Hari Keduapuluhempat
“Bi ‘Wis, Bi ‘Wis!” celoteh anak kecil berlari keluar dari rumah saat mobil masuk ke kompleks rumah itu. Dia berdiri di depan pintu rumah, menunggu mobilnya berhenti, lalu melompat-lompat tak sabar saat Avis turun.
“Bi ‘Wis!”
“Iya, iya. Bi Wis turun dulu. Halo, Upi, sudah minum susu belum?” Avis merentangkan tangannya dan memeluk bulatan kecil itu sepuasnya. Ibunya datang menyusul kemudian, selalu kalah langkah, soalnya walau belum bundar membesar, tapi badannya sudah terlihat seperti ibu hamil.
“Hayo, Upi, candak tasna Bi Wis ka lebet,” teh Alia menggebah anaknya masuk berikut adik iparnya sekalian. Dan juga, “Kang Nata, masuk dulu!”
Nata ikut masuk tapi hanya sebatas mengantar Avis, “Vis, aku ke Rumah Kaca dulu ya!”
Avis menoleh dari sisi keponakannya yang digendongnya, “Oke. Sori mengganggu.”
Ia menggeleng, ”Sama sekali tidak. Sore, mau lihat lagi?”
Avis mengangguk. ”Nuhun nya, kang Nata!”
Nata memandangnya sejenak dan kemudian pamitan juga pada teh Alia.
Sedang Avis sudah tenggelam dihujani entah apa oleh Upi, mengajak ke sana mengajak kemari, memperlihatkan hasil menggambarnya, dan entah apa lagi. Setelah makan siang, ia malah mengajak ke rimbunan teh di belakang rumah.
”Nggak disuruh tidur, teh?”
”Kalau tidur siang, malemnya malah jadi terlalu larut tidurnya. Kalau dibiarin main sepanjang siang, asal jangan yang terlalu bikin capek, setengah delapan malam juga sudah lima watt.”
”Iya ya? Udah empat tahun seperti Upi begini, daripada tidur malam, mending dibiairn sepanjang siang. Lagian, kebiasaan tidur siang juga nggak dikenal sih sebenarnya, hanya di beberapa kebudayaan, seperti kebudayaan Belanda, Spanyol ...”
”Siesta ...” teh Alia tersenyum.
”Bi ’Wis, Bi ’Wis, hayu, kita lumah-lumahan!”
Rimbunan teh itu sudah disulap jadi seperti rumah-rumahan. Cukup sih untuk Upi masuk ke dalamnya, tapi Avis nggak bisa masuk.
”Pi, Bi ’Wis nggak bisa masuk. Terlalu kecil. Cukupnya cuma buat Upi aja!”
”Yaaaa,” nadanya kecewa.
”Gini, Upi di situ, Bi ’Wis di luar, jadi ceritanya tetanggaan!”
”O, iya. Tetanggaan!”
Dan sekejap permainan menjadi lari-larian, jerit-jeritan, ketawa-ketiwi. Melelahkan, kata siapa permainannya di siang hari itu ’asal jangan yang terlalu bikin capek’ ...
”Udah ah, Bi ’Wis mah cape. Kita nyanyi yuk!” dan keluarlah perbendaharaan lagu-lagu anak-anak Avis.
“Pi, tau nggak lagu tentang teh?”
Avis menoleh, dan Nata sudah berdiri dekat Upi.
Upi menggeleng.
”Begini, ikutin ya:
sora no shita de ookiku nattewakai shinsen na midoriyakuni tatemashoushinme chan ookiku natte.”
”Sola ...?
”Sora no shita ...”
”Sola nos... Susaaaah!” Upi putus asa. Avis dan Nata menertawakannya, tapi langsung memeluknya.
”Artinya apa?” tanya Avis.
”Kurang lebih begini artinya :Tumbuhlah tinggi di bawah langitJadi hijau muda berseriKau akan selalu bergunaTumbuhlah tinggi daun teh ku sayang.”
Avis terdiam, memeluk Upi. ”Kenapa orang lain memandang tinggi pada teh, menghargainya sekali, sedang kita? Kalau menyuguhkannya selalu diembel-embeli ’hampura, mung tiasa nyuguhkeun enteh’...”
Nata menggelengkan kepala. ”Entah.” Pelan. Matanya menerawang jauh.
Lalu ia menoleh pada Avis, ”Jadi?”
Avis memandang pada anak kecil di pangkuannya, ”Dia bagaimana?”
“Ajak aja. Dia kuat kok.”
Avis tertawa. Tentu saja Nata kenal baik bagaimana kekuatan anak itu, wong sehari-harinya bergaul dengannya.
”Aku bilang dulu ke emaknya, ya!” dan dialihkan pangkuannya ke Nata, ”Mau ikut ke atas? Bi Wis bilangin dulu ke Umi ya?”
Anak itu mengangguk, ”Mau! Mau!” dan ia memanjat ke pangkuan Nata, yang sekarang sudah berdiri. Avis tertawa, dan bergegas ke dalam rumah. Sebentar kemudian sudah kembali dengan sebuah jaket kecil dan sebuah tas.
”Jalan ah, jangan dipangku,” sahut Nana sambil menurunkan anak kecil itu dan menuntunnya. Mereka berjalan beriringan sambil Upi mencoba menyanyikan lagu terbaru yang diajarkan Nata.
”Rasanya aku sering denger lagu itu. Ada di iklan. Iya. Ada. Iklan apa ya?” Avis berpikir-pikir.
”Ya iklan minuman. Teh botolan. Ada. Makanya aku denger itu sekali, langsung inget lagu itu.”
Avis tertawa, ”Gimana bisa sekali denger langsung hapal? Lagian dengernya juga kapan, di sini jarang nonton tivi.”
”Enggak, dari dulu udah sering denger lagunya, pas denger ada di iklan, jadi aja inget.”
“Ow,” Avis baru ngeh.
Nata menyenandungkannya pelan-pelan. Upi mengikutinya dengan penuh kesalahan.
Avis tiba-tiba tertawa. ”Kang Nata ternyata bisa nyanyi juga ya?”
”Iya, suka nyanyi pelan-pelan gitu kok,” Upi berkomentar.
Nata mendadak menghentikan senandungnya, mukanya menjadi merah, ”Ah, suara jiga radio butut kieu ge!”
Avis menghentikan tawanya, dan meletakkan tangannya di bahu Nata. ”Nggak kok, kang. Tong pundung atuh,” dan matanya bertatapan dengan mata Nata.
Ada kerisauan di sana. Bukan, pasti bukan karena sedang ditertawakan. Ada masalah yang jauh lebih besar yang sedang dipikirkannya.
Nata meraih tangan Avis yang disampirkan di bahu, dan memeganginya, sambil terus berjalan. Jadi mereka bertiga berpegangan sampai di puncak. Tak ada suara kecuali kaki berpijak.
Setibanya di puncak, mereka mengambil posisi. Avis mengeluarkan isi tasnya, teropong dan kamera dengan lensa yang sudah seperti wartawan saja.
”Anaknya sudah menetas,” lapor Nata saat Avis mengeker sarang dari kejauhan, sementara Upi menggunakan teropong Avis.
”Lucu,” komentar Avis pendek saat melihat anak elang kecil itu masuk dalam lensa kameranya. Jepret-jepret-jepret. ”Bersyukurlah mereka tidak tergeser pembangunan, ya?”
Nata mengangguk. Tak terlihat oleh Avis, tapi terasa.
’Kenapa kamu tidak jadi penulis saja? Lepas saja pekerjaan di sekolah itu kalau memang sudah tidak sejalan lagi dengan idealismu.”
Avis menurunkan kameranya. ”Memang sedang kupikirkan. Daripada terus di sekolah yang ternyata semakin lama semakin matre, mending aku jadi penulis lepas saja. Bisa menulis apa saja, tidak terbatas pada psikologi.”
Nata menyetujui, ”Psikologi jadikan latar. Biasanya orang akan lebih suka tulisan yang dipandang dari sudut yang berbeda,” dia menatapnya lama, ”Atau, mengapa tidak kau tulis tentang elang ini?”
Avis tersenyum, ”Masih kurang pengetahuan kalau aku menulis tentang mereka.”
”Jangan yang full pengetahuan, yang ringan saja. Pasti banyak yang bisa kau tulis.”
”Kenapa kang Nata tidak menulis saja?”
Mata Nata tersenyum, ”Aku menulis kok. Jurnal pohon teh.”
Avis terkekeh. ”Bukan jurnal ilmiah. Tulisan sehari-hari.”
”Ada,” sahutnya pelan, ”tapi cuma buat pribadi. Nggak dipublikasikan.”
Nada suaranya begitu penuh rahasia sehingga Avis berhati-hati menanggapinya, ”Boleh Avis lihat?”
”Suatu waktu nanti,” katanya bersungguh-sungguh, ”tapi kembali lagi ke topik awal, jadi, keluar saja ya?”
Avis mengangguk. ”Aku sedang cari alasan biar bisa keluar dengan enak. Soalnya pemegang sebagian saham itu temen, banyak tenaga edukasi di sana juga temen.”
Mereka terdiam. Matahari semakin tenggelam. Avis kembali memotret dengan latar cahaya jingga yang semakin menghilang. Suasana semakin gelap. Avis mengecek, ternyata Upi tertidur di pangkuan Nata.
”Tidur?” tanya Nata berbisik. Avis mengangguk. Ia membereskan kamera dan teropongnya, dan mereka berdiri, berjalan kembali ke rumah. Nata di depan dengan Upi terbungkus jaket di pangkuannya, disusul Avis.
Upi tetap tertidur saat dibaringkan di ranjangnya. Nata berbisik di dekatnya agar Upi tak terbangun, ”Aku kembali ke Rumah Kaca ya?”
Avis mengangguk. Mata mereka bertemu, dan Avis menemukan rasa kekhawatiran di sana.
”Ada apa?”
Nata menggelengkan kepala. ”Tidak. Belum saatnya,” bisiknya lirih. ”Nanti malam, kalau ada apa-apa, aku ada di Rumah Besar.”
Avis memandangnya heran. Tapi ia tak bertanya lagi, hanya mengangguk.
Malam itu dijalani seperti biasa. Tiba saat tidur, ia sempat ragu. Nyaris setiap malam saat ia bermalam di Hambalang, tidurnya selalu dipenuhi mimpi aneh, tentang dia sebagai Dyah. Ia belum menceritakan pada siapapun tentang mimpi-mimpi itu. Dan ia ragu apakah malam ini ia akan mengalaminya lagi?
Ia sudah pernah akan menceritakannya pada Aa, atau juga bahkan pada Nata, tapi saat itu Aa sibuk, dan Nata perangainya sedang tidak bisa ditebak, jadi ia membatalkannya. Sampai kini belum ada seorang pun yang tahu.
Yah, apapun yang terjadi, terjadilah, ia pasrah.
Dan ia pun menutup mata.
Tapi kali ini lain.
Ia ada dalam dunia yang gelap. Suasananya mencekam, mengerikan.
Dan ada seorang –apakah itu benar seseorang?—di sana, sedang menatap sebuah bejana berisi air. Air yang gelap juga. Dark Soul?
Dalam kegelapan di kamar bawah tanahnya, Dark-Soul nampak sedang memusatkan perhatian pada bejana berisi air di hadapannya. Perlahan di permukaan air yang tenang itu muncul bayangan sesuatu.
"Silmë .. Silmë .. Jadi dia kini muncul .." ia mendesis "tak lama lagi kekuasaanku akan abadi. Aku akan abadi. Aku adalah kekuasaan. Aku akan menguasai seluruh jagad raya .. Qiqiqiqiqiqiq .." ia terkikik menyeramkan.
Sebuah ketukan di pintu menghentikan kekehnya.
"Masuk!"
"Anda memanggilku, Yang Mulia?"
Yang baru masuk adalah seorang berbadan besar menyeramkan dengan kilapan mata seorang pembunuh. Dadanya tak mengenakan apa-apa selain sebuah strap kulit menyilang dipenuhi pisau-pisau kecil, belum lagi golok di kedua sisi pinggangnya.
"Betul, Gagak Hitam. Aku baru saja melihat bahwa Silmë akan segera muncul,"
"Silmë?"
"Ya. Sumber keabadian. Sumber kekuasaan," Dark-Soul kembali terkekeh menyeramkan, "Aku melihatnya akan muncul di kawasan Sumekar. Amankan. Kau tahu apa yang mesti kau perbuat,"
Gagak Hitam mengangguk bagai robot. Lalu melangkah pergi.
Bayang tadi seluruhnya lenyap dengan dikibaskannya tongkatnya. Tongkat Ki Seta. Ternyata Ki Seta sedang berada di ruang kerjanya, sendiri. Ia mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Bukan karena panas pasti, hari itu malam dan dingin.
”Kenapa selalu bayangan ini yang muncul dalam beberapa hari ini? Noda-noda yang selalu muncul dalam mimpiku akhirnya datang juga, tapi mengapa seperti ini wujudnya?”
Ia berdiri, dan berjalan mondar-mandir. Wajahnya risau. Jika Ratu diberitahu, ia mungkin akan khawatir, apalagi dengan persiapan yang sudah dilakukannya beberapa tahun ini. Jika Ratu tidak diberitahu …
~0~0~0~0~0~0~0
Wordcount: 1.447
Akumulasi: 42.565 (MS Word) 42.571 (NaNoValidator)
Target: 40.000
“Bi ‘Wis!”
“Iya, iya. Bi Wis turun dulu. Halo, Upi, sudah minum susu belum?” Avis merentangkan tangannya dan memeluk bulatan kecil itu sepuasnya. Ibunya datang menyusul kemudian, selalu kalah langkah, soalnya walau belum bundar membesar, tapi badannya sudah terlihat seperti ibu hamil.
“Hayo, Upi, candak tasna Bi Wis ka lebet,” teh Alia menggebah anaknya masuk berikut adik iparnya sekalian. Dan juga, “Kang Nata, masuk dulu!”
Nata ikut masuk tapi hanya sebatas mengantar Avis, “Vis, aku ke Rumah Kaca dulu ya!”
Avis menoleh dari sisi keponakannya yang digendongnya, “Oke. Sori mengganggu.”
Ia menggeleng, ”Sama sekali tidak. Sore, mau lihat lagi?”
Avis mengangguk. ”Nuhun nya, kang Nata!”
Nata memandangnya sejenak dan kemudian pamitan juga pada teh Alia.
Sedang Avis sudah tenggelam dihujani entah apa oleh Upi, mengajak ke sana mengajak kemari, memperlihatkan hasil menggambarnya, dan entah apa lagi. Setelah makan siang, ia malah mengajak ke rimbunan teh di belakang rumah.
”Nggak disuruh tidur, teh?”
”Kalau tidur siang, malemnya malah jadi terlalu larut tidurnya. Kalau dibiarin main sepanjang siang, asal jangan yang terlalu bikin capek, setengah delapan malam juga sudah lima watt.”
”Iya ya? Udah empat tahun seperti Upi begini, daripada tidur malam, mending dibiairn sepanjang siang. Lagian, kebiasaan tidur siang juga nggak dikenal sih sebenarnya, hanya di beberapa kebudayaan, seperti kebudayaan Belanda, Spanyol ...”
”Siesta ...” teh Alia tersenyum.
”Bi ’Wis, Bi ’Wis, hayu, kita lumah-lumahan!”
Rimbunan teh itu sudah disulap jadi seperti rumah-rumahan. Cukup sih untuk Upi masuk ke dalamnya, tapi Avis nggak bisa masuk.
”Pi, Bi ’Wis nggak bisa masuk. Terlalu kecil. Cukupnya cuma buat Upi aja!”
”Yaaaa,” nadanya kecewa.
”Gini, Upi di situ, Bi ’Wis di luar, jadi ceritanya tetanggaan!”
”O, iya. Tetanggaan!”
Dan sekejap permainan menjadi lari-larian, jerit-jeritan, ketawa-ketiwi. Melelahkan, kata siapa permainannya di siang hari itu ’asal jangan yang terlalu bikin capek’ ...
”Udah ah, Bi ’Wis mah cape. Kita nyanyi yuk!” dan keluarlah perbendaharaan lagu-lagu anak-anak Avis.
“Pi, tau nggak lagu tentang teh?”
Avis menoleh, dan Nata sudah berdiri dekat Upi.
Upi menggeleng.
”Begini, ikutin ya:
sora no shita de ookiku nattewakai shinsen na midoriyakuni tatemashoushinme chan ookiku natte.”
”Sola ...?
”Sora no shita ...”
”Sola nos... Susaaaah!” Upi putus asa. Avis dan Nata menertawakannya, tapi langsung memeluknya.
”Artinya apa?” tanya Avis.
”Kurang lebih begini artinya :Tumbuhlah tinggi di bawah langitJadi hijau muda berseriKau akan selalu bergunaTumbuhlah tinggi daun teh ku sayang.”
Avis terdiam, memeluk Upi. ”Kenapa orang lain memandang tinggi pada teh, menghargainya sekali, sedang kita? Kalau menyuguhkannya selalu diembel-embeli ’hampura, mung tiasa nyuguhkeun enteh’...”
Nata menggelengkan kepala. ”Entah.” Pelan. Matanya menerawang jauh.
Lalu ia menoleh pada Avis, ”Jadi?”
Avis memandang pada anak kecil di pangkuannya, ”Dia bagaimana?”
“Ajak aja. Dia kuat kok.”
Avis tertawa. Tentu saja Nata kenal baik bagaimana kekuatan anak itu, wong sehari-harinya bergaul dengannya.
”Aku bilang dulu ke emaknya, ya!” dan dialihkan pangkuannya ke Nata, ”Mau ikut ke atas? Bi Wis bilangin dulu ke Umi ya?”
Anak itu mengangguk, ”Mau! Mau!” dan ia memanjat ke pangkuan Nata, yang sekarang sudah berdiri. Avis tertawa, dan bergegas ke dalam rumah. Sebentar kemudian sudah kembali dengan sebuah jaket kecil dan sebuah tas.
”Jalan ah, jangan dipangku,” sahut Nana sambil menurunkan anak kecil itu dan menuntunnya. Mereka berjalan beriringan sambil Upi mencoba menyanyikan lagu terbaru yang diajarkan Nata.
”Rasanya aku sering denger lagu itu. Ada di iklan. Iya. Ada. Iklan apa ya?” Avis berpikir-pikir.
”Ya iklan minuman. Teh botolan. Ada. Makanya aku denger itu sekali, langsung inget lagu itu.”
Avis tertawa, ”Gimana bisa sekali denger langsung hapal? Lagian dengernya juga kapan, di sini jarang nonton tivi.”
”Enggak, dari dulu udah sering denger lagunya, pas denger ada di iklan, jadi aja inget.”
“Ow,” Avis baru ngeh.
Nata menyenandungkannya pelan-pelan. Upi mengikutinya dengan penuh kesalahan.
Avis tiba-tiba tertawa. ”Kang Nata ternyata bisa nyanyi juga ya?”
”Iya, suka nyanyi pelan-pelan gitu kok,” Upi berkomentar.
Nata mendadak menghentikan senandungnya, mukanya menjadi merah, ”Ah, suara jiga radio butut kieu ge!”
Avis menghentikan tawanya, dan meletakkan tangannya di bahu Nata. ”Nggak kok, kang. Tong pundung atuh,” dan matanya bertatapan dengan mata Nata.
Ada kerisauan di sana. Bukan, pasti bukan karena sedang ditertawakan. Ada masalah yang jauh lebih besar yang sedang dipikirkannya.
Nata meraih tangan Avis yang disampirkan di bahu, dan memeganginya, sambil terus berjalan. Jadi mereka bertiga berpegangan sampai di puncak. Tak ada suara kecuali kaki berpijak.
Setibanya di puncak, mereka mengambil posisi. Avis mengeluarkan isi tasnya, teropong dan kamera dengan lensa yang sudah seperti wartawan saja.
”Anaknya sudah menetas,” lapor Nata saat Avis mengeker sarang dari kejauhan, sementara Upi menggunakan teropong Avis.
”Lucu,” komentar Avis pendek saat melihat anak elang kecil itu masuk dalam lensa kameranya. Jepret-jepret-jepret. ”Bersyukurlah mereka tidak tergeser pembangunan, ya?”
Nata mengangguk. Tak terlihat oleh Avis, tapi terasa.
’Kenapa kamu tidak jadi penulis saja? Lepas saja pekerjaan di sekolah itu kalau memang sudah tidak sejalan lagi dengan idealismu.”
Avis menurunkan kameranya. ”Memang sedang kupikirkan. Daripada terus di sekolah yang ternyata semakin lama semakin matre, mending aku jadi penulis lepas saja. Bisa menulis apa saja, tidak terbatas pada psikologi.”
Nata menyetujui, ”Psikologi jadikan latar. Biasanya orang akan lebih suka tulisan yang dipandang dari sudut yang berbeda,” dia menatapnya lama, ”Atau, mengapa tidak kau tulis tentang elang ini?”
Avis tersenyum, ”Masih kurang pengetahuan kalau aku menulis tentang mereka.”
”Jangan yang full pengetahuan, yang ringan saja. Pasti banyak yang bisa kau tulis.”
”Kenapa kang Nata tidak menulis saja?”
Mata Nata tersenyum, ”Aku menulis kok. Jurnal pohon teh.”
Avis terkekeh. ”Bukan jurnal ilmiah. Tulisan sehari-hari.”
”Ada,” sahutnya pelan, ”tapi cuma buat pribadi. Nggak dipublikasikan.”
Nada suaranya begitu penuh rahasia sehingga Avis berhati-hati menanggapinya, ”Boleh Avis lihat?”
”Suatu waktu nanti,” katanya bersungguh-sungguh, ”tapi kembali lagi ke topik awal, jadi, keluar saja ya?”
Avis mengangguk. ”Aku sedang cari alasan biar bisa keluar dengan enak. Soalnya pemegang sebagian saham itu temen, banyak tenaga edukasi di sana juga temen.”
Mereka terdiam. Matahari semakin tenggelam. Avis kembali memotret dengan latar cahaya jingga yang semakin menghilang. Suasana semakin gelap. Avis mengecek, ternyata Upi tertidur di pangkuan Nata.
”Tidur?” tanya Nata berbisik. Avis mengangguk. Ia membereskan kamera dan teropongnya, dan mereka berdiri, berjalan kembali ke rumah. Nata di depan dengan Upi terbungkus jaket di pangkuannya, disusul Avis.
Upi tetap tertidur saat dibaringkan di ranjangnya. Nata berbisik di dekatnya agar Upi tak terbangun, ”Aku kembali ke Rumah Kaca ya?”
Avis mengangguk. Mata mereka bertemu, dan Avis menemukan rasa kekhawatiran di sana.
”Ada apa?”
Nata menggelengkan kepala. ”Tidak. Belum saatnya,” bisiknya lirih. ”Nanti malam, kalau ada apa-apa, aku ada di Rumah Besar.”
Avis memandangnya heran. Tapi ia tak bertanya lagi, hanya mengangguk.
Malam itu dijalani seperti biasa. Tiba saat tidur, ia sempat ragu. Nyaris setiap malam saat ia bermalam di Hambalang, tidurnya selalu dipenuhi mimpi aneh, tentang dia sebagai Dyah. Ia belum menceritakan pada siapapun tentang mimpi-mimpi itu. Dan ia ragu apakah malam ini ia akan mengalaminya lagi?
Ia sudah pernah akan menceritakannya pada Aa, atau juga bahkan pada Nata, tapi saat itu Aa sibuk, dan Nata perangainya sedang tidak bisa ditebak, jadi ia membatalkannya. Sampai kini belum ada seorang pun yang tahu.
Yah, apapun yang terjadi, terjadilah, ia pasrah.
Dan ia pun menutup mata.
Tapi kali ini lain.
Ia ada dalam dunia yang gelap. Suasananya mencekam, mengerikan.
Dan ada seorang –apakah itu benar seseorang?—di sana, sedang menatap sebuah bejana berisi air. Air yang gelap juga. Dark Soul?
Dalam kegelapan di kamar bawah tanahnya, Dark-Soul nampak sedang memusatkan perhatian pada bejana berisi air di hadapannya. Perlahan di permukaan air yang tenang itu muncul bayangan sesuatu.
"Silmë .. Silmë .. Jadi dia kini muncul .." ia mendesis "tak lama lagi kekuasaanku akan abadi. Aku akan abadi. Aku adalah kekuasaan. Aku akan menguasai seluruh jagad raya .. Qiqiqiqiqiqiq .." ia terkikik menyeramkan.
Sebuah ketukan di pintu menghentikan kekehnya.
"Masuk!"
"Anda memanggilku, Yang Mulia?"
Yang baru masuk adalah seorang berbadan besar menyeramkan dengan kilapan mata seorang pembunuh. Dadanya tak mengenakan apa-apa selain sebuah strap kulit menyilang dipenuhi pisau-pisau kecil, belum lagi golok di kedua sisi pinggangnya.
"Betul, Gagak Hitam. Aku baru saja melihat bahwa Silmë akan segera muncul,"
"Silmë?"
"Ya. Sumber keabadian. Sumber kekuasaan," Dark-Soul kembali terkekeh menyeramkan, "Aku melihatnya akan muncul di kawasan Sumekar. Amankan. Kau tahu apa yang mesti kau perbuat,"
Gagak Hitam mengangguk bagai robot. Lalu melangkah pergi.
Bayang tadi seluruhnya lenyap dengan dikibaskannya tongkatnya. Tongkat Ki Seta. Ternyata Ki Seta sedang berada di ruang kerjanya, sendiri. Ia mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Bukan karena panas pasti, hari itu malam dan dingin.
”Kenapa selalu bayangan ini yang muncul dalam beberapa hari ini? Noda-noda yang selalu muncul dalam mimpiku akhirnya datang juga, tapi mengapa seperti ini wujudnya?”
Ia berdiri, dan berjalan mondar-mandir. Wajahnya risau. Jika Ratu diberitahu, ia mungkin akan khawatir, apalagi dengan persiapan yang sudah dilakukannya beberapa tahun ini. Jika Ratu tidak diberitahu …
~0~0~0~0~0~0~0
Wordcount: 1.447
Akumulasi: 42.565 (MS Word) 42.571 (NaNoValidator)
Target: 40.000
0 Comments:
Post a Comment
<< Home