My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Tuesday, November 27, 2007

Hari keduapuluhdelapan

Hari memang sudah pagi. Tapi suasananya tidak seperti pagi. Burung-burung pagi yang biasa berkicau mengiringi matahari menampilkan diri, tidak ada sama sekali. Sepertinya mereka pergi secepat dan sejauh sayap-sayap mereka yang kecil bisa membawa. Serangga-serangga kecil seperti tonggeret juga tak ada yang berbunyi.

Matahari sendiri juga tidak menampakkan diri seperti biasanya. Hanya ada seberkas sinar sayup memberi tahu bahwa ini pagi bukan malam. Selebihnya gelap. Gelap karena bayangan menaungi seluruh Sumekar.

Beberapa hari yang lalu mentari masih dengan gembira membagikan cahayanya, sekarang bayangan menghalanginya. Kalau matahari yang begitu perkasa saja tidak mampu menghalau bayangan, bagaimana manusia?

Bayangan itu juga bukan hanya menghalangi sinar, tetapi menghalangi kegembiraan, menghalangi harapan, menghalangi segala hal yang indah. Hanya kesuraman, keputusasaan, yang timbul.

Dyah hanya berharap bahwa rakyatnya yang berperang di sampingnya tidak kehilangan rasa ingin mempertahankan negara, karena bayangan itu juga memupus harapan. Jika rakyatnya sudah kehilangan harapan, bagaimana mereka bisa dibangkitkan semangatnya? Mereka sudah kalah jauh dalam jumlah, mereka kalah jauh dalam ketrampilan berperang, mereka kalah jauh dalam persenjataan, apakah mereka juga akan kalah dalam semangat mempertahankan negara?

Dyah menghela napas. Ia menoleh ke sampingnya, Kepala Bala Keamanan, menoleh juga padanya. Laki-laki berjanggut hitam lebat itu menghela napas.

”Baru satu hari, Yang Mulia. Walau berat, kita harus mempertahankan semangat rakyat.”

Dyah mengangguk. Ia melihat sendiri, seperti juga para rakyat melihat sendiri, korban yang jatuh di hari pertama seperti apa. Kalau berjalan seperi ini terus, dalam beberapa hari saja Sumekar sudah akan habis. Mungkin akan tinggal wanita dan anak-anak yang tidak berperang, yang masih akan hidup. Itupun kalau tidak dihabisi oleh Morion.

Dyah bergidik.

Dia mengeratkan pegangan pada pedangnya. Kepala Bala Keamanan melirik bentara di sampingnya, dan mengangguk.

Bentara itu meniup sangkakala, panjang dan lantang. Lalu menegakkan panji-panji, dan hari itupun mulailah.

Seperti kemarin, bahkan lebih dahsyat, lautan tentara Morion melaju menyerbu Sumekar. Kemarin mereka belum bisa menembus pertahanan di perbatasan Morion, sekarang, akankah mereka berhasil?

Suara dentingan pedang, tombak, dan trisula beradu, suara desingan panah-panah, suara jeritan dan teriakan memenuhi kancah peperangan, darah menetes, memancar, menggenang. Burung-burung nasar bergerombol di ujung kancah, menunggu santapan besar mereka terhidang.

[Euh, nggak bisa menggambarkan adegan peperangan, euy! Susyah! Segini aja ya?]

Hari sudah maju ke siang karena hawa semakin panas. Keringat bercampur darah membasahi Ibu Pertiwi, saat angkara murka semakin membahana. Dan Dyah seperti disambar petir tatkala Kepala Bala Keamanan di sampingnya jatuh oleh sabetan kapak seorang .. atau sebuah makhluk?

Makhluk itu memang seperti manusia, tetapi dia sangat gelap, walau bukan hitam. Ia tinggi dan besar, aromanya memuakkan dari kejauhan, suaranya mengerikan, dan ia membantai semudah membalikan telapak tangan, ia mencabut nyawa semudah ia mengibaskan tangan.

Dengan kapaknya ia menebas ke kanan dan ke kiri, kepala-kepala terpisah dari tubuh entah berapa nyawa sudah ia kirim ke alam sana hari ini. Dan ia terhenti di depan Kepala Bala Keamanan.

”Hrrrr. Kau pasti punya kedudukan. Ilmu berperangmu cukup tinggi. Berarti, gadis ini juga punya kedudukan cukup tinggi, kalau kau sampai mengawalnya. Hrrrrr, ...” dania tertawa terbahak-bahak saat mengerakkan kapaknya menyerang, tertawa saat Kepala Bala Keamanan berusaha menghindar, menangkis dengan ilmu yang dimiliki. Ia akhirnya menyerah juga saat kepalanya juga berpisah dari tubuhnya.

Dyah menjerit.

Makhluk itu mendekatinya. Dyah sudah bersiap dengan pedangnya, tapi ia dengan mudah mematahkan pedang itu semudah mematahkan tusuk gigi, menangkap Dyah, menelikung tangannya, dan melemparnya ke atas bahunya. Ia berjalan dengan cepat ke arah datangnya ia tadi, menuju ke perkemahan mereka. Menyibak-nyibakkan mereka yang masih sedang berjuang dengan satu tangan yang bebas. Tak sabar, ia meraih beberapa pisau kecil dari strapnya [bayangin aja kunai dalam Naruto, wekekek], dan melemparnya dengan tepat ke arah beberapa orang, tak peduli itu rakyat Sumekar ataupun prajurit Morion.

Mesin pembunuh yang handal.

Dyah bergidik saat ia membayangkan itu.

Tapi, ia akan dibawa ke mana?

Mesin pembunuh itu terus berjalan lurus, dan akhirnya tiba di perkemahan mereka. Ia menuju tenda yang nampaknya paling mewah dan dijaga ketat.

Ia masuk.

Tenda itu remang-remang, dan baunya memuakkan. Tidak ada siapa-siapa di situ, tapi ada jajaran kursi seperti ruangan rapat, ada meja peta yang besar, dan sisinya ada meja tempat sesuatu seperti bola kristal diletakkan.

Mesin pembunuh itu tidak meletakkan Dyah, ia tetap memanggulnya di bahu. Ia berjalan ke arah bola kristal itu.

”Hrrrrrr,”

Bola kristal itu bercahaya, dan kemudian nampak seseorang kurus dan mengerikan muncul.

”Gagak Hitam, apa yang akan kau laporkan?”

”Hamba mendapat ini, Yang Mulia, sudah cukupkah?”

Orang itu seperti mendekat melihat dari kejauhan sana, dan ia terkekeh. Wajahnya nampak jauh lebih mengerikan.

”Dia Ratu Sumekar. Bagus kerjamu, Gagak. Umumkan peperangan dihentikan, dan bawa Ratu itu ke mari.” Pada Dyah ia melirik dan tertawa terbahak-bahak.

Dyah melengos dengan geram. Itukah Dark Soul?

Tapi tak ada waktu untuk berpikir. Bola kristal itu gelap kembali. Gagak Hitam membawanya lagi ke tenda lain, tendanya kecil dan sama gelapnya. Ia melempar Dyah ke –tempat duduk ataukah tempat tidurkah itu—dan mengunci tendanya.

Dyah langsung berusaha berdiri, tapi ia jatuh lagi. Ia menghela napas. Kembali dicobanya perlahan-lahan, dan ia berdiri sempoyongan. Keadaan di luar sama sekali tidak bisa ia lihat. Dyah mencoba berkonsentrasi agar bisa mendengar sekeliling, tapi ia tidak bisa menembus tenda ini. Pendengarannya tak bisa mendengar apa-apa.

Jangan-jangan tenda itu sudah diberi mantra sehingga tidak ada apapun yang bisa keluar ataupun masuk, pikir Dyah. Dengan gemetar ia duduk, dan baru kali ini ia merasa sangat marah, takut, dan sedih sekaligus. Kepala Bala Keamanan dibunuh di hadapannya dengan cara yang sangat keji, bagaimana dengan rakyatnya yang lain? Kepala Bala Keamanan saja yang memiliki ilmu bela diri yang bagus, bisa dihentikan hanya dalam waktu singkat, bagaimana dengan rakyatnya yang sama sekali tidak bisa berkelahi, hanya mengandalkan semangat saja?

Dyah hanya bisa berharap pada keajaiban.

Di luar terdengar suara yang sepertinya dibesarkan oleh sihir, menggema ke seluruh kancah peperangan, bahwa Ratu Sumekar sudah ditangkap, bahwa Kepala Bala Keamanan sudah dibunuh, dan agar prajurit Morion menghentikan perangnya dan mundur teratur kembali ke kemah masing-masing.

Dyah membayangkan suasana yang terjadi di luar sana. Para prajurit pasti kegirangan, tugas mereka telah selesai dengan mudah, seperti perkiraan. Negara Sumekar hanyalah negara kecil, pasti mudah diselesaikan.

Tapi bagaimana dengan keadaan rakyat Sumekar, pikir Dyah kalut. Dengan adanya ia di pucuk pimpinan peperangan, akan mudah mengobarkan semangat mereka. Tanpa ia, ia yakin, pasti semangat mereka seperti bara api disiram air.

Mereka sudah kalah jumlah, kalah keahlian, kalah persenjataan, dan sekarang kalah juga dengan ditangkapnya pucuk pimpinan mereka. Dyah hanya bisa berharap, rakyatnya tidak diapa-apakan. Janganlah ada pembantaian di saat ia sudah tertangkap begini.

Tendanya terbuka. Gagak Hitam masuk dan mendekatinya, menarik tangannya, memaksanya berdiri dan berjalan. Tanpa bersuara setengah menyeret ia membawanya keluar, ke sebuah kereta yang tertutup. Ia didorong masuk ke dalamnya, dan pintunya dikunci. Terasa bahwa Gagak Hitam juga naik, naik ke tempat duduk di samping kusir, dan mereka kemudian berjalan.

Kereta ini nampaknya tidak kedap sihir, pikir Dyah. Ia mencoba memusatkan konsentrasinya, dan ia sekarang bisa mendengarkan suara-suara dari kejauhan. Hatinya ngenes [ngenes bahasa Indonesianya apa ya?] mendengarnya.

Dari sudut manapun ia mendengar, yang ada adalah suara-suara tidak percaya bahwa ia tertangkap. Bahwa Kepala Bala Keamanan sudah meninggal. Suara kaget, suara kemarahan, suara pesimis bahwa mereka bisa menang sekarang karena Ratu saja sudah tertangkap, bagaimana nasib mereka nanti?

Dyah menutup pendengaran jauhnya. Tidak bisa, pikirnya dalam hati, aku tidak bisa mendengarkan suara mereka dalam keadaan seperti ini, hatinya mencelos. Ia yang dijadikan tumpuan harapan rakyat senegaranya, sekarang bahkan tak berdaya seperti ini. Satu-satunya harapan hanyalah bahwa Ki Seta akan menemukan Silmë sebelum Dark Soul, dan menggunakannya untuk memusnahkan regim laknat ini.

Tak terasa dua butir cairan bergulir menelusuri pipi.

Kereta itu berjalan tak henti. Siang malam. Sama sekali tidak berhenti. Hanya berhenti beberapa saat untuk memasukkan makanan untuknya, yang ia tidak lihat lagi isinya apa. Dimakannya tanpa melihat. Yang penting ia bertahan hidup, itu harus. Rakyatnya harus tahu bahwa ia masih hidup, dan ia tidak menyerah.

Tapi bagaimana kusirnya bisa menjalankan kereta tanpa beristirahat, ia tidak tahu. Bagaimana kudanya bisa terus berjalan tanpa lelah berhari-hari dan bermalam-malam, ia juga tidak tahu. Janganlah bertanya bagaimana Gagak Hitam bisa bertahan selama itu sadar tidak mengantuk, apalagi. Ia tak tahu. Yang ia tahu hanyalah ia harus bertahan hidup. Selama ia masih hidup, masih ada kemungkinan untuk membebaskan rakyatnya dari cengkeraman iblis ini. Walau kemungkinan terkecil sekalipun.

Tiga hari dua malam, hitung Dyah, saat akhirnya mereka berhenti. Gagak Hitam turun dan membuka keretanya, menariknya turun juga. Ia berkejap-kejap membiasakan matanya. Tapi mau bagaimana lagi, di sini juga keadaannya remang-remang. Walau menurut perhitungan Dyah sekarang sudah malam, tapi di Sumekar biasanya tidak segelap begini, apalagi di lingkungan istana. Pasti terang benderang, selain lampu istana, lampu yang dibawa-bawa oleh pejalan kaki juga akan ramai di jalan. Setidaknya sampai jam sembilan, jalan masih akan ramai. Lalu sesudahnya, lampu yang dibawa para peronda juga akan menerangi jalan bahkan sampai ke pelosok desa.

Di sini tidak, batin Dyah. Ini nampaknya bisa disebut istana. Terasa luas tapi tidak melapangkan hati. Tidak hijau meneduhkan seperti istana Sumekar. Teringat cerita Ki Seta di mana dulu Morion bernama Lembuwungkuk, mungkin dulu istananya pernah menjadi istana yang meneduhkan. Tapi sekarang tidak ada bekas-bekasnya. Pohon-pohon besar di sisi jalan masuk ke istana bukannya meneduhkan, malah membuat hati ciut, malah mengerikan kesannya.

Sepi tidak ada yang berlalu lalang. Hanya pengawal yang banyak jumlahnya. Tidak seperti istana Sumekar, banyak orang yang lewat sekedar menikmati asrinya lingkungan istana yang terbuka untuk semua orang, atau bahkan masuk ke istana untuk mengadukan nasibnya pada hari-hari tertentu, atau bahkan hanya sekadar menghaturkan setandan pisang yang tumbuhnya bagus untuk Ratu. Pengawal hanya sedikit, dan berjaga dengan waspada tapi penuh senyum. Di sini pengawalnya semua berwajah seram, dan tak ada orang lain yang berlalu lalang, selain dari mereka yang berseragam militer dan nampaknya beberapa gelintir penyihir yang menyeramkan.

Gagak Hitam membawanya ke sebuah ruangan luas diterangi beberapa obor di dinding. Baunya menyesakkan dada, seperti bau belerang atau entah mineral apa. Tidak seperti di Sumekar yang diterangi oleh obor berbahan bakar biru terang tak menyisakan jelaga, sepertinya obor di sini penuh dengan jelaga.

Di tempat yang sepertinya tahta bercokol seorang penyihir tua kurus dan menyeramkan. Dark Soul nampaknya. Dan benar saja, Gagak Hitam menghormat padanya.

“Yang Mulia, ini dia tawananku.”

Dark Soul tertawa mengerikan saat ia berdiri dan berjalan mendekati Dyah. Dyah berusaha untuk tetap tegar dan tak terlihat takut. Disimpannya ketakutan dalam-dalam, aku harus tegar untuk rakyatku, pikirnya.

“Kau berani melanggar Layang Kamasan!” sahut Dyah tajam.

Dark Soul tertawa menusuk, ”Kau tahu? Aku tidak akan berani melanggar Layang Kamasan, kecuali ada back up. Dan pendukungku itu akan segera keluar dalam waktu dekat. Kita lihat saja,” dan ia tertawa lagi pendek.

Dyah berharap Ki Seta masih dapat bertahan, ia berharap Ki Seta segera menemukan kunci pamungkas masalah ini, tapi Dark Soul rupanya bisa mengetahuinya.

”Kau menugaskan penyihir kemarin sore untuk menjaga Pertambangan? Dalam hitungan detik saja ia akan kulibas. Dan Silmë akan menjadi milikku, batunya untuk menjaga kekuasaanku, inti cairannya untuk membuatku hidup selama-lamanya. Kau tahu kan? Inti cairan untuk hidup abadi! Itulah yang kucari selama ini, dan kulihat ia akan muncul di Pertambangan di Sumekar. Karena Silmë akan melindungiku dari sihir delapan negara yang ada dalam Layang Kamasan, aku berani untuk menerjang Layang. Hihihi....” kikiknya terdengar mengerikan.

Dyah terdiam.

Dark Soul semakin mendekatinya. ”Keberanianmu rupanya jauh melebihi kemampuanmu. Baiklah, kita lihat sejauh mana kau menurut padaku,” ia melihat berkeliling ruangan. Ada beberapa cleaning service sedang membersihkan sudut ruangan. Nampak dari jauh mereka seperti manusia biasa.

Dark Soul menjentikkan jarinya, dan memanggil, “Kau! Ya, kau, kemari!”

Ia memanggil seorang dari mereka, dan orang itu mendekat. Membuat Dyah kaget.

Kaget karena penampilan orang itu mengerikan. Tinggi dan besar, bulu halus kecoklatan nampaknya di seluruh tubuhnya. Di kepalanya tumbuh sesuatu seperti tanduk. Wajahnya kalau diperhatikan baik-baik seperti seekor banteng.

Kaget juga karena nampaknya orang ini tidak takut pada Dark Soul. Tunduk memang pada perintahnya, tapi tidak takut. Tidak seperti Gagak Hitam yang menjalankan perintah dengan unsur takut, orang ini tidak.

“Kau takut?”

Dyah menggeleng dengan pandangan menantang.

“Tapi kalau nasib rakyatmu tergantung pada keputusanmu, aku yakin kau akan memilih nasib rakyatmu,” Dark Soul terkekeh. "Aku akan bermurah hati padamu Ratu. Aku akan menarik mundur pasukanku, bila kau mau memenuhi satu permintaanku,"

"Apa itu?"

"Jika kau menikah dengannya," Penyihir itu melayangkan pandangnya ke cleaning service yang tadi.

Dyah terpekik kecil. Orang yang ditunjuk Dark Soul itu bergeming. Dyah menelan ludah. Bukan seperti ini makhluk yang ia impikan menjadi suaminya. Ia sudah akan menolak, ketika teringat olehnya rakyatnya. Anak-anak yang masih polos. Wanita-wanita yang ketakutan. Bahkan para prajuritnya yang sebenarnya tak tahu apa-apa, dan mereka akan mati sia-sia dalam melaksanakan tugas, karena jumlah yang jauh dari seimbang, jangan pula disebut martial art dan persenjataan mereka.

Dyah menghela napas panjang dan berusaha tak terdengar gemetar ketika mengucap, "Baiklah. Aku terima persyaratanmu," ia menatap tajam Dark Soul, "dan bagaimana aku tahu kau akan menepati janjimu?"

Dark Soul terkekeh, "Kau akan tahu, manisku. Kau akan tahu,"

Dyah tahu kalau ia tidak punya posisi tawar. Ia mengangguk lemah. Dari sudut matanya ia melihat makhluk itu bergerak seolah hendak mengucapkan sesuatu tetapi tak jadi.

Dyah menguatkan hatinya lagi, "Setidaknya aku harus tahu siapa namanya,"

Dark Soul menyeringai menyebalkan, "Ah-ha! Ratu sudah mulai tertarik rupanya."

*****

Dyah mencoba menenangkan jantungnya yang terus berdetak tak karuan. Ia di kamar sendiri. Sesudah upacara pernikahan, sesuai tradisi Morion, mempelai perempuan menunggu di kamar sementara mempelai laki-laki bersama dengan undangan berpesta minum-minum.

Dyah mencoba tak memikirkan apa yang akan terjadi padanya. Mungkin monster itu akan mabuk dan langsung tertidur pulas. Sehingga tak akan terjadi apa-apa padanya. Mungkin pula justru karena ia mabuk maka ia akan diperlakukan sangat kasar .. Mau copot rasanya jantung Dyah. Dan ia sama sekali tak tahu apa yang mesti diperbuat untuk mengalihkan pikirannya.

Pintu terbuka keras. Dyah nyaris terlonjak. Ia tak menduga secepat ini. Makhluk itu masuk membelakangi pintu, menutup dan menguncinya. Ia mendekati Dyah. Jantung Dyah berdetak makin kencang tak karuan.

Ia makin mendekat.

Dyah tak kuat lagi, ia menutup matanya. Ingin rasanya ia bisa menghilang dari sini. Tapi walaupun ia bisa, tak mungkin dilakukannya. Rakyatnya. Negaranya.

Dyah merasakan makhluk itu tak berjarak lagi darinya.

Ia bisa merasakan napasnya. Tak ada bau alkohol di sana. Dyah memberanikan diri membuka matanya.

Dan tepat menatap mata hitam itu. Dengan jarak sangat dekat. Hangat napasnya satu-satu menerpa wajah Dyah.

Dyah merasakan kedua tangan besar itu merengkuh bahunya. Inilah dia, pikirnya, inilah dia saatnya, pikirnya pasrah.

Salah satu tangan itu meraih rambut Dyah yang jatuh menutupi wajahnya, menaikkannya ke atas telinga sehingga ia bisa melihat wajah Dyah dengan jelas dan juga sebaliknya. Wajah itu kian mendekat, dan Dyah menutup matanya lagi. Ia tak ingin melihat apa yang dilakukan makhluk itu padanya. Ia bahkan tak ingin merasakannya.

Dyah merasakan sentuhan bibir di keningnya. Ia membuka matanya untuk lagi-lagi langsung bertatapan dengan mata hitam itu. Dan nyaris terlonjak ia mendengar suaranya.

"Jangan takut. Aku hanya akan menyentuhmu bila kau bersedia,"

Dyah menatapnya tak percaya. Tapi mata hitam itu menyorotkan kesungguhan. Ketulusan.

"Sayang sekali aku tidak bisa menemukan kamar terpisah untukmu. Akan terlalu mencurigakan, apalagi di malam pernikahan kita," dia melepaskan tangannya dari bahu Dyah, "begitu pula dengan tempat tidur terpisah. Mungkin aku akan tidur di lantai saja," sahutnya ringan.

Dyah tidak bisa langsung menanggapi. Ini benar-benar di luar dugaannya. Kejutan yang melegakan. Matanya mengikuti gerak-gerik makhluk itu menyiapkan tempatnya tidur di lantai.

"Mengapa engkau melakukan hal ini?" tanyanya ragu.

Sejenak makhluk itu tak menjawab. Ia berhenti bergerak dan menghela napas panjang, "Anda sendiri, Yang Mulia? Mengapa setuju untuk menikah dengan .. monster sepertiku?"

Giliran Dyah tercenung. "Aku tak punya pilihan lain. Kalau tidak, rakyatku akan menderita. Selain itu, tolong jangan panggil aku Yang Mulia. Bagaimanapun kau adalah suamiku. Panggil aku Dyah saja,"

"Baiklah. Dyah," makhluk itu terdengar agak ragu,"dan sebaliknya juga panggil aku Lembu saja. Kembali pada pertanyaanku tadi, bagaimana kau yakin bahwa dengan menikah denganku, dia .. er .. akan menepati janjinya?" Kedengarannya Dark Soul cukup ditakuti. Menyebut namanya saja makhluk besar ini ragu.

"Aku tak tahu," gumam Dyah putus asa, "yang aku tahu kalau aku tidak melakukannya dia akan menghancurkan Sumekar."

"Kau tahu alasan apa yang membuatnya menyerang negaramu?"

Dyah menggeleng, "Aku hanya tahu ia mengincar Pertambangan kami. Memang di sana banyak batu-batu berharga. Juga kadang-kadang ditemukan batu berkekuatan magis. Tapi aku tak tahu kalau Dark Soul menganggapnya cukup berharga untuk diduduki. Kukira Morion sendiri cukup kaya dengan hasil tambang dan hasil bumi yang lain."

“Bukannya ia menginginkan Silmë?”

Dyah memandangnya tajam. “Kau … tahu juga?”

Lembu mengangguk.

Mereka terdiam.

"Dan kau sendiri? Apa yang kau kerjakan di sini? Sepertinya kau bukan bawahan Dark Soul?" Dyah bertanya takut-takut.

Lembu menggeleng. "Tidak. Aku mengabdi untuk Morion. Tepatnya, untuk Lembuwungkuk. Jauh sebelum dia mengambil alih kekuasaan." Matanya menyiratkan ada sesuatu yang ingin disimpannya sendiri. Dyah tidak bertanya lagi.

Lembu menyuruhnya segera tidur. "Tidurlah. Hari sudah larut. Kalau kau memang ingin melakukan sesuatu untuk negaramu, kau harus menyimpan tenagamu, menjaga kesehatanmu."

Dyah ragu melangkah ke ranjangnya.

"Jangan takut. Tak akan ada yang terjadi padamu. Seperti sudah kukatakan padamu, aku tidak akan melakukan apa-apa diluar kehendakmu. Selamat malam," Lembu meniup pelita di meja.

"Selamat malam," Dyah membaringkan dirinya. Apa yang akan terjadi, terjadilah, pikirnya.

Dan nyatanya memang tidak terjadi apa-apa.

Sebelum menutup matanya, sebersit pikiran melayang di benak Dyah. Siapa sebenarnya Lembu ini? Ia menoleh ke arah Lembu membaringkan dirinya di lantai, memandangnya diam-diam saat Lembu memejamkan mata. Lembu ini seperti ... orang yang sudah lama ia kenal. Seperti familiar untuknya. Tapi ia tidak tahu siapa. Dicobanya mengingat-ingat, semua yang ia kenal dari Sumekar, tidak ada yang berwajah seperti Lembu. Jangankan berpenampilan seperti Lembu, mirip pun tidak ada.

Dyah menghela napas dan memejamkan matanya.

*****

Gelap jatuh di seluruh wilayah Sumekar. Entah sekarang sedang malam atau masih siang, kalau kau tidak melihat jam, kau tidak akan tahu. Bahkan untuk mereka yang melihat jam pun, kalau baru saja bangun misalnya, kau tidak akan tahu ini pukul 12 siang atau pukul 12 malam, sama saja kegelapannya.

Di sana sini ada beberapa obor yang dinyalakan, yang tidak banyak menolong. Bukan obor berbahan bakar biru dengan nyala tak berbekas seperti yang biasa dinyalakan di Sumekar, tetapi obor berbahan bakar kasar dengan jelaga hitam susah dibersihkan.

Rumah-rumah sunyi tanpa suara. Jalan-jalan tak ada yang melewati. Angin sesekali meniup dedaunan yang gugur, menyampah di jalanan. Tidak ada yang menyapunya karena tidak ada yang peduli. Tidak ada yang peduli karena semua orang punya sesuatu yang lebih ditakuti daripada sekedar jalanan yang menjadi kotor.

Seluruh Sumekar terdiam dalam ketakutan. Seluruh Sumekar jatuh dalam dukacita yang dalam. Langit cerah seperti mimpi yang sudah berabad-abad tidak pernah ada di Sumekar, demikian pula harapan. Serasa jauh.

Kecuali Pertambangan. Di Pertambangan masih ada kegiatan, mempertahankan Sumekar. Masih ada pertempuran mati-matian dari beberapa gelintir orang dan beberapa penyihir.

Gagak Hitam masih menyambar-nyambarkan pisau-pisau kunainya. Tapi sekarang tidak begitu mempan. Seluruh penyihir yang ada di situ, masih mencoba melindungi para pekerja yang sekarang berubah menjadi tentara dengan senjata alakadarnya.

Dark Soul telah berjanji pada Dyah untuk tidak membunuhi rakyatnya, tapi setidaknya tidak di Pertambangan. Pasukannya dalam jumlah besar dikerahkan ke Pertambangan. Sudah tak terhitung jumlah kematian di sana. Sekarang yang masih ada tinggallah beberapa orang pekerja, ditambah segelintir penyihir yang bekerjamati-matian melindungi sumber utama Pertambangan.

Ki Seta sudah bermandi keringat dan darah. Ia bekerja ganda, melindungi para pekerja ditambah terus memantau akan kemunculan Silmë. Beberapa hari yang lalu ia mendengar kematian Kepala Bala Keamanan, dan ditangkapnya Ratu, dibawa ke Morion. Tanpa rencana, tentunya ia akan segera berangkat ke Morion dan membebaskan Ratu-nya. Tapi dengan rencana ini, ia harus tetap ada di sini. Mempertahankan Pertambangan sebisa mungkin.

Dan sekarang, para pekerja sudah nyaris habis, para penyihir sudah ada di titik nadir mereka, tapi Silmë belum menampakkan tanda-tanda akan memunculkan diri.

Beberapa penyihir menghimpun kekuatan mereka dan menyalurkannya ke kumpulan pasukan Dark Soul. Meledakkannya. Berkurang sedikit pasukan mereka, tapi jumlahnya memang seperti tidak ada habisnya.

Gagak Hitam merangsek lebih jauh, mendekati Ki Seta, mendekati Sumber Utama Pertambangan dengan beberapa pasukannya. Ki Seta mengeluarkan jurus-jurusnya sambil matanya terus ke Sumber Utama. Jangan sampai lengah, jagan sampai lengah, bisiknya. Ia tahu, musuhnya terus mendekati Sumber Utama. Ia harus menjaganya sekuat tenaga.

Saat beberapa pasukan menyerangnya, ia mengeluarkan dentuman,d an tahulah ia bahwa Gagak Hitam hanya mengecohnya. Dengan perhatian ke para pasukan, Gagak Hitam bisa mendekati Sumber Utama. Dan Ki Seta sudah merasa bahwa Silmë sudah akan muncul. Waktunya akan datang.

Dengan sisa kekuatannya, disemburkan jurus api pada Gagak Hitam, yang dengan entengnya menahannya dengan perisai. Gagak Hitam mengeluarkan dua pedang pendek, dan dengan gerakan cepat bagai tak terlihat mata, ia menyerang, ia merangsek terus ke Sumber, mendesak Ki Seta agar bergerak terus ke luar lingkaran Sumber.

Ki Seta bertahan. Taoi dalam waktu yang sangat cepat itu ia bahkan tak bisa mengeluarkan sihirnya, ia terus bertahan dengan cara manual.

Dan ia merasa Silmë sudah waktunya keluar.

Nampaknya Gagak Hitam juga merasakannya, karena ia mengeluarkan seluruh tenaganya untuk meledakkan Ki Seta, menjauhkannya dari Sumber Utama...

BLAAAAAAR!

Ki Seta hanya sanggup mengeluarkan jurus bertahan, sebelum ia terlempar jauh dari Sumber Utama, lubang utama tempat keluarnya batu-batu.

Gagak Hitam tertawa terbahak-bahak saat Ki Seta jatuh terguling, dekat lubang-lubang Pertambangan kecil di sekitar Sumber Utama. Dengan percaya diri ia mendekati Sumber Utama, menunggu kemunculan Silmë.

Ki Seta berusaha untuk bangun, berusaha untuk kembali ke Sumber Utama, ketika ia merasa sesuatu yang lain.

Sinar bulan lembut muncul dari salah satu lubang kecil Pertambangan, dekat tempatnya jatuh.

Silmë.

Cahaya Bulan.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Ki Seta meraih Silmë, seiring raungan kemarahan Gagak Hitam melihat batu itu justru keluar dari lubang kecil, bukan dari Sumber Utama. Ki Seta melancarkan jurus Halimunan, dan ia menghilang dari pandangan Gagak Hitam bersama Silmë.

~0~0~0~0~0~0~0

Wordcount: 3.554
Akumulasi: 50.167 (MS Word) 50.136 (NaNoValidator)
Target: 46.667

Woohoo!

Akhirnya!

Tapi ... akhirnya cliffhanger! Hihi.. Enggak sih, soalnya cerita ini belum selesai, jadi masih akan ada terusannya. Jangan takut, kalau diterusin pasti dipost di sini.

Woohoo!

2 Comments:

Blogger Shaven said...

Wohooooo!!!
Selamat! Selamat! Akhirnya setelah berjuang melawan err....malas selama sebulan penuh Ambu berhasil juga menjadi winner! (Melirik iri melihat logo winner, grr... berniat jahil "copy paste")

Sayangnya aku gagal, hiks, terlalu banyak gangguan bulan ini, ada kerjaan numpuklah, sakitlah, bantuin ibu pindah rumahlah, sibuk! Hehehe. Tahun depan coba lagi deh.

Congrats!

BTW, benernya aku agak2 risih sama 'Dark Soul', kenapa gak diganti istilah Indo aja, Ambu? Err... ini bikinan Ambu kan? Bukan Kho Ping Hoo? Hihihi....

1:46 PM  
Blogger ambudaff said...

Hehe, makasih shaven..
*jagain logo winner baik-baik, biar jangan dicolong shaven*

Mengenai Dark Soul, iya, Ambu pengen ganti. Tadinya itu buat nama tokoh jahat di salah satu RPCN, dan Aestera-nya kan udah keburu wafat.. jadi namanya kupakai aja dulu. Masih mikir namanya apa ya? Pangeran Matahari?
*dikemplang Dalgude*

Kho Ping Hoo? Siapa itu ya?
*ditimpuks lagi*
hihi..

3:40 PM  

Post a Comment

<< Home