My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Tuesday, November 13, 2007

Hari Ketigabelas

~0~0~0~0~0~0~0~0

Hari-H buat si Aa sudah tiba. Semua jadi mendadak sibuk. Mami sudah jangan dibilang lagi. Semalam, kalau bisa sih nggak tidur karena ngecek ini ngecek itu. Setelah dibilangin, jangan khawatir, harus istirahat kalau nggak nanti siang nggak bisa mendampingi Aa di panggung, barulah Mami mau istirahat. Itu juga nggak tahu dia benar-benar tidur atau hanya masuk kamar saja biar para abdi dayang dan para ponggawa tenang melihat Yang Mulia Mami mau tidur :P

Suuh-subuh udah bangun, mandi dan menggebrak-gebrak Aa biar bangun dan mandi, jangan sampai telat, maluin kalau di saat pernikahan malah terlambat. Ardi cuma nyengir, gimana bisa telat, dibangunin jam 4 untuk acara jam 9, dan tidak banyak yang harus dikerjakan. Pengantin pria kan dandannya juga cuma srek-srek-srek, udah jadi. Sementara gedung ada di Suryalaya, deket ini. Gimana bisa telat, hayo! Walau dia jalan kaki juga masih nyampe kurang dari setengah jam :P lagi…

Yudha juga sudah datang –atas undangan Mami—jam setengah tujuh. Rapi pakai pantalon kain bukan jeans, dan kemeja lengan panjang plus jas setengah resmi yang enggak usah pakai dasi. Katanya sih punya ayahnya :P Tidak pakai busana seragam Pagar Bagus, menghormati Avis yang sampai sekarang masih menggantungkan harapannya. Mami sih sebenarnya sudah pengen mendandaninya dengan seragam Nonoman itu, setelah Ardi menceritakan pada Mami apa yang sedang dialami Avis, tapi lagi-lagi Mami dan Ardi juga menghormati keputusan Avis yang belum mengambil keputusan apapun.

Lagipula, kata orangtua jaman dulu, jangan sampai dikawinkeun ku batur, jangan sampai dikawinkeun ku omong. Jangan sampai berlaku terlalu erat sehingga orang akan terbiasa dengan kedekatan mereka dan berharap keduanya akan menikah. Makanya, Mami tidak memberinya seragam, takut nanti semua orang akan mengharapkan Avis dan Yudha menikah dalam waktu dekat.

Namun berhubung Ardi adalah pengantin, dan pengantin diharapkan tidak menyetir, dan Avis juga pakai kain, dan yang pakai kain juga sama saja tidak diharapkan menyetir, maka Yudha diminta kesediaannya untuk jadi supir mobil pengantin. Dari setengah tujuh sudah stand-by.

”Euleuh, Yudha, jam sakieu tos aya,” senang bercampur kaget Mami melihat Yudha sudah datang. Nggak mengebel pintu karena pintu sudah terbuka dari tadi, rumah sudah ramai, sudah ada keluarga oom Narto dengan dua anaknya dari kemarin menginap si sini, oom Narto kan akan jadi pendamping Mami di panggung nanti. Keluarga uwak Hafiz. Dan beberapa keluarga kerabat lainnya. Lalu ada beberapa pasang suami istri tetangga yang akan mengantar. Ada Alen dengan orangtuanya juga terlihat.

”Sana, makan dulu. Tuh, sama oom Narto,” Avis mengusir Yudha ke ruang tengah yang sudah disulap. Kursi-kursi dikepinggirkan, karpet-karpet sebagian bawaan Oom Narto memenuhi ruangan. Tadi malam ruang ini menjadi tempat menginap para laki-laki, Oom Narto, kedua anaknya, dan Ardi yang walau punya kamar sendiri juga mending di sini, ngobrol sampai tengah malam sambil menonton sepakbola, menyeduh mi instan, dan menyeduh kopi. Di ruang makan juga, di tengan ruang hanya ada meja makan dengan berbagai makanan untuk sarapan para ponggawa, kursi-kursi sama dikepinggirkan.

Yudha masuk terus ke sana, diiringi Avis yang kemudian mengenalkannya pada Oom Narto dan uwak Hafiz sekeluarga. Alen mendekat dan meledek Yudha yang sekarang ’penampilannya jadi seperti model’ dan balas diledek karena Alen juga pakai kebaya walau kebaya modern. Avis dan Alen kompak memaksa Yudha untuk makan walau Yudha sudah berkali-kali bilang dia sudah makan tadi.

”Alah, kapan anak kos bisa makan pagi-pagi? Kalau pun makan pagi-pagi paling makan bubur atau gorengan, atau masak mi instan, kan enggak kenyang. Cepetan, makan lagi sana, kita tidak berani ambil resiko supirnya pingsan di tengah acara karena kelaparan!”

Nah, sebenarnya resiko itu sudah dipikirkan oleh Yudha sehingga ia memaksakan diri makan pagi. Maka pagi lho, bukan sarapan. Tahu apa bedanya makan pagi dan sarapan? Sarapan itu asal ada yang masuk saja, sepotong roti atau beberapa potong gorengan, itu masuk sarapan. Kalau makan pagi itu kumplit, nasi, lauk, sayur, buah, berikut susu :P Jadi, rada wegah oge dipaksa makan, tapi karena semuanya, Oom Narto, uwak Hafiz, belum lagi Alen, memaksa makan, jadilah ia makan bersama yang lain.

Jam setengah delapan mereka bersiap-siap. Acaranya akan dimulai jam delapan dengan seserahan dulu, habis itu baru akad nikah. Mami sampai beberapa kali bulak-balik ke dalam rumah untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Rumah ditunggui sama bik Niah sih, yang sudah diwanti-wanti kalau ada yang tertinggal diharapkan menelepon ke HP-nya Avis.

Acara berjalan lancar. Kalau hanya ada keluarga, Mami terlihat nervous sekali, tapi di depan banyak tamu, Mami jadi jaim. Berlagak pede, hehe. Tapi dengan berlagak pede itu, acara jadi berjalan lancar. Ardi hanya sekali mengucapkan akad, lancar dan tepat, habis dia sudah semalaman menghapalkan kalimatnya. Alen sibuk meledek Yudha agar dari sekarang menghapal kalimat akadnya supaya nanti tidak gugup, dan dibalas Yudha dengan telak karena Tio muncul dari rombongan pemotret dan video-shooter.

Oom Narto melihat dari panggung, towel-towel pada Mami, dan membisikkan, ”Ceuk, itu teh siapa? Calonnya Avis?”

Mami pasang senyum saja, karena mau difoto, dan membalas berbisik pada Oom Narto, “Pengennya sih. Enggak tau, Avis-nya masih tenang-tenang saja. Tapi Yudha-nya juga sabar, mau aja nunggu sampai Avis nerima. Atau tidak menerima, tapi maenya sih, geus bageur, soleh, kasep, minantu idaman weh. Duka atuh, si Avis teh nungguan naon. Mun nungguan lulus, pan duanana ge geus S2, Yudha-na ge geus gawe, batur mah ti S1 keneh geus kararawin.”

Mamah-nya Alen juga, menerima mangkuk eskrim dari Alen, akhirnya duduk kelelahan dari tadi berdiri, dan membisikkan pertanyaan pada Alen, ”Len, eta teh saha? Babaturanana Apis?”

”Muhun Mah,” Alen sudah melihat gelagat akan adanya pembicaraan yang bernada gosip dari sang Mamah.

”Meni pantes da, jeung Apis teh,” Mamah Alen matanya tak lepas dari keduanya. Mereka berdiri saja di dekat pintu depan, Yudha baru saja membawakan pinggan-entah-apa mungkin mi kocok atau empal gentong, dan mereka berdua sedang asyik menikmatinya sambil sesekali Avis menunjuk tamu ini siapa, tamu itu siapa pada Yudha. Belum lagi kalau ada tamu yang dikenal Avis, kerabat atau kenalan Mami atau Papi dulu, dan menyalaminya, tentu saja menyalami Yudha juga, dan setelah berlalu kemudian berbisik pada pasangannya, ”Itu calonnya Avis?”

Avis bukannya tidak mengetahui hal ini. Bagaimanapun, dia pasti merasa. Tapi ia menabah-nabahkan diri saja. Habis, sejak memberitahu Ardi, tadinya dia maunya diam-diam, tapi Ardi sepertinya memberitahu Mami. Mami seperti menaruh harapan padanya. Perilakunya jadi lebih manis pada Yudha. Dan mengundang Yudha juga itu idenya Mami, tadinya Avis nggak mau.

Justru perilaku seperti itu yang sepertinya memberi harapan pada Yudha. Dan Avis nggak mau itu. Hatinya masih bimbang. Bagaimana kalau ia nanti menolak, apa kata dunia nanti? Er, maksudnya, bagaimana kata Yudha nanti? Walau Yudha sudah menekankan, ia tidak akan menuntut apapun dari Avis, tidak bahkan sekedar penjelasan. Tapi dengan keadaan seperti ini, diundang di pernikahan Aa, Avis jadi seperti ketiban beban berat. Bagaimana tidak, nanti kalau memang tidak jadi, ada berapa pasang mata yang akan bertanya, berapa orang yang harus dijelaskan, berapa kali ia harus menggeleng dan tersenyum minta maaf karena mematahkan harapan mereka?

Avis mengeluh diam-diam.

Dan Avis merasa kagum atas stamina orang-orang dulu yang biasanya mengadakan resepsi pernikahan di rumah mereka. Kuat gitu. Padahal yang pestanya di rumah, biasanya jadi tak berwaktu. Orang yang mendapat undangan biasanya melihat, undangannya di rumah ya? Bukan di gedung? Kalau begitu, datang agak telat juga nggak apa-apa. Atau kalau ada halangan, datengnya nanti malem juga nggak apa-apa, kan di rumah ini. Padahal itu berarti memperpanjang waktu penerimaan tamu, hingga tak terbatas. Unlimited. Padahal kan orang itu ada capeknya juga. Kalau sudah di rumah begini, pengennya ganti pakai kaus belel dan tiduuuuuur. Sedang kalau pestanya di rumah sendiri, mesti siap-siap pakai baju yang agak pantas, siap-siap kalau-kalau masih ada saja tamu yang datang di luar jadwal.

Untung Yudha pengertian.

Sehabis mengantar Avis dan Mami –Aa dan teh Alia langsung ke rumah mertua Aa indah tentu saja—sesudah yakin mereka tidak perlu apa-apa lagi, sesudah keluarga Narto lengkap –mereka masih akan menginap beberapa hari lagi—dia langsung pamit. Kelihatan dari wajahnnya dia masih ingin ngobrol, ingin membicarakan sesuatu, tapi ditahannya. Avis tahu, dan ia juga ingin tahu apa yang ingin dibicarakan, tapi nanti sajalah.

Sekarang yang ingin dia lakukan adalah mandi, ganti pakaian dengan kaus belel –yang oleh Aa selalu dijuluki sebagai ’seragam nyegik’—dan tidur. Hehe, seragam untuk nyegik? Tahu kan, ada kebiasaan –mitos—bahwa ada orang-orang yang mendapat kekayaan dengan cara tidak halal. Mereka menyembah sean dengan berbagai cara, ada yang menyembah ular, ada yang menyembah babi, ada yang menyembah monyet, dan masih banyak lagi. Tempatnya khusus, di gunung anu atau di gua apa gitu. Istilahnya juga khas, nyupang, nyegik, nyembah babi ngepet, dan lain-lain. Tapi ada kesamaan, pertama, si pelaku setelah mendapat kekayaan, setahun sekali harus mengorbankan seseorang, biasanya keluarga terdekat. Makanya pelaku biasanya beranak banyak, tapi banyak anak yang meninggal. Itu dipercaya karena ia mengorbankan anaknya. Menumbalkan. Lalu kedua, ia tidak boleh bermewah-mewah. Uangnya memang banyak, dia bisa membeli pakaian bagus sebanyak dia suka, tapi itu hanya sementara, pakaian yang harus sering dia pakai adalah pakaian yang paling jelek.

Itulah makanya kaus paling jelek yang paling nyaman untuk dipakai, dijuluki Aa sebagai ’seragam nyegik’ karena kaus itulah yang paling butut dan paling sering dipakai Avis –tentu saja Aa juga punya seragam nyegik, dan Mami juga punya daster seragam nyegik :P—dari kaus-kaus yang lain.

Mengingat itu Avis tertawa sendiri. Ia menahan keinginannya untuk masuk ke kamar si Aa dan memeriksa lemarinya, apakah seragam nyegiknya dibawa? Kan tengsin, pertama kali tidur di rumah mertua, baju tidurnya seragam nyegik. Pasti sudah dibelikan piama baru oleh teh Alia. Tapi Avis jadi ragu, apa Aa bisa tidur pakai piama baru ya? Hihi, paling-paling hanya akan bertahan semalam sifat jaimnya, besok juga sudah pasti akan kembali pakai seragam nyegik. Atau bahkan sekarang juga sudah pakai seragam nyegik ya? Hehe..

Sore itu Avis langsung lelap. Sampai lewat waktu magrib. Sampai dia terbangun tengah malam. Dan baru ingat kalau, mungkin saja Mami membutuhkan bantuan. Tapi Avis menenangkan dirinya, ada banyak bantuan yang siap sedia. Ada keluarga Narto, ada bik Niah. Lagipula, di rumah mereka tidak mengadakan apa-apa kok, cuma sarapan bareng para pengantar saja tadi pagi.

Tapi Avis haus.

Jadi dia bangun dan keluar kamar. Menuju ke ruang makan. Yang seperti ruang tengah kursi-kursinya masih diletakkan di pinggir ruangan. Yang masih dialasi karpet sepanjang ruang. Wall to wall karpet, ciee.. Dan ruang tengah masih dipakai tidur Oom Narto dan kedua anaknya –Tante Mira pasti tidur bersama Mami—.

Avis melangkah hati-hati, takut membangunkan mereka. Sampailah dia di ruang makan, diambilnya gelas kosong, dan diisinya dengan air, diminumnya. Masih hati-hati, dia melangkah kembali ke kamar. Naik ke kasur, dan dia bingung karena tidak dapat tidur sekarang.

Dan dalam keadaan seperti itu terpikir lagi Yudha.

Yudha itu memang baik. Dia sederhana. Dia memang anak kaya, tapi termasuk anak yang sadar bahwa itu harta orangtua bukan harta anak. Dan dia sudah memulai usaha sendiri. Konon katanya biaya S2-nya ini juga bukan dari orangtuanya, tapi biaya sendiri.

Dia pintar, bukan cuma pintar, tapi juga cerdas. Bukan hanya IQ, tapi juga EQ, kata ahli sih. Nggak sombong. Dia bisa bilang bahwa dia sudah 7 tahun di sini dan masih banyak nanya jalan, tapi sebenarnya dia cukup hafal jalan juga.

Dan humoris juga. Avis tidak bisa membayangkan kalau ia harus bersama orang yang sama sekali tidak punya sense of humor. Bisa garing dia.

Dan mereka berempat –Avis, Yudha, Alen, dan Tio—kompak banget dalam saling mengerjai satu sama lain. Di kampus sudah menyebar gosip bahwa Avis sekarang jalan sama Yudha. Meski banyak gadis yang iri di hampir semua fakultas, tapi biasanya mereak bsia menerima, habis Avis termasuk gadis yang di atas rata-rata sih. Kekurangannya hanya satu, dia tidak pernah terlihat jalan dengan cowok manapun—jalan dalam arti pacaran—makanya begitu ada gosip bahwa dia jadian denganYudha, banyak juga yang bersorak.

Tapi, apakah hanya karena Yudha baik, Yudha tampan, Yudha rendah hati, Yudha lucu, maka dia harus menerima Yudha sebagai teman hidupnya? Teman hidup, karena Yudha tidak memintanya sebagai kekasih, tapi memintanya sebagai istri!

Ayolah, kau harus punya ’chemistry’ untuk dapat jatuh cinta dengan seseorang, dan itu tidak kau dapat kalau bersama dengan Yudha. Apakah ia harus menerimanya saja, dan berharap chemistry itu akan timbul dalam perjalanannya ke depan? Apakah banyak kesamaan bisa menimbulkan chemistry? Apakah banyak kriteria yang bisa dipenuhi Yudha membuat chemistry akan timbul dengan sendirinya nanti? Lagian, siapa sih yang menentukan kriteria itu, dia, Aa, Alen, atau bahkan Mami?

Avis tidak tahu.

Ada banyak pasangan, Avis tahu, yang sama sekali tidak seimbang. Yang satu pandai yang satu tidak, tapi mereka saling mencintai. Yang satu cantik yang satu sama sekali ’tak berwajah’, tapi mereka saling mencintai. Ada juga yang bisa membuat Avis geleng-geleng kepala, suaminya sama sekali tidak bisa mencari nafkah, atau di-PHK, dan istrinya yang membanting tulang, tapi mereka saling mencintai. Bahkan ada juga suami yang menyiksa istrinya, dan istrinya tetap mencintainya.

Avis tahu, Mami dan Papi itu pasangan yang sempurna. Paling tidak menurut anak-anaknya, tapi kalau dilihat dari sisi siapapun, mereka berdua cukup sempurna. Pendidikan mereka seimbang. Sifat dan hobi mereka saling mengisi. Bukan sama lho. Justru kalau sama pasti akan timbul kebosanan. Tapi ini saling mengisi. Papi pendiam, biasa berpikir panjang dan kalau bicara dalem banget. Mami lebih cerewet dan yang diucapkannya hal-hal keseharian. Bagaimana kalau dua-duanya pendiam? Sepi atuh, jiga kuburan :P Bagaimana kalau keduanya seperti Papi, dua-duanya kalau bicara jadinya mengawang-awang nanti, siapa yang akan bicara tentang bangun harus pagi biar jangan terlambat masuk sekolah, jagalah kebersihan, makan dulu sebelum pergi sekolah? Keduanya saling mengisi karena perbedaan.

Apakah ia dan Yudha bisa seperti itu?

Tentu orang-orang tua –dan mungkin juga Alen atau Tio—akan mengiyakan sambil mendorong agar mereka tidak ragu lagi.

Tapi ada sesuatu yang terus mengganjal pikiran Avis.

Entah mengapa, ia jadi takut.

Mungkinkah itu hanya ketakutan bahwa ia tidak bisa hidup bahagia di kemudian hari? Ketakutan yang biasa pada orang-orang muda yang dihadapkan pada pilihan antara hidup bebas sendiri dengan hidup berbagi berdua selamanya?

Apakah itu?

Avis mengeluh.

Bukan itu. Ia tahu, bukan itu. Ada sesuatu yang kosong di antaranya dan Yudha. Yang tidak bisa dijembatani sehingga ia bisa berjalan ke arah Yudha dan hidup bersama selamanya.

Avis membuka-buka lembaran lama hidupnya, sudah tak terhitung pria yang ingin masuk ke dalam hatinya. Semua sama, mereka punya sesuatu yang kosong, yang tak mungkin dijembatani, yang Avis tak mungkin berjalan ke arah mereka. Mereka mungkin berusaha berjalan ke arah Avis, tapi Avis tak bisa berjalan ke arah mereka. Bukankah hidup bahagia bersama itu berarti mereka harus berjalan mendekat sehingga tak ada jarak antara mereka?

Avis tidak bisa berjalan ke arah mereka.

Kenapa sih? Apakah karena Yudha lebih suka berjalan-jalan mengamati bangunan –kuno ataupun modern—sementara Avis lebih suka berjalan di hutan mencari jejak adanya kehidupan elang? Apakah karena Yudha lebih suka mengamati detil bangunan sehingga tidak mungkin ada di hutan, sementara ia ingin mengamati detil pohon, jengkal demi jengkal tanah, liter demi liter air yang menuruni sungai, dan udara terbuka dengan elang nun jauh di sana?

Elang!

Kenapa makhluk ini selalu membayanginya? Semenjak Papi mengenalkannya pada elang, makhluk itu selalu ada dalam setiap geraknya. Sadar atau tidak, Avis tidak isa jauh dari makhluk itu.

Walau itu hanya berupa gambar, hanya berupa artikel di koran atau majalah, akhir-akhir ini juga berupa website di internet, sadar atau tidak Avis selalu mencarinya.

Apakah ... Avis bergidik ... apakah perkataan Alen dan Tio dulu memang benar? Alen dan Tio pernah bilang, bahwa dia kalau mencari kekasih harus paham Tolkien. Avis teringat kata-kata Tio dulu, ’ kalau gitu kamu buat sayembara cari jodoh aja, Nel. Seperti putri-putri jaman kerajaan dulu. Barangsiapa bisa membuktikan kalau dia sama maniaknya terhadap Tolkien --atau bahkan lebih-- denganmu, kalau perempuan akan dijadikan saudara, kalau laki-laki akan dijadikan suami’.

Bedanya, bukan Tolkien, tapi elang.

Terhadap elang, tidak banyak yang tahu. Mungkin Mami dan Aa kalau mereka memperhatikan, tapi selain itu rasanya tidak ada yang tahu.

Apakah elang yang membuatnya secara tak sadar selalu menilai negatif setiap pria yang tak punya kesadaran akan makhluk ini?

Ia tahu ia terlelap kemudian dan ia baru terbangun saat Mami mengetuk pintunya, ”Ade! Aa nelepon tuh!”

Ada apa Aa nelepon? Masa’ sepagi itu pengantin baru menelepon adiknya? Apakah sepagi itu ia akan menyuruh adiknya menyusul menikah?

Hihi, Avis bergegas bangkit, dan terpandang olehnya jam dinding, sudah jam sembilan! Oops, baru kali ini ia bangun sesiang itu! Diraihnya gagang telepon.

“Aa, kenapa? Nggak minta dijemput pulang kan?” Avis meledek.

”Yeee! Gini, kata tetehmu, kamu mau ikut ke Hambalang nggak, nanti kalau kami pindah ke sana? Hari Sabtu besok? Mau ya? Kemaren, administratur kami melihat sarang elang di sana, jadi mungkin saja kamu tertarik. Ya?”

Avis merasa hatinya meleleh. Sarang elang!

~0~0~0~0~0~0

Word Count: 2.714
Akumulasi: 21.698 (MS Word) 21.678 (NaNo Validator)
Target: 21.667

Huhuy, untung bisa nyampe target :P

Oya, dulu pernah Ambu baca, bahwa dipilihnya bulan November ini karena bulan ini dipercaya paling banyak hujan, sehingga enak buat tinggal di rumah dan mengetik. Kalau dulu sih pake mesin tik, lalu pakai PC, sekarang sih bisa saja bergelung selimutan sambil mengetik di laptop ya! *lirik Miyuri* :P

Sekarang ada manfaat lain dari NaNo! Lihat saja:
* 31 Oktober, sebelum NaNo, berat Ambu: 49 kg
* 13 November, sedangNaNo, berat Ambu: 50 kg

Horeee! Akhirnya naik juga! Tersangka utama aku curiga sih pada susu coklat dan kue-kue kering itu!
Kalau pengen naik 5 kilo gimana ya? Berarti, ... 13 hari x 5 kg, jadi Ambu mesti ngetik terus selama 65 hari? Ada yang mau nemenin Ambu NaNo selama 2,5 bulan nggak?
*ditimpuks*

0 Comments:

Post a Comment

<< Home