Hari ke-10
Ini hasil di hari ke-10
*****
Dean mengangguk. Sam mengangguk. Diliriknya, nampak airmuka Dean kusut tak terbaca.
“Sebaiknya kalian istirahat saja dulu,” Pavarell menunjukkan pada Sam dan Dean kamar mereka, “—nanti setelahnya baru akan kutunjukkan artifak itu.”
Mereka setuju. Membersihkan diri, dan setelahnya Pavarell menyajikan sup krim yang tak ditolak oleh Dean, habis itu merekapun lelap.
-o0o-
Pagi sudah menyelinap dari jendela saat Dean terbangun. Sam sudah tak ada. Selesai menggosok gigi dan mencuci muka, ia keluar kamar, dan terlihat di teras depan Sam, Pavarell, dan beberapa orang lagi sedang berbicara. Tapi tak lama, orang-orang itu menjabat tangan Sam dan Pavarell, dan pergi.
“Kau sudah bangun,” sahut Sam tatkala memasuki rumah.
“Sarapan dulu,” Pavarell berjalan ke daerah kompor yang menyatu dengan daerah kursi-meja. Menyalakan api dan mulai mengaduk-aduk sesuatu dalam panci, lalu membagikannya ke dalam 3 buah piring. Dibantu Sam, menghidangkannya di atas meja. Bertiga mereka makan.
“Siapa mereka?” tanya Dean sambil mencicipi chili di hadapannya, “—kelihatannya seperti polisi—“
“Iya memang, polisi dari Fairbanks. Tanya-tanya tentang kejadian kemarin—“ Sam menyendok chili banyak-banyak. Di daereah dingin seperti ini, chili memang membuat hangat.
“Keterangan yang kemarin kita berikan, belum memuaskan?”
“Nampaknya, ada sesuatu yang baru mereka temukan,” Pavarell ikut nimbrung, “—entah apakah dia itu korban kriminal atau bukan. Tapi kalau mendengar cerita kalian, sepertinya dia kelelahan menyetir sekian jauh sendirian, lalu kehilangan konsentrasi, dan menabrak pohon jadinya.”
“Itu kesimpulan kami juga. Polisi juga tidak memperoleh tanda-tanda telah dilakukan kekerasan,” Sam menghentikan sendoknya di pinggir piring. “Hey, Dean, buku alamatnya masih ada padamu?”
Dean menyuap sesendok, meletakkan sendoknya di piring, sebelum mencari-cari di saku-saku jaketnya. Dapat.
“Ini. Walau aku tak tahu, apa yang bisa kita dapat dari sini—“
Sam tertawa kecil, “—mau berubah menjadi detektif?”
Ia membuka-buka buku itu. Kebanyakan memang nama-nama pencari bakat, jelas dari nama perusahaan yang mereka wakili berikut alamatnya.
“—karena itulah kau tak memberikannya pada polisi waktu ditanyai?” Pavarell mengumpulkan piring kotor dan menatanya di dalam dishwasher.
Dean menggeleng. “Lagipula polisi tak menanyakan. By the way, mana artifak yang kau bilang itu?”
Pavarell menghilang sejenak ke ruang bawah tanahnya, naik lagi kemudian membawa sebuah bungkusan kain hitam kira-kira sebesar seekor kucing. Ia meletakkannya di meja, tapi tidak langsung membukanya. Ia menutup semua tirai dulu sehingga ruangan menjadi gelap.
“Tidak gelap sempurna. Kalau malam hari, akan terlihat jelas,” sahutnya, perlahan membuka bungkusan kain itu.
Tak ada yang aneh. Seperti sebuah patung, mungkin miniatur dari sebuah totem, warnanya kecoklatan, atau dulu mungkin berwarna-warni, tapi karena umurnya sudah tua, lama kelamaan menjadi kusam.
“—seperti ... patung biasa?”
Pavarell mengangguk. “Di tempat-tempat konservasi Indian-Eskimo akan ada banyak patung yang seperti ini, dijual sebagai cindera mata. Ini beda. Keluarkan EMF-mu—“
Sam merogoh saku jaketnya, penasaran.
Jarum EMF-nya bergerak dengan cepat.
Sam memandang Pavarell dengan takjub. Tapi Pavarell seperti belum puas, ia seperti sedang menunggu sesuatu.
Dan benarlah. Dalam remang ruangan, daerah mata totem itu bersinar kemerahan.
“—berubah?” Sam tercengang.
Pavarell mengangguk puas. “Itu yang ingin kuperlihatkan. Kalau ia dibiarkan saja, tak akan ada apa-apa. Tapi kalau dicek—seperti dengan EMF meter, atau apapun sejenisnya, matanya akan berubah seperti itu.”
Dean turut memperhatikan, penasaran. “Sudah kau coba mencari tahu—“
Ia menggeleng pelan. “Sampai sekarang belum ketemu. Aku sudah mencoba membandingkan dengan suvenir yang banyak terdapat itu. Kubelah. Dan suvenir itu memang terbuat dari kayu biasa. Tapi ini, tak bisa dibelah. Kalau kau merabanya—“
Dean meraba patung itu. “Kayu biasa.”
Pavarell mengangguk. “Tapi kau tak akan bisa membelahnya. Kalau patung ini didekatkan pada sebuah pisau, atau pahat, atau yang semacamnya, mata merah itu keluar lagi. Seperti yang ... terancam.”
Pavarell duduk. Sam menjauhkan EMF-meternya. Warna merah itu memudar, dan lama kelamaan menghilang. Pavarell perlahan membungkus patung totem itu dengan kain yang tadi.
“Belum ada akibat yang—“
“Korban maksudmu?” Pavarell menjawab rasa penasaran Sam, “—sampai sekarang belum ada, untunglah. Yang jelas, aku bermaksud menemukan terlebih dahulu, kenapa bisa menyala begitu. Apakah berbahaya, dan kalau iya berbahaya, kita harus mengetahuinya terlebih dahulu.”
Pavarell kembali ke ruang bawah tanah untuk menyimpan totem itu.
Dean sudah berdiri dan bersiap-siap ketika ia kembali ke ruang atas.
“Sekarang, kalian mau ke mana?”
“Mencari sesuatu di perpustakaan kota,” Sam juga turut berdiri. “Kau mau ikut?”
Pavarell menggeleng. “Ada pekerjaan di bengkel. Tapi menjelang sore juga pasti sudah selesai.”
“OK, nanti sore kami pulang,” sahut Dean.
-o0o-
Fairbanks lumayan ramai ternyata. Puluhan perpustakaan yang di-search Sam dari internet membuat pusing Dean.
“Pilih satu saja,” pintanya.
Sam menambahkan kata ‘Eskimo’ pada entry search, dan itu menyaring pilihannya. Satu perpustakaan dia pilih, yang terdekat.
Tidak begitu lama mereka mencari, mereka mendapatkannya. Totem yang persis seperti yang ada di rumah Pavarell, hanya ini berwarna-warni. Bentuknya seperti anjing laut, beruang kutub, dan ular melingkar. Warna-warnanya didominasi oleh warna putih, walau warna lain juga ada. Kalau dilihat selintas, tidak akan sama dengan yang ada pada Pavarell, tetapi kalau dibayangkan sudah lama, dan warnanya sudah kusam, persis juga.
Yang membawa Sam pada satu pertanyaan. Totem itu biasanya warnanya tahan lama, karena pewarnaannya alami. Kenapa yang ada pada Pavarell itu sampai begitu kusam? Kalau itu cindera mata, mungkin saja kusam, karena buatannya lebih komersial daripada totem asli. Tapi mengingat bahannya, tidak mungkin. Sepertinya totem ini asli. Atau ... sudah lama?
Sam mencari-cari jawabannya, tapi sampai waktu makan siang, belum dapat juga.
“Aku lapar,” sahut Dean, “kita cari makan dulu—“
“Okey.”
Dan mereka berdua mencari kedai cepat saji di sekitar perpustakaan.
Baru saja beberapa suap, terdengar suara sirine meraung. Sebuah ambulans melaju, kemudian melambat ketika membelok ke salah satu rumah. Berhenti di situ. Ternyata di situ sudah ada mobil sheriff. Memasang garis kuning. Satu-satu penduduk di situ
Dean melihat pada Sam, dan Sam pada Dean, dan keduanya kemudian keluar dari kedai, ikut berkerumun dengan massa.
Tak lama petugas membawa tandu jenazah dan dimasukkan ke dalam ambulans. Mengurus ini-itu, dan ambulans pun melaju lagi.
“FMH?” Sam mengeja nama ambulansnya. “Hey, Dean, kita tanya-tanya yuk ke sana—“
Air muka Dean seakan bertanya, tapi ia tak banyak berkata, hanya mengikuti Sam ke tempat parkir. Menstarter Impala-nya, dan melaju, mencoba mengikuti laju ambulans.
*****
MS Wordcount: 998
NaNo Wordcount akumulasi: 3748
NaNo akumulasi seharusnya: 16667
Huwaaa! Ayo ngetik lagi!
*****
Dean mengangguk. Sam mengangguk. Diliriknya, nampak airmuka Dean kusut tak terbaca.
“Sebaiknya kalian istirahat saja dulu,” Pavarell menunjukkan pada Sam dan Dean kamar mereka, “—nanti setelahnya baru akan kutunjukkan artifak itu.”
Mereka setuju. Membersihkan diri, dan setelahnya Pavarell menyajikan sup krim yang tak ditolak oleh Dean, habis itu merekapun lelap.
-o0o-
Pagi sudah menyelinap dari jendela saat Dean terbangun. Sam sudah tak ada. Selesai menggosok gigi dan mencuci muka, ia keluar kamar, dan terlihat di teras depan Sam, Pavarell, dan beberapa orang lagi sedang berbicara. Tapi tak lama, orang-orang itu menjabat tangan Sam dan Pavarell, dan pergi.
“Kau sudah bangun,” sahut Sam tatkala memasuki rumah.
“Sarapan dulu,” Pavarell berjalan ke daerah kompor yang menyatu dengan daerah kursi-meja. Menyalakan api dan mulai mengaduk-aduk sesuatu dalam panci, lalu membagikannya ke dalam 3 buah piring. Dibantu Sam, menghidangkannya di atas meja. Bertiga mereka makan.
“Siapa mereka?” tanya Dean sambil mencicipi chili di hadapannya, “—kelihatannya seperti polisi—“
“Iya memang, polisi dari Fairbanks. Tanya-tanya tentang kejadian kemarin—“ Sam menyendok chili banyak-banyak. Di daereah dingin seperti ini, chili memang membuat hangat.
“Keterangan yang kemarin kita berikan, belum memuaskan?”
“Nampaknya, ada sesuatu yang baru mereka temukan,” Pavarell ikut nimbrung, “—entah apakah dia itu korban kriminal atau bukan. Tapi kalau mendengar cerita kalian, sepertinya dia kelelahan menyetir sekian jauh sendirian, lalu kehilangan konsentrasi, dan menabrak pohon jadinya.”
“Itu kesimpulan kami juga. Polisi juga tidak memperoleh tanda-tanda telah dilakukan kekerasan,” Sam menghentikan sendoknya di pinggir piring. “Hey, Dean, buku alamatnya masih ada padamu?”
Dean menyuap sesendok, meletakkan sendoknya di piring, sebelum mencari-cari di saku-saku jaketnya. Dapat.
“Ini. Walau aku tak tahu, apa yang bisa kita dapat dari sini—“
Sam tertawa kecil, “—mau berubah menjadi detektif?”
Ia membuka-buka buku itu. Kebanyakan memang nama-nama pencari bakat, jelas dari nama perusahaan yang mereka wakili berikut alamatnya.
“—karena itulah kau tak memberikannya pada polisi waktu ditanyai?” Pavarell mengumpulkan piring kotor dan menatanya di dalam dishwasher.
Dean menggeleng. “Lagipula polisi tak menanyakan. By the way, mana artifak yang kau bilang itu?”
Pavarell menghilang sejenak ke ruang bawah tanahnya, naik lagi kemudian membawa sebuah bungkusan kain hitam kira-kira sebesar seekor kucing. Ia meletakkannya di meja, tapi tidak langsung membukanya. Ia menutup semua tirai dulu sehingga ruangan menjadi gelap.
“Tidak gelap sempurna. Kalau malam hari, akan terlihat jelas,” sahutnya, perlahan membuka bungkusan kain itu.
Tak ada yang aneh. Seperti sebuah patung, mungkin miniatur dari sebuah totem, warnanya kecoklatan, atau dulu mungkin berwarna-warni, tapi karena umurnya sudah tua, lama kelamaan menjadi kusam.
“—seperti ... patung biasa?”
Pavarell mengangguk. “Di tempat-tempat konservasi Indian-Eskimo akan ada banyak patung yang seperti ini, dijual sebagai cindera mata. Ini beda. Keluarkan EMF-mu—“
Sam merogoh saku jaketnya, penasaran.
Jarum EMF-nya bergerak dengan cepat.
Sam memandang Pavarell dengan takjub. Tapi Pavarell seperti belum puas, ia seperti sedang menunggu sesuatu.
Dan benarlah. Dalam remang ruangan, daerah mata totem itu bersinar kemerahan.
“—berubah?” Sam tercengang.
Pavarell mengangguk puas. “Itu yang ingin kuperlihatkan. Kalau ia dibiarkan saja, tak akan ada apa-apa. Tapi kalau dicek—seperti dengan EMF meter, atau apapun sejenisnya, matanya akan berubah seperti itu.”
Dean turut memperhatikan, penasaran. “Sudah kau coba mencari tahu—“
Ia menggeleng pelan. “Sampai sekarang belum ketemu. Aku sudah mencoba membandingkan dengan suvenir yang banyak terdapat itu. Kubelah. Dan suvenir itu memang terbuat dari kayu biasa. Tapi ini, tak bisa dibelah. Kalau kau merabanya—“
Dean meraba patung itu. “Kayu biasa.”
Pavarell mengangguk. “Tapi kau tak akan bisa membelahnya. Kalau patung ini didekatkan pada sebuah pisau, atau pahat, atau yang semacamnya, mata merah itu keluar lagi. Seperti yang ... terancam.”
Pavarell duduk. Sam menjauhkan EMF-meternya. Warna merah itu memudar, dan lama kelamaan menghilang. Pavarell perlahan membungkus patung totem itu dengan kain yang tadi.
“Belum ada akibat yang—“
“Korban maksudmu?” Pavarell menjawab rasa penasaran Sam, “—sampai sekarang belum ada, untunglah. Yang jelas, aku bermaksud menemukan terlebih dahulu, kenapa bisa menyala begitu. Apakah berbahaya, dan kalau iya berbahaya, kita harus mengetahuinya terlebih dahulu.”
Pavarell kembali ke ruang bawah tanah untuk menyimpan totem itu.
Dean sudah berdiri dan bersiap-siap ketika ia kembali ke ruang atas.
“Sekarang, kalian mau ke mana?”
“Mencari sesuatu di perpustakaan kota,” Sam juga turut berdiri. “Kau mau ikut?”
Pavarell menggeleng. “Ada pekerjaan di bengkel. Tapi menjelang sore juga pasti sudah selesai.”
“OK, nanti sore kami pulang,” sahut Dean.
-o0o-
Fairbanks lumayan ramai ternyata. Puluhan perpustakaan yang di-search Sam dari internet membuat pusing Dean.
“Pilih satu saja,” pintanya.
Sam menambahkan kata ‘Eskimo’ pada entry search, dan itu menyaring pilihannya. Satu perpustakaan dia pilih, yang terdekat.
Tidak begitu lama mereka mencari, mereka mendapatkannya. Totem yang persis seperti yang ada di rumah Pavarell, hanya ini berwarna-warni. Bentuknya seperti anjing laut, beruang kutub, dan ular melingkar. Warna-warnanya didominasi oleh warna putih, walau warna lain juga ada. Kalau dilihat selintas, tidak akan sama dengan yang ada pada Pavarell, tetapi kalau dibayangkan sudah lama, dan warnanya sudah kusam, persis juga.
Yang membawa Sam pada satu pertanyaan. Totem itu biasanya warnanya tahan lama, karena pewarnaannya alami. Kenapa yang ada pada Pavarell itu sampai begitu kusam? Kalau itu cindera mata, mungkin saja kusam, karena buatannya lebih komersial daripada totem asli. Tapi mengingat bahannya, tidak mungkin. Sepertinya totem ini asli. Atau ... sudah lama?
Sam mencari-cari jawabannya, tapi sampai waktu makan siang, belum dapat juga.
“Aku lapar,” sahut Dean, “kita cari makan dulu—“
“Okey.”
Dan mereka berdua mencari kedai cepat saji di sekitar perpustakaan.
Baru saja beberapa suap, terdengar suara sirine meraung. Sebuah ambulans melaju, kemudian melambat ketika membelok ke salah satu rumah. Berhenti di situ. Ternyata di situ sudah ada mobil sheriff. Memasang garis kuning. Satu-satu penduduk di situ
Dean melihat pada Sam, dan Sam pada Dean, dan keduanya kemudian keluar dari kedai, ikut berkerumun dengan massa.
Tak lama petugas membawa tandu jenazah dan dimasukkan ke dalam ambulans. Mengurus ini-itu, dan ambulans pun melaju lagi.
“FMH?” Sam mengeja nama ambulansnya. “Hey, Dean, kita tanya-tanya yuk ke sana—“
Air muka Dean seakan bertanya, tapi ia tak banyak berkata, hanya mengikuti Sam ke tempat parkir. Menstarter Impala-nya, dan melaju, mencoba mengikuti laju ambulans.
*****
MS Wordcount: 998
NaNo Wordcount akumulasi: 3748
NaNo akumulasi seharusnya: 16667
Huwaaa! Ayo ngetik lagi!
0 Comments:
Post a Comment
<< Home