My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Sunday, November 15, 2009

Hari ke-15

Hari ini cuma bisa ngetik sedikit. Kalau anak-anak libur, makin sedikit kemungkinan bisa make laptop T_T

OK, biar sedikit juga lumayan :P

*****


Bukan pemaksaan—lalu apa yang pernah ia lakukan pada Lily dahulu, apakah itu bukannya pemaksaan? Dan ada saatnya di mana tubuhnya berkhianat pada apa yang ia pikirkan, pada apa yang ia harus lakukan. Bibirnya merespon pada ketukan bibir Dumbledore agar diijinkan masuk.

Ia ingin tempat berlindung. Ia ingin tempat bernaung, yang memayungi, yang mengayomi. Tapi yang ia dapat—

Hatinya berperang, antara menyerah pada keinginan Dumbledore, dengan kenyataan bahwa hal ini tidak pantas. Bukan seperti ini yang ia inginkan.

Belum lagi kenyataan bahwa citra Dumbledore dalam pandangannya sudah berganti kini. Alih-alih dari pelindung, ia kini lebih nampak sebagai pemangsa yang siap menerkam. Dan pahitnya—ia terpaksa berlindung di tempat yang menjadi kekuasaan Dumbledore.

Ia sudah merasa nyaman di sini.

Dan kalau tidak di Hogwarts, ia tak tahu lagi di mana ia akan berlindung.

Setengah hati ia membiarkan lidah Dumbledore menjelajah. Setengah hati ia membiarkan Dumbledore melepas jubahnya, dengan tangkas melepas satu demi satu kancing bajunya. Dibiarkannya pikirannya berkelana ke mana-mana saat Dumbledore mengecup lehernya, terus turun. Setengah hati ia membiarkan Dumbledore membuka semuanya, melakukan apa saja yang ia mau.

Tak menolak, tapi juga tak ikut berpartisipasi.

Dumbledore seakan tak memahami, napasnya terus memburu, tak membiarkan satu sentipun dari tubuhnya lepas dari bibirnya, dari lidahnya. Severus bahkan tak memperhatikan saat Dumbledore menyiapkan dirinya.

Hanya jeritan tertahan saat Dumbledore memasuki tubuhnya. Perih. Pedih. Nyeri. Ia merasa semua pembuluh darah yang ada di daerah yang dimasuki, putus.

Perih. Pedih. Nyeri. Bukan hanya fisik, tapi juga psikis.

Perih, merasa bahwa ia hanya dimanfaatkan saja. Dumbledore merasa bahwa kesedihannya bisa disembuhkan oleh kegiatan fisik ini. Dan ia ingin berontak karenanya. Tapi ia merasa tak berdaya.

Pedih, perasaan bersalahnya pada Lily semakin bertambah. Mungkin ini adalah karma. Karenanya ia terdiam karenanya, membiarkan apa yang terjadi.

Dari suaranya, dari gerakannya, Dumbledore sudah akan mencapai klimaks. Benar saja, dalam hitungan detik, ia meraung.

Dan Severus menangis dalam hati.

Beberapa saat hening.

Kemudian Dumbledore membenahi pakaiannya—ia bahkan tak merasa perlu repot-repot untuk menanggalkannya, berbeda dengan seperti saat ia menanggalkan seluruh pakaian Severus.

Setengah membeku, Severus berusaha bangkit, mengumpulkan pakaiannya. Perlahan, satu-persatu dipakainya.

Dalam diam.

Setelah semua selesai, barulah Dumbledore angkat bicara.

“Kau—tak bisa menikmatinya, bukan?”

Severus menggeleng.

Dumbledore menaruh tangannya di bahu Severus. “Maafkan aku. Kukira—kukira ini akan jadi semacam obat untukmu, tetapi ternyata tidak—“

Severus terus terdiam. Seperti linglung.

Menelan ludah, Dumbledore meneruskan perlahan, “Ini—tidak akan terjadi lagi.”

Mengangguk tipis, nyaris seperti tak bergerak sama sekali, Severus menyetujui.

Dumbledore menghela napas. “Haruskah—kuantar kau ke kamarmu?”

Severus menggeleng. “Tidak perlu,” bisiknya.

Dumbledore meremas pelan bahu Severus. “Hati-hati. Kalau ada sesuatu yang kau rasa—“

Severus menggeleng. “Tidak perlu,” ulangnya.

Dumbledore mengangguk. “Pergilah. Dan selamat malam.”

Severus merapatkan jubahnya. Udara memang semakin dingin, tapi bukan hanya itu yang membuatnya merapatkan jubahnya. Yang membuatnya menggigil. Yang membuatnya gemetar saat ia menuruni tangga, kembali ke ruang bawah tanahnya.

Begitu sampai di kamarnya, ia langsung menuju kamar mandi. Membuka seluruh pakaiannya, menyalakan shower, sama sekali tak menghiraukan pemanas air. Dingin-dingin ia biarkan air yang nyari sebeku es itu membasahi seluruh tubuhnya. Digosoknya dengan keras, tiap senti tubuhnya seolah ia baru saja dilumuri lumpur kotor dan bau.

Tapi pikirannya berperang kembali. Di satu pihak ia merasa jijik, merasa kotor, merasa lemah, merasa ingin berontak, walau tak berdaya diperlakukan demikian; namun di pihak lain ia merasa sangat pantas diperlakukan demikian.

Lily tentu kesakitan. Lily tentu ketakutan.

Dan ia tersedu membayangkan peristiwa berbulan lalu itu. Dalam gigilnya ia merasa tersayat. Dalam bersimbah ia meradang, marah pada dirinya sendiri.

Kulit tangannya sudah terlihat mengeriput tatkala ia menghentikan air yang mengalir dari shower. Tak tergesa, dikeringkannya tubuhnya. Diambilnya pakaian tidur, dikenakannya sambil masih menggigil. Diraihnya tongkat, diacungkannya pada tumpukan pakaian yang tadi dikenakannya.

Sekejap tumpukan itu berubah menjadi abu. Dengan jentikan tongkatnya, abu itu melayang masuk ke tempat sampah. Dibersihkannya sisa-sisanya.

Masih gemetar, ia berjalan sempoyongan ke lemari persediaan. Dikeluarkannya sebuah botol kecil. Ramuan Tidur Tanpa Mimpi.

‘Hanya malam ini saja,” janjinya, dan diteguknya sekali jadi. Diletakkannya botol di tempat kumpulan botol-botol kosong. Berjalan perlahan ia menuju ke tempat tidurnya, masuk ke dalam selimut.

Memejamkan mata.

Rasanya seperti baru saja ia tertidur, sekarang ia sudah ada di—di manakah ia? Tempatnya gelap, mungkin bisa dibilang remang-remang karena masih ada sedikit cahaya. Dingin. Lembab. Bau khas lembab menguar di sekitarnya.

Matanya mencoba menyesuaikan diri.

Ini—ruang bawah tanah?

Meski ia baru menempatinya beberapa minggu, ia tahu ini tempatnya sendiri.

Tetapi, mengapa suasananya menakutkan? Ia tak pernah takut akan suasana gelap di alam nyata, ia tak pernah takut akan kesendirian di kehidupan biasa, tapi di sini?

Bulu kuduknya merinding. Jantungnya memompa lebih cepat. Ia bagai anak kecil yang tak berdaya, mencari perlindungan dari sesuatu yang ditakutinya akan menghancurkannya.

Perlindungan? Seorang tua berjanggut keabuan dengan kacamata bulan separo menghampiri, mengucapkan kata-kata menghibur sambil menepuk-nepuknya. Ia merasa nyaman. Namun kemudian citra orang tua itu berubah menjadi seekor burung phoenix raksasa, merah penuh amarah, dan Severus merasa dirinya mengecil, mengerut, dibandingkan dengan phoenix itu, yang sudah siap akan memakannya, paruhnya sudah membuka, mengarah tepat pada dirinya. Bagai sebutir jagung yang akan dipatuk seekor ayam.

Namun sebelum paruhnya menyentuh dirinya, phoenix itu berubah menjadi seorang gadis berambut merah, tersenyum manis mengundang. Kedua tangannya terkembang, seperti menyambut. Severus mendekatinya, ketika kemudian ia melihat bahwa bibirnya yang tersenyum manis itu meneteskan darah dari kedua ujungnya. Arah kedua ujung bibir itu bukan ke atas lagi sebagaimana orang tersenyum tapi ke bawah. Selain di bibir, darah juga terdapat di bagian lain, di pipi, di kening, di mana-mana—

Severus tersentak.

Posisinya langsung terduduk. Keringat mengalir deras.

Ia bermimpi buruk lagi.

Terjadi bahkan di saat ia sudah minum Ramuan Tidur Tanpa Mimpi.

Severus mengusap wajahnya yang basah. Ia bangkit, menyambar tongkatnya, mengambil segelas air dan menghabiskannya sekali teguk. Barulah sadar bahwa ia terengah-engah. Seperti habis dikejar-kejar.

Lemas ia menyandar ke dinding. Gemetar ia bergerak ke arah kursi dan terduduk di situ. Mengarahkan tongkatnya ke arah perapian, ia menyalakannya.

Api menyala melonjak-lonjak bagai anak kecil riang gembira. Severus tak mempedulikannya, ia hanya tercenung saja. Menarik napas panjang berkali-kali. Mengusap wajahnya.

Bersandar di kursi, ia tidak mencoba untuk tidur lagi. Ia takut, ia gentar akan mimpinya yang tadi. Dan bagaimana mungkin ia bisa bermimpi, bukankah ia sudah minum Ramuan Tidur Tanpa Mimpi?

Severus menyandarkan kepala. Mencoba menutup mata. Tak bisa.

Ia bangkit, menuju ke arah tempat ia menyimpan botol Ramuan Tidur Tanpa Mimpi yang tadi. Diambilnya. Dibuka tutupnya, diendusnya. Ramuan yang benar. Lalu, kenapa?

Ditelusuri jejeran buku di rak buku di sebelahnya. Diambilnya satu, dan dibuka-bukanya. Bukan ini. Diambilnya satu lagi, diperiksanya. Hampir, tapi bukan ini.

Setelah beberapa buku, akhirnya ia menemukan apa yang ia rasa tepat, apa yang ia maksudkan. Ia kembali ke kursi, dan membacanya secara cepat. Ditemukan bagian yang ia maksud, dan dibacanya lagi sekali pelan-pelan. Ia berdiri, mengambil pena bulu dan dicatatnya beberapa kalimat di bagian margin bukunya.

Ia mengambil lagi buku yang lain, mencari-cari, dan menemukan bagian tertentu. Dibukanya di atas meja, tepat di samping buku yang tadi. Dibuatnya juga catatan di margin buku yang ini.

Baru diambilnya perkamen kosong. Ditulisnya rangkuman yang baru dibuat, sebuah formula Ramuan. Dibawanya ke laboratoriumnya. Dicarinya bahan-bahan yang diperlukan, dipotong-potong, dihancurkan, diparut, atau diambil airnya. Disimpannya kuali di atas tungku, dinyalakan api, dan ia mulai meramu.

Ramuan sudah selesai ketika fajar datang.

Ia membereskan bahan-bahan dan menyimpan botol Ramuan di lemari. Mengganti pakaian, ia menjentikkan tongkatnya untuk secangkir kopi hitam. Dihabiskannya tanpa menghiraukan panas. Ia siap untuk bertugas, magang bersama Profesor Slughorn.

Ia tahu kini, apa yang harus dilakukan kalau ia tak bisa tidur.

*****

MS Wordcount: 1238
Total NaNo Wordcount: 12080
Target: 25000

Masih jauuuuh! Semangat!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home