My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Monday, November 09, 2009

Hari ke-9

Ini hasil sampai hari ke-9. Hari ke-10 masih terus diketik.

Entah kenapa tahun ini kok kaya'nya susah nulis ya? Semangat nulis berapi-api *cie* plot udah ada, sebagian di kepala, sebagian udah ditulis, tapi begitu menghadapi laptop, kok kaya'nya terbang menghilang begitu saja. Browsing nyari bahan untuk tambahan pengetahuan saat nulis, malah kelamaan, browsing hal-hal lain yang ga perlu, FB-an, FFn-an, Infantrum-an ...
Musik yang didengar: Your Heart Will Lead You Home - Kenny Loggins
Cemilan: Cheesecake, coklat, teh susu :P


*****




LAYAR 1

BAIDURI API

Fanfic Supernatural crossover dengan sedikit Chronicles of Ancient Darkness

Supernatural kepunyaan Eric Kripke, dan Chronicles of Ancient Darkness milik Michelle Paver


-o0o-


Chara:
* Supernatural: Dean Winchester, Sam Winchester
* Chronicles of Ancient Darkness: Torak, Renn, Seshru, Saeunn, Fin-Kedinn, Serigala
* Original Character: Torak (versi modern)
Genre: Adventure
Rating: T
Warning: MPREG

-o0o-

“Dalam satu jam kita akan berada di pos perbatasan, right?” Dean menyetir sambil matanya lurus ke depan, sementara Sam sibuk meneliti peta yang dibuka lebar-lebar.

“Yup,” sahutnya pelan, “dan sebaiknya kita isi bensin saja dulu—“

“—belok kanan?” tak mengharapkan jawaban, Dean sudah terlebih dahulu memutar setir.

“Kanan, masuk rute 5,” Sam melipat petanya, “—dan kita berhenti dulu di Bellingham untuk isi bensin. Full tank, karena kita baru akan bertemu dengan—“

“Ya, ya, aku tahu—“ Dean menyalakan tape-nya, tapi kemudian mematikannya. Ia mengalihkannya pada radio, memutar-mutar tombolnya, “—mana sih. Kemarin sudah kudapat, spesialis classic rock, nah ini—“ ia mengeraskan radionya sambil memukul-mukul—pelan tapi berirama—setirnya.

Sam melengos mendengar Unforgiven-nya Metallica mengisi seluruh ruang Impala. Ia kemudian membuka-buka lagi peta tadi, meneruskan membaca informasi yang mungkin diperlukan.

“Sekitar 20 jam kalau kita menyetir terus menerus,” sahut Sam sambil matanya terus memandang peta.

“—huh?”

“Seattle – Fairbanks sekitar 1500 mil lebih. Jadi kalau kita bisa terus dengan kecepatan 80 mil begini, 20 jam baru kita sampai. Itu tanpa berhenti.”

“Hitung saja pakai berhenti isi bensin dan makan,” sahut Dean sambil terus menyenandungkan Unforgiven.

“Memangnya kau mau menyetir selama itu?”

Dean menoleh pada Sam, memandangnya lama-lama, sebelum terpaksa mengalihkan pandangan pada jelan karena ada mobil dari arah yang berlawanan. “Yah, kalau terpaksa, kau menggantikan aku—“ sahutnya ringan.

Sam tertawa kecil. “Jarang-jarang denger aku boleh menyetir—“

“Terpaksa, Sammy, terpaksa—“

“Sudah kubilang, mending naik pesawat saja. Tiga jam Seattle – Fairbanks—“

Kalau pelototan mata Dean bisa membunuh Sam, tentu Dean sudah ditangkap dengan tuduhan pembunuhan :P

“Tidak, tidak , dan tidak, Sammy! Mending capek cross-border bolak-balik, daripada—“

“Iya, iya, aku dengar,” Sammy melipat lagi petanya, menyimpannya dalam laci dashboard, dan mengatur posisi duduknya agar bisa memejamkan mata.

“Hei, hei, jangan tidur dulu—“

“Bellingham masih sejam lagi kan? Bangunkan aku kalau sudah sampai di sana—“ Sam menyahut sambil nyengir jail.

Tapi ternyata ia tidak benar-benar tidur, hanya tidur-tidur ayam, dan mengomentari apapun yang lewat atau yang terlihat. Sudah hampir sejam ketika papan nama kota Bellingham terlihat.

“OK, isi bensin dulu sampai penuh, baru cek di perbatasan,” Sam memperbaiki duduknya. “—mau pakai identitas yang mana?”

“Yang asli saja. Biar mudah kalau ada pemeriksaan surat-surat kendaraan.”

“OK,” Sam menyiapkan dompetnya.

Pemeriksaan di perbatasan Amerika Serikat – Kanada memang biasanya mudah. Untuk warganegara Amerika, kalau ada sih paspor, tapi kalau tidak ada, kartu identitas seperti SIM juga bisa, asal ada fotonya. Surat kendaraan kadang ditanya kadang tidak. Barang apa yang dibawa juga, kadang hanya basa-basi ditanya, kadang suka diperiksa sampai teliti. Pemeriksaan yang teliti biasanya dilakukan kalau baru saja ada kejadian, misalnya ada yang ketahuan membawa narkoba, atau sejenisnya, maka kendaraan selanjutnya akan diperiksa dengan lebih teliti.

Dean mengurangi kecepatan Impala ketika dilihatnya ada rambu stasiun pengisian bahan bakar. Baru disadarinya, kendaraan di depannya, sebuah Mustang merah manyala juga menjalankan kendaraannya pelan-pelan, berbelok di pom bensin itu. Jadilah Dean mengambil urutan kedua antri di belakang.

Pengemudi Mustang itu turun. Cewek. Dean langsung saja bersiul. Umur sekitar awal dua puluhan, rambut pirang ikal, celana jeans skinny plus kaos ketat dengan jaket jeans juga. Dia mengambil selang bensin dan mengisi tangki mobilnya, sembari sesekali melihat jam tangannya.

Selesai. Ditaruhnya selang bensin di tempatnya, lalu kembali ke belakang kemudi. Tapi berkai-kali ia mencoba, tidak bisa distarter.

Dean melirik Sam, bibirnya membentuk senyuman nakal. Sedikit anggukan, mereka berdua keluar dari mobil dan menghampiri Mustang merah itu.

“Perlu dibantu, Miss?” Dean bertanya dengan senyuman mautnya.

“Oh—eh, aku tak tahu, kenapa jadi begini. Tidak bisa distarter—“

“Kami dorong dulu, agar leluasa memeriksanya.”

Dean memberi isyarat pada Sam, dan mereka berdua mendorong mobil itu sampai tempat parkir. Melempar kunci pada Sam agar ia meneruskan mengisi bensin, Dean lalu membuka kap mesin dan mencari-cari apa yang salah.

Sam tersenyum kecil. Kembali ke Impala, ia mengisi bensin, lalu memarkirnya di samping Mustang tadi.

Entah apa saja yang dikerjakan oleh Dean, tapi dalam beberapa menit kemudian ia menyuruh nona tadi menstarter mobil, dan berhasil.

“Oh, terima kasih,” nona pirang itu tampak sangat gembira. Kelihatannya ia terburu-buru, kesal karena mesinnya bermasalah, dan karenanya benar-benar berterimakasih pada Dean. “—harus kubayar berapa—“

Dean trersenyum nakal, “Tidak perlu, Miss—“

“Panggil saja Amanda. Amanda Schell.”

“Mungkin nomer anda?”

Amanda tertawa kecil. Jelas-jelas ia kagum pada Dean, hanya sekedar nomer telepon tentu saja tak mengapa. Ia mencondongkan tubuh, membuka laci dashboardnya, mengambil tas tangannya. Mencari-caari sesuatu. Mengeluarkan sebuah kotak, kotak kartu nama ternyata, dan membukanya. Diambilnya selembar, dan diserahkan pada Dean.

“Wow!” Dean bersiul membaca apa yang ada di tangannya, “ternyata kau artis?”

Tersenyum Amanda menutup tasnya, menaruhnya di laci dashboardnya kembali. “Belum terkenal. Masih level lokal,” katanya, dan menutup pintu mobilnya. “Sayang aku terburu-buru, tapi mungkin kita bisa bertemu lagi lain kali, er—“

“Dean. Dan itu Sam, adikku.”

“OK. Thanks sekali lagi, Dean!”

Mustang bergerak maju, dan ia melambaikan tangan.

Dean juga Sam melambaikan tangan.
“Aku ke kamar kecil dulu,” mata Dean masih memandang ke arah jalan walau Mustang itu sekejap saja sudah menghilang.

“Yo.” Sam mengibas-ngibaskan tangan di depan mata Dean sambil tertawa, dan diikuti dengan tawa Dean juga. “Aku beli kudapan dulu. No beer, kau akan menyetir jauh—“

“Okay!”

Dean berjalan ke bagian belakang stasiun pengisian bahan bakar itu, sementara Sam ke bagian depan bangunan, yang sekaligus digunakan untuk minimarket. Beberapa menit kemudian keduanya kembali ke mobil.

“Okey, awal perjalanan jauh.” Sam masuk ke mobil dengan membawa kantong belanjaannya. Dean juga sudah akan masuk, ketika ia berhenti.

Memandang ke tanah. Tempat Mustang merah menyala tadi parkir. Dan ia memungut sesuatu dari situ, seperti buku kecil.

Ia masuk ke mobil, tapi konsentrasinya pada buku kecil itu. Membuka-bukanya.

“Buku alamat?” Sam bertanya penasaran, melihat kakaknya memusatkan perhatian pada temuannya.

“Ya. Sepertinya—“

“Kepunyaan Amanda?” terka Sam.

Dean mengangguk. “Sepertinya jatuh tadi waktu ia mengambil kartu nama dari tas,” sahutnya, memberikan buku kecil itu pada Sam.

Sam menerimanya, menyimpan belanjaan di kursi belakang, dan mengikuti perbuatan Dean tadi, membuka-buka buku alamat tadi. Khas artis baru muncul, buku alamatnya penuh dengan alamat, nomor telepon, dan email produser, talent-searching dan orang-orang sejenisnya.

Dean membuka dompetnya, mencari kartu nama yang tadi diberikan Amanda, dan mulai memencet-mencet nomer.

Nampaknya ponsel Amanda tidak diangkat, atau tidak diaktifkan, karena Dean menanti beberapa lama, tapi tak ada jawaban.

“Ya, sudah,” Dean mengembalikan kartu nama ke dalam dompet, menge-save nomer Amanda, menutup pintu mobil, dan menstarter mesin. “—kita coba lagi beberapa saat nanti. Mudah-mudahan saja dia sudah mencatat nomer-nomer dan alamat itu dalam ponselnya, jadi dia tidak merasa terlalu kehilangan.”

Sam mengangguk. “Lagipula perbatasan sudah di depan mata.”

Dean mengangguk, dan menjalankan Impalanya.

Hanya beberapa menit, mereka masuk Posko Perbatasan. Seperti yang sering dibicarakan orang, masuk ke Kanada lebih mudah daripada masuk kembali ke Amerika Serikat. Kalau dihitung-hitung, pemeriksaan hanya berjalan selama tigapuluh detik, hanya mengantrinya agak lama.

Mobil di depan mereka ternyata membawa seorang lansia, yang merasa tidak enak badan, dan ingin keluar dulu, sepertinya ingin muntah dulu, dan memang benar. Ia muntah tepat di depan pintu mobilnya. Baik pengemudinya, anggota keluarganya yang lain, maupun petugas perbatasan sibuk dulu sejenak membereskan keributan itu.

“Benar-benar hanya tigapuluh detik,” sahut Sam sambil memasukkan kartu pengenalnya ke dalam dompet. Mobil mereka sudah masuk ke wilayah Kanada.

Dean tak berbicara, ia sibuk memencet-mencet tombol ponselnya sambil terus menyetir. “Masih dimatikan ponselnya,” sahutnya, memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket, dan konsentrasi menyetir.

“Ya sudah,” Sam mengambil posisi duduk yang nyaman, dan menutup mata, “—kalau berhenti, atau mau digantikan, bangunkan aku ya!”

“Aye!” dan Dean menyalakan lagi radio pada gelombang yang tadi. “Damn! Sudah mulai tak tertangkap radio tadi!”

“Streaming saja,” sahut Sam setengah tertidur, sambil setengah tertawa.

“Awas kau!” Dean bersungut-sungut, jelas-jelas Sam menertawakan tape mobilnya yang butut hingga hanya bisa menyetel kaset dan menangkap gelombang radio secara manual, tidak bisa menyetel CD ataupun streaming gelombang-gelombang radio se-dunia. Ganti mendengar radio, ia mencari-cari kaset Metallica dengan tangan yang satu, menyetelnya, mengeraskan, dan mulai bernyanyi keras-keras bersama Hetfield. Sam tertawa kecil sambil berbalik dan memejamkan mata.

Selama berpuluh bahkan beratus mil kemudian yang terdengar hanya suara Hetfield. Jalan terhitung sepi, mungkin karena fajar juga baru mulai muncul. Mobil dari arah yang berlawanan bisa dihitung satu-satu.

Cuaca bisa dibilang bersahabat. Untuk bulan-bulan sekarang, Mei-Juni-Juli, sudah memasuki musim panas. Tapi karena mereka memasuki wilayah utara, mendekati garis balik lintang Utara, suhu semakin dingin, walau matahari mulai bersinar malu-malu.

“Sudah di mana?” Sam duduk lebih tegak, menggosok-gosok matanya.

“Hampir Prince George. Kau mau berhenti dulu?”

“Kurasa kita makan dulu.”

“Okey. Dan mengisi bensin,” Dean kembali berkonsentrasi pada kemudi.

Tak lama berselang, papan nama Prince George muncul di sisi jalan, dan mereka mulai memasuki kawasan yang lebih ramai.

Dean mengurangi kecepatan sekarang, mencari kedai yang menyediakan breakfast. Dari kejauhan nampak satu. Berbelok, mencari tempat parkir yang kebetulan penuh. Untung dapat satu.

Berdua turun, mencari tempat duduk, dan memesan sarapan. Dean sudah kembali memencet-mencet keypad ponselnya.

“Yes!” sahutnya, “—dapat!”

Sam mengangkat alisnya, sebelum mengerti saat Dean mulai bicara.

“Amanda? Ya, ini Dean, yang tadi. Buku alamatmu jatuh—Oya, bagus kalau begitu. Kau mau ke mana? Fairbanks—tapi kami juga akan ke sana—Sudah sampai di mana? Okey, mudah-mudahan Mustang-mu bisa kami susul—tertawa—Okey, kau tak apa-apa menyetir sendiri?—Okey, sampai ketemu!”

Sarapan datang, dan Dean mencomot cheeseburgernya. “Seperti sudah kubilang tadi, ia sudah menyalin info dari buku alamat—“ ia menggigit sepotong besar.

“Tapi nekad juga cross-border menyetir sendirian,” Sam menusuk kentang gorengnya dengan santun.

“Yeah. Apalagi kelihatannya dia tidak begitu terbiasa dengan mobil. Maksudku, seperti umumnya kaum wanita—Dean terdengar sedikit merendahkan—hanya bisa menyetir, dan tak tahu apa-apa soal mobil—“

“Yeah, dan kaulah yang paling tahu soal mobil—“

Dean melempar serbetnya, tapi Sam mengelak sambil tergelak.

“Dengan keadaan seperti itu, paling-paling juga kita akan bisa menyusulnya dalam beberapa jam. Cepat juga, Mustang itu!”

“Mungkin dia pakai Mustang karena memang dia perlu kecepatan. Kaudengar tadi, dia seperti terburu-buru.”

“Hm,” Dean menghabiskan cheeseburgernya, menghabiskan kopinya, dan mengelap mulutnya dengan tisu, “—tujuan kita di Fairbanks?”

“Sebelum Fairbanks,” Sam mengeluarkan peta lipat dari saku jaketnya, membukanya di atas meja setelah terlebih dahulu menyingkirkan piring sarapannya yang sudah kosong. Menunjukkan tempatnya pada Dean. “Ada belokan ke kiri, dan nanti di situ kita telepon saja Pavarell, dia akan menunjukkan arahnya.”

Ia melipat lagi petanya, “—memangnya Amanda juga mau ke Fairbanks?”

“Yaps,” Dean bersendawa, mengundang pelototan Sam, tapi ia mengacuhkannya seperti biasa, “—kalau perlu kita susul saja dia.” Ia berdiri, mengeluarkan lipatan uang dari saku celana, menyimpan beberapa lembar di meja, dihimpit piring.

Sam mengikuti berdiri, dan keluar.

“Perhentian kita selanjutnya?” Dean buru-buru menambahkan, “—untuk mengisi bensin?”

“Mungkin Meziadin Junction. Atau Dease Lake.”

“Okey.” Masuk ke dalam mobil dan kembali merambah jalanan.

Mil demi mil dilahap. Kali ini Sam tidak terlelap. Seperti sedang berpikir.

“Kau pikir—Pavarell tahu apa yang ia kerjakan?” sahut Dean memecah kesunyian, setengah bertanya setengah mengeluarkan pernyataan.

“Mungkin. Lagipula, kalau Bobby mendukung, kemungkinan besar ia memang benar.”

“Tapi, artifak Inuit di Fairbanks? Bukannya Eskimo itu di kutub?”

“Itulah. Pavarell mengatakan, artifak itu seperti bukan berasal dari tanahnya. Seperti diambil dari tempatnya, lalu dibawa ke tempatnya, dan dikubur di sana, entah kenapa. Mungkin takut ada yang melihat, atau bagaimana.”

“Cari di internet?”

“Sulit. Email yang dikirim kemarin, fotonya buram. Lebih baik kita langsung melihatnya saja.”

Hening lagi. Jalan relatif sepi, apalagi ukurannya besar, lurus-lurus, membuat Dean memacu Impala dengan kecepatan maksimal. Sam membuka email dari ponselnya, tapi tak ada yang menarik.

Tiba di Dease Lake, istirahat sejenak dan makan, mengisi bensin, Dean melempar kunci kontak Impala pada Sam. “Ganti menyetir. Aku mau tidur.”

“Okey.”

Waktu sudah menunjukkan lewat sore hari, tapi matahari masih betah menemani tatkala mereka masuk Yukon. Walau demikian, suhu makin rendah di sini.

Mereka berhenti, makan dan mengisi bensin, lalu melaju lagi. Dean yang pegang kemudi kini.

“Dia cepat juga,” sahut Dean seperti sambil lalu.

“Huh? Siapa—oh, Amanda?”

“Ya. Dan sekian jam menyetir tanpa diganti. Maaf kalau terkesan meremehkan, tapi dia perempuan, dan—“

“Apakah mungkin kita sudah melewatinya, tanpa kita sadari? Atau dia berbelok dulu di salah satu kota kecil? Atau mungkin juga ada yang naik, dan menggantikannya menyetir? Apa saja bisa terjadi.”

Dean mengangguk. Tapi sambil menyetir, dikeluarkan ponselnya susah payah dari saku jaket, dan dipencet nomer terakhir yang ia hubungi tadi.

Tersambung, tapi tak ada yang mengangkat.

Dua-tiga kali, berakhir sama.

“Mungkin sedang kagok menyetir,” Sam menyela.

“Mungkin,” Dean menyimpan ponselnya di dalam saku jaketnya lagi.

Gelap sudah turun tatkala Impala itu berhenti di perbatasan Kanada – Amerika Serikat. Di sini ternyata pemeriksaan lebih ribet dari perbatasan Amerika Serikat – Kanada.

“Biasanya juga lebih teliti,” sahut seorang pengemudi yang mobilnya berhenti tepat di depan Impala, sama-sama menunggu giliran diperiksa, “tapi konon tadi ada yang berusaha menyelundupkan narkoba, jadi—biasa, petugas jadi jauh lebih waspada—“

Sam mengangguk. Dean masih terdiam, entah apakah dia waspada atau kenapa.

Tigaperempat jam lewat, dan mereka sudah lolos dari perbatasan.

“Putar arlojimu satu jam lebih lambat,” Sam mengulang perkataan petugas di perbatasan tadi, “dan kukira semakin mendekati Fairbanks, semakin rendah suhunya—“

“Yaps,” Dean menghentikan Impala di tepi jalan, memutar arlojinya, lalu keluar dari mobil. “Ambil jaketmu yang lebih hangat.”

Sam mengikuti kakaknya, membongkar tas duffel-nya dan mengeluarkan jaketnya yang lebih tebal. Tanpa mengganti, ia melapisi jaketnya dengan yang lebih tebal. Lalu mengeluarkan peta lipatnya.

“Lebih baik kita isi bensin di sini, lalu makan juga.”

Dean mengangguk. “Aku juga mau periksa dulu my baby. Suhu rendah di sini, aku harus lihat dulu penyesuaiannya.”

“Ya betul. Sampai Delta Junction, sulit ditemui orang ataupun pemukiman.”

Jadi mereka menghabiskan hampir sejam untuk makan, memeriksa mobil sekaligus mengisi bensin. Malam sudah benar-benar gelap tatkala mereka melaju kembali. Jalan sungguh sepi, apalagi suhu benar-benar rendah. Dean tidak bisa memacu Impala secara maksimal karena kemungkinan jalan menjadi licin dalam suhu seperti itu.

Masuk Delta Junction, mereka keluar dari Alaskan Highway, dan masuk jalan biasa.

“Berapa jauh lagi ke Fairbanks?”

Sam tidak langsung menjawab, tapi membuka petanya dulu. “Sekitar 100 mil.”

Dean masih konsentrasi mengemudi, tapi memang sudah terlihat lelah.

“Mau diganti?” Sam menawarkan.

Dean terdiam. “Okay. Aku ingin tidur barang sejam.” Ia menepikan mobil. Sam keluar, memutar ke kursi pengemudi, sementara Dean bergeser.

“Secara normal sih paling sejam. Tapi dalam kondisi jalan seperti sekarang, mungkin dua jam,” sahut Sam sambil menutup pintu.

“OK. Apakah kita akan cari Pavarell dulu, atau cari penginapan dulu?”

“Kurasa tempat Pavarell cukup luas,” tawa Sam.

Tapi sekejap tawa Sam berhenti. “A-apa itu, Dean?” Ia menghentikan mobil.

Dean yang sudah bersiap meringkuk di kursinya mendadak bangkit lagi, “Apa? Ada apa?”

Sam tak menjawab, malah memundurkan mobil. Dean juga tak memerlukan jawaban.

Sebuah Mustang merah manyala, dan sebuah pohon.


-o0o-

Suara sirine meraung-raung membelah malam yang sepi. Mobil sheriff, dan ambulans.

Tak ada yang bisa dilakukan lagi oleh kedua Winchester itu karena korban seperti sudah agak lama dalam kondisi seperti itu. Darah yang keluar dari kepala sepertinya sudah membeku. Bibir membiru. Anggota badan sudah kaku, bahkan untuk mengeluarkannya dari mobil, kemudi harus digergaji terlebih dahulu.

Kedua Winchester diminta keterangan secukupnya. Saat akan dicatat alamat, Sam memberikan alamat Pavarell.

“Kemungkinan kami akan menginap beberapa hari di sana,” ujar Sam.

Ia berbalik menuju mobil, dan menggamit Dean agar bergerak. Dean seperti tak bisa bergerak menyaksikan tubuh Amanda dimasukkan ke dalam kantong mayat, dimasukkan ke ambulans, dan dibawa pergi. Mobil sheriff mengikuti.

“Ia akan dibawa ke mana?” Dean masih menerawang ke arah ambulans yang makin lama makin kecil itu.

“Fairbanks Memorial Hospital. Belum jelas saudara atau orangtuanya ada di mana.”

Dean meraba jaketnya.

Sam mengerti. Ada buku alamat Amanda di sana.

“Apa sebaiknya buku ini kita serahkan pada sheriff?”

Sam terdiam. “Kalau—kalau semua nomer di sana memang sudah disalin ke ponsel, kukira kau bisa menyimpannya.”

Ada rasa bersalah pada diri Sam, karena tahu itu hal yang tidak benar, tapi ada sesuatu yang menahannya agar menyimpan buku itu. Entah kenapa. Seperti ada—yang ganjil.

Dean masuk ke mobil, kursi penumpang. Sam otomatis duduk di belakang kemudi. Melaju lagi, lebih hati-hati kali ini.

Dengan berkali-kali melihat peta, catatan alamat Pavarell, akhirnya mereka sampai juga di kediaman Pavarell. Pria sebaya Bobby, penuh janggut keabuan, mata hitam berkilat itu membukakan pintu gerbang.

“Langsung saja ke garasi, masukkan mobilmu,” sahutnya. Ia menunjukkan jalannya. Setelah menutup pintu garasi, mereka masuk melalui pintu samping.

“Ada apa, biasanya Dean yang menyetir?” tanya Pavarell.

“Giliranku,” sahut Sam, “kami menyetir non-stop dari Seattle.”

“Dari Seattle?” sahutnya tak percaya, “kupikir kalian akan menginap di suatu tempat di Kanada, melihat-lihat dulu, sebelum sampai ke Alaska—“

Sam menyeringai, tapi terlihat olehnya Dean diam saja, maka seringainya menghilang.

“—menyetir sejauh itu tentu melelahkan—“

“Itulah. Seseorang yang kami kenal tak sengaja di Seattle, bertujuan sama ke Fairbanks, menyetir sendiri, dan tahu-tahu kami temui—kecelakaan di Delta Junction—“

“Oh. Sirine ambulans yang tadi itu?”

Dean mengangguk.

*****

NaNo Wordcount: 2769
MS Wordcount: 2820
Target: 13334

Huwaaa! Jauh banget!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home