Hari Kedelapanbelas
Matahari sudah tidak begitu panas ketika Avis naik lagi ke puncak. Begitu sampai di sana, Nata sudah ada, sedang meneropong ke arah sarang.
”Hei, sudah lama?” tegur Avis.
”Belum. Baru sampai,” jawab Nata tak acuh sambil matanya terus ada pada teropongnya.
Tanpa banyak bicara, Avis duduk di sebelahnya, mengeluarkan teropongnya dan ikut memandang ke arah yang sama. Arah matahari yang sekarang membelakangi mereka membuat sarang itu jadi terlihat gelap. Tapi kedua elang dewasa itu masih terlihat jelas, pseperti sedang menyelisiki bulu. Anaknya mungkin sedang duduk (depa dalam bahasa Sunda, bahasa Indonesianya apa ya?) sehingga tak terlihat.
Agak lama mereka menatap pemandangan itu, ketika matahari semakin turun dan alam semakin gelap.
”Jadi, sekarang liat apa?” tanya Avis tak tahan akan rasa penasarannya, dan menurunkan teropongnya.
”Lihat ke sini,” Nata juga menurunkan teropongnya dan menunjuk ke satu arah. Otomatis teropongnya juga diarahkan ke sana. Avis ikut-ikutan. Seperti ... mulut gua? Avis melihat dengan seksama. Terus hubungannya dengan elang apa?
Seakan membaca pikiran Avis, Nata menjelaskan, ”Lihat elangnya, ia pergi ke mana.”
Avis mengalihkan teropongnya kembali ke sarang. Terlihat kedua elang itu bersiap terbang, tapi tidak terbang jauh. Tidak meniti angin rupanya, entah karena memang tidak ada angin atau bagaimana. Sepasang sayapnya dikepakkan, dan menukik ke arah .. mulut gua itu. Mereka hinggap di ranting dekat mulut gua, dan menunggu dengan sabar.
Sabar, karena Avis nampaknya sudah tak sabar. Untung saja tempatnya jauh, sehingga kedua elang itu tidak sadar sedang diamati. Kalau mereka dekat, tentu saja kedua elang itu pasti sudah terbang karena merasa digebah.
Dan begitu matahari mulai terbenam, ratusan kelelawar mulai keluar dari mulut gua itu. Fantastis karena matahari yang menjingga diwarnai ratusan kelelawar, dan juga dengan perburuan yang sedang berlangsung! Ya, kedua elang itu kemudian menukik ke dalam formasi ratusan kelelawar dan seperti mudah saja, menyambar korbannya, kelelawar yang sedang terbang itu, dan dengan kecepatan yang menakjubkan juga mereka keluar dari formasi dan terbang kembali ke sarangnya!
Avis begitu terpesonanya hingga matanya tak lepas dari teropongnya walau adegan itu sudah berlalu. Dan alam sudah semakin gelap sehingga nyaris tidak bisa dilihat lagi oleh teropongnya. Yah, sayangnya teropongya tidak dilengkapi dengan peralatan untuk melihat dalam gelap, dengan infrared seperti tentara, begitu!
“Sudah?” Nata memecah keterpesonaan Avis.
“Fiuh,” Avis menurunkan teropongnya. Nata kelihatannya sudah dari tadi menurunkan teropongnya, dan Avis jadi tersipu, mungkin saja Nata dari tadi memperhatikannya!
”Itu ... tadi, setiap hari?” tanyanya takjub.
Nata mengangguk. ”Kalau tidak mendung atau hujan, hampir tiap hari. Mereka berburu makan malam di gua itu, kelelawar yang keluar dari gua.”
Avis menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Kamu tahu dari mana mereka berburu seperti itu? Oya, tentu saja, kamu tiap hari di sini..”
Nata seperti tersenyum, ”Tidak sengaja. Sejak aku menemukan sarang itu dan mengamatinya, kuperhatikan juga tiap sore ternyata mereka berburu kelelawar. Dengan manuver yang menakjubkan begitu.”
Avis sekarang menggantungkan teropongnya dari leher. Sudah terlalu gelap untuk meneropong lagi. Ia berdiri. Nata juga berdiri dan berjalan untuk mulai turun.
”Makasih, ya Nata.”
Nata menoleh, dan pandangannya seperti bertanya.
”Untuk semuanya. Dari yang pertama, sampai yang tadi. Kau mau membaginya untukku. Makasih ya!”
Nata mengangguk, dan mengisyaratkan agar Avis berjalan duluan. Nata mengikutinya. Mereka berjalan tanpa bicara.
Sampai di Rumah Kaca Nata tidak berhenti, jadi Avis menyimpulkan bahwa Nata juga akan turun bersama ke Rumah Besar. Masih tak bicara, mereka berjalan berturutan. Nata karena sudah biasa, jalannya lebih lancar, sedang Avis masih meraba-raba. Sayang ia tidak membawa senter, tapi sekarang kan ada Nata, lagian kalau ia membawa senter mungkin akan ditertawakan, baru magrib saja sudah harus bawa senter. Avis berpikir, sampai di Bandung ia mesti ke dokter mata untuk memeriksa apakah dia rabun senja karena sepertinya Aa, pak Praja, pak Hadi, Nata, dan yang lain-lainnya berjalan di kegelapan dengan santai saja, sementara dia seperti orang buta begitu!
Baru saja ia berpikir begitu, kakinya salah menginjak, dan ia terpeleset!
Untung saja Nata menangkapnya di saat yang tepat. Jantungnya nyaris copot. Pertama, karena terpelesetnya. Kaget. Dan yang kedua, Nata menangkapnya refleks. Kaget yang kedua!
”Sori. Sori. Nggak keliatan,” apologinya saat ia sudah berdiri tegak lagi. Seolah-olah ia telah berbuat kesalahan, nada suaranya jadi begitu.
”Nggak, nggak apa-apa. Kalau memang belum biasa, pasti kelihatannya gelap,” sahutnya melepas pegangannya. ”Kalau begitu aku di depan saja ya?” sahutnya, lalu tanpa menunggu persetujuan Avis, ia menyalip sehingga berada di depan Avis, lalu tangannya memegang tangan Avis lagi, membimbingnya, dan mereka melanjutkan turun berdua seperti itu.
Ada yang aneh. Ada rasa yang aneh di dada Avis, di jiwa Avis, di sukmanya. Seperti ada yang ia kenal. Seperti ada yang familiar, sesuatu yang seharusnya ada dari dulu. Tapi, apakah itu?
Avis tak bisa menjawabnya, ia tak tahu. Dan terus terang, dengan perasaan seperti bersalah yang menyelimutinya, ia merasa nyaman dalam genggaman Nata.
Mereka sampai di Rumah Besar, dan Nata melepaskan tangannya. Avis sudah akan mengucapkan terima kasih ketika Aa muncul dari Rumah Besar.
”Ah, kebetulan. De, kata pak Praja malam ini makan di sini saja. Sudah kamu langsung ke dalam saja, Aa manggil teh Alia.”
”Mending aku ke rumah dulu. Shalat magrib dulu, trus ke sini bareng teteh,” katanya.
“OK, kalau begitu. Tapi jangan lama-lama. Jangan pake dandan dulu!”
Avis melengos sambil cemberut, dan Ardi kembali ke Rumah Besar bersama Nata, sama-sama menertawakan Avis.
Kenapa kalau Nata dengan Aa bisa tertawa lepas begitu? Kenapa waktu dengannya, ia seperti susah sekali bahkan untuk tersenyum? Padahal sepertinya ia mudah bercakap dengannya, hanya senyum dan tawa yang sepertinya susah sekali keluar?
Ah, Avis mempercepat jalannya, dan melupakan pikiran itu. Ia membuka pintu dan mendapati teh Alia sedang bersiap akan ke dapur.
”Teh, kata Aa makan di Rumah Besar saja, pak Praja yang ngundang. Tapi aku mau shalat dulu ya, Teh!” sahutnya bergegas ke kamar mandi.
Hanya sepuluh menit dan dia sudah berjalan bersama dengan teh Alia ke Rumah Besar. Kali ini sepertinya lebih banyak yang akan makan, tidak seperti kemarin. Meja makan juga digeser ke tepi, kursi-kursinya di pindahkan ke sisi sebelah lain, dan karpet-karpet ditambah.
Seperti ada perayaan?
”Nggak,” kata Aa, ”di sini sih kalau mau makan bareng seperti ini, usul saja, ada bahan, langsung jadi,” Aa menunjukkan pada makanan yang sudah tersedia di meja.
”Hayo!” pak Praja segera menggebah mereka agar segera bergerak mengisi piring-piring, ”jangan malu-malu! Yang malu-malu nggak bakal kebagian.”
Meski langsung acara makan, tanpa basa-basi, tapi kemudian Avis tahu ini acara untuk menyambut kedatangan anggota baru mereka, teh Alia. Dan ia kemudian juga tahu bahwa sebagian besar pekerja, staf peneliti maupun administrasi adalah bujangan. Dan mereka menaruh harapan bahwa Avis juga sebentar lagi akan bergabung dengan mereka sebagai anggota baru.
“Dengan sayah saja, Non Apis. Sudah teruji!” seorang yang ia tahu sebagai Bagas, memuji diri, dan disambut oleh ‘huuuuu’ para pekerja yang lain.
“Teruji apanya? Teruji kegagalannya?” seorang nyeletuk dan disambut tawa riuh yang lainnya.
Avis hanya tersenyum-senyum saja mendengar semuanya. Ia tahu, mereka hanya ingin mengakrabkan diri saja, tidak ada maksud lain.
”Nanti dulu,” sahut pak Praja berlagak serius, ”Jangan bertanya dulu pada yang bersangkutan. Lihat dulu, ada pengawalan nggak?” selidiknya.
Pecah tawa lagi disusul Ardi yang maju dan memperagakan seolah dia sedang melakukan pengawalan pada Avis. Susul menyusul mereka saling meledek, apakah meledek Ardi, atau memperlihatkan pada khalayak bahwa mereka sedang mengejar Avis, atau ada yang kecewa karena teh Alia dibawa ke situ dalam keadaan sudah ’dimiliki’.
Keadaan berubah agak serius saat seseorang bertanya pendidikan Avis.
“Psikologi,” katanya, tanpa bermaksud pamer.
”Pak Praja,” kata orang tadi, ”kira-kira di sini perlu tenaga psikolog nggak? Biar dia nggak usah pulang lagi...”
Dan ruangan berubah menjadi perang antar suku, perebutan wilayah, dan klaim senjata, hihi.
Hanya ada satu yang tidak ikut menceburkan diri pada kancah peperangan itu. Nata.
Nata hanya duduk di sudut, memegang cangkirnya, sesekali meminumnya dan mengisinya kembali. Bik Juju memang menyediakan bajigur sepanci penuh plus singkong dan kacang rebus.
Avis tak sengaja melihatnya saat ia berbalik hendak menyimpan cangkirnya.
Nata sedang melihat padanya. Tepat padanya. Tajam.
Hanya beberapa detik saja mereka berpandangan begitu, karena ia merasa tak kuat dilihat sedemikian. Ia cepat memalingkan mukanya. Berharap Nata tak melanjutkan memandangnya seperti itu. Seperti ... yang sedang menyelidik. Atau sedang memandang tertuduh. Entahlah, pandangannya sulit untuk ditafsirkan, ia mengeluh.
Kenapa? Ada apa dengan Nata? Sesaat seperti memberi kenyamanan padanya, sesaat justru mengerikan melihatnya. Apa yang sedang terjadi dengannya? Atau tepatnya, yang sedang terjadi dengan Nata?
Dan sesaat kemudian terpandang juga teh Alia, seperti yang sudah mengantuk. Dilihatnya jam tangan, sudah hampir jam sepuluh. Aa juga sepertinya sudah maklum, dan ia mendekati Avis.
“Kalau sudah mengantuk, pulang saja. Barengan sama Teteh. Mereka di sini biasanya sampai tengah malam, main kartu dan ular tangga.”
”Main ular tangga?” Avis terkekeh. Kalau para bujangan main kartu sih biasa, tapi main ular tangga? Itu sih mainan anak-anak!
Tapi Aa terkekeh juga, ”Nggak tau tuh, anak-anak di sini kesukaannya ular tangga. Entah dadunya yang aneh, entah lembar ular tangganya, tapi ular tangga mereka susah selesainya. Sekali-sekali nanti coba deh, dan kau tidak akan mencemoohkannya!”
Avis masih terkekeh ketika teh Alia mendekatinya. ”Pulang yuk! Udah ngantuk nih.”
”Ayo,” sahutnya, dan ia membiarkan teh Alia menarik tangannya, pamitan pada pak Praja.
”Pak Praja, terimakasih atas makanannya. Tapi kami sudah mengantuk ...”
”Dan kaum wanita memang sebaiknya tidur lebih awal, soalnya para bajingan-bajingan ini akan mengerjakan sesuatu yang sangat berbahaya,” sahutnya menahan tawa, ”Terima kasih kembali nak Alia. Dan nak Avis, mungkin besokpagi kau tidak akan bertemu denganku, pagi-pagi mungkin aku akan ke puncak. Jadi, selamat jalan, dan semoga dalam waktu dekat sudah kembali lagi ke sini.”
”Mudah-mudahan, pak” sahut Avis, ”saya senang di sini. Terima kasih pak.”
Pak Praja tersenyum. ”Oya, besok perginya dengan pak Hadi, ya. Tapi mungkin tidak akan sampai tujuan, paling juga diantar ke terminal bis.”
“Aduh, itu juga sudah terimakasih, pak. Asal sudah keluar dari jalan perkebunan, sudah masuk ke jalan besar juga itu sudah terimakasih.”
”Dan kalau perlu ke sini lagi, telepon saja nomer rumah ini, siapapun pasti akan menyampaikan pesanmu, siapapun yang mau keluar pasti akan menjemputmu,” kata pak Hadi menyela.
”Makasih pak, aduh makasih sekali!”
Mereka berdua menuruni undakan. Seseorang berteriak, ”Ardi! Kau nggak ikut pulang? Lebih rame mana, main ular tangga atau ular tangga? Hayo, pulang saja sana, jangan pura-pura!” dan seisi rumah menertawakannya.
Avis berpaling sejenak sambil terkekeh untuk melihat siapa yang main celetuk itu, tapi yang dia dapatkan adalah mata Nata yang memandangnya tajam-tajam.
~0~0~0~0~0
Wordcount: 1.691
Akumulasi: 30.104 (MS Word) 30.080 (NaNoValidator)
Target: 30.000
Dulu waktu baru mulai bikin plot, ada rasa bahwa cerita ini mungkin nggak akan nyampe 50.000. Palingan 30k udah selesai.
Sekarang, udah 30k, dan ternyata baru nyampe paling setengahnya-lah. Mungkin bahkan akan lebih panjang lagi... Hihi.
OK, OK, nanti kalau lebih dari 50k, dan dibutuhkan waktu lebih dari sebulan, yang oengen baca terusan cerita ini dateng aja ke sini, pasti di-apdet kok!
”Hei, sudah lama?” tegur Avis.
”Belum. Baru sampai,” jawab Nata tak acuh sambil matanya terus ada pada teropongnya.
Tanpa banyak bicara, Avis duduk di sebelahnya, mengeluarkan teropongnya dan ikut memandang ke arah yang sama. Arah matahari yang sekarang membelakangi mereka membuat sarang itu jadi terlihat gelap. Tapi kedua elang dewasa itu masih terlihat jelas, pseperti sedang menyelisiki bulu. Anaknya mungkin sedang duduk (depa dalam bahasa Sunda, bahasa Indonesianya apa ya?) sehingga tak terlihat.
Agak lama mereka menatap pemandangan itu, ketika matahari semakin turun dan alam semakin gelap.
”Jadi, sekarang liat apa?” tanya Avis tak tahan akan rasa penasarannya, dan menurunkan teropongnya.
”Lihat ke sini,” Nata juga menurunkan teropongnya dan menunjuk ke satu arah. Otomatis teropongnya juga diarahkan ke sana. Avis ikut-ikutan. Seperti ... mulut gua? Avis melihat dengan seksama. Terus hubungannya dengan elang apa?
Seakan membaca pikiran Avis, Nata menjelaskan, ”Lihat elangnya, ia pergi ke mana.”
Avis mengalihkan teropongnya kembali ke sarang. Terlihat kedua elang itu bersiap terbang, tapi tidak terbang jauh. Tidak meniti angin rupanya, entah karena memang tidak ada angin atau bagaimana. Sepasang sayapnya dikepakkan, dan menukik ke arah .. mulut gua itu. Mereka hinggap di ranting dekat mulut gua, dan menunggu dengan sabar.
Sabar, karena Avis nampaknya sudah tak sabar. Untung saja tempatnya jauh, sehingga kedua elang itu tidak sadar sedang diamati. Kalau mereka dekat, tentu saja kedua elang itu pasti sudah terbang karena merasa digebah.
Dan begitu matahari mulai terbenam, ratusan kelelawar mulai keluar dari mulut gua itu. Fantastis karena matahari yang menjingga diwarnai ratusan kelelawar, dan juga dengan perburuan yang sedang berlangsung! Ya, kedua elang itu kemudian menukik ke dalam formasi ratusan kelelawar dan seperti mudah saja, menyambar korbannya, kelelawar yang sedang terbang itu, dan dengan kecepatan yang menakjubkan juga mereka keluar dari formasi dan terbang kembali ke sarangnya!
Avis begitu terpesonanya hingga matanya tak lepas dari teropongnya walau adegan itu sudah berlalu. Dan alam sudah semakin gelap sehingga nyaris tidak bisa dilihat lagi oleh teropongnya. Yah, sayangnya teropongya tidak dilengkapi dengan peralatan untuk melihat dalam gelap, dengan infrared seperti tentara, begitu!
“Sudah?” Nata memecah keterpesonaan Avis.
“Fiuh,” Avis menurunkan teropongnya. Nata kelihatannya sudah dari tadi menurunkan teropongnya, dan Avis jadi tersipu, mungkin saja Nata dari tadi memperhatikannya!
”Itu ... tadi, setiap hari?” tanyanya takjub.
Nata mengangguk. ”Kalau tidak mendung atau hujan, hampir tiap hari. Mereka berburu makan malam di gua itu, kelelawar yang keluar dari gua.”
Avis menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Kamu tahu dari mana mereka berburu seperti itu? Oya, tentu saja, kamu tiap hari di sini..”
Nata seperti tersenyum, ”Tidak sengaja. Sejak aku menemukan sarang itu dan mengamatinya, kuperhatikan juga tiap sore ternyata mereka berburu kelelawar. Dengan manuver yang menakjubkan begitu.”
Avis sekarang menggantungkan teropongnya dari leher. Sudah terlalu gelap untuk meneropong lagi. Ia berdiri. Nata juga berdiri dan berjalan untuk mulai turun.
”Makasih, ya Nata.”
Nata menoleh, dan pandangannya seperti bertanya.
”Untuk semuanya. Dari yang pertama, sampai yang tadi. Kau mau membaginya untukku. Makasih ya!”
Nata mengangguk, dan mengisyaratkan agar Avis berjalan duluan. Nata mengikutinya. Mereka berjalan tanpa bicara.
Sampai di Rumah Kaca Nata tidak berhenti, jadi Avis menyimpulkan bahwa Nata juga akan turun bersama ke Rumah Besar. Masih tak bicara, mereka berjalan berturutan. Nata karena sudah biasa, jalannya lebih lancar, sedang Avis masih meraba-raba. Sayang ia tidak membawa senter, tapi sekarang kan ada Nata, lagian kalau ia membawa senter mungkin akan ditertawakan, baru magrib saja sudah harus bawa senter. Avis berpikir, sampai di Bandung ia mesti ke dokter mata untuk memeriksa apakah dia rabun senja karena sepertinya Aa, pak Praja, pak Hadi, Nata, dan yang lain-lainnya berjalan di kegelapan dengan santai saja, sementara dia seperti orang buta begitu!
Baru saja ia berpikir begitu, kakinya salah menginjak, dan ia terpeleset!
Untung saja Nata menangkapnya di saat yang tepat. Jantungnya nyaris copot. Pertama, karena terpelesetnya. Kaget. Dan yang kedua, Nata menangkapnya refleks. Kaget yang kedua!
”Sori. Sori. Nggak keliatan,” apologinya saat ia sudah berdiri tegak lagi. Seolah-olah ia telah berbuat kesalahan, nada suaranya jadi begitu.
”Nggak, nggak apa-apa. Kalau memang belum biasa, pasti kelihatannya gelap,” sahutnya melepas pegangannya. ”Kalau begitu aku di depan saja ya?” sahutnya, lalu tanpa menunggu persetujuan Avis, ia menyalip sehingga berada di depan Avis, lalu tangannya memegang tangan Avis lagi, membimbingnya, dan mereka melanjutkan turun berdua seperti itu.
Ada yang aneh. Ada rasa yang aneh di dada Avis, di jiwa Avis, di sukmanya. Seperti ada yang ia kenal. Seperti ada yang familiar, sesuatu yang seharusnya ada dari dulu. Tapi, apakah itu?
Avis tak bisa menjawabnya, ia tak tahu. Dan terus terang, dengan perasaan seperti bersalah yang menyelimutinya, ia merasa nyaman dalam genggaman Nata.
Mereka sampai di Rumah Besar, dan Nata melepaskan tangannya. Avis sudah akan mengucapkan terima kasih ketika Aa muncul dari Rumah Besar.
”Ah, kebetulan. De, kata pak Praja malam ini makan di sini saja. Sudah kamu langsung ke dalam saja, Aa manggil teh Alia.”
”Mending aku ke rumah dulu. Shalat magrib dulu, trus ke sini bareng teteh,” katanya.
“OK, kalau begitu. Tapi jangan lama-lama. Jangan pake dandan dulu!”
Avis melengos sambil cemberut, dan Ardi kembali ke Rumah Besar bersama Nata, sama-sama menertawakan Avis.
Kenapa kalau Nata dengan Aa bisa tertawa lepas begitu? Kenapa waktu dengannya, ia seperti susah sekali bahkan untuk tersenyum? Padahal sepertinya ia mudah bercakap dengannya, hanya senyum dan tawa yang sepertinya susah sekali keluar?
Ah, Avis mempercepat jalannya, dan melupakan pikiran itu. Ia membuka pintu dan mendapati teh Alia sedang bersiap akan ke dapur.
”Teh, kata Aa makan di Rumah Besar saja, pak Praja yang ngundang. Tapi aku mau shalat dulu ya, Teh!” sahutnya bergegas ke kamar mandi.
Hanya sepuluh menit dan dia sudah berjalan bersama dengan teh Alia ke Rumah Besar. Kali ini sepertinya lebih banyak yang akan makan, tidak seperti kemarin. Meja makan juga digeser ke tepi, kursi-kursinya di pindahkan ke sisi sebelah lain, dan karpet-karpet ditambah.
Seperti ada perayaan?
”Nggak,” kata Aa, ”di sini sih kalau mau makan bareng seperti ini, usul saja, ada bahan, langsung jadi,” Aa menunjukkan pada makanan yang sudah tersedia di meja.
”Hayo!” pak Praja segera menggebah mereka agar segera bergerak mengisi piring-piring, ”jangan malu-malu! Yang malu-malu nggak bakal kebagian.”
Meski langsung acara makan, tanpa basa-basi, tapi kemudian Avis tahu ini acara untuk menyambut kedatangan anggota baru mereka, teh Alia. Dan ia kemudian juga tahu bahwa sebagian besar pekerja, staf peneliti maupun administrasi adalah bujangan. Dan mereka menaruh harapan bahwa Avis juga sebentar lagi akan bergabung dengan mereka sebagai anggota baru.
“Dengan sayah saja, Non Apis. Sudah teruji!” seorang yang ia tahu sebagai Bagas, memuji diri, dan disambut oleh ‘huuuuu’ para pekerja yang lain.
“Teruji apanya? Teruji kegagalannya?” seorang nyeletuk dan disambut tawa riuh yang lainnya.
Avis hanya tersenyum-senyum saja mendengar semuanya. Ia tahu, mereka hanya ingin mengakrabkan diri saja, tidak ada maksud lain.
”Nanti dulu,” sahut pak Praja berlagak serius, ”Jangan bertanya dulu pada yang bersangkutan. Lihat dulu, ada pengawalan nggak?” selidiknya.
Pecah tawa lagi disusul Ardi yang maju dan memperagakan seolah dia sedang melakukan pengawalan pada Avis. Susul menyusul mereka saling meledek, apakah meledek Ardi, atau memperlihatkan pada khalayak bahwa mereka sedang mengejar Avis, atau ada yang kecewa karena teh Alia dibawa ke situ dalam keadaan sudah ’dimiliki’.
Keadaan berubah agak serius saat seseorang bertanya pendidikan Avis.
“Psikologi,” katanya, tanpa bermaksud pamer.
”Pak Praja,” kata orang tadi, ”kira-kira di sini perlu tenaga psikolog nggak? Biar dia nggak usah pulang lagi...”
Dan ruangan berubah menjadi perang antar suku, perebutan wilayah, dan klaim senjata, hihi.
Hanya ada satu yang tidak ikut menceburkan diri pada kancah peperangan itu. Nata.
Nata hanya duduk di sudut, memegang cangkirnya, sesekali meminumnya dan mengisinya kembali. Bik Juju memang menyediakan bajigur sepanci penuh plus singkong dan kacang rebus.
Avis tak sengaja melihatnya saat ia berbalik hendak menyimpan cangkirnya.
Nata sedang melihat padanya. Tepat padanya. Tajam.
Hanya beberapa detik saja mereka berpandangan begitu, karena ia merasa tak kuat dilihat sedemikian. Ia cepat memalingkan mukanya. Berharap Nata tak melanjutkan memandangnya seperti itu. Seperti ... yang sedang menyelidik. Atau sedang memandang tertuduh. Entahlah, pandangannya sulit untuk ditafsirkan, ia mengeluh.
Kenapa? Ada apa dengan Nata? Sesaat seperti memberi kenyamanan padanya, sesaat justru mengerikan melihatnya. Apa yang sedang terjadi dengannya? Atau tepatnya, yang sedang terjadi dengan Nata?
Dan sesaat kemudian terpandang juga teh Alia, seperti yang sudah mengantuk. Dilihatnya jam tangan, sudah hampir jam sepuluh. Aa juga sepertinya sudah maklum, dan ia mendekati Avis.
“Kalau sudah mengantuk, pulang saja. Barengan sama Teteh. Mereka di sini biasanya sampai tengah malam, main kartu dan ular tangga.”
”Main ular tangga?” Avis terkekeh. Kalau para bujangan main kartu sih biasa, tapi main ular tangga? Itu sih mainan anak-anak!
Tapi Aa terkekeh juga, ”Nggak tau tuh, anak-anak di sini kesukaannya ular tangga. Entah dadunya yang aneh, entah lembar ular tangganya, tapi ular tangga mereka susah selesainya. Sekali-sekali nanti coba deh, dan kau tidak akan mencemoohkannya!”
Avis masih terkekeh ketika teh Alia mendekatinya. ”Pulang yuk! Udah ngantuk nih.”
”Ayo,” sahutnya, dan ia membiarkan teh Alia menarik tangannya, pamitan pada pak Praja.
”Pak Praja, terimakasih atas makanannya. Tapi kami sudah mengantuk ...”
”Dan kaum wanita memang sebaiknya tidur lebih awal, soalnya para bajingan-bajingan ini akan mengerjakan sesuatu yang sangat berbahaya,” sahutnya menahan tawa, ”Terima kasih kembali nak Alia. Dan nak Avis, mungkin besokpagi kau tidak akan bertemu denganku, pagi-pagi mungkin aku akan ke puncak. Jadi, selamat jalan, dan semoga dalam waktu dekat sudah kembali lagi ke sini.”
”Mudah-mudahan, pak” sahut Avis, ”saya senang di sini. Terima kasih pak.”
Pak Praja tersenyum. ”Oya, besok perginya dengan pak Hadi, ya. Tapi mungkin tidak akan sampai tujuan, paling juga diantar ke terminal bis.”
“Aduh, itu juga sudah terimakasih, pak. Asal sudah keluar dari jalan perkebunan, sudah masuk ke jalan besar juga itu sudah terimakasih.”
”Dan kalau perlu ke sini lagi, telepon saja nomer rumah ini, siapapun pasti akan menyampaikan pesanmu, siapapun yang mau keluar pasti akan menjemputmu,” kata pak Hadi menyela.
”Makasih pak, aduh makasih sekali!”
Mereka berdua menuruni undakan. Seseorang berteriak, ”Ardi! Kau nggak ikut pulang? Lebih rame mana, main ular tangga atau ular tangga? Hayo, pulang saja sana, jangan pura-pura!” dan seisi rumah menertawakannya.
Avis berpaling sejenak sambil terkekeh untuk melihat siapa yang main celetuk itu, tapi yang dia dapatkan adalah mata Nata yang memandangnya tajam-tajam.
~0~0~0~0~0
Wordcount: 1.691
Akumulasi: 30.104 (MS Word) 30.080 (NaNoValidator)
Target: 30.000
Dulu waktu baru mulai bikin plot, ada rasa bahwa cerita ini mungkin nggak akan nyampe 50.000. Palingan 30k udah selesai.
Sekarang, udah 30k, dan ternyata baru nyampe paling setengahnya-lah. Mungkin bahkan akan lebih panjang lagi... Hihi.
OK, OK, nanti kalau lebih dari 50k, dan dibutuhkan waktu lebih dari sebulan, yang oengen baca terusan cerita ini dateng aja ke sini, pasti di-apdet kok!
0 Comments:
Post a Comment
<< Home