My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Sunday, November 25, 2007

Hari Keduapuluhtiga

Avis mengejap sebentar sebelum ia bisa mengenali suasana sekelilingnya. Mami di sebelahnya, dengkuran terdengar halus.

Jadi ia masih di rumah Aa di Hambalang. Masih malam, atau paling tidak dini hari, karena belum ada suara-suara pagi. Belum ada suara burung fajar, belum ada sayup-sayup adzan. Diraihnya ponselnya, dilihat jamnya, pukul tiga. Mau tidur lagi, mata sudah melotot. Lagian, ada kebiasaan aneh, kalau ia sudah melihat jam, maka ia tidak akan bisa tidur nyenyak lagi..

Ia turun dari kasur, ke dapur dan menuangkan air dari kendi. Di sini tidak perlu kulkas, air jadi dingin sendirinya.

Mau kembali ke kamar, sudah tidak bisa tidur lagi. Mau bangun terus, masih ada waktu dua jam sebelum ia bisa bergerak dan bersiap untuk pulang. Ia duduk di sofa ruang tengah. Suasana benar-benar sunyi, bahkan Upi nampaknya sedang lelap karena tidak ada suara dari kamar Aa.

Ia melihat ke tirai jendela. Dalam kegelapan di dalam, cahaya bulan purnama di luar, tirai itu menjadi berbayang. Tirai itu bisa diraihnya tanpa ia berdiri dari sofa. Maka ia menyentuh ujungnya dan menyibaknya.

Di luar juga sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Semua masih terbuai mimpi. Pohon besar di samping Rumah Besar juga seperti tak bergerak. Er, ... pohon bergerak mah Dedalu Perkasa ya? Hihi. Pokoknya seperti tidak ada kehidupan.

Ketika tirai dilepas lagi, mendadak ia terkejut. Seperti ada yang bergerak di bawah pohon itu. Ia bergerak maju untuk meraih ujung tirai dan membukanya, dan terlihat memang tadinya ada orang di bawah pohon itu! Ia tidak melihatnya tadi! Mungkin karena orang itu tadi tak bergerak seperti benda-benda lain?

Tapi orang berpakaian hitam-hitam itu bergerak secepat kilat sehingga pada saat ia mengedipkan mata saja ia sudah lenyap. Dan hal-hal lain masih seperti tadi. Bahkan suara jangkrik saja masih terus tak berhenti, seperti tak terganggu.

Oke, baiklah, mungkin itu hanya halusinasi, hanya mata yang baru bangun dan baru diganggu mimpi, ia berpikir. Menepis pikiran-pikiran yang aneh-aneh dalam benaknya. Ia bersandar di pinggir sofa, dan mencoba memejamkan mata sejenak. Tapi tidak bisa.

Dicobanya mengingat-ingat mimpinya.

Semua mimpi itu melukiskan dia dalam umur yang sedang dijalaninya. Mimpinya bertumbuh seperti dirinya. Dan mimpinya itu –anehnya lagi, ingat-ingatnya—terjadi di awal waktu tidurnya, sebelum ia ingat bahwa ia sedang berusaha untuk tidur. Begitu ia memejamkan mata, belum lagi ia memasuki frase tidur, ia langsung seperti dilontarkan ke alam lain. Dan setelah selesai, ia seperti dilemparkan kembali ke masa kini.

Ada apakah gerangan?

Apakah ada dirinya di dunia dimensi lain, yang sejajar dengan dunianya sekarang? Ow, jangan mulai dengan cerita-cerita sci-fi deh. Untuk bisa percaya bahwa dunia-dunia semacam itu ada saja, tidak mungkin.

Tapi, apakah mimpi-mimpi itu semacam pertanda? Dicoba mengurutkan, dari dia masih Puteri sampai dia menjadi Ratu. Dan ... ayahnya persis sekali Papi. Rasa rindunya pada Papi terkuak lagi. Matanya basah, walau ia berusaha mengusir rasa itu. Sudah berapa tahun ia tidak menangis lagi setiap ia mengingat Papi?

Tak sadar sudah berapa lama ia duduk di sini. Kehidupan pagi mulai bergerak. Ia mengusap matanya, bangkit dan menuju kamar mandi. Didengarnya Upi menangis, pasti terbangun dan membangunkan Abi dan Umi-nya, begitu Aa dan teh Alia menyebut diri.

Semua mulai bergerak. Selesai ia mandi, Mami sudah mengantri. Bik Juju sudah mengetuk pintu, mengirim sebaskom singkong rebus masih menguapkan asap, berikut gula aren yang sudah disisir. Hm, dengan air teh pahit pasti sedap untuk sarapan! Bukan sarapan, mumuluk kata orang Sunda mah.

Setelah dibekali segambreng pepatah dari Mami tentang hidup sendirian sama bik Niah, karena Mami mungkin masih akan tinggal di sini seminggu dua minggu lagi, belum lagi dari Aa, nggak ada pepatah sih dari Ayah dan Ibu, hanya tersenyum saja melihatnya kewalahan mendengar Mami dan Aa susul-menyusul mengatakan ini dan itu, Avis selesai juga beres-beres.

Dibarengi pertanyaan Aa kapan dia akan ke sini lagi, cipiki-cipika pada teh Alia yang masih ada di kamar menyusui Upi, mencubit halus pipinya yang menggemaskan, cium tangan pada Mami, Ibu, dan Ayah, dan meleletkan lidah pada Aa yang sudah mulai akan meledek lagi, ia keluar dan berjalan ke Rumah Besar.

Nata sedang memanaskan Kijang-nya di sana. Masih telanjang kaki, dan berbaju kaus.

”Sudah siap?” tanyanya. Avis mengangguk. Nata tak berbicara lagi, dan kembali ke Rumah Besar. Beberapa menit ia sudah kembali, rapi berkemeja dan bersepatu. Tanpa bicara ia mengisyaratkan Avis agar naik, dan mereka pun melaju.

Ada kiranya setengah jam mereka saling diam diri, kemudian Nata memecah keheningan. ”Jadi, sudah tahu kira-kira akan bekerja di mana?”

”Mungkin di Bandung saja. Ada teman yang mau mendirikan pusat pendidikan anak berkebutuhan khusus, mungkin aku akan mencoba di situ dulu.”

Nata terdiam seolah mencari kata yang lain. ”Tidak ada lapangan pekerjaan untuk bidangmu di Hambalang, ya?” sahutnya seperti yang menutupi kekecewaan.

Avis menggeleng sambil tersenyum. ”Mungkin kalau ada banyak anak, mungkin bisa dicari. Tapi kita di desa masih belum menganggap penting bahwa kita bisa mengidentifikasi anak yang autis atau anak yang hiper, dan bahwa mereka memerlukan pendidikan yang khusus. Biasanya anak yang berbeda, dianggapnya bandel aja, titik.”

Pandangan Nata lurus ke depan, ”Tapi kalau memang autis dan sejenisnya itu bisa dipicu oleh makanan juga, mungkin memang tidak perlu diadakan penelitian apakah di desa ada anak autis, selama makanan mereka masih alami, tidak mengandung pengawet dan sejenisnya.”

Pemikirannya kadang bisa jalan juga, pikir Avis. Ia mengangguk saja membenarkan. ”Makanya, kata Mami, enak sekali teh Alia, anaknya lahir di tempat dimana segalanya masih sangat alami.”

Nata menoleh, memandang pada Avis lekat-lekat sejenak, lalu memandang lagi ke depan. ”Kau tidak ingin jadi seperti Alia?”

Entah kenapa Avis merasa wajahnya mendadak menjadi merah. Untung Nata sedang memandang ke depan, jadi tak terlihat olehnya.

”Aku tak tahu,” katanya pelan.

Tapi Nata tidak memperpanjang lagi. Ia diam lagi selama beberapa saat.

Mereka sudah akan masuk tol Padalarang ketika Nata berbicara lagi, ”Kau mau langsung ke kampus, atau ke rumah dulu?”

”Ya, ke rumah dulu. Mau nyimpen ransel, dan ngambil berkas-berkas yang mau diurus.”

”Oke,” katanya dan tanpa banyak bicara lagi ia mengarah ke Kembar.

Avis mengira akan diturunkan di Kembar saja, makanya dia sudah akan mengucapkan terima kasih pada Nata, tapi Nata mengatakan, kalau ia akan mengantar Avis ke kampus.

”Ah, nggak usahlah. Makasih, ini juga udah ngerepotin.”

”Nggak apa-apa. Lagian jadwal ketemuan di Dinas Pertanian itu jam sepuluh, sekarang setengah sembilan juga belum.”

”Oh,” dia terdiam sejenak. ”Kalau begitu, turun dulu. Aku mau beresin berkas-berkas yang harus diurus,” kata Avis sambil membuka pintu pagar, agar mobil dimasukkan.

Masih tak banyak bicara, Nata memasukkan mobil ke halaman.

Bik Niah membuka pintu depan. ”Eh, eneng tos uih. Kumaha, eneng?”

”Lucu budakna, bibi. Meni rampus deuih enenna,” sahut Avis sambil mengisyaratkan agar Nata duduk di ruang tengah saja, tidak di ruang tamu.

”Bik, pangdamelkeun eueut kanggo pak Nata,” sahut Avis sambil terus masuk ke kamarnya, menyimpan ranselnya dan membereskan berkas-berkas yang akan dibawanya.

”Bade ngaleueut naon, Encep teh atuh? Bilih bade kopi?” tanya Bik Niah, kelepasan menawari dengan bahasa Sunda.

“Euh, ulah kopi Bi. Wios ciherang oge teu nanaon,” Nata menjawab dengan bahasa halus. Avis sedikit kaget, tidak pernah tahu kalau Nata pemakai bahasa Sunda yang halus juga.

”Atuh ulah ciherang nya Cep, ciamis panginten?” tawar Bik Niah lagi. “Sapertosna tos kirang kulem,” Bik Niah rada sok tahu.

Nata hanya mengangguk sambil mencoba tersenyum, “Mangga tuh, teu langkung bibi we.”

Avis masuk lagi ke ruang tengah dengan tas kuliahnya, dan ia jadi penasaran dengan kata-kata Bibi, dan Bibi ternyata benar.

“Nata, seperti yang kurang tidur ya? Bibi jeli juga euy, penglihatannya.”

”Ah enggak juga sih,” Nata seperti berusaha menutupi, ”Kau juga seperti kurang tidur.Apa di lokasi memang enggak enak tidur?”

Avis menggeleng.

”Kenapa tadi subuh bangun jam tiga?”

Avis kaget. ”Jadi yang duduk di bawah pohon itu Nata?”

Nata seperti yang kelepasan ngomong, diam sejenak, kemudian berdalih, ”Hanya cari udara saja ...”

Bik Niah masuk membawa minuman, tapi Nata tidak teralihkan, ”Jadi, kenapa bangun jam tiga?”

”Aku mimpi, pas kebangun nggak bisa tidur lagi. Dan haus. Jadi aku keluar. Tahu ada Nata di luar, mungkin aku juga keluar,” Avis mengeluarkan stoples-stoples dari lemari, ”Hayo, minum dulu.”

Nata minum dan tidak memperhatikan stoples-stoples tadi, ia malah mengisyaratkan agar pergi sekarang.

”Oke. Bik Niah,” Avis memanggil bibi, ”Abdi ka sakola heula nya. Moal emam ke siang, ke wengi we.”

”Muhun, neng, mangga.”

Nata sudah berdiri dan pamitan pada bibi, ”Nuhun nya, Bi. Mangga.”

Bi Niah mengangguk, senang rasanya melihat anak muda berbahasa Sunda halus, santun lagi.

Mereka masih berdiam diri ketika mobil melaju lagi. Sudah nyaris sampai ketika entah kenapa Avis tiba-tiba punya ide itu.

”Nata .. er, sebenarnya ... kita, jarak umur kita jauh juga.”

”Lalu?”

”Enggak enak panggil Nata. Kalau ... kang Nata saja?”

Kali ini Avis berani sumpah, dia tidak sedang melihat bibir Nata yang sedang berusaha membentuk senyuman nggak berbentuk, tapi sedang melihat mata Nata, yang berkilatan. Asli, mata itu sedang tersenyum.

Jadi, kalau ingin melihat kang Nata sedang tersenyum, lihatlah matanya, pikir Avis.

”Boleh saja. Kalu kau suka,” katanya ringan.

Mereka sampai di kampus.

”Aku antar sampai sini saja ya? Nggak apa-apa?”

”Nggak apa-apa. Makasih lho, kang!” Avis turun dan akan menutup pintu. Tapi kang Nata menahannya.

”Kalau kau mau ke Hambalang lagi, jangan lupa telpon aku ya!”

”Oke,” Avis tersenyum, ”Tapi nggak usah dijemput ke Bandung segala. Dijemput di jalan masuk saja.”

Avis sekarang sudah tahu di mana mencari senyum kang Nata. Ia tersenyum, ”OK. Aku jemput di jalan masuk. Minggu depan?”

Avis tergelak. ”Waduh, masa’ tiap minggu mesti ke Hambalang. Eh, ... bulan depan aja ya?”

Kang Nata tersenyum, ”Nggak, becanda. Terserah kamu, mau kapan, yang penting kalau ke sana, telepon. Ya?”

Avis mengangguk. Dia membiarkan pintu depan ditarik dan ditutup oleh kang Nata. Dan dia juga melambaikan tangan saat mobil bergerak maju.

[Nggak tau bagaimana melukiskannya masa empat tahun sesudah ini, pokoknya Avis mendapat pekerjaan di kota, tapi tetap sering ke Hambalang. Perasaannya masih belum menentu karena sikap Nata padanya masih aneh. Kadang seperti baik, kadang seperti tak kenal. Mami sudah mendesak-desak agar Avis cepat mencari pendamping apalagi Yudha konon katanya sudah akan menikah. Belum lagi Alen sudah punya balita. Teh Alia sedang mengandung lagi ...Dan ia masih mendapat mimpi-mimpi aneh itu, terutama, Avis perhatikan, saat ia di Hambalang]

Ponselnya bisa dibilang keluaran baru, nggak terbaru sih, tapi lumayan nggak memalukan. Memalukan siapa? Nggak ada yang merhatiin kok .. Ehehe, iya, cuma mau bilang bahwa, ponselnya bukan yang kuno, tapi ringtonenya standar. Persis seperti saat keluar dari pabriknya, nggak ditambah-tambah seperti ponsel anak-anak muda sekarang. Lagian, dia sudah bukan anak muda lagi kok.

Ringtonenya berbunyi tiga kali sebelum diangkat. Dilihatnya dulu nama yang ada di situ. Elang.

”Avis, di mana?” tanyanya begitu ponselnya diangkat.

”Kang Nata. Aku udah di jalan.”

”Jalan mana, jalan Kembar?”

Avis tergelak. ”Menurut pal kilometer, sepuluh kilometer lagi nyampe.”

”OK. Tunggu di tempat biasa kalau aku belum ada ya.”

”Yups. Bye!”

Dan ponselnya ditutup.

Dibereskannya dulu pekerjaannya, dikuncinya Rumah Kaca, lalu keluar. Tidak usah berlari juga sudah cepat karena jalannya menurun. Sampai di Rumah Besar, dilihatnya, Kijang ada. Diambilnya kunci, dan ia berjalan ke kamar kerja kakaknya.

”Kang, nambut. Avis.”

Tak usah berbicara, hanya mengangguk juga, sudah saling mengerti.

Sekarang Kijang itu sudah menelusuri jalan tanah ke jalan besar.

Avis belum ada saat ia sampai di sana. Ia memutar mobil sehingga arahnya kembali ke lokasi, dan ia baru selesai parkir, ketika ada sebuah bus berhenti. Avis turun.

Gadis itu berlari kecil menuju Kijang. “Udah lama?” tanyanya agak terengah. Naik dan duduk.

“Baru muter,” katanya sambil menunjuk pada seatbelt. Avis mengancingkan seatbeltnya. Tak banyak bicara lagi, mereka melaju ke lokasi.

~0~0~0~0~0~0~0

Wordcount: 1.884
Akumulasi: 41.118 (MS Word) 41.095 (NaNoValidator)
Target: 38.341

0 Comments:

Post a Comment

<< Home