My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Wednesday, November 18, 2009

Hari 17 dan 18

Duuh, internet kok jadi lelet ya? Mau post aja lama T_T

OK, ini post hari ke-17 dan hari ke-18. Hari ke-17 cuma sekitar 1.000 kata, jadi disatuin aja, selain karena internetnya menyebalkan :P

*****


Pintu menuju benteng menjeblak terbuka sekali lagi dan di sana berdiri Severus, tongkat sihirnya tercengkeram di tangan ketika mata hitamnya menyapu pemandangan itu, dari tubuh Dumbledore yang merosot di tembok, ke empat Pelahap Maut, termasuk si manusia serigala yang marah, dan Malfoy.

“Kita punya masalah, Snape,” kata si gendut Amycus yang mata maupun tongkat sihirnya tertuju ke Dumbledore, “anak ini tampaknya tak sanggup—“

Namun ada orang lain yang memanggil nama Severus, cukup pelan.

“Severus ...”

Suara itu menakutkan Harry lebih dari segala yang telah dialaminya malam itu. Untuk pertama kalinya, Dumbledore memohon.

Severus tidak berkata apa-apa, namun berjalan maju dan mendorong Malfoy dengan kasar agar menyingkir. Ketiga Pelahap Maut mundur tanpa kata. Bahkan si manusia serigala tampak ketakutan.

Sesaat Severus memandang Dumbledore, dan kejijikan serta kebencian terpahat pada garis-garis keras wajahnya.

“Severus ... tolong ...”

Severus mengangkat tongkat sihirnya dan mengacungkannya tepat ke arah Dumbledore.

“Avada Kedavra!”

Pancaran sinar hijau meluncur dari ujung tongkat sihir Severus dan menghantam Dumbledore tepat di dadanya.

Dengan gerak cepat ia membuat Draco dan Pelahap Maut lainnya keluar dan berlari. Berlarian mereka menuju titik Apparation terdekat, seperti rencana. Sekilas ia melihat Harry muncul, nampaknya dari Jubah Gaibnya.

Mereka sudah mendekati titik Apparation. Pondok Hagrid, gerbang, dan sampailah sudah. Tinggal ber-DisApparate.

Tapi masih ada satu penghalang. Potter.

Ia merasa harus menghadapinya. Ia dan Potter.

Anak itu melancarkan Kutukan-Kutukan, yang semua bisa dipatahkan. Sudah bisa dibayangkan. Dengan kemampuan yang hanya sedang-sedang saja, dengan emosi yang meluap-luap. Semua mudah dipatahkan.

Seorang Pelahap Maut mungkin merasa Severus terlalu memberi hati, melancarkan Crucio pada Potter.

Anak itu terjungkal di atas rerumputan, kesakitan terbayang jelas di wajahnya. Tidak—tidak boleh. Dumbledore memberikan instruksi untuk menjaga sekolah ini, Pangeran Kegelapan memberi instruksi untuk meninggalkan Potter—ia bagian Pangeran Kegelapan—

“Jangan!” raung Severus, menghentikan Kutukan itu. Nampaknya kesakitan itu pun berhenti, dan Potter berbaring meringkuk di rerumputan, mencengkeram tongkat sihirnya dan tersengal-sengal. “Kau sudah lupa perintah yang diberikan pada kita? Potter milik Pangeran Kegelapan—kita harus meninggalkannya! Pergi! Pergi!”

Para Pelahap Maut mematuhi, berlari ke arah gerbang.

Tapi Potter mengejarnya. Bahkan menyerangnya dengan Kutukan-Kutukan yang dibuat oleh Severus.

OK, Dumbledore sudah menginstruksikan agar jangan menghiraukan Potter. Jangan menyerang. Menangkis saja.

Belum lagi—ia anak Lily.

Menangkis saja. Walau anak itu sukses membuat ia marah, tetapi ia harus menjaga emosi saat ini. Tanggung jawabnya besar. Walau ia marah,

“Berani-beraninya kau menggunakan kutukanku untuk menyerangku, Potter? Akulah yang menciptakan kutukan itu—aku, si Half-Blood Prince! Pangeran Berdarah-Campuran! Dan kau mau menggunakan ciptaanku untuk menyerangku, seperti ayahmu yang licik, ya? Tak akan kubiarkan ... tidak!”

Anak itu berusaha menyambar tingkat sihirnya. Severus meluncurkan kutukan dan tongkat itu terbang beberapa meter jauhnya ke dalam kegelapan dan menghilang dari pandangan. Hanya tangkisan, tidak boleh serangan.

Tapi anak itu tak kenal takut. “Bunuh aku, kalau begitu,” sengalnya, terlihat ia sama sekali tidak merasa takut, hanya marah dan jijik. “Bunuh aku seperti kau membunuhnya, pengecut—“

Emosi Severus benar-benar naik saat ini, “JANGAN—“ jeritnya, wajahnya mendadak liar dan bengis, semua emosi tercampur aduk, “—SEBUT AKU PENGECUT!”

Tidka boleh menyerang, tidak boleh menyerang, dan ia menebas udara. Seekor Hippogriff turut campur, dan Severus menggunakannya sebagai pengalih perhatian agar bisa ber-Disapparate.

Jadi, ia pergi.

Meninggalkan Hogwarts, tempat yang membuatnya merasa nyaman. Jadi, inilah.

Dumbledore sudah memberi peringatan di awal tahun ajaran. Ia akan memberikan mata pelajaran yang sudah dari dulu diinginkan oleh Severus, Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, tapi ia memberi tahu sesuatu. Kenapa dari dulu Severus tidak diberikan mata pelajaran ini? Karena mata pelajaran ini dikutuk oleh Pangeran Kegelapan, setiap guru tak akan bertahan lebih dari setahun.

Sambil berlari mendekati para Pelahap Maut yang sudah jauh mendahuluinya, Severus tersenyum pahit. Jadi itulah sebabnya, Dumbledore tak pernah memberinya posisi itu.

Severus menepis bayangan Dumbledore. Sebentar lagi ia akan menghadap Pangeran Kegelapan, ia harus menutup semua pikirannya tentang Dumbledore.

Pikirkan saja tentang penyerangan tadi. Pikirkan—Potter.

OK, Potter tentu sedih atas kematian Dumbledore. Jelas ia akan menyerangnya, membunuhnya kalau bisa. Tapi, mengapa ayah dan anak sama saja, menyerang menggunakan Kutukan yang ia ciptakan? Mengapa tidak menciptakan sendiri, dasar moron! Dan Potter junior ini, dengan kepandaian yang sedang-sedang saja, bagaimana ia bisa membunuh Pangeran Kegelapan dengan kualitas sihir yang menyedihkan itu? Belum lagi Potter mengabaikan pelajaran Occlumency yang harus ia berikan, dan memudahkannya untuk membaca Kutukan apa saja yang akan dikeluarkan.

Severus menarik napas.

Mulai sekarang, ia harus menutup pikirannya lebih rapi lagi. Tidak seperti beberapa bulan kemarin, ia hanya perlu menutup pikiran saat menghadap Pangeran Kegelapan, mulai saat ini kemungkinan besar ia harus lebih sering berada di Riddle’s House. Berarti ia harus lebih rapat menutup pikirannya, memilah pikiran mana yang akan dipamerkan untuk diterobos oleh Pangeran Kegelapan, pikiran mana yang harus ia simpan rapat-rapat.

Severus menutup matanya sejenak. Mengatur pikiran.

Dan ia menyusul rekan-rekan Pelahap Mautnya.

“OK, kita ke Riddle’s House!” perintahnya.

Rekan-rekannya mengangguk, dan mereka ber-DisApparate nyaris bersamaan.

Di Riddle’s House, Pangeran Kegelapan sudah menunggu.

“Jadi, siapa yang harus diberi selamat?”

“Malfoy gagal,” Amycus masih terengah-engah, langsung nyerocos. Jelas-jelas ia ingin terlihat eksis, cari muka.

“Dan—“ Pangeran Kegelapan menunggu lanjutannya.

“Snape yang melakukannya. Dumbledore sudah mati,” sambung Amycus berseri-seri.

“Oh?” Pangeran Kegelapan tidak terlihat kaget, rupanya ia sudah menduga. Ia maju mendekati Severus, yang menunduk, membungkuk, sambil terus berharap pikirannya tertutup dengan rapi.

“Yang Mulia,” sahutnya.

“Severus, sahabatku,” Pangeran Kegelapan tersenyum, “—kalau tak ada kau, entah bagaimana mereka bisa melakukan rencana itu dengan benar. Hanya sebegitu saja sudah tidak becus,” Pangeran Kegelapan memegang bahunya, “—ikutlah aku,” dan ia masuk ke ruangan di sebelahnya, mengacuhkan Pelahap Maut yang lain.

Mengikuti Pangeran Kegelapan, Severus masuk ke ruangan remang itu, berdiri sedikit di belakangnya, menunggu titah selanjutnya.

“Aku ingin kau kembali ke Hogwarts,” sahut Pangeran Kegelapan, agak pelan agar Pelahap Maut di ruangan sebelah tak mendengarnya.

“Sebagaimana titah Yang Mulia,” Severus membungkuk. Seperti apa yang sudah diduga oleh Dumbledore, pikirnya.

“Pecinta Muggle itu sudah jatuh. Kau tentu bisa memimpin sekolah itu. Kita jadikan basis untuk pendidikan para calon Pelahap Maut,” mata Pangeran Kegelapan berkilat saat mengatakannya.

“Baik, Yang Mulia.”

“Kau boleh beristirahat. Jangan lupa, nanti siapkan kurikulum untuk sekolah kita. Mungkin—“ Pangeran Kegelapan nampak berpikir, “—aku akan tambahkan guru-guru baru untuk membantumu—“

“Terima kasih, Yang Mulia.”

“Kau boleh pergi.”

Severus membungkuk dalam-dalam, dan mundur sampai di pintu, barulah ia berbalik. Tak memandang Pelahap Maut yang lain, ia berjalan pergi.

-o0o-

Nyaris setahun ia menjadi Kepala Sekolah Hogwarts. Tapi sekarang, ia tahu saatnya sudah tiba.

Severus menyelipkan tongkatnya, dan berbalik menghadap Lukisan Dumbledore. “Aku rasa, Pangeran Kegelapan sudah akan masuk ke kompleks Hogwarts,” sahutnya.

Dumbledore mengangguk. “Pergilah. Semoga spirit Merlin menyertaimu.”

Severus menghela napas. “Aku pergi.”

-o0o-

Ia tidak tahu kenapa ia melakukannya, kenapa ia mendekati orang yang sekarat itu: ia tidak tahu apa yang dirasakannya ketika ia melihat wajah pucat pasi Severus, dan jari-jari yang berusaha menyumbat luka berdarah di lehernya. Harry melepas Jubah Gaib dan emnunduk memandang orang yang dibencinya, yang matanya melebar menemukan Harry ketika ia berusaha bicara. Harry membungkuk di atasnya, dan Severus menyambar bagian depan jubahnya dan menariknya mendekat.

Suara serak berdeguk menyeramkan keluar dari tenggorokan Severus.

“Ambil ... ini ... Ambil ... ini ...”

Sesuatu selain darah keluar dari Severus. Biru keperakan, bukan gas bukan pula cairan, mengalir keluar dari mulutnya dan telinganya dan matanya, dan Harry tahu apa itu, tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan—

Sebuah botol, disihir dari ketiadaan, disorongkan ke tangannya yang gemetar oleh Hermione. Harry memasukkan zat keperakan itu ke dalamnya dengan tongkat sihirnya. Ketika botolnya sudah penuh, dan Severus sepertinya sudah kehabisan darah, cengkeramannya pada jubah Harry mengendur.

“Tatap ... lah ... aku ...” ia berbisik.

Mata hijau bertemu mata hitam, tetapi selewat sedetik sesuatu dalam kedalaman sepasang mata hitam itu menghilang, meninggalkan mata itu kosong dan hampa. Tangan yang memegang Harry berdebam ke lantai, dan Severus tak bergerak lagi.

Harry bergerak refleks menyangga agar badan Severus tidak terjatuh. Tapi ia tak tahu apa yang harus dikerjakannya.

“Hermione—“ bisiknya.

Hermione dan Ron bersamaan keluar dari Jubah Gaib dan mendekatinya, berlutut di samping Severus. Memberi isyarat agar Harry tidak menghalangi, Hermione memeriksa denyut jantungnya.

Lama sekali.

“Bagaimana kalau kita baringkan saja—“

Harry mengangguk. Pelan ia berusaha memangku Severus—tidak seberat perkiraannya—dan membaringkannya di ranjang setelah Hermione menepuk-nepuk debunya. Kemudian Hermione melkanjutkan lagi usahanya memeriksa denyut jantungnya.

Hermione menghela napas. “Aku tak tahu, Harry, aku pernah membacanya, tapi belum pernah melihatnya dalam kenyataan—“

“Jadi ia hidup atau mati?” sergah Ron.

“Ia belum mati. Tapi tanda-tanda kehidupannya tipis sekali. Aku curiga ia menggunakan—Stopper in Death—“

“Stopper—“

“Stopper in Death. Yang ia katakan waktu kelas satu dulu.”

“Jadi, benar-benar ada obat untuk menghidupkan orang mati?” Ron bertanya bego.

“Bukan menghidupkan orang mati, Ron. Orang yang sudah mati tidak akan bisa hidup lagi. Ini cara kerjanya, menghambat faktor-faktor kematian, seperti ditusuk pisau, dan sebagainya. Kasus Profesor Snape ini, dipatuk ular—“

Ron mendengus ketika Hermione menyebut Snape sebagai Prefesor Snape, tapi Harry sudah tak menghiraukan.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan, Hermione?”

“Stopper in Death ini bekerja dalam dua bagian. Pertama, Profesor Snape pasti sudah meminum bagian pertamanya. Lalu ia dipatuk ular. Nah, berikutnya, ia harus meminum bagian keduanya—“

Spontan tangan Harry meraba jubah Severus. Di bagian sakunya, ia menemukan beberapa tabung kecil.

“Yang mana, Hermione?”

“Bukan tabung, Harry. Seperti kotak kayu—“

Harry mencari lagi. Ia memperoleh sebatang kayu, pejal, sekitar tiga kali sepuluh sentimeter, dan diberikannya pada Hermione. “Yang ini?”

Hermione mengangguk, menyambarnya, dan menarik salah satu ujungnya. Ternyata kayu itu berrongga, dan berisi cairan. Hermione meminumkannya pada Severus, hati-hati, karena otot rahangnya sudah tak bisa bergerak lagi.

Sehabis cairan, ia menutup lagi rongga kayu, dan ganti membuka ujung yang satu lagi. Menggosokkannya di lantai, dan menyala! Nampaknya seperti terbuat dari bahan lilin, malam, atau semacamnya.

Hermione meletakkannya di atas lantai, menjauhkannya dari barang-barang yang mudah terbakar. Apinya memang kecil, tapi siapa yang tahu—

“Apinya kecil,” sahut Hermione, seolah bisa membaca pikiran Harry dan Ron, “—api itu justru memberikan gambaran pada kita, seberapa banyak kita bisa mengharap kehidupannya. Sejalan dengan masuknya obat tadi ke dalam sistem pencernaan, kemudian ke sistem peredaran darah, kuharap apinya akan makin membesar—“

Harry menghela napas.

“Kalau kita tinggalkan di sini, tidak akan apa-apa?”

Hermione mengangguk. “Tak ada yang tahu kalau ia ada di sini, kan?”

Harry mengangguk. “Lagipula, keadaan di luar masih berbahaya. Sedangkan kita masih harus mengerjakan tugas-tugas yang lain—“

Hermione mengangguk. Melihat sekali lagi pada tubuh Severus yang masih terdiam. Lalu ia berdiri. “Ayolah!”

Ia keluar dari ruangan diikuti Ron dan Harry.

-o0o-

Harry mengeratkan pegangan pada tongkat Hawthornnya. Inilah akhirnya. Inilah penentuan. Dan ia mau tak mau harus menang.

“Jadi, segalanya tergantung ini, kan?” bisik Harry. “Apakah tongkat sihir di tanganmu tahu pemiliknya yang terakhir sudah dilucuti senjatanya? Sebab kalau dia tahu, akulah pemilik sebenarnya Tongkat Sihir Elder itu.”

Pendar merah keemasan tiba-tiba menebar di langit sihir di atas mereka, ketika tepi matahari yang menyilaukan muncul di atas ambang jendela yang terdekat. Cahayanya menimpa wajah mereka berdua pada saat bersamaan, sehingga wajah Voldemort mendadak menjadi kabur menyala. Harry mendengar suara tinggi itu memekik ketika ia, juga, meneriakkan harapannya yang terbaik ke langit, mengacungkan tongkat sihir Draco:

“Inheritus Eliminarium – Avada Kedavra!”

“Expelliarmus!”

“Tidaaaaaaaaak!!”

Semua yang hadir terperangah.

Letusannya seperti ledakan meriam dan lidah api keemasan yang berkobar di antara mereka, persis di pusat lingkaran yang mereka tapaki, menandai tempat kedua mantra—mantra yang dua—itu bertabrakan. Sebelum Harry sadari, salah satu mantra Voldemort melesat, langsung menuju ke arah Harry. Dalam gerak lamban terlihat, semburan cahaya hijau Voldemort bertemu mantranya sendiri, melihat Tongkat Sihir Elder terbang tinggi, gelap dilatarbelakangi matahari terbit, berputar menyeberangi langit-langit sihir seperti kepala Nagini, berputar di udara menuju majikan yang dia tak mau membunuhnya, yang telah datang untuk menjadi pemilik sahnya akhirnya. Harry dengan ketangkasan seorang Seeker, menangkap tongkat itu dengan tangannya yang bebas. Sementara Voldemort jatuh terjengkang, lengannya merentang, mata merahnya terbalik ke atas, dan pada saat itu juga kilasan mantranya yang terakhir menyambar tubuh Harry. Harry bagai tercekik, terhenti berdiri kaku, kemudian rubuh juga di lantai.

Di sisi ruangan, Severus berdiri tertatih ditopang tongkatnya, mendekati Harry.

Riuh rendah. Sebagian merasa tak percaya, Voldemort sudah jatuh. Sebagian lagi juga tak percaya bahwa Harry juga jatuh. Dan, sebagian kecil mempertanyakan, apa yang dilakukan Severus di sini, mendekati tubuh Harry?

Terlihat jelas bahwa Harry tidak terbunuh, tapi mungkin saja akan mati dalam beberapa saat, karena ia kemudian menjadi kejang-kejang. Kedua matanya terbuka tapi tak melihat apa-apa, terbalik dengan bagian putih menutupi bagian yang hijau. Jika dilihat dari dekat, di ujung bibirnya ada sedikit busa.

“Harry!”

“HARRY! HARRY!”

“Tidak, HARRY!”

Yang jelas ada Molly, Ginny, Ron, dan Hermione berlari mendekati Harry.

Beberapa anggota Order yang juga Auror—di antaranya Kingsley—bergerak cepat mendekati Severus, mencoba menangkapnya. Tapi Severus dengan gerak secepat kilat, membentuk udara menjadi setajam pisau, memotong tipis pergelangan tangan Harry, urat nadi Harry, sebelum ia memotong juga urat nadinya sendiri, dan menyatukannya.

Kejang-kejang itu berhenti. Mata Harry kembali normal. Ketiga Weasley mengerumuni Harry, berikut Hermione yang menghentikan pendarahan di pergelangan Harry.

Kingsley memegang bahu Severus, “Kami menginginkan keterangan darimu.”

Tanpa banyak bicara, Severus berdiri, memegang pergelangan tangannya untuk menghentikan darah yang keluar, dan mengikuti Kingsley.

-o0o-

Ruang Rumah Sakit hening. Hening yang dipaksakan. Apalagi di suatu ruangan yang terpisah dari pasien-pasien yang lain.

Yang terbaring, diam dengan gerakan bernapas teratur yang perlahan. Di sisi pembaringan, Ginny duduk di kursi, pandangannya tak lepas dari si pasien. Kalau bisa sih, tidak usah berkedip ...

Agak jauh, Ron duduk canggung, tak berbuat apa-apa. Di sebelahnya, Hermione sedang sibuk membuka-buka buku, mencari sesuatu. Dekat pintu, suami istri Weasley. Dalam diam Arthur merangkul istrinya, mengelus-elus bahunya. Terkadang pintu terbuka. Dengan suara pelan, George, atau Neville, atau Luna, atau siapapun, melongokkan kepala dan bertanya, ‘sudah ada kemajuan?’ dan kembali menghilang jika yang di dalam kamar menggelengkan kepala.

Hermione menghela napas. Bukunya ditutup dan disimpan di atas tumpukan. Rupanya selama itu, ia sudah mencari di buku sebanyak itu?

“Aku tidak berhasil menemukan Kutukan yang diucapkan Voldemort,” suaranya lirih. “Mungkin di Restricted—“

“Tidak apa, Hermione,” bisik Ginny, “—jangan menyalahkan dirimu. Kau juga lelah, sama dengan kita semua—“

“Mungkin—“ Arthur mencoba mengusulkan, “—kita bisa minta ijin pada Minerva untuk mencari di Restricted Section?”

Sebelum ada yang menjawab, pintu terbuka lagi dengan hati-hati. McGonagall.

“Belum ada kemajuan?” tanya penuh harap.

Semua menggeleng.

“Apakah—apakah aku bisa mencari di Restricted Section, Profesor?” tanya Hermione hati-hati.

McGonagall memandangnya sejenak sebelum mengangguk. “Oke. Pergilah mencari di sana. Bilang pada Irma, aku memberimu ijin—“

Bagai tersambar kilat, Hermione melesat menghilang ke Perpustakaan.

McGonagall mendekati tempat tidur Harry, dan memandangnya lama-lama. Menghela napas. “Sebenarnya kau itu kena Kutukan apa sih?” lebih terdengar prihatin daripada bertanya. Lalu ia berusaha membuat kronologi versinya sendiri.

“Voldemort mengirim Avada Kedavra pada Harry. Harry mengirim Expelliarmus untuk mengambil tongkatnya. Avada-nya Voldemort berbalik menyerang dirinya sendiri. Tapi ada satu Kutukan yang ia katakan sebelum Avada Kedavra, dan Kutukan apakah itu?”

Yang ada di situ menggelengkan kepala.

“Lalu, Severus masuk dan—dan mengiris nadi Harry, menempelkan nadinya sendiri di sana. Tukar darah—“

“Apakah kita bisa mencari informasi dari Severus?” Molly berharap.

McGonagall menggeleng. “Belum ada berita lagi dari Wizangamot. Biasanya, mereka sedang mengadakan tanya jawab intensif, dan belum selesai.”

Helaan napas di mana-mana.

Pintu terbuka lagi. Madam Pomfrey masuk, memeriksa lagi keadaan Harry. Semua mata memandangnya. Tapi ia menggeleng perlahan.

“Semua luka di permukaan sudah menjelang sembuh. Dan dari pemeriksaanku, tidak ada luka lagi, baik luka fisik maupun luka sihir. Tapi kenapa dia belum bisa sadar saja ya?”

Tak ada yang bisa menjawabnya.

“Oke,” McGonagall mengambil keputusan, “—kita gantian saja menunggui Harry. Yang lain, istirahat dulu. Kita belum tahu kapan ia sadar, bagaimana menyadarkannya. Jadi, kita harus menyimpan stamina—“

Madam Pomfrey mengangguk.

Arthur menepuk bahu Molly, “—lebih baik kau istirahat dulu. Sekarang biarkan Ginny yang menunggui, nanti gantian.”

Setengah tak rela, Molly kemudian menurut, mengikuti Arthur pergi.

“Kau juga mending istirahat dulu, Ron,” sahut Ginny, “—nanti gantikan aku—“

Menghela napas, Ron mengangguk. “Oke.”


Hari sudah berganti malam ketika Hermione masuk, lusuh dan lelah. Di tangannya ada sebuah buku tua, yang dari penampilannya terlihat memprihatinkan, kemungkinan jika ditiup sedikit saja halaman-halamannya akan berhamburan.

Ron yang baru saja akan menggantikan Ginny, memberikan sebuah kursi untuk Hermione. “Duduklah dulu. Ada hasil?”

Hermione duduk dan menerima segelas air yang disodorkan Ginny, dihabiskan sekali teguk.

“Ada,” sahutnya, membuka halaman yang sudah ditandai. “Mantranya-- Inheritus Eliminarium.” Ia menghela napas.

Ron mencoba melihat halaman yang dibuka Hermione, tapi langsung mundur menyerah karena hurufnya Rune. “Ceritakan saja—“ katanya.

Hermione menelan ludah, “Mantra ini diciptakan untuk membunuh secara tak langsung. Disebut juga Mantra Pembunuh Yatim Piatu. Begitu Mantra dirapalkan, sasaran akan kejang-kejang, mata terbalik, keluar busa dari mulut—“

“Jika mantra ini dirapalkan padamu—“ Hermione memandang Ron, “—kau takkan apa-apa, karena kau masih punya ayah, ibu, kakak-kakak, adik. Mereka tinggal mengiris nadi mereka, mengiris nadimu, lalu menyatukannya. Tukar darah. Sejenak saja, sudah cukup. Kejang-kejang, mata terbalik, busa dari mulut, akan berhenti. Memang kau masih akan pingsan sekitar tiga sampai lima hari, tapi itu hanya agar darah bisa menyesuaikan diri.”

Hermione memandang Harry lagi, “—tapi kalau si korban sama sekali tak punya keluarga—“

“—ia akan mati?” Ginny berbisik ngeri.


Mereka terdiam. Hermione kemudian berbisik lagi, “—yang aku herankan, Harry—“

Ron memandangnya, yang terdiam beberapa lama. “Harry kenapa, Hermione?”

“Kau lihat sendiri. Gejala-gejalanya ada semua. Ia kejang-kejang, matanya terbalik, mulutnya mengeluarkan busa. Lalu, Snape mendekatinya dan melakukan tukar darah—“

“—dan semuanya berhenti. Harry masih pingsan, tapi menurut Madam Pomfrey, tak ada apa-apa yang haurs dikhawatirkan pada dirinya—“ Ginny menyahut pelan, tak fokus. “Apakah—Snape masih ada hubungan saudara dengan Harry?”

Hermione menggeleng. Ron menggeleng.

Terdiam beberapa saat.

Ron menghela napas. “Kalian istirahat sajalah. Ginny, nanti kalau ada apa-apa, aku akan langsung membangunkanmu. Hermione, kau juga. Kau sudah lelah mencari data—“

Kedua gadis itu berdiri ogah-ogahan. “Baiklah.” Jarang-jarang mereka sepatuh itu pada Ron, tapi ia memang benar, mereka sudah lelah.
“Masalah ini—“ Hermione berhenti sejenak sebelum mereka keluar dari kamar, “—jangan dibicarakan dulu dengan orang lain ya? Katakan saja bahwa Harry akan selamat, tak ada penyakit atau apa begitu—“

Ron dan Ginny mengangguk.

Beberapa hari kemudian mereka silih berganti menjaga Harry, dan memang nampak kemajuan. Kalau dilihat-lihat, Harry nampak seperti sedang tidur saja, bukan sedang pingsan. Hal ini memang melegakan. Walau ada hal yang ganjil, namun mereka mencoba mengesampingkannya. Biarlah ditanyakan pada Harry kalau ia bangun nanti, atau mungkin bahkan pada Snape.

Pagi ini, Ginny akan menggantikan Ron menunggui. Tapi di ruangan juga ada Hermione, ada George, ada Neville, ada Luna. Mereka sedang bercakap-cakap dengan suara rendah, ketika Ginny melihat pada Harry dan berseri-seri.

“Ia bangun!”

Harry mengejap-ngejapkan mata, silau oleh terangnya ruangan. Ia mencoba bangun, duduk. Tadinya akan dicegah Ginny, tetapi karena merasa Harry bersikeras, ia membantunya duduk. Ginny memakaikan kacamatanya, dan mengambilkan air.

“Ada—ada apa?” Harry melihat berkeliling, “—aku kenapa?”

“Kau pingsan setelah membinasakan Voldemort,” sahut Ron, wajahnya ceria. “Bagaimana perasaanmu?”

Harry terdiam sejenak, tetapi ia menjawab pendek. “Baik. Kurasa.”

“Madam Pomfrey!” sahut Hermione, dan ia melesat ke kantor Madam Pomfrey untuk memberitahunya. Dalam waktu sedetik ia sudah kembali bersamanya.

Beberapa saat lamanya Madam Pomfrey memeriksanya, dan nampaknya ia puas. “Kau masih akan kutahan semalam di sini untuk observasi, tapi semuanya baik-baik saja—“

Semua bersorak. Bahkan Madam Pomfrey pun tak meletakkan telunjuk di bibir sebagai pertanda harus diam. Tapi kemudian ia kerepotan sendiri karena kemudian pengunjung tak henti-hentinya datang, semua ingin melihat The Boy Who Save Us Once More. Akhirnya, di sore hari, ia memasang tanda ‘Dilarang Masuk’ di depan kamar Harry, agar Harry bisa tidur.

Di kamar sekarang hanya ada Ron, Hermione, dan Ginny.

“Pergilah kalian juga tidur,” sahut Harry, “aku kan hanya semalam ini, besok aku sudah bisa bersama kalian la—“

“Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan,” sahut Hermione serius. Ia melihat ke arah pintu, berharap Madam Pomfrey tidak akan datang dalam waktu dekat.

“Ada apa? Kalian begitu seriusnya? Seperti di masa Voldemort masih hidup saja—“

“Ini memang serius, Harry. Setidaknya, untukmu,” Hermione mengeluarkan buku kuno bertuliskan Rune yang kemarin dibacanya. “Aku bilang pada McGonagall, Harry tidak menderita apa-apa, dan ia percaya. Tapi—“ ia membuka halaman yang sudah ia beri tanda.

“Apa sih, kau tahu aku tidak bisa membaca Rune—“

“Kau perhatikan, Voldemort mengucap mantra apa sebelum Avada Kedavra?”

“—aku tidak perhatikan. Yang menjadi pusat perhatianku adalah Tongkat Elder itu—“

“Ini,” Hermione menunjuk huruf Rune di buku, “—adalah Mantranya. Inheritus Eliminarium.”

“Inheri—Mantra apakah itu?”

Ron menyela, “Pada pokoknya sama saja dengan Avada Kedavra, kecuali kalau kau punya keluarga. Kalau seseorang dikenai Mantra itu, dia akan kejang-kejang, mata terbalik, mulut berbusa, tak lama dia akan mati. Yang bisa menolongnya adalah yang mempunyai hubungan keluarga dengannya, ayah, ibu, kakak, adik—“

“—tapi aku sudah tak punya keluarga?”

“Itulah yang menjadi pertanyaan kami. Begitu kau kejang-kejang, Snape—“

“Snape? Kita melupakannya di Shrieking Shack—“

“Tidak. Ia bangun sendiri, datang ke Aula Besar, tepat saat kau dan Voldemort saling bertukar Mantra itu. Dan ia mendengar sendiri apa yang diucapkan oleh Voldemort,” ujar Hermione.

“La-lalu—“

“Kami mulanya tak mengerti, tapi ia langsung mendekatimu, mengiris nadimu hingga keluar darah, mengiris nadinya sendiri, dan menempelkan nadinya pada nadimu—“

“Tukar darah?”

“—Ya. Kau berhenti kejang, dan pingsan selama empat hari ini. Madam Pomfrey tak menemukan ada apa yang salah dengan dirimu. Aku mencari di Restricted Section atas ijin McGonagall, dan menemukan buku ini.”

“Dan kalian tidak memberi tahu siapa-siapa?”

Hermione menggeleng.

“Kalian bilang apa pada McGonagall?”

“Kami bilang, itu gejala wajar, dan sebentar lagi juga kau akan sadar.”

Harry menyandarkan diri di kepala tempat tidur.

“Fakta yang jelasya,” Hermione mengurai, “Snape adalah keluargamu, atau ia punya ilmu yang cukup tinggi sehingga bisa menipu sensor keluarga dalam Mantra itu, dan menyelamatkanmu. Keluarga atau bukan, ia menyelamatkanmu.”

Tangan Harry menyisir rambutnya, yang segera saja berantakan lagi. “Ia menyelamatkanku dalam entah berapa kesempatan,” suaranya pelan, dalam, seperti sedang berpikir. “Memori yang ia berikan—“ ia memandang Ginny, Hermione, dan Ron, “kalian jangan bilang siapa-siapa ya? Aku sudah bertekad akan menutupinya.”

Ketiganya mengangguk.

Dengan suara yang muram ia menceritakan bahwa ibunya sudah berteman dengan Snape sejak kecil, sejak sebelum masuk Hogwarts. Mudah untuk melihat bahwa Snape jatuh cinta padanya. Lalu pada keinginan Snape untuk membuktikan bahwa penyihir itu lebih baik dari Muggle—dendamnya pada ayahnya—membuat ia dibenci Lily. Lily kemudian menikah dengan James, Snape masuk Pelahap Maut, dan terjadilah malam 31 Oktober itu. Padahal Snape sudah meminta pertolongan pada Dumbledore, masih saja gagal. Sejak saat itu juga Dumbledore meminta Snape untuk membantunya melindungi anak Lily dari Voldemort—

Wajah Hermione dan Ginny sudah basah oleh airmata, sedang airmuka Ron kini tidak lagi mengeras setiap mendengar kata ‘Snape’.

“Kalau memang begitu ceritanya—“ Ron memecah keheningan, “—tidak heran kalau dia begitu benci padamu. Kau baginya adalah cerminan orang yang paling tidak disukainya—“

“Tapi ia tetap menepati janjinya pada Dumbledore, melindungimu,” Hermione menambahkan.

Harry mengangguk. “Ia—sekarang ia ada di mana?”

Mereka saling berpandangan. “Kami tidak tahu. Kemungkinan ia ada di Wizangamot. Begitu ia selesai menukar darah, Kingsley mendekatinya, dan ia dibawa pergi—“

Harry membuka selimutnya dan sudah akan bergerak, ketika Ron menahannya. “Jangan tergesa-gesa dulu. Besok pagi aku akan bertanya pada Dad, ada di mana ia.”

Meskipun sulit, akhirnya Harry bisa dibujuk untuk tetap berada di tempat tidur.

“Istirahat total malam ini, dan besok pagi-pagi aku akan tanya Dad—“

Lemah Harry mengangguk.

Tepat pada saat Madam Pomfrey masuk dan menyuruh mereka keluar. “Biarkan Harry istirahat. Besok juga dia sudah boleh pulang.”

Setengah enggan Harry melepas mereka. Lalu pemeriksaan terakhir hari itu oleh Madam Pomfrey, dan ditutup dengan menyuruhnya tidur.

Malam itu Harry tak bisa tidur nyenyak.

-o0o-

Meski suasana di Wizengamot cukup ramai—masih banyak Pelahap Maut yang baru tertangkap dan sedang diadili—namun rasanya Harry dapat mendengar degup jantungnya sendiri seraya ia dan Arthur berjalan menelusuri koridor. Berbelok di ujung, ia bisa melihat sebuah ruangan dengan nama Kingsley di pintunya.

“Ini ruangan Kingsley saat ia berada di sini. Ia benar-benar sibuk, sebentar di Kementrian, sebentar di Wizengamot, nanti siang ia harus bertemu dengan Perdana Menteri Muggle—“

Arthur mengetuk pintu. Nyaris bersamaan pintu dibuka, seperti yang sudah ditunggu. Wajah Kingsley menampakkan kesan lelah, tapi sepertinya ia lega dengan keadaan sekarang.

“Harry. Bagaimana keadaanmu?” ia menyorongkan tangannya.

“Baik,” Harry menjabat tangan Kingsley. Kingsley menyuruhnya duduk, sedang Arthur langsung saja berpamitan.

“Aku masih banyak pekerjaan di Kementrian,” kilahnya, dan pergi.

Begitu Arthur menutup pintu, Harry langsung pada pokok permasalahan.

“Aku bisa bertemu dengan Profesor Snape?”

Kingsley mengusap wajahnya, kesan lelah nyata sekali terlihat. “Sebenarnya aku juga tak tahu, kau sebaiknya bertemu atau tidak—“

“Mengapa?” sergah Harry.

“Oh, baiklah. Kita lihat saja,” ia memberi isyarat agar Harry mengikutinya. Harry berdiri dan membuntutinya, keluar dari kantornya, berjalan sepanjang koridor yang panjang, membelok dan menyusuri lagi koridor, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah ruang bercat putih berbau obat yang entah mengapa membawa kesan tak enak bagi Harry.

“Begitu ia dibawa ke mari,” Kingsley memberi keterangan, “ia bekerja sama dengan baik. Memberi jawaban atas semua pertanyaan. Sebenarnya—“ mereka berhenti tepat di muka pintu ruangan berbau obat itu. “—sebenarnya kami melihat bahwa ia tak sehat. Namun ia menolak diobati hingga ia selesai dengan ... interogasi itu.” Kingsley menelan ludah. “Pada pertanyaan ke-seratus sekian, ia pingsan, dan hingga sekarang malah menjadi koma—“

Jantung Harry serasa meloncat sendiri.

“I-Ia kami temukan sudah dipatuk ular Voldemort,” sahut Harry pelan, “untungnya ia memakai Stopper in Death. Hermione yang menemukannya, membawanya kembali ke alam ini. Tapi ia bahkan belum diobati, ketika ia menemukanku saat diserang Voldemort itu, dan-dan—“

“Aku tahu. Kita akan berusaha sekuatnya untuk memulihkan ia. Tapi menurut Penyembuh di sini, ia seperti tak punya keinginan untuk sembuh lagi—“

Harry memandangnya bertanya. Tapi Kingsley tidak menjawab, ia mendorong pintu lalu masuk. Harry mengikutinya. Ada beberapa ruangan kecil lainnya di dalamnya ternyata. Mereka masuk ke salah satu ruangan.

Di ranjang terbaring Severus. Pucat pasi, lebih dari sehari-hari. Seorang Penyembuh sedang berada di sisi ranjang, memeriksa.

“Harry, ini Penyembuh Ulrich Dowsen, dia yang bertanggung jawab tentang Severus. Ulrich, rasanya kau tak perlu kuperkenalkan—“

Ulrich tertawa kecil, “Harry, semua orang tahu siapa kau. Tenang saja, tak kan kuberitahu pada siapa-siapa kau ada di sini,” tawanya sambil menjabat tangan Harry. Harry hanya bisa tersenyum, rasa hatinya sedang tak enak.

“Harry, kami ingin agar kau juga menjalani pemeriksaan. Kesaksian,” buru-buru Kingsley menambahkan, “karena aku tahu seperti apa Severus, aku hapal apa yang ia lakukan, tapi selama kami menginterogasinya, yang ia berikan pada kami adalah pernyataan dan barang bukti yang memberatkan, yang menyudutkan kita agar menjatuhkan vonis bersalah padanya. Aku tahu ia tidak seperti itu, tetapi tentu saja kita tidak bisa bertindak berdasarkan perasaan di Wizengamot ini. Kita harus bertindak berdasarkan bukti dan saksi-saksi—“

Harry mengangguk. “Tentu saja. Aku akan memberikan kesaksian kapan kau mau—“

Kingsley tersenyum. “Nanti kami beritahukan lagi jadwalnya, sekarang kau bisa di sini dulu.”

Ia mengangguk pada Ulrich, dan kembali ke kantornya.

*****

MS Wordcount: 4455
Total NaNo Wordcount: 19486
Target: 30000

Jyah, masih 10K lagi untuk bisa disejajarkan dengan daily quota!

Cerita ini masih kerasa ada janggalnya, maklum ditulis secepatnya. Kemungkinan nggak akan di-publish dulu di FFn, selesai NaNo mau di-edit dulu, baru di-publish. Mungkin malah akan ada pemotongan besar-besaran, atau justru penambahan :P

0 Comments:

Post a Comment

<< Home