My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Sunday, November 18, 2007

Hari Kesembilanbelas

Sikap yang benar-benar aneh, Avis berpikir, saat ia masuk kamar dan berganti piama. Nata memang susah tersenyum, tapi dengan berubah-ubah sikap seperti ini dia menjadi bingung, bagaimana menempatkannya, sebagai kawan atau sebagai lawan yang harus diwaspadai?

Mengantuk, Avis mebaringkan diri di ranjang, memejamkan mata, dan dalam hitungan detik ia terseret ke alam lain.

Ke alam yang kemarin dulu ia masuki. Yang kemarin sudah ia lupakan.

Kali ini ia sedang menggunakan busana mewah, gemerlap bertabur permata. Kakuia berjalan selangkah-selangkah. Selain memang ini upacara, di mana ia harus bersiap sedemikian, juga busana ini juga alangkah beratnya. Untung saja upacara ini katanya tidak lama, pemahkotaan, pembacaan sumpah, keluar dari istana dan melambai pada rakyat, habis itu ia bisa masuk kamar melepas jubah yang berat ini dan berganti dengan busana pesta biasa untuk perayaan pelantikannya.

Berjalan di depan, Ki Seta dengan tongkat kebesarannya sebagai pembuka jalan. Di belakang Ki Seta dua dayang-dayang dengan keranjang bunga. Lalu dirinya diiringi oleh dua dayang-dayang lagi. Ki Seta kemudian berbalik menghadapinya saat ia sudah di depan takhta. Keempat dayang menyebar ke sisi. Ia lalu berlutut di depan Ki Seta dan Ki Seta merapal mantra sambil tangan kanannya direntangkan di atas kepala Dyah. Setelah menyelesaikan mantra lalu Ki Seta membuka kotak yang dibawa seorang dayang. Kotak berlapis beludru hitam itu dibuka dengan khidmat, dan terlihatlah sebuah diadem (halah! Harry Potter banget!) berkilauan.

Ki Seta menggumamkan mantra-mantra yang lain saat ia mengeluarkan diadem itu. Dyah menunduk, dan Ki Seta meletakkan diadem itu dengan hati-hati di atas kepala Dyah.

Tubuhnya tiba-tiba terasa ringan. Ia merasa lega. Konon ada mitos bahwa jika diadem itu diletakkan di atas kepala, lalu kita merasa berat atau minimal tidak ada perubahan, berarti selama masa pemerintahan kita akan banyak masalah yang tidak bisa kita selesaikan. Belum lagi kalau kita yang menyebabkan masalah itu sendiri.

Dyah berdiri dibimbing Ki Seta. Kemudian dia mengucapkan lafal sumpah dengan bahasa kuno diikuti artinya. Sebenarnya dia mengerti sih, sedikit-sedikit lafal bahasa kuno itu. Tapi supaya bisa dimengerti oleh seluruh khalayak, maka lebih baik disertai artinya.

Setelah itu, ia melangkah ke arah takhta, dan duduk di situ. Dari kecil ia sering bermain-main di situ, duduk di takhta, membayangkan ia jadi ratu, tetapi baru sekarang ia benar-benar duduk di situ, dengan semua atributnya, dengan diademnya, dengansegala tanggungjawabnya.

Oya, diadem dipakaikan jika yang naik takhta itu ratu. Kalau raja, dipakaikan mahkota yang bulat berat itu. Nampaknya berat, lho, karena ia sering memperhatikan ayah, nampaknya biasa-biasa saja. Ayah naik takhta setelah Kakek, dan Kakek naik takhta setelah Uyut. Uyut ini adalah seorang Ratu. Jadi, ia adalah Ratu setelah Sumekar melewati dua pemerintahan Raja.

Sekarang ia akan menerima sumpah setia semua pejabat. Ki Seta membuka kotak yang dipegang dayang yang satunya. Kotak panjang pipih ini ternyata berisi pedang. Berkilat dan nampak sangat tipis, Dyah bergidik sendiri membayangkan ketajamannya.

Masih dengan kekhidmatan yang sama, Ki Seta mengeluarkan pedang itu, dan menyerahkannya pada Dyah. Dyah duduk dengan sikap sempurna seperti yang sering diajarkan ayah padanya. Ia menerima pedang itu, menggenggam pegangannya, membuka pedang itu dari sarungnya. Sarungnya dijadikan tumpuan di tangan kiri, pedangnya dipegang di tangan kanan.

Satu persatu pejabat negara berlutut, menunduk, pedang diletakkan ujungnya di keningnya, dan pejabat itu mengucapkan sumpah setianya. Semua ada dua ratus delapan lima pejabat, hitung Dyah saat pejabat terakhir mengucap janji.

Setelah itu Dyah berdiri, semua berlutut memberi penghormatan pertama padanya selaku Ratu. Ia berjalan ke kamarnya, dan setelah pintu tertutup, ia menghela napas lega. Fiuh! Sekarang ia bisa melepas atribut jaim yang sedari tadi ia pakai :P

Dayang-dayang kali ini sibuk membantunya melepas jubah dan berganti busana yang lebih simpel. Nyaris seperti busana yang sehari-hari ia pakai, hanya ada tempelan suasana kemewahan dengan warna keemasan. Rasanya agak risih juga berpakaian dibantu dayang.

”Sita, memangnya setiap ratu harus dibantu setiap kali berganti pakaian?” tanyanya.

”Tergantung, Yang Mulia. Kalau untuk pakaian kenegaraan, harus selalu pakai dayang-dayang, minimal dua. Kalau untuk pakaian sehari-hari, tergantung perintah Yang Mulia,” sahutnya sambil menggantung jubah yang tadi dipakai Dyah di lemari pusaka dengan sikap khidmat.

”Baiklah. Ini titahku, untuk pakaian sehari-hari, tidak perlu ada dayang-dayang yang membantu.”

”Baik, Yang Mulia.”

Dyah selesai berdandan, dan ia bercermin sekali lagi. Ia adalah Ratu kali ini, semua yang ia lakukan sekarang mempunyai konsekuensi. Baiklah, semoga ia tidak melakukan kesalahan.

Ia siap.

Dayang-dayang membukakan pintu dan ia keluar, tapi ia harus berhenti. Dayang-dayang yang tadi harus mengiringinya berjalan dibelakangnya. Ia bisa saja langsung ebrjalan tadi dan dayang-dayang akan bersegera mengikuti, tapi rasanya tidak enak membiarkan orang tergesa-gesa.

Mereka berjalan langsung ke taman istana. Taman yang luas itu sekarang sudah penuh orang, entah siapa saja, pokoknya semua rakyatnya. Ia masuk ke taman, dan langsung ke tenda yang sudah didirikan untuknya. Pengawal langsung menjaganya kiri kanan, tapi agak jauh.

Ki Seta sudah ada di sana dan langsung mendampingi di sisinya. Rakyat yang sebegitu banyaknya langsung membentuk antrian untuk mengucapkan selamat. Alangkah meriahnya, semua rakyatnya, yang tua yang muda, yang digendong yang dipapah, semua memakai pakaian terbaik mereka. Setelah memberi selamat, para dayang-dayang mengarahkan mereka ke tempat sudah disiapkan makanan.

Alangkah senangnya, ia mengingat-ingat dulu saat Ayah mengadakan pesta pelantikan, ia masih kecil, dan ibu masih ada. Tapi Ayah nampaknya agak sedih. Sekarang ia tahu kenapa Ayah bersedih. Karena pelantikan sebagai Raja atau Ratu itu berarti ayahmu sudah tiada, dan kini kau yang harus memimpin negara. Karena ini bukan pesta bersenang-senang, tapi pesta pernyataan kesediaanmu untuk memikul tanggung jawab atas seluruh negara.

Ia tersenyum pada setiap orang, menerima selamat dari semua orang, dan dalam hati ia menegaskan, kalian adalah tanggung jawabku. Apakah ia akan sanggup?

Hari sudah semakin sore. Ia kembali ke kamarnya dan merasa sangat lelah.

”Yang Mulia, apakah makan malam akan disiapkan di ruang makan saja?”

”Bawa ke kamarku saja. Dan tidak usah makanan lengkap, semangkuk sup hangat saja sudah cukup. Dan segelas susu. Setelah makan, panggil Ki Seta menghadapku lagi,” titahnya.

”Baik, Yang Mulia,” dayang yang tadi menunduk dan mundur.

Akhirnya ia bisa sendirian. Alangkah senangnya. Untuk saat-saat nanti, momen ia bisa sendirian ini akan merupakan kemewahan. Pasti dia akan diiringi ke mana-mana oleh dayang. Ini juga sebenarnya tidak sendirian, di depan pintu ada pengawal. Tapi perlakuan seperti itu sudah biasa ia terima saat ia masih jadi Puteri.

Dan karena negaranya kecil, maka tidak begitu banyak kegiatan yang harus dibantu oleh dayang-dayang. Lebih seperti orang kaya kebanyakan pembantu, begitu.

Dan kemewahan itu akan segera berlalu, jadi ia lebih baik berganti pakaian dengan pakaian tidur, lapisi dengan jubah kamarmu, dan bersiap makan, lalu menerima Ki Seta untuk merundingkan agenda besok. Ia segera berdiri dan membuka lemari.

Tapi lemari itu seperti bergoyang, seperti gambar yang memudar, terus memudar, ia sendiri pusing, dan akhirnya ia terbangun.

Ia jadi Avis lagi.

Ia bangun dan meraih ponselnya, melihat jamnya. Sudah jam lima. Waktunya bangun dan mandi. Jam enam nanti pak Hadi akan mengantarnya pulang.

Ia keluar kamar, dan bertemu dengan Aa yang sudah siap pergi.

“Pulang sekarang, De? OK, baik-baik ya, cium Mami, dan kalau kau mau dateng lagi, atau kalau mau sama Mami, telepon saja. Kalau ponsel biasanya tidak begitu bagus sinyalnya di sini, jadi telepon ke Rumah Besar saja.”

“OK,” katanya dan cipiki-cipika sama Aa.

”Duh, kamu mah belum mandi!” teriak Aa dicium Ade begitu, dan teh Alia keluar dari dapur sambil ketawa-ketiwi.

”Aa langsung ke kebun?” tanyanya.

”Iya, udah telat nih. Dah Ade!” katanya dan ia mendekati istrinya, cipiki-cipika, “nah, kalau ini sih harum biar belum mandi juga,” katanya menggoda Ade.

Ade hanya meleletkan lidahnya, dan cepat-cepat masuk kamar mandi.

Setelah sarapan pagi, cipiki-cipika dengan teh Alia, ia ke Rumah Besar. Pak Hadi baru turun, dan memerintahkan sesuatu pada supir yang sedang memanaskan mobil.

“Eh, Avis, sudah siap ternyata. Hayu atuh,” katanya, kembali ke dalam Rumah Besar untuk mengambil sesuatu, “bentar!” teriaknya dari dalam.

Beberapa detik kemudian ia keluar membawa seberkas surat-surat, dan mereka naik mobil. Sejurus kemudian jalan besar sudah nampak di depan mata.

~0~0~0~0~0~0

Wordcount: 1.291
Akumulasi: 31.395 (MSWord) 31.372 (NaNoValidator)
Target: 31.667

0 Comments:

Post a Comment

<< Home