuk, saya ke atas dulu, Ci.”

Mereka naik ke tingkat yang lebih atas. Yudha memegang tangannya lagi.

Avis melakukan semua pesan Mami. Yudha membantu memegang belanjaannya, dan tangan yang satu terus saja memegang tangannya. Terkadang membimbing Avis ke tempat yang lebih aman, kadang membiarkan Avis berjalan lebih dulu di tempat yang penuh dan berdesak-desakan, ia di belakang dan mengawasi.

Akhirnya selesai acara belanja. Yudha mengajaknya ke foodcourt di tingkat-entah-keberapa.

”Udah?” tanya Yudha, menyeruput minumannya.

”Udah. Duh, kasian dibawa-bawa belanja. Kaya’ cewek aja,” tawa Avis.

”Hehe. Nggak apa-apa. Lagian, ini kan buat Mami. Kamu sendiri, kuperhatikan jarang belanja?”

Avis menggeleng. ”Shopping nggak jelas begitu? Aku nggak suka. Kalau beli sesuatu, biasanya aku sudah jelas tokonya di mana, barangnya yang aku pengen itu seperti apa, jadi begitu datang, masuk ke toko, langsung ke tujuan, beli dan udah selesai.”

”Kamu nggak suka seperti gadis-gadis lain, jalan-jalan keliling mall?”

Avis menggeleng lagi. ”Ke mall hanya yang ada toko bukunya aja. Langsung menuju ke toko buku, dan kalau udah di sana, bisa berjam-jam betah.”

Yudha tertawa. ”Calon istri yang dicari banyak pria kalau begitu.”

”Kenapa?” Avis nggak ngeh.

”Hehe. Pria kan biasanya nggak suka keliling-keliling shopping. Waktu pacaran aja mereka mau nganter, waktu udah jadi istri, silakan jalan sendiri.”

”Wekekek. Jadi kamu ini ceritanya pria pada umumnya, waktu pacaran mau nganter belanja?”

Yudha menatapnya tajam, langsung pada matanya, ”Jadi kamu mau kan kalau aku jadikan pacar?”

Avis langsung salah tingkah. Wajahnya memerah. Dia serasa tidak memijak bumi.

Yudha memelankan suaranya, mereka ada di tempat umum!

”Tidak usah menjawab sekarang. Aku beri waktu hingga kapanpun kau mau. Tapi akan aku tingkatkan permintaanku, maukah kau jadi istriku?”

”Yudha?” Avis menatapnya penuh tanya.

”Aku ulangi. Maukah kamu menjadi istriku? Pikirkanlah sesukamu. Dan kalau kau nanti menjawab ’tidak’ aku tidak akan menuntut penjelasan. Pokoknya ya atau tidak, aku tidak akan meminta lebih jauh lagi.”

Matanya sungguh-sungguh.

”Aku ... kita pulang saja ya?” suara Avis lemah. Ia bagai tak menapak saking kagetnya. Bayangan, ditanya seperti itu di pasar!

Yudha mengangguk. Ia membimbing Avis berdiri, dan kemudian berjalan dengan memegang tangannya lagi seperti tadi. Entah kenapa Avis membiarkannya.

Waktu mereka pulang, Ardi sudah ada. Yudha diperkenalkan padanya. Tapi mungkin wajah Avis tidak menunjukkan layak untuk di’kerjai’ sehingga Ardi diam saja, hanya berbasa-basi seperti biasa seorang kakak pada teman adiknya.

Yudha tidak lama, dan sesudah ia pulang, Avis langsung masuk kamar dan menguncinya.

Ia tidak tahu harus berkata apa, ia tidak tahu harus berbuat apa.

Kenapa Yudha memilih dia? Mereka baru kenal selama sekitar sebulan ini saja. Oke, pertemuan yang intensif mungkin membuat kita lebih banyak tahu tentang pasangan, tapi secepat ini?

Dan kenapa Avis? Yudha itu menurut Tio populer, banyak disukai. Kenapa dia memilih Avis? Mengapa mereka bahkan belum pacaran, Yudha bahkan sudah memintanya untuk menjadi istrinya?

Menurut Tio, Yudha sudah punya usaha di Jakarta. Secara tak sengaja Yudha memang pernah menceritakannya. Sekolahnya sudah hampir selesai, sedang menyusun tesis. Hanya ada dua mata kuliah yang sedang dikebutnya. Jadi dia sebagai calon suami sudah memenuhi syarat. Untuk memenuhi syarat calon mertua. Tapi ... untuk memenuhi syarat Avis sendiri?

Avis berguling di kasurnya, gelisah. Secara lahir, Yudha memang cukup tampan. Buan tampan yang bisa langsung dilihat. Kalau mereka sedang bercakap-cakap, barulah kelihatan bahwa Yudha itu tampan.

Lalu Yudha juga cukup baik. Dia santun pada orang yang lebih tua, bahkan pada Bik Niah. Tidak sungkan menolong. Tapi koleksi jailnya juga banyak.

Akan mudah untuk mengatakan ’ya’ pada permintaan Yudha. Akan lebih mudah untuk mengangguk pada keinginannya. Akan lebih mudah.

Tapi ada sesuatu yang membuat Avis tidak bisa mengangguk semudah itu. Tidak mengatakan ’ya’ semudah itu.

Entah mengapa. Ada sesuatu yang menghalanginya. Ada sesuatu yang menutup jalannya.

Avis duduk dan menatap poster –sebenarnya foto yang diperbesar—seekor elang yang sedang melayang berputar di atas tebing. Kalau bisa ia ingin bertanya pada Papi, kenapa?

Dari masa SMP dulu sudah banyak cowok yang mendekatinya. Ada yang terang-terangan. Ada yang melalui puisi. Ada yang bicara di depan orang banyak. Ada yang memilih waktu mereka berdua saja. Ada yang tetap menjadi teman baik hingga sekarang. Ada juga yang menghilang setelah menerima penolakan darinya, hilang dan tak pernah berjumpa lagi. Mungkin mereka pernah bertemu akan tetapi cowok itu mencari jalan lain, menyisi. Avis tak pernah tahu.

Ya, Avis tak pernah tahu.

Seperti sekarang, kalau dia diam saja, mungkin dia tak akan pernah tahu jawabannya. Mending dia ngomong pada Mami, mungkin Mami tahu jawabannya. Baiklah.

Dia bangun, menyisir rambutnya dan membereskan lipatan bajunya. Dan keluar kamar.

Di ruang tengah hanya ada Ardi, sedang membuat segelas sirup. Didekatinya, diambilnya gelas dan dituangkan juga sirup. Ditambahkannya air es.

”Mami mana, A?” tanyanya berbasa-basi.

”Lagi ke bu Nur. Kenapa?”

Avis menggeleng. Rasanya kagok berbicara dengan Aa sekarang. Tapi ... kenapa tidak dicobanya saja?

”Aa,”

”Kenapa? Lho, kok kamu serius banget sih? Ada apa?”

Avis menghabiskan sirupnya dulu, lalu duduk di sofa depan TV.

”Dulu waktu Aa pertama kali ngomong sama teh Alia, gimana?”

”Ngomong? Ya ngobrol aja gitu, dia kan junior, Aa senior, gampang kan?”

”Iiih, Aa. Bukan ngomong gitu. Ngomong .. itu.”

”Oh. Menyatakan cinta, begitu?”

Avis merasa wajahnya memerah saat ia megangguk.

”Hehe. Jadi ada yang sedang dijatuhi cinta sekarang ya?” Ardi mulai meledek, ”Yudha ya? Hayo, ngaku aja! Kan, Aa juga udah bilang, setelah Aa menikah, Ade langsung menyusul, nah sekarang bisa mengelak bagaimana? Sudah terbukti!” Ardi menarikan tarian kemenangan dengan wajah mengerikan.

”Aa, bukan itu!” Avis taktahu mesti bagaimana mengatakannya. Bisa dibilang ia menyesal sudah bicara pada Aa. Mestinya nanti malam saja bicara pada Mami.

Wajah Aa berubah seketika.

”Ade, ada apa sih?” ia mendekati dan duduk di sofa, tepat di sebelahnya.

”Aa belum jawab pertanyaan Ade.”

”Oke. Jadi pertanyaannya apa?”

”Aa ngomongnya gimana? Dan kapan sejak pertama kali Aa ketemu teh Alia, Aa memutuskan untuk ngomong?”

”Mm, sekitar awal tahun ketiga teh Alia kuliah. Jadi, dua tahun lebih.”

”Lama juga ya?”

”Ya iyalah. Perlu survey yang sangat mendalam dan dengan literatur yang kualifaid,” Ardi menghindar dari sambitan bantal.

Tapi wajahnya serius. ”Memangnya kenapa, Vis?”

Avis menggeleng. Wajahnya menerawang.

Tapi kemudian dia bicara lagi.

”Kalau baru kenal sebulan .. apa pantes?”

”Kalau ketemuan tiap hari sih mungkin saja. Lagipula masa pacaran kan bisa dijadikan masa pengenalan lebih dalam lagi.”

”Bukan pacaran, Aa.”

”Bukan paca ...” Ardi memandang Avis lekat-lekat, ”Yudha memintamu untuk menjadi istrinya?”

Avis mengangguk.

”Oke. Apa faktor yang bisa membuatmu mengatakan iya, dan apa faktor yang bisa membuatmu mengatakan tidak?”

Avis masih terlihat kebingungan.

”Rasional saja dulu, apa saja faktor positifnya?”

”Dia baik, dia sopan, dia cepat kenal dengan semua, bahkan dengan Bik Niah, dia suka membantu, dia tidak merokok, ... banyak juga sih.”

”Negatifnya?”

” ... tidak ada yang bisa kupikirkan sekarang.”

”Oke, jadi apa yang membuatmu jadi takut menjawab?”

Avis menggeleng. ”Avis tidak tahu, A. Avis hanya merasa ada sesuatu yang kurang padanya, sesuatu yang tidak bisa dikatakan sekarang.”

Ardi menatap wajah adiknya dengan sayang.

”Dia bilang dia mengharapkan jawabannya kapan?”

Avis menggeleng. ”Dia bilang aku bebas menjawab kapan aku mau. Dan kalau aku bilang tidak, dia tidak memerlukan jawaban, dia hanya jawaban ya atau tidak.”

Ardi menatap mata adiknya.

”Kalau begitu, jangan beri jawaban dulu saja. Jalan dengannya kira-kira beberapa waktu, dan temukan jawabanmu. Mungkin itu bisa membantu. Bilang saja padanya kau perlu mengenalnya lebih jauh.”

Avis masih menerawang pandangannya. Seperti tidak sadar ia menjawab, ”Tapi apa bsia berjalan dengan dia seperti kemarin lagi? Tertawa bebas, saling ledek-ledekan, tanpa ada beban untuk menjawab sebuah pertanyaan?”

Keduanya terdiam.

~0~0~0~0~0~0~0

Word Count: 3.982 (MS Word)
Akumulasi: 18.983 (MS Word) 18.975 (NaNoValidator)
Target: 20.000

Huhu, dikit lagi .. nanti malem deh diterusin ... ini akibat hari Minggu ga bisa nulis :P

0 Comments:

Post a Comment

<< Home