Hari Keduapuluh
Kembali lagi ke Bandung, seakan kembali ke kehidupan nyata. Selamat tinggal pohon-pohon yang rindang dan teduh, selamat tinggal deretan pohon teh, selamat tinggal elang! Kembali ke antrian kendaraan yang walau tidak semacet Jakarta, tetap saja macet. Tetap saja polusi, dan tetap saja suhunya perlahan merayap naik. Baru saja masuk Padalarang, sudah begini panasnya!
Mami terus saja bertanya, bagaimana hidup di lokasi perkebunan? Bagaimana teh Alia, betah? Apa kira-kiranya ada prospek untuk dipindahkan ke kota?
Yee, si Mami mah. Si Aa itu dari dulu memang mengidamkan bekerja di lokasi seperti perkebunan ini. Makanya begitu ada lowongan langsung disamber. Sepertinya kalaupun gajinya tidak memuaskan, situasi pekerjaan yang bikin dia betah. Apalagi gajinya jauh melebihi harapan. Jadi, jangan mimpi memindahkan si Aa ke kota, pekerjaan sudah dapat seperti yang diharapkan, gaji memenuhi keinginan, malah lebih, dan dapat istri yang lebih suka memilah varietas teh daripada memilah gosip artis, apalagi coba?
Avis mengeluh dalam hati. Coba dia bisa dapat semua keinginan seperti Aa. Sedang pekerjaan dia nantinya, sepertinya tidak bisa di tengah desa di kaki gunung. Kalau melihat pendidikannya, pekerjaan yang menanti dia adalah di kota, di tengah kota.
Kenapa sih dulu malah milih psikologi, rutuk Avis. Coba kalau milih biologi atau apapun, yang akhirnya bisa menyelidiki elang, keluhnya sedih.
Tapi kepada orang lain, ditutupnya rapat-rapat. Tidak ada yang tahu. Bahkan Mami dan Bik Niah. Juga pada Yudha.
Yudha datang ke rumah besoknya, pas Avis masih mengantuk tapi harus bangun pagi dan mencuci semua bajunya, dan berniat untuk tidur kembali sesudahnya. Tapi niatnya batal.
”Hai!” tegurnya parau.
”Kenapa suaranya begitu? Masih capek ya? Sudah, sana tidur lagi! Aku pulang lagi saja,” sahutnya menawarkan.
Avis tertawa. ”Ya, kalau kamu sudah di sini sih, bagaimana bisa tidur lagi. Kehadiranmu itu bisa bikin orang insomnia, mikir apa barang-barang yang ada di sini masih komplit enggak!”
Yudha terkekeh. ”Apa bukan sebaliknya? Aku bisa bikin insomnia karena terus terpikirkan?”
Avis juga terkekeh sambil meninju Yudha main-main. “Duduk dulu, Yud. Aku ganti baju dulu.”
“Ya, nggak usah ganti baju. Aku kan bukan tamu agung, nggak usah pakai seragam atau kebaya segala…”
“Hihi. Enak aja, pakai kebaya. Ini enggak enak aja, masa’ tamu dihadapi dengan daster butut.”
Keduanya terkekeh, dan Avis menghilang sejenak ke kamar. Tak lama keluar dengan jeans dan kaus, tidak begitu butut seperti seragam nyegik, tapi tidak sebagus kaus terbarunya.
”Ya, kalau sudah ganti begitu, mending kita jalan aja yuk? Mau nge-baso nggak?” tawar Yudha.
“Pergi? Males ah, lagian ini penyamaran, tau. Masa’ nggak tau kalau aku belum mandi?” kekeh Avis.
”Ya, ampun! Belum mandi? Jam segini?” Yudha menggeleng-gelengkan kepala.
“Iya sih, tadinya sehabis mencuci baju mau mandi, tapi tadi jadi mendadak males.”
“Idih!”
“Tapi nggak bau kok, dan udah sikat gigi tadi sebelum makan,” kilah Avis. “Lagian, kalau pengen makan baso, nungguin mang Ajo aja yuk?” bujuk Avis.
”Ya, udah. Nungguin mang Ajo juga boleh.”
Dan percakapan bergulir seperti biasa. Memperlihatkan buku yang ingin dibaca, atau yang tidak ingin dibaca. Bik Niah menyajikan pisang goreng. Mami pulang dari arisan RT dan bertanya apakah Yudha sudah disuguhi belum, dan menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan pengakuan Avis kalau dia itu belum mandi.
”Ampun, si Ade! Nyanghareupan pamuda, can mandi. Mandi heula, kaditu!” sentak Mami. Avis cepat-cepat berdiri dan berlari ke kamar mandi sambil cekikikan mendengar Mami sewot.
Tetapi itu hanya permukaan saja. Avis tahu, Yudha sedang tak menentu hatinya. Terkadang ia bisa mencuri lihat, dalam seperdetik dari waktunya, bahwa dia sudah ingin bertanya. Bahwa dia sudah ingin kepastian. Tapi tidak bisa. Karena dia sendiri yang memberikan waktu tanpa batas pada Avis untuk mengeluarkan jawaban.
Avis sendiri takut. Ia takut memberikan jawaban.
Pertama, ia takut memberi jawaban yang salah. Karena hatinya sampai sekarang masih belum menentu. Ia tidak tahu, apakah Yudha adalah jawaban bagi keinginannya, harapannya. Jadi, ya atau tidak? Dan ia merasa sudah cukup dengan keadaan pertemanan seperti sekarang, sama seperti ia bersahabat dengan Tio, dengan kawan-kawan laki-laki lainnya, bahkan sama dengan kawan-kawan perempuannya kalau ingin lebih jelas. Kalau ia menjawab ya, apakah Yudha memang impiannya? Kalau ia menjawab tidak, apakah ia tidak akan menyesal?
Lalu, ia juga takut menjawab. Takut akan reaksi Yudha. Walau ia sudah berjanji tidak akan berbuat yang tidak-tidak, tapi siapa yang akan menjamin? Kalau ia menjawab tidak, akankah Yudha berbesar hati? Dan lebih sulit lagi, akankah ada hari-hari seperti ini nanti? Atau Yudha akan menghilang dari kehidupannya?
Dan kalau ia menjawab ya, Avis mengeluh, ia memang berpikir terlalu jauh, tapi dengan prospek pekerjaannya di kota, prospek pekerjaan Yudha juga di kota, kapankah dia bisa melihat elang lagi?
Avis menghela napas. Hal kecil memang. Tapi mengganjal.
Ia ingin seperti Aa. Sedari awal sudah memetakan keinginan, kuliah dengan ilmu yang memungkinkan ia bekerja di ujung dunia, jauh dari keramaian. Dengan alam yang masih asri. Punya istri yang senapas dengannya.
Jauh pikirannya. Tidak seperti Avis yang baru sekarang ini menyadari, bahwa ada sepotong kecil hidupnya yang tertinggal di sarang elang itu, kemarin. Baru kemarin ia menyadarinya.
Malam itu ketika ia melepas Yudha pulang, ia resah. Apakah ia akan terus membiarkan Yudha menggantungkan harapan seperti tadi? Matanya, mata Yudha seperti yang terus bertanya, apakah jawabanmu?
Avis juga gelisah. Malam itu ia susah tidur, walau tadi siang ia merasa masih sangat mengantuk.
Menjelang pagi baru ia memutuskan, ia akan mengatakannya pada Yudha. Secepatnya. Sebentar lagi ujian, dan sesudahnya ia harus menyiapkan tesisnya, berarti ia sudah tidak boleh terganggu dengan hal-hal lain. Bagaimana pun hasilnya. Bagaimana pun sakit hatinya, sakit hati Yudha nantinya.
Dengan keputusan itu ia barulah bisa tertidur.
*****
Jus alpuketnya sudah sedari tadi diaduk-aduknya. Kalaulah jus itu putih telur, tentu sekarang keadaannya sudah mencapai stadium bisa dibalikkan tanpa tumpah saking sudah sering sekali diaduk.
Isinya memang baru diminum setengah, demikian pula gelas Yudha. Bedanya dia sama sekali tidak mengaduk isi gelasnya.
”Jadi, itu jawabanmu, Vis?” Yudha memecah keheningan yang terjadi di antara mereka selama beberapa saat.
Avis hanya bisa mengangguk. Tidak berani ia memandang langsung ke matanya, sepertinya mata itu mengandung sorotan yang mematikan. Tetapi tidak.
”Vis,” sahutnya pelan.
Avis terpaksa mengangkat kepalanya dan memandang matanya. Ia terkejut mendapat hal yang lain sama sekali dari yang ia duga.
”Aku pernah bilang kalau aku tidak akan menanyakan alasanmu,” sahutnya masih pelan.
Avis mengangguk. Sebenarnya, jika Yudha menanyakan hal itu, ia tak tahu apa jawabannya. Sama sekali.
”Aku tidak akan menanyakan alasanmu, Vis. Aku cuma ingin,” ia menghela napas panjang seperti tidak yakin, ”ingin menanyakan. Bolehkah,” ia menunduk sejenak. Setelah sedetik-dua detik, ia mengangkat kepalannya, seakan mengumpulkan keberanian. ”Bolehkah aku tetap mengunjungimu? Aku tidak ingin menanyakan apakah ada orang lain di hatimu, kalau ada tentu ia akan sering mengunjungimu. Dan aku tentu akan mundur teratur. Tapi, selama seseorang itu belum ada, bolehkan aku tetap mengunjungimu seperti dulu?”
Avis mengangguk pelan. Berat. Keinginannya selama ini sih begitu, tapi apakah itu akan terlaksana? Bisa dalam suasana seperti dulu lagi?
”Terima kasih, Vis,” gumam Yudha nyaris tak terdengar. Nampaknya dia juga gugup tapi dia mencoba menutupinya. “Dan, bukannya mencoba mencari alasan, Vis, tapi …” dia nampak ragu sejenak, “tapi, apakah memang ada orang lain di hatimu?”
Avis menggeleng, juga pelan. Ragu. Ia tidak tahu, tapi beberapa malam di Hambalang nampaknya mengubah segalanya. Avis mencoba menepis pendapat itu. Nata? Nata itu tidak akan masuk ke dalam deretan ‘Top Ten’ laki-laki dalam hatinya. Apalagi dengan perangainya yang berubah-ubah seperti itu.
Tidak, ujar Avis keras-keras dalam hati, bukan Nata yang membuatku menolakmu, Yudha, aku memang tidak ingin saja, keluhnya.
“Tidak ada walau jauh-jauh di Bogor?” Yudha nampak mencoba bergurau, dan Avis juga mencoba tertawa.
“Di Bogor? Adanya juga pak Praja dan pak Hadi. Anaknya pak Praja udah gede, udah gadis, rasanya sudah enambelas tahun. Kalau kau mau nanti aku teleponkan Aa,” Avis mencoba menutupi galaunya hati.
”Yah, paling juga sudah laku,” ia tahu Yudha berpura-pura manyun juga untuk menutupi hatinya sendiri juga.
”Jadi, bulan depan ujian, sudah siap?” Yudha bertanya dengan suara yang hampa.
Avis mengangguk. “Ya, disiapkan saja. Siap tidak siap harus siap. Dan setelah itu, persiapan untuk maju. Kau juga akan maju?”
”Insya Allah. Bahan sudah terkumpul, sebagian sudah diketik, mungkin sehabis ujian akan dikerjakan. Ngebut. Habis Ayah sudah ribut menagih akan membantu di perusahaannya.”
Satu lagi kekuranganya, pikir Avis. Atau kelebihannya? Untuk biaya sehari-hari Yudha sudah tak pernah meminta lagi pada orangtua, dia memperolehnya dari usahanya di Jakarta. Tapi, untuk pekerjaan, ia tetap saja akan bekerja di perusahaan ayahnya, tidak mencari pekerjaan sendiri atau mendirikan biro dengan teman-temannya.
Apakah ... ia termasuk yang takut akan perubahan? Lebih menyukai yang mapan?
Apalagi kalau ia mengiyakan permintaan Yudha, mungkin ia akan terus di kota? Dan bukan di Bandung saja nampaknya, kalau tersirat dari pernyataannya tadi, ia sepertinya akan bekerja di Jakarta.
Avis menghela napas.
”Kita .. pulang saja?” tanyanya ragu. ”Aku masih ada kerjaan di rumah,” tambahnya.
Yudha mengangguk, lalu keduanya berdiri. Avis sudah mengeluarkan dompetnya karena biasanya juga BM, tapi Yudha menahan tangannya.
”Biar aku saja kali ini,” katanya perlahan. Avis tidak memaksa.
Yudha mengantarnya sampai di jalan. Ditunggunya sampai Avis naik angkot, dilambaikannya tangan, dan berbalik saat angkot itu sudah berjalan.
Selamat tinggal, Yudha, bisik Avis dalam hati, walau ia menyetujui bahwa hubungan persahabatan mereka tidak akan berubah, tetapi ia tahu, itu akan berubah. Tidak akan sehangat dulu. Tidak akan seramai dulu. Tidak akan sespontan seperti dulu.
Mulanya memang karena ujian, mereka akan jarang bertemu, lalu karena menyiapkan bahan tesis masing-masin, dan kemudian setelah itu pekerjaan mereka akan membawa semakin jauh berjalan sendiri-sendiri.
Yeah. Perfect. Kau sempurna sekali merencanakan semua ini, Avis, pikirnya dalam hati. Kau memang jahat sekali. Tapi, tidak. Aku memang tidak bisa berjalan dengannya, pikir Avis kelu.
~0~0~0~0~0~0
Wordcount: 1.556
Akumulasi: 32.962 (MS Word) 32.939 (NaNoValidator)
Target: 33.337
Mami terus saja bertanya, bagaimana hidup di lokasi perkebunan? Bagaimana teh Alia, betah? Apa kira-kiranya ada prospek untuk dipindahkan ke kota?
Yee, si Mami mah. Si Aa itu dari dulu memang mengidamkan bekerja di lokasi seperti perkebunan ini. Makanya begitu ada lowongan langsung disamber. Sepertinya kalaupun gajinya tidak memuaskan, situasi pekerjaan yang bikin dia betah. Apalagi gajinya jauh melebihi harapan. Jadi, jangan mimpi memindahkan si Aa ke kota, pekerjaan sudah dapat seperti yang diharapkan, gaji memenuhi keinginan, malah lebih, dan dapat istri yang lebih suka memilah varietas teh daripada memilah gosip artis, apalagi coba?
Avis mengeluh dalam hati. Coba dia bisa dapat semua keinginan seperti Aa. Sedang pekerjaan dia nantinya, sepertinya tidak bisa di tengah desa di kaki gunung. Kalau melihat pendidikannya, pekerjaan yang menanti dia adalah di kota, di tengah kota.
Kenapa sih dulu malah milih psikologi, rutuk Avis. Coba kalau milih biologi atau apapun, yang akhirnya bisa menyelidiki elang, keluhnya sedih.
Tapi kepada orang lain, ditutupnya rapat-rapat. Tidak ada yang tahu. Bahkan Mami dan Bik Niah. Juga pada Yudha.
Yudha datang ke rumah besoknya, pas Avis masih mengantuk tapi harus bangun pagi dan mencuci semua bajunya, dan berniat untuk tidur kembali sesudahnya. Tapi niatnya batal.
”Hai!” tegurnya parau.
”Kenapa suaranya begitu? Masih capek ya? Sudah, sana tidur lagi! Aku pulang lagi saja,” sahutnya menawarkan.
Avis tertawa. ”Ya, kalau kamu sudah di sini sih, bagaimana bisa tidur lagi. Kehadiranmu itu bisa bikin orang insomnia, mikir apa barang-barang yang ada di sini masih komplit enggak!”
Yudha terkekeh. ”Apa bukan sebaliknya? Aku bisa bikin insomnia karena terus terpikirkan?”
Avis juga terkekeh sambil meninju Yudha main-main. “Duduk dulu, Yud. Aku ganti baju dulu.”
“Ya, nggak usah ganti baju. Aku kan bukan tamu agung, nggak usah pakai seragam atau kebaya segala…”
“Hihi. Enak aja, pakai kebaya. Ini enggak enak aja, masa’ tamu dihadapi dengan daster butut.”
Keduanya terkekeh, dan Avis menghilang sejenak ke kamar. Tak lama keluar dengan jeans dan kaus, tidak begitu butut seperti seragam nyegik, tapi tidak sebagus kaus terbarunya.
”Ya, kalau sudah ganti begitu, mending kita jalan aja yuk? Mau nge-baso nggak?” tawar Yudha.
“Pergi? Males ah, lagian ini penyamaran, tau. Masa’ nggak tau kalau aku belum mandi?” kekeh Avis.
”Ya, ampun! Belum mandi? Jam segini?” Yudha menggeleng-gelengkan kepala.
“Iya sih, tadinya sehabis mencuci baju mau mandi, tapi tadi jadi mendadak males.”
“Idih!”
“Tapi nggak bau kok, dan udah sikat gigi tadi sebelum makan,” kilah Avis. “Lagian, kalau pengen makan baso, nungguin mang Ajo aja yuk?” bujuk Avis.
”Ya, udah. Nungguin mang Ajo juga boleh.”
Dan percakapan bergulir seperti biasa. Memperlihatkan buku yang ingin dibaca, atau yang tidak ingin dibaca. Bik Niah menyajikan pisang goreng. Mami pulang dari arisan RT dan bertanya apakah Yudha sudah disuguhi belum, dan menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan pengakuan Avis kalau dia itu belum mandi.
”Ampun, si Ade! Nyanghareupan pamuda, can mandi. Mandi heula, kaditu!” sentak Mami. Avis cepat-cepat berdiri dan berlari ke kamar mandi sambil cekikikan mendengar Mami sewot.
Tetapi itu hanya permukaan saja. Avis tahu, Yudha sedang tak menentu hatinya. Terkadang ia bisa mencuri lihat, dalam seperdetik dari waktunya, bahwa dia sudah ingin bertanya. Bahwa dia sudah ingin kepastian. Tapi tidak bisa. Karena dia sendiri yang memberikan waktu tanpa batas pada Avis untuk mengeluarkan jawaban.
Avis sendiri takut. Ia takut memberikan jawaban.
Pertama, ia takut memberi jawaban yang salah. Karena hatinya sampai sekarang masih belum menentu. Ia tidak tahu, apakah Yudha adalah jawaban bagi keinginannya, harapannya. Jadi, ya atau tidak? Dan ia merasa sudah cukup dengan keadaan pertemanan seperti sekarang, sama seperti ia bersahabat dengan Tio, dengan kawan-kawan laki-laki lainnya, bahkan sama dengan kawan-kawan perempuannya kalau ingin lebih jelas. Kalau ia menjawab ya, apakah Yudha memang impiannya? Kalau ia menjawab tidak, apakah ia tidak akan menyesal?
Lalu, ia juga takut menjawab. Takut akan reaksi Yudha. Walau ia sudah berjanji tidak akan berbuat yang tidak-tidak, tapi siapa yang akan menjamin? Kalau ia menjawab tidak, akankah Yudha berbesar hati? Dan lebih sulit lagi, akankah ada hari-hari seperti ini nanti? Atau Yudha akan menghilang dari kehidupannya?
Dan kalau ia menjawab ya, Avis mengeluh, ia memang berpikir terlalu jauh, tapi dengan prospek pekerjaannya di kota, prospek pekerjaan Yudha juga di kota, kapankah dia bisa melihat elang lagi?
Avis menghela napas. Hal kecil memang. Tapi mengganjal.
Ia ingin seperti Aa. Sedari awal sudah memetakan keinginan, kuliah dengan ilmu yang memungkinkan ia bekerja di ujung dunia, jauh dari keramaian. Dengan alam yang masih asri. Punya istri yang senapas dengannya.
Jauh pikirannya. Tidak seperti Avis yang baru sekarang ini menyadari, bahwa ada sepotong kecil hidupnya yang tertinggal di sarang elang itu, kemarin. Baru kemarin ia menyadarinya.
Malam itu ketika ia melepas Yudha pulang, ia resah. Apakah ia akan terus membiarkan Yudha menggantungkan harapan seperti tadi? Matanya, mata Yudha seperti yang terus bertanya, apakah jawabanmu?
Avis juga gelisah. Malam itu ia susah tidur, walau tadi siang ia merasa masih sangat mengantuk.
Menjelang pagi baru ia memutuskan, ia akan mengatakannya pada Yudha. Secepatnya. Sebentar lagi ujian, dan sesudahnya ia harus menyiapkan tesisnya, berarti ia sudah tidak boleh terganggu dengan hal-hal lain. Bagaimana pun hasilnya. Bagaimana pun sakit hatinya, sakit hati Yudha nantinya.
Dengan keputusan itu ia barulah bisa tertidur.
*****
Jus alpuketnya sudah sedari tadi diaduk-aduknya. Kalaulah jus itu putih telur, tentu sekarang keadaannya sudah mencapai stadium bisa dibalikkan tanpa tumpah saking sudah sering sekali diaduk.
Isinya memang baru diminum setengah, demikian pula gelas Yudha. Bedanya dia sama sekali tidak mengaduk isi gelasnya.
”Jadi, itu jawabanmu, Vis?” Yudha memecah keheningan yang terjadi di antara mereka selama beberapa saat.
Avis hanya bisa mengangguk. Tidak berani ia memandang langsung ke matanya, sepertinya mata itu mengandung sorotan yang mematikan. Tetapi tidak.
”Vis,” sahutnya pelan.
Avis terpaksa mengangkat kepalanya dan memandang matanya. Ia terkejut mendapat hal yang lain sama sekali dari yang ia duga.
”Aku pernah bilang kalau aku tidak akan menanyakan alasanmu,” sahutnya masih pelan.
Avis mengangguk. Sebenarnya, jika Yudha menanyakan hal itu, ia tak tahu apa jawabannya. Sama sekali.
”Aku tidak akan menanyakan alasanmu, Vis. Aku cuma ingin,” ia menghela napas panjang seperti tidak yakin, ”ingin menanyakan. Bolehkah,” ia menunduk sejenak. Setelah sedetik-dua detik, ia mengangkat kepalannya, seakan mengumpulkan keberanian. ”Bolehkah aku tetap mengunjungimu? Aku tidak ingin menanyakan apakah ada orang lain di hatimu, kalau ada tentu ia akan sering mengunjungimu. Dan aku tentu akan mundur teratur. Tapi, selama seseorang itu belum ada, bolehkan aku tetap mengunjungimu seperti dulu?”
Avis mengangguk pelan. Berat. Keinginannya selama ini sih begitu, tapi apakah itu akan terlaksana? Bisa dalam suasana seperti dulu lagi?
”Terima kasih, Vis,” gumam Yudha nyaris tak terdengar. Nampaknya dia juga gugup tapi dia mencoba menutupinya. “Dan, bukannya mencoba mencari alasan, Vis, tapi …” dia nampak ragu sejenak, “tapi, apakah memang ada orang lain di hatimu?”
Avis menggeleng, juga pelan. Ragu. Ia tidak tahu, tapi beberapa malam di Hambalang nampaknya mengubah segalanya. Avis mencoba menepis pendapat itu. Nata? Nata itu tidak akan masuk ke dalam deretan ‘Top Ten’ laki-laki dalam hatinya. Apalagi dengan perangainya yang berubah-ubah seperti itu.
Tidak, ujar Avis keras-keras dalam hati, bukan Nata yang membuatku menolakmu, Yudha, aku memang tidak ingin saja, keluhnya.
“Tidak ada walau jauh-jauh di Bogor?” Yudha nampak mencoba bergurau, dan Avis juga mencoba tertawa.
“Di Bogor? Adanya juga pak Praja dan pak Hadi. Anaknya pak Praja udah gede, udah gadis, rasanya sudah enambelas tahun. Kalau kau mau nanti aku teleponkan Aa,” Avis mencoba menutupi galaunya hati.
”Yah, paling juga sudah laku,” ia tahu Yudha berpura-pura manyun juga untuk menutupi hatinya sendiri juga.
”Jadi, bulan depan ujian, sudah siap?” Yudha bertanya dengan suara yang hampa.
Avis mengangguk. “Ya, disiapkan saja. Siap tidak siap harus siap. Dan setelah itu, persiapan untuk maju. Kau juga akan maju?”
”Insya Allah. Bahan sudah terkumpul, sebagian sudah diketik, mungkin sehabis ujian akan dikerjakan. Ngebut. Habis Ayah sudah ribut menagih akan membantu di perusahaannya.”
Satu lagi kekuranganya, pikir Avis. Atau kelebihannya? Untuk biaya sehari-hari Yudha sudah tak pernah meminta lagi pada orangtua, dia memperolehnya dari usahanya di Jakarta. Tapi, untuk pekerjaan, ia tetap saja akan bekerja di perusahaan ayahnya, tidak mencari pekerjaan sendiri atau mendirikan biro dengan teman-temannya.
Apakah ... ia termasuk yang takut akan perubahan? Lebih menyukai yang mapan?
Apalagi kalau ia mengiyakan permintaan Yudha, mungkin ia akan terus di kota? Dan bukan di Bandung saja nampaknya, kalau tersirat dari pernyataannya tadi, ia sepertinya akan bekerja di Jakarta.
Avis menghela napas.
”Kita .. pulang saja?” tanyanya ragu. ”Aku masih ada kerjaan di rumah,” tambahnya.
Yudha mengangguk, lalu keduanya berdiri. Avis sudah mengeluarkan dompetnya karena biasanya juga BM, tapi Yudha menahan tangannya.
”Biar aku saja kali ini,” katanya perlahan. Avis tidak memaksa.
Yudha mengantarnya sampai di jalan. Ditunggunya sampai Avis naik angkot, dilambaikannya tangan, dan berbalik saat angkot itu sudah berjalan.
Selamat tinggal, Yudha, bisik Avis dalam hati, walau ia menyetujui bahwa hubungan persahabatan mereka tidak akan berubah, tetapi ia tahu, itu akan berubah. Tidak akan sehangat dulu. Tidak akan seramai dulu. Tidak akan sespontan seperti dulu.
Mulanya memang karena ujian, mereka akan jarang bertemu, lalu karena menyiapkan bahan tesis masing-masin, dan kemudian setelah itu pekerjaan mereka akan membawa semakin jauh berjalan sendiri-sendiri.
Yeah. Perfect. Kau sempurna sekali merencanakan semua ini, Avis, pikirnya dalam hati. Kau memang jahat sekali. Tapi, tidak. Aku memang tidak bisa berjalan dengannya, pikir Avis kelu.
~0~0~0~0~0~0
Wordcount: 1.556
Akumulasi: 32.962 (MS Word) 32.939 (NaNoValidator)
Target: 33.337
0 Comments:
Post a Comment
<< Home