Hari Keduapuluhtujuh
Avis masih menatap pintu yang tertutup beberapa detik. Setengah tak mengerti ia kembali ke kamar. Upi masih terlelap di sana.
‘Teruslah bertahan’ terus terngiang-ngiang. Ada apa dengan kang Nata? Apakah dia tahu apa yang selama in ia impikan? Ataukah dia yang mengirim mimpi-mimpi itu?
Masih setengah tak mengerti, ia mengganti piama dan membaringkan diri di sebelah Upi. Sebelum ia memejaman mata, Upi berbalik, dan mengucapkan kata-kata tak jelas.
”Duh, Upi, kalau sore main sampai cape, pasti deh ngelindur,” bisik Avis sambil terus menepuk-nepuk paha Upi menenangkannya. Pintu kamar diketuk.
”Vis, Upi nggak apa-apa?”
“Cuma ngelindur, teh,” Avis berdiri dan membukakan pintu.
“Iya, dia mah begitu. Hampir selalu ngelindur. Kumaha atuh nya?” teh Alia masuk dan menenangkan Upi.
Avis tersenyum, ”Nggak apa-apa, teh. Bagus malah, jadi otaknya tumbuh.”
”Lho, memang kenapa?”
”Kalau kita tidur, berarti sel-sel tubuh kita diganti dengan yang baru. Kalau tidur kita lelap, berarti yang sedang diganti adalah sel-sel tubuh. Kalau tidur nggak lelap, mata masih bergerak, REM –rapid eye movement—berarti sel otak yang lagi tumbuh. Kalau dia lagi ngelindur gini,” Avis memperlihatkan gerakan mata Upi, “berarti sel otaknya yang sedang bertumbuh.”
“Tapi hampir setiap malam, lho Vis.”
“Berarti tumbuh setiap malam,” Avis tertawa ditahan, “Anak sekarang sih otaknya bagus-bagus, teh, gizinya kali ya?”
Teh Alia tersenyum juga. Upi berbalik dan memanggil, “Umi! Umi!” tapi matanya masih tetap tertutup.
”Ya, udah, pindah kamar aja deh,” usul teh Alia, ”daripada nanti malem keganggu,” dan dia sudah akan memindahkan Upi, ketika tangannya ditahan.
”Biar sama Avis aja teh,” katanya dan hati-hati mengangkat Upi. ”Sebenarnya biar di sini aja, teh, kan sebentar lagi si Ade lahir. Jadi dia dibiasakan tidur sendiri.”
Teh Alia tersenyum, ”Duh, mau lahir adiknya malah tambah ogoan. Sekarang aja ada Avis di sini, dan dia bisa ogoan ke Avis, kalau enggak sih, nempel aja terus ke Umi-nya, seperti permen karet nempel di rambut.”
Avis tertawa kecil.
Sambil mengangkat Upi, teh Alia berbisik, ”Pak ... er, kang Nata tadi marah?”
”Ha?” Avis kaget, ”Enggak. Kenapa?”
”Enggak. Cuma nanya aja. Abis kedengarannya diem-dieman gitu.”
”Yee .. ngedengerin ...” kalau dia tidak sedang memangku Upi pasti dicubitnya teh Alia ini.
Di kamarnya, si Aa malah sedang ngaringkuk, ”Aa. Ini si Upi ngalindur, jadi sama teteh dipindahin lagi ke sini katanya,” sahut Avis sambil membaringkan Upi di sebelah Aa.
”Ye, kirain mau tidur sama Bi Wis.”
”Udah tidur, tapi tadi ngelindur dan manggil-manggil Umi, dan sama Umi disuruh dipindahin lagi.”
”Nah, itu mah Umi-nya aja yang kangen tidur sama Upi,” dan teh Alia sekarang yang mencubit Aa. Sukurin, hihi..
”Udah ah, Avis mau tidur,” dan ia menghilang ke kamar sebelah.
Ditutupnya pintu, dan ditariknya napas panjang.
’Teruslah bertahan’ kata kang Nata tadi. Oke, baiklah, kucoba untuk bertahan, pikir Avis. Walau Avis tidak tahu apa yang akan terjadi.
Dipejamkan matanya.
Dan kecamuk perang segera melanda. Keadaannya gelap, meski menurut hatinya, ini masih siang. Tapi tadi Ki Seta memperingatkan, jika bayang-bayang Dark Soul tiba di suatu tempat, tempat itu akan menjadi gelap oleh bayangannya.
Inilah keadaannya sekarang. Pasukannya yang tidak terlatih, bertempur dengan pasukan yang banyak, terlatih, dan tidak punya belas kasihan. Hanya rasa mempertahankan negara yang bisa menjadikan mereka bersemangat begitu, pikir Dyah.
Sebagian besar penyihir negara dikerahkan ke garis depan. Ki Seta dan beberapa penyihir lainnya, ditugaskan bersiaga di Pertambangan, kalau-kalau Silmë keluar, dan bisa segera dikuasai. Jangan sampai dikuasai pasukan Dark Soul.
Walau hatinya tersiksa melihat keadaan pasukannya, namun ia menegarkan diri. Ia harus memberi contoh yang baik pada pasukannya. Ia harus memperlihatkan keberanian pada mereka. Dan pedangnya menyabet kian kemari, tanpa ragu.
Ketika malam menjelang, dan kedua pasukan mundur sejenak, ada rasa getir dalam hatinya. Sudah berapa banyak yang harus pulang hanya nama? Air matanya nyaris menetes tatkala melihat banyak wanita yang bekerja di garis depan sebagai Penyembuh. Malam begini tatkala perang dihentikan, mereka justru keluar, mengumpulkan mereka yang masih bisa diselamatkan untuk diobati , mengumpulkan mereka yang sudah tidak bisa diselamatkan untuk dikremasi. Coba kalau dalam situasi normal, wanita biasanya segan keluar malam, walau di Sumekar jarang ada penjahat juga.
Kepala Bala Keamanan yang sedari pagi mendampinginya menghunus pedang, masuk ke tendanya, ”Daulat Tuanku,” hormatnya.
”Ada apa?”
”Ada ... kabar buruk dari para juru telik, Yang Mulia.”
”Kabar buruk ... apakah?” ia ragu untuk mendengarnya, tapi ia harus.
”Dua Panah Merah kembali kosong, Yang Mulia.”
Panah Merah adalah cara berkomunikasi yang paling cepat yang mereka ketahui. Jika ada kabar yang harus segera disampaikan, kabar itu biasanya diisi ke dalam Panah Merah dan dikirimkan secepatnya.
Semua Juru Telik memiliki Panah Merah. Jika ia mati atau lebih parahnya, tertangkap dengan kemungkinan disiksa, maka Panah Merahnya akan kembali kosong. Dan dua Panah Merah sudah kembali kosong.
Dyah terdiam. Lalu berkata lirih, ”Dan tiga Panah lainnya?”
Kepala Bala Keamanan menggeleng.
Ketukan di pintu tenda membuat perhatian mereka terpecah. ”Masuk,” sahut Dyah tegas.
Ki Seta, dalam keadaan lusuh dan kotor. Biasanya busananya putih bersih bersinar.
“Ada apa, Ki Seta?” Dyah berharap bahwa Ki Seta sudah menemukan Silmë.
”Kabar buruk, Yang Mulia. Konon dua Panah Merah sudah kembali kosong?”
Dyah menoleh pada Kepala Bala Keamanan, tak perlu jawaban untuk pertanyaan itu. ”Apa kau tahu di mana tiga Panah lainnya?”
Ki Seta menghela napas, dan maju ke meja peta, menggulung peta yang ada di atas meja, dan menebarkan sebuah kain hitam. Lalu ia menebarkan bubuk entah apa namanya, membaca mantra, dan terlihatlah gambar-gambar mengerikan.
Kelima juru telik sudah ditemukan oleh pasukan Morion, dan entah apa saja yang sudah mereka lakukan pada mereka. Rasanya tidak akan lama lagi tiga Panah sisanya akan sampai dalam keadaan kosong.
Mereka terdiam sejenak. Lalu Dyah memecahkan keheningan, ”Kukira tradisi meramalkan pemerintahan berjalan baik atau tidak berdasarkan ringan atau beratnya diadem, sudah harus ditinggalkan. Saat pelantikan aku merasakan diadem yang ringan, ternyata ...”
”Yang Mulia, peramalan itu masih tetap berlaku. Itu meramalkan apakah Yang Mulia berhasil atau tidak dalam memerintah, dan sampai sekarang bukankah rakyat masih melaksanakan perintah Yang Mulia?”
”Tapi bisakah kau memerintahkan rakyatmu untuk menyongsong kematian? Yang kau tahu persis akan terjadi?”
Baik Kepala Bala Keamanan maupun Ki Seta tak bisa menjawabnya.
Suara mendesing menandakan ada sesuatu yang terbang melintasi tenda. Kepala Bala Keamanan cepat-cepat melihat apakah itu.
Sebuah Panah Merah kosong.
”Yang Mulia,” ia menyerahkan panah itu pada Dyah.
Dyah lagi yang memecahkan keheningan. ”Baiklah. Kita akan bertahan selama kita bisa, berharap kita bisa menemukan Silmë sebelum Dark Soul.”
Ia berbalik pada Ki Seta, ”Ki Seta, aku meletakkan harapan terakhir padamu. Berjagalah dengan waspada, aku berharap kau tidak melewatkan satu detikpun.”
Ki Seta mengangguk, memberi hormat, dan hendak pergi, ketika ia berhenti sejenak dan memandang Kepala Bala Keamanan, ”Aku percayakan keamanannya padamu, sobat!” baru ia berlalu.
Pagi belum lagi sepenuhnya menyentuh Sumekar ketika tentara-tentara Morion bersiaga. Dyah sudah bersiap pula bersama Kepala Bala Keamanan. Harus berapa lama lagi ia menyaksikan rakyatnya bertumbangan di depannya, pikirnya dengan prihatin.
~0~0~0~0~0~0
Wordcount: 1.120
Akumulasi:
Target:
‘Teruslah bertahan’ terus terngiang-ngiang. Ada apa dengan kang Nata? Apakah dia tahu apa yang selama in ia impikan? Ataukah dia yang mengirim mimpi-mimpi itu?
Masih setengah tak mengerti, ia mengganti piama dan membaringkan diri di sebelah Upi. Sebelum ia memejaman mata, Upi berbalik, dan mengucapkan kata-kata tak jelas.
”Duh, Upi, kalau sore main sampai cape, pasti deh ngelindur,” bisik Avis sambil terus menepuk-nepuk paha Upi menenangkannya. Pintu kamar diketuk.
”Vis, Upi nggak apa-apa?”
“Cuma ngelindur, teh,” Avis berdiri dan membukakan pintu.
“Iya, dia mah begitu. Hampir selalu ngelindur. Kumaha atuh nya?” teh Alia masuk dan menenangkan Upi.
Avis tersenyum, ”Nggak apa-apa, teh. Bagus malah, jadi otaknya tumbuh.”
”Lho, memang kenapa?”
”Kalau kita tidur, berarti sel-sel tubuh kita diganti dengan yang baru. Kalau tidur kita lelap, berarti yang sedang diganti adalah sel-sel tubuh. Kalau tidur nggak lelap, mata masih bergerak, REM –rapid eye movement—berarti sel otak yang lagi tumbuh. Kalau dia lagi ngelindur gini,” Avis memperlihatkan gerakan mata Upi, “berarti sel otaknya yang sedang bertumbuh.”
“Tapi hampir setiap malam, lho Vis.”
“Berarti tumbuh setiap malam,” Avis tertawa ditahan, “Anak sekarang sih otaknya bagus-bagus, teh, gizinya kali ya?”
Teh Alia tersenyum juga. Upi berbalik dan memanggil, “Umi! Umi!” tapi matanya masih tetap tertutup.
”Ya, udah, pindah kamar aja deh,” usul teh Alia, ”daripada nanti malem keganggu,” dan dia sudah akan memindahkan Upi, ketika tangannya ditahan.
”Biar sama Avis aja teh,” katanya dan hati-hati mengangkat Upi. ”Sebenarnya biar di sini aja, teh, kan sebentar lagi si Ade lahir. Jadi dia dibiasakan tidur sendiri.”
Teh Alia tersenyum, ”Duh, mau lahir adiknya malah tambah ogoan. Sekarang aja ada Avis di sini, dan dia bisa ogoan ke Avis, kalau enggak sih, nempel aja terus ke Umi-nya, seperti permen karet nempel di rambut.”
Avis tertawa kecil.
Sambil mengangkat Upi, teh Alia berbisik, ”Pak ... er, kang Nata tadi marah?”
”Ha?” Avis kaget, ”Enggak. Kenapa?”
”Enggak. Cuma nanya aja. Abis kedengarannya diem-dieman gitu.”
”Yee .. ngedengerin ...” kalau dia tidak sedang memangku Upi pasti dicubitnya teh Alia ini.
Di kamarnya, si Aa malah sedang ngaringkuk, ”Aa. Ini si Upi ngalindur, jadi sama teteh dipindahin lagi ke sini katanya,” sahut Avis sambil membaringkan Upi di sebelah Aa.
”Ye, kirain mau tidur sama Bi Wis.”
”Udah tidur, tapi tadi ngelindur dan manggil-manggil Umi, dan sama Umi disuruh dipindahin lagi.”
”Nah, itu mah Umi-nya aja yang kangen tidur sama Upi,” dan teh Alia sekarang yang mencubit Aa. Sukurin, hihi..
”Udah ah, Avis mau tidur,” dan ia menghilang ke kamar sebelah.
Ditutupnya pintu, dan ditariknya napas panjang.
’Teruslah bertahan’ kata kang Nata tadi. Oke, baiklah, kucoba untuk bertahan, pikir Avis. Walau Avis tidak tahu apa yang akan terjadi.
Dipejamkan matanya.
Dan kecamuk perang segera melanda. Keadaannya gelap, meski menurut hatinya, ini masih siang. Tapi tadi Ki Seta memperingatkan, jika bayang-bayang Dark Soul tiba di suatu tempat, tempat itu akan menjadi gelap oleh bayangannya.
Inilah keadaannya sekarang. Pasukannya yang tidak terlatih, bertempur dengan pasukan yang banyak, terlatih, dan tidak punya belas kasihan. Hanya rasa mempertahankan negara yang bisa menjadikan mereka bersemangat begitu, pikir Dyah.
Sebagian besar penyihir negara dikerahkan ke garis depan. Ki Seta dan beberapa penyihir lainnya, ditugaskan bersiaga di Pertambangan, kalau-kalau Silmë keluar, dan bisa segera dikuasai. Jangan sampai dikuasai pasukan Dark Soul.
Walau hatinya tersiksa melihat keadaan pasukannya, namun ia menegarkan diri. Ia harus memberi contoh yang baik pada pasukannya. Ia harus memperlihatkan keberanian pada mereka. Dan pedangnya menyabet kian kemari, tanpa ragu.
Ketika malam menjelang, dan kedua pasukan mundur sejenak, ada rasa getir dalam hatinya. Sudah berapa banyak yang harus pulang hanya nama? Air matanya nyaris menetes tatkala melihat banyak wanita yang bekerja di garis depan sebagai Penyembuh. Malam begini tatkala perang dihentikan, mereka justru keluar, mengumpulkan mereka yang masih bisa diselamatkan untuk diobati , mengumpulkan mereka yang sudah tidak bisa diselamatkan untuk dikremasi. Coba kalau dalam situasi normal, wanita biasanya segan keluar malam, walau di Sumekar jarang ada penjahat juga.
Kepala Bala Keamanan yang sedari pagi mendampinginya menghunus pedang, masuk ke tendanya, ”Daulat Tuanku,” hormatnya.
”Ada apa?”
”Ada ... kabar buruk dari para juru telik, Yang Mulia.”
”Kabar buruk ... apakah?” ia ragu untuk mendengarnya, tapi ia harus.
”Dua Panah Merah kembali kosong, Yang Mulia.”
Panah Merah adalah cara berkomunikasi yang paling cepat yang mereka ketahui. Jika ada kabar yang harus segera disampaikan, kabar itu biasanya diisi ke dalam Panah Merah dan dikirimkan secepatnya.
Semua Juru Telik memiliki Panah Merah. Jika ia mati atau lebih parahnya, tertangkap dengan kemungkinan disiksa, maka Panah Merahnya akan kembali kosong. Dan dua Panah Merah sudah kembali kosong.
Dyah terdiam. Lalu berkata lirih, ”Dan tiga Panah lainnya?”
Kepala Bala Keamanan menggeleng.
Ketukan di pintu tenda membuat perhatian mereka terpecah. ”Masuk,” sahut Dyah tegas.
Ki Seta, dalam keadaan lusuh dan kotor. Biasanya busananya putih bersih bersinar.
“Ada apa, Ki Seta?” Dyah berharap bahwa Ki Seta sudah menemukan Silmë.
”Kabar buruk, Yang Mulia. Konon dua Panah Merah sudah kembali kosong?”
Dyah menoleh pada Kepala Bala Keamanan, tak perlu jawaban untuk pertanyaan itu. ”Apa kau tahu di mana tiga Panah lainnya?”
Ki Seta menghela napas, dan maju ke meja peta, menggulung peta yang ada di atas meja, dan menebarkan sebuah kain hitam. Lalu ia menebarkan bubuk entah apa namanya, membaca mantra, dan terlihatlah gambar-gambar mengerikan.
Kelima juru telik sudah ditemukan oleh pasukan Morion, dan entah apa saja yang sudah mereka lakukan pada mereka. Rasanya tidak akan lama lagi tiga Panah sisanya akan sampai dalam keadaan kosong.
Mereka terdiam sejenak. Lalu Dyah memecahkan keheningan, ”Kukira tradisi meramalkan pemerintahan berjalan baik atau tidak berdasarkan ringan atau beratnya diadem, sudah harus ditinggalkan. Saat pelantikan aku merasakan diadem yang ringan, ternyata ...”
”Yang Mulia, peramalan itu masih tetap berlaku. Itu meramalkan apakah Yang Mulia berhasil atau tidak dalam memerintah, dan sampai sekarang bukankah rakyat masih melaksanakan perintah Yang Mulia?”
”Tapi bisakah kau memerintahkan rakyatmu untuk menyongsong kematian? Yang kau tahu persis akan terjadi?”
Baik Kepala Bala Keamanan maupun Ki Seta tak bisa menjawabnya.
Suara mendesing menandakan ada sesuatu yang terbang melintasi tenda. Kepala Bala Keamanan cepat-cepat melihat apakah itu.
Sebuah Panah Merah kosong.
”Yang Mulia,” ia menyerahkan panah itu pada Dyah.
Dyah lagi yang memecahkan keheningan. ”Baiklah. Kita akan bertahan selama kita bisa, berharap kita bisa menemukan Silmë sebelum Dark Soul.”
Ia berbalik pada Ki Seta, ”Ki Seta, aku meletakkan harapan terakhir padamu. Berjagalah dengan waspada, aku berharap kau tidak melewatkan satu detikpun.”
Ki Seta mengangguk, memberi hormat, dan hendak pergi, ketika ia berhenti sejenak dan memandang Kepala Bala Keamanan, ”Aku percayakan keamanannya padamu, sobat!” baru ia berlalu.
Pagi belum lagi sepenuhnya menyentuh Sumekar ketika tentara-tentara Morion bersiaga. Dyah sudah bersiap pula bersama Kepala Bala Keamanan. Harus berapa lama lagi ia menyaksikan rakyatnya bertumbangan di depannya, pikirnya dengan prihatin.
~0~0~0~0~0~0
Wordcount: 1.120
Akumulasi:
Target:
0 Comments:
Post a Comment
<< Home