My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Friday, November 13, 2009

Hari ke-11

Oke, ini telat nge-post :P

*****


Sejalan dengan lajunya Impala, pelan-pelan Dean mulai menangkap pemikiran Sam. “Kau ingin menyelidiki kematian Amanda kemarin kan, ya?”

Sam tersenyum polos, tertangkap basah. “Habis, kau kelihatan kuyu begitu. Mentang-mentang dia cantik dan sexy, dan sudah memberikan tanda-tanda padamu. Jadi penasaran kan?”

Dean terkekeh. “Masih banyak yang lain, Sammy, masih banyak yang lain.” Dean menambah kecepatan saat ambulans sudah terlihat, tapi nampaknya akan membelok. Tak mau ketinggalan jejak.

Begitu masuk ke lingkungan Fairbanks Memorial Hospital, sambil mencari tempat parkir, Dean melirik Sam, “Sebaiknya aku saja yang turun. Kau sudah dikenal, baik oleh tenaga kesehatan maupun sheriff. Tiap ada kesempata berbicara, kau yang maju. Mungkin mereka tidak begitu mengenalku. Jadi mungkin saja aku akan lebih berhasil—“

“Terserahlah—“ Sam membuka tasnya, meraih laptop dan menyalakannya. “Aku cari di sini, kau cari di rumah sakit. Siapa tahu ada perawat sexy—“

Terkekeh keduanya.

Awalnya Sam asyik browsing mengenai totem, tapi lama-lama ia bosan juga. Dilihatnya arloji. Sudah nyaris tiga jam. Ada apa dengan Dean?

Sam sudah mengeluarkan ponsel dari saku jaket, ketika dilihatnya Dean keluar dari pintu samping yang kecil.

Seperti terburu-buru, ia masuk ke mobil, menyalakan mesin, dan keluar dari halaman parkir. Tanpa bicara. Sam terdiam saja, ia sudah hapal akan kelakuakn kakaknya itu.

Benar saja, tidak jauh mobil mencari tempat parkir lagi, dan berhenti.

“Ada apa?” Sam bertanya penasaran.

Tanpa bicara, Dean mengeluarkan kertas dari sakunya. Nomer telepon.

Wajah Sam berkerut.

Tapi Dean tak mampu menahan tawa, dan meletuslah tawanya. “Itu nomer telepon Heddie, perawat se—“

“Deeeeean!”

Dean masih tertawa, tapi sudah berusaha menghentikannya, “OK, OK. Bukan itu. Tapi itu juga ada hubungannya, Heddie berjanji akan menghubungiku kalau dia mendapat informasi baru,” kini Dean mengeluarkan sebuah amplop coklat besar dari balik jaketnya. Memberikannya pada Sam.

“Kau benar, Sam, kita harusnya menjadi detektif kriminal. Ada satu peristiwa kriminal yang sedang terjadi disini, walau aku tak tahu apa.”

Sam tak berkata-kata. Ia mengeluarkan kertas-kertas dari dalam amplot coklat itu. Laporan kematian. Ada juga rekam medik.

“Bagaimana kau bisa mendapat ini?”

“Heddie.”

Sam mengangguk. Itulah makanya Dean keluar dari lingkungan rumah sakit, untuk membaca laporan yang sebenarnya tak bisa didapatkan begitu saja.

Halaman demi halaman. Sam mengangkat wajah yang sudah berkerut berlapis-lapis. “Tapi, bagaimana bisa?”

Dean menggeleng pelan, “Aku juga tak tahu, Sammy.”

Sam melihat lagi halaman-halaman fotokopian itu. “Yang aku tahu, anak kembar satu telur saja punya sidik jadi yang berbeda. Yang ini, tiga orang punya sidik jadi yang sama? Dan anehnya, terkumpul di rumah sakit yang sama?”

Dean mengangguk, tangannya memainkan dagunya. “Itulah. Amanda Schell, datang dari Seattle—menurut polisi ia datang dari California. Karena artis kelas bawah, tentu saja tak cukup punya uang untuk naik pesawat ke Alaska, dan memutuskan naik mobil saja. Mustang itu mobil kawan laki-lakinya.”

Dean menunjuk halaman yang lain, “Brandon Smith, mahasiswa, dari Iowa, naik bis ke Fairbanks. Begitu turun di perhentian bis, orang menyangka ia terpeleset di tangga bis, dan jatuh ke aspal, tapi ternyata ia sudah tak bernyawa. Tak ada luka, tak ada tanda-tanda kekerasan. Petugas medis memperkirakan stroke. Memang ia masih muda, tapi konon penyakit stroke sekarang bisa menyerang siapa saja.”

Sam memisah halaman berikutnya, “Yang ini?”

“Ini yang tadi di rumah dekat perpustakaan, Jordi Heath. Programer komputer. Ia masih tinggal bersama orang tuanya, tapi kamarnya di pavilyun karena sering pulang malam. Tadi ibunya berulang kali mengetuk pintunya, akan menyuruhnya makan, tapi tak ada jawaban. Tapi suara musik dan sebagainya, tetap keras sebagaimana biasa. Ibunya mengintip dari jendela, sepertinya Jordi duduk di depan komputer, tapi tak menjawab panggilannya. Curiga, ibunya membuka dengan kunci cadangan, dan menemukan anaknya sudah tak bernyawa, masih dalam posisi mengetik di keyboard.”

Kening Sam berkerut, halaman-halaman fotokopian itu dilihat-lihatnya lagi. Dan, “Dean, kau lihat tanggal lahirnya?”

Dean mengangguk. “Ya. Tanggal lahir sama, sidik jari sama. Jam kematian juga sama,”

Sam buru-buru meneliti halaman-halaman itu dengan seksama. “Ya. Jam kematian sama. Tiga orang dari tiga latar belakang, dari tiga negara bagian—“

Pandangan Sam menerawang, “Apakah—“

“—apakah masih akan ada korban yang lain, Sammy, itu juga yang menjadi pikiranku. Mari kita mencari ke rumah sakit lain. Tanggal lahir sama, meninggal pada saat yang sama—“

“Kita cari di internet saja, kurasa data rumahsakit di sini sudah online—“ Sam kemudian sibuk mengetik-ngetikkan sesuatu, mencari dan menelusuri. Dean mencondongkan badannya ke arah Sam sehingga terlihat jelas apa yang ada di layar laptop.

“Dapat dua orang,” Sam menunjukkan pada nama yang ada di tabel, “tapi ini hanya ada tanggal lahir dan jam kematiannya saja, tak ada data sidik jari. Rupanya sidik jari ada di arsip rumah sakit, dan tak dimasukkan online—“

“Kita anggap saja sidik jarinya sama. Kau punya teori, bagaimana bisa ini terjadi?”

Kening Sam berkerut, matanya menatap ke arah layar, tapi ia tidak sedang melihat layar.

“Hm ... hm ...”

Seperti tak mendengar apa yang dikatakan Dean, Sam mengetikkan beberapa kata dalam search engine. Memilih-milih link. Membukanya. Membaca sekilas artikel-artikel yang terbuka. Menggeleng. Mengetikkan lagi kata-kata baru dalam search engine.

Dean sudah hapal kebiasaan adiknya itu, duduk bersandar, menutup matanya sejenak, menunggu hasil.

“—Dean—“

“Yup?” Dean langsung dalam posisi siaga.

“—mungkinkah mereka ... kloning?”

“Kloning? Tapi, bukankah kloning pada manusia belum diperbolehkan?”

“Resminya demikian. Percobaannya saja belum boleh dilakukan pada manusia, hanya pada hewan saja.”

“Dugaanmu?”

“Dugaanku, ada percobaan sembunyi-sembunyi dengan kloning ini—“

“Masuk akal. Walau sedikit. Bagaimana dengan—jenis kelamin?”

“Belum terpikirkan. Mungkinkah—ilmuwannya mencoba-coba membuat satu seri anak-anak kloning dengan gender berbeda?”

“Hm,” Dean mencoba memahami apa yang sudah dipahami adiknya, “—jadi kalau kloning, harusnya—haruskah dikandung oleh satu ibu?”

“Teorinya begitu.”

“Jadi lima anak? Wow!”

“Mungkin—lebih, Dean. Hanya saja kita belum tahu—“

Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. Lalu, setelah beberapa saat, Dean menghidupkan mesin.

“Kita kembali saja dulu. Mungkin Pavarell punya ide tentang hal ini—“

“Okey.”

Dari pusat kota ke kediaman Pavarell hanya memerlukan beberapa puluh menit, tetapi rasanya panjang. Keduanya sama-sama mencoba mencerna informasi yang baru saja mereka dapat. Agak susah diterima akal. Beberapa orang dengan tanggal lahir yang sama, meninggal di waktu yang sama, dan ternyata mereka punya sidik jari yang sama—

Tapi di tempat kediaman Pavarell, sudah menunggu kejutan yang lain.

-o0o-

“Apa yang mereka cari?” Sam berbisik, saat petugas medis dari FMH mengangkat tandu Pavarell ke dalam ambulans.

Dean tak menjawab, karena selain Sam tak perlu, ia juga tak tahu jawabannya.

Seorang polisi mendekati. “Kalian tak akan ke mana-mana kan?”

Sam menggeleng. “Kami akan tetap di sini, atau di rumah sakit menungguinya. Setidaknya sampai Pavarell bisa kembali—“

“Okey. Rumah sudah bisa dibereskan, penyelidikan sudah selesai. Tetapi kalau-kalau nanti ada pertanyaan—“

“Tentu.”

“Terima kasih. Selamat sore.”

“Sore.”

Keduanya menatap hingga mobil sherif dan ambulans menghilang di tikungan, lalu saling berpandangan.

“Totem itu?” sahut keduanya nyaris bersamaan.

Setengah berlari keduanya menuju ruang bawah tanah. Turun dengan bergegas.

Tapi bungkusan totem itu ada di sana. Mengecek, jangan-jangan bungkusan itu hanya bungkusan yang serupa tanpa isi, mereka bersepakat membuka.

Totemnya masih ada.

Sam mengeluarkan EMF-meternya dan mendekatkan pada totem itu. Seperti saat pertama dikeluarkan, mata totem itu menjadi merah, jelas apalagi di ruang bawah tanah yang remang-remang.

Jadi, ini bukan sasaran pencurian. Atau mungkin para pencuri itu tak mengira kalau Pavarell menyimpannya di sini.

Dean membungkus totem itu kembali, menyimpannya seperti sediakala. Lalu mereka naikke atas, menutup tingkap dan menguncinya.

“Jadi, apa yang mereka cari?” tanya Sam menggantung. Ia memunguti barang-barangyang berserakan di lantai, menempatkan mereka sebisanya agar seperti tadi.

Sudah gelap ketika mereka selesai membereskan rumah Pavarell—sebisanya. Dean membuka lemari dapur, mencari makanan kaleng, dan memanaskannya. Mereka makan, Dean sambil membuka halaman-halaman yang tadi ia fotokopi di rumah sakit, Sam browsing ke sana ke mari sambil mengecas laptopnya.

“Kloning pertama kali dipublikasikan 1984,” sahut Sam, membaca sambil lalu artikel-artikel yang diperoleh saat browsing. “Tahun lahir mereka—1985?”

“Yups!”

“Mungkinkah—mereka hasil kloning yang diproduksi diam-diam?”

“Mungkin.”

“Tapi—kenapa mereka harus berkumpul di Alaska?”

Sam memandang Dean. Dean memandang Sam.

“Laboratorium yang memproduksi mereka ada di Alaska?” sahut mereka nyaris bersamaan.

“Tunggu!” Dean mengeluarkan buku alamat Amanda dari saku jaketnya, dan membuka-buka halamannya, “—rasanya pernah kubaca ada nomer telepon lab—“ dan ia tiba di halaman itu, “—ini—“

“—Inuit Laboratory?” Sam membaca keheranan, “—bukannya Inuit itu suku Indian? Eskimo?”

Tapi dengan tangkas ia mengetikkan nama itu di search engine-nya. Muncul sederetan link. Ditelusuri dengan hati-hati.

“—Dean—“

Dean memiringkan badannya agar bisa turut membaca temuan Sam. “—ditutup karena kesulitan keuangan sejak 1989—“

Mereka saling memandang.

“Ada alamatnya? Tak ada alamatnya di buku Amanda,” Dean nyengir.

Tentu saja. Mereka berpikiran sama. Laboratorium yang sudah ditutup, dan tak akan ada yang mengira masih ada kegiatan di sana.

Sam menelusuri artikel yang baru saja dibaca. “Ini ada.” Dibacakannya, dan Dean mencatatnya dalam selembar notes yang diambilnya.

“Ayo!”

-o0o-

*****

Karena kemaren lupa nggak nge-post, jadi aja nggak tau hitungan NaNo-nya. Yang pasti, berdasarkan NaNo Validator wordcount-nya 5151. Target seharusnya 18.334 :P

0 Comments:

Post a Comment

<< Home