My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Monday, November 16, 2009

Hari ke-16

OK, lumayan juga pendapatan hari ini. Kalau nanti malem bisa, mau ditambahin, tapi paling tidak ini juga udah lumayan :P

*****


Ruang kerja Horace Slughorn terang benderang, tidak temaram seperti ruang bawah tanah yang diminta olehnya sebagai ruang kerja. Sebagai magang, ia sudah berada di sini sejak sebelum Horace tiba. Mempersiapkan bahan-bahan ramuan, mengecek kesiapan alat. Nanti setelah Horace datang, mereka akan membicarakan kurikulum, dan tetek bengek yang berhubungan dengan pelajaran lainnya.

Langkah kaki terdengar, halus yang ini. Sepertinya wanita. Severus tidak repot-repot mengangkat wajah menengokkan kepala mengecek siapa yang datang, karena biasanya tamu untuk Horace. Tak akan ada yang mau bertamu padanya, lagipula untuk apa?

“Severus,” panggilnya.

Setengah kaget, Severus mengangkat kepalanya. Madam Pomfrey.

Tadi pagi ia menyempatkan diri ke Rumah Sakit, dan memberikan contoh Ramuan Tidur Tanpa Mimpi hasil ciptaannya pada Madam Pomfrey. Mungkin ada gunanya.

“Madam Pomfrey,” sahutnya setengah sungkan. Apakah ada yang salah dengan formulanya?

Tapi wajah Madam Pomfrey berseri-seri. “Sebentar lagi kau sudah jadi guru di sini, jadi panggil aku Poppy saja.” Ia memperlihatkan botol kecil contoh Ramuan yang tadi pagi ia bawa. “Formula yang luar biasa. Aku bahkan tidak memperhatikan kelemahan-kelemahan formula yang lama, dan kau memperbaikinya. Kurasa—kau bisa memproduksi agak banyak untuk persediaan Rumah Sakit?”

Tidak sering Severus bertemu dengan aura positif semacam ini, dan rasanya aura positif ini menular. Ia merasa tenang, ringan, dan yang paling penting—dihargai.

Ia mengangguk. “Tentu saja Mad—Poppy. Akan aku buatkan.”

Poppy menepuk bahunya. “Trims. Oh, itu Horace datang—“

Horace datang dengan langkah pendek-pendek, dan senyumnya yang khas. “Oho! Ada apakah gerangan, Poppy, kau pagi-pagi sudah ada di sini?”

“Ini,” Poppy menunjukkan botol contoh, “Severus membuat contoh perbaikan Ramuan Tidur Tanpa Mimpi, dan kurasa ia bisa mulai membuat untuk persediaan—“

“Itu memang keahliannya Severus,” Horace menepuk-nepuk bahu Severus. Lalu ia berbalik lagi pada Poppy, “Poppy, aku khawatir ada sesuatu yang salah dengan Ramuan Pembalik Transfigurasi itu—“

“Aku tahu. Karenanya aku belum berani memintamu untuk membuatnya—“

“Aku sudah meminta Minerva dan Pomona untuk datang, kita bisa membicarakan—“ rupanya kedua wanita yang dibicarakan sudah terdengar datang, melangkah di tikungan dan muncul di pintu.

“Horace, ada apakah?” tanya Minerva. “Ah, Severus pagi-pagi sudah datang—“

Severus mengangguk sedikit, dan meneruskan pekerjaannya.

“Ini tentang formula Ramuan Pembalik Transfigurasi. Kurasa kita bisa membicarakannya sambil menuju ke Aula Besar, sarapan, aku sudah lapar! Severus, kau tidak sarapan?” Horace mengusap-usap perutnya yang sebenarnya sudah bulat itu.

“Sebentar lagi,” sahutnya.

“OK, nanti jangan lupa menutup pintu—“

Severus mengangguk.

Horace berjalan bersama ketiga wanita itu dan mulai menerangkan apa yang ditemukan salah dalam formula dimaksud.

“Kalau menurutmu penelitian harus diulang, ulang saja,” sahut Minerva.

Poppy menambahkan, “—lagipula sekarang sudah ada Severus, dia akan bisa membantu banyak. Tadi pagi ia membuat perbaikan dari formula Ramuan Tidur Tanpa Mimpi. Kurasa—dia sangat berbakat dalam Ramuan—“

“Kurasa juga demikian,” angguk Minerva, “—bagaimana penilaianmu mengenainya?”

Horace mengusap dagunya. “Yang jelas, dia sangat berbakat. Kau tahu, mendiang Lily dulu juga sangat berbakat dalam Ramuan?”

Ketiga wanita itu mengangguk.

“Tapi ini berbeda.” Horace berhenti berjalan, dan mulai menerangkan. “Ada orang-orang tertentu yang sangat ahli dalam menghapal. Sayangnya, golongan orang yang seperti ini selalu diberi label yang salah. Mereka disebut ‘pintar’. Padahal menghapal saja tidak cukup.”

“Lily sebenarnya termasuk ke dalam golongan ini, dia sangat cepat menghapal apapun yang diberikan padanya. Atau, bahkan apapun yang belum diberikan padanya, ia sudah mempelajarinya sendiri. Ditambah,” jari telunjuk Horace teracung, “—Lily ini punya bakat magis yang luas. Ia Muggleborn,” nada suaranya seperti sedikit meremehkan, “—tapi ia berbakat seolah-olah ia sudah berabad-abad ini menggunakan sihir—“

“Lalu Severus?” Pomona ingin tahu.

“Dia itu future learning.”

“Maksudmu?”

“Ya, Lily cepat menghapal, cepat mengasosiasikan keadaan dengan pengetahuan sudah ada dalam benaknya, maka ia termasuk dalam past learning. Belajar dari masa lalu. Maksudku, dia menghapal apa yang sudah menjadi penelitian di masa lalu. Mantra yang sudah ditemukan, Ramuan yang sudah diteliti, dan sebagainya. Dia hanya tinggal menghapal—dan dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa—lalu otaknya mengasosiasikan dengan keadaan, mencari Mantra atau Ramuan yang tepat, dan voila! Dia bisa menangani masalah apapun! Dia punya naluri untuk itu.”

“Sedang Severus,” Horace menoleh-noleh dulu sejenak, meyakinkan bahwa Severus belum menyusul mereka sarapan, “—ia lebih pada—penemu.”

“Penemu? Maksudmu, sejenis Damocles dengan Ramuan Wolfsbanenya?” Pomona tertarik.

“Kurasa ya,” Minerva mengangguk setuju, “sejak jaman sekolah dia selalu mencoba-coba sesuatu—“

“Nah. Betul. Jadi dengan pengetahuan yang ada di kepalanya, dia akan berpikir—apakah sebaiknya X digunakan untuk Y? Apakah A bisa diolah menjadi B? Dan seterusnya. Penyihir seperti itu pasti akan melahirkan penemuan-penemuan baru, apakah itu Mantra atau Ramuan. Dahsyatnya mungkin akan seperti Damocles Belby, menemukan Ramuan Wolfsbane—“

“Kurasa ya, Severus mungkin akan berkembang menjadi Profesor Penemu,” Poppy menambahkan, “buktinya, tadi pagi dia bisa menemukan celah kelemahan dalam Ramuan Tidur Tanpa Mimpi, dan memperbaikinya,” ia menunjukkan botol yang sedari tadi dipegangnya. “Padahal Ramuan Tidur Tanpa Mimpi itu sudah puluhan tahun dipuji orang sebagai Ramuan Terbaik yang bisa menenangkan pasien—“

Horace mengangguk. “Itulah sebabnya, aku akan dengan tenang pensiun sebagai Guru Ramuan, dan menyerahkan posisiku padanya. Ia menggunakan logika untuk menyelesaikan masalah. Kalian tahu, dunia sihir perlu penyihir seperti dia. Dunia sihir akan stagnan jika kita tidak punya penyihir sejenis Severus—“

Ketiga penyihir wanita itu mengangguk-angguk setuju.

Mereka sudah sampai di Meja Tinggi, dan menyebar ke kursi masing-masing. Meja para siswa pun sudah mulai penuh.

Dumbledore pun sudah ada. Ia menoleh sejenak pada Horace, sepertinya akan bertanya tentang sesuatu, tapi tak jadi karena di pintu ia melihat Severus juga sudah datang.

Airmukanya tak terbaca.

Mereka mulai makan.

-o0o-

Keinginannya adalah menghindar sejauh mungkin dari Dumbledore, tapi untuk keheranannya yang sangat, Severus menemukan seekor burung hantu di puncak gantungan mantel di ruang bawah tanahnya. Tak mempertanyakan bagaimana caranya seekor burung hantu bisa masuk ke ruang bawah tanah, ia justru penasaran akan pengirim suratnya.

Albus Dumbledore menginginkan kehadirannya setelah kelas selesai, di kantornya.

Bagaimanapun juga, dia adalah Kepala Sekolah. Seenggan apapun, ia terpaksa melangkahkan kakinya ke kantor Kepala Sekolah sore itu. Mengucapkan kata sandi pada gargoyle penjaga pintu, dan ia pun masuk.

“Severus. Duduklah.” Dumbledore nampak sedang menulis sesuatu. Diselesaikannya dulu tulisannya, disimpannya pena bulunya, digulungnya perkamennya, baru ia memandang Severus.

“Dengan sepenuh hati, aku minta maaf untuk kejadian—“

Severus mengangguk. “Sudahlah, Albus. Kita lupakan saja. Sekarang, ada apa?” sahutnya pelan tapi to the point, setengah sarkastik.

“Sebetulnya—“ Dumbledore berhenti sejenak, memilih-milih kata, “—ini kusadari dari beberapa hari kemarin. Aku minta maaf karena aku terbiasa melakukannya pada guru-guru baru, tapi beberapa hari terakhir kemarin, aku me-Legilimens-mu—“

Severus tahu itu, ia pernah membacanya. Walau tidak diajarkan di sekolah, tapi tentu saja selalu ada bacaan tentangnya.

“—dan aku mendapati pada saat-saat tertentu, benakmu menutup diri sangat rapat. Occlumens. Yang kutahu sejauh ini, kau sama sekali belum pernah mempelajari Occlumency—“

Severus menggeleng. “Tidak. Belum pernah—“

“Kalau kau tidak berkeberatan, maukah kau kuajari? Occlumency, sekaligus Legilimency?”

Sekilas muncul rasa senang. Jikalau ia bisa menutup benaknya agar tak terbaca orang lain, bagus kan? Ia tak usah berpura-pura, tutup saja benak, dan tak ada orang lain yang tahu—tapi ada maksud apa Dumbledore mengajarkan Occlumency sekaligus Legilimency?

Dumbledore nampaknya sudah bisa menduga. “Ini akan ada hubungannya, dengan posisimu sebagai mata-mata kelak—“

“Dan apakah yang membuatmu yakin bahwa Pangeran Kegelapan masih hidup, bahwa Pangeran Kegelapan akan kembali lagi?”

“Mudah-mudahan tidak. Tetapi ada beberapa bukti yang membuatku ragu akan kematian Voldemort—“

Severus bergidik mendengar nama itu, tapi ia berusaha tetap tenang.

Dumbledore meneruskan, “—jika memang ia benar-benar sudah mati, anggap saja pelajaran ini bonus untukmu, tetapi kalau ia benar hidup kembali, maka kuharapkan kau sudah siap. Aku menyadari, ada banyak orang-orang yang siap mati dalam menjalankan tugas. Tapi kuharap mereka tidak mati konyol. Tidak mati sia-sia. Kalau bisa malah, jangan mati.”

Dumbledore memandang Severus dengan sungguh-sungguh. “Kuharap kau juga begitu. Aku tahu, pekerjaan ini akan sangat berat. Dan kau siap menanggungnya. Tapi kau harus punya bekal—“

Severus mengangguk pelan. “Baiklah. Kapan mulai?”

Dumbledore menatap Severus lebih dalam lagi. “Sekarang?”

-o0o-

Severus kembali ke kamarnya malam itu dengan kelelahan berganda. Kelelahan jasmani, di samping juga kelelahan psikis. Pelajaran Legilimency sekaligus Occlumency itu menguras staminanya. Terutama psikis. Ia serasa ditelanjangi, dibuka habis-habisan isi benaknya, sebelum akhirnya ia bisa menutupnya. Belum lagi secara fisik, pekajaran ini melelahkan. Entah berapa kalori terkuras untuk mempertahankan benaknya tetap tertutup, tidak bisa diterobos.

Severus menjatuhkan diri di tempat tidur, belum membuka jubahnya, belum berganti baju dengan baju tidur, belum membuka sepatu, belum apa-apa.

Padahal mereka rasanya hanya lima kali mempraktekkan, Dumbledore berusaha masuk ke dalam benaknya dengan Legilimency, dan ia berusaha menutupnya dengan Occlumency. Lima kali, batas terbanyak untuk sekali latihan, ujar Dumbledore.

Severus menarik napas panjang. Ia berdiri, berjalan ke kamar mandi, mulai membersihkan diri. Air dingin dari shower mengingatkannya akan sesuatu. Saat setelah malam ia dihinakan—atau menghinakan diri—oleh Dumbledore. Dan saat setelah—Lily.

Severus baru mengerti, apa yang dimaksud Dumbledore bahwa ia berbakat untuk Occlumency. Dumbledore tidak pernah bisa masuk ke dalam bagian memori yang satu ini. Dari sekian banyak latihan tadi, ada banyak peristiwa keluar, ada banyak peristiwa yang terbaca oleh Dumbledore, tapi peristiwa Lily tidak bisa keluar.

Ia sudah menutupnya rapat-rapat, tak membiarkan seorangpun membacanya.

Mungkin ini yang disebut Dumbledore, bahwa ia punya bakat untuk Occlumency?

Ia mengusap air yang membasahi wajahnya, walau air terus turun. Bukan karena airnya dingin, maka ia menggigil.

Dumbledore tak tahu apa yang terjadi dengan ia dan Lily. Dumbledore hanya menduga, ia mencintainya, dan bersedih karena kematiannya. Dumbledore tak tahu yang lainnya.

Kedua tangannya menutup wajahnya.

Tak akan ada yang tahu. Ia bertekad menutup memori itu selama-lamanya. Apalagi setelah Dumbledore memberinya ketrampilan baru, menutup benaknya.

Memori itu akan dikuburnya dalam-dalam.

Ia keluar dari shower dan mematikannya. Mengeringkan badan lalu berpakaian. Tidak langsung tidur, tetapi masih memeriksa tugas murid-murid. Menyiapkan diri untuk bahan mengajar esok hari.

Dumbledore sudah mengingatkan, ada kemungkinan ia yang akan aktif mengajar, sedang Horace hanya akan mengawasi. Horace akan lebih mementingkan permen nanasnya.

Severus tertawa getir. Sekarang saja sudah terlihat gelagatnya. Ia yang masuk kelas, ia yang menyampaikan materi, sementara Horace duduk di sudut belakang kelas. Mengawasi apa yang ia sampaikan. Sampai saat ini, belum ada protes. Lalu, semua tugas, ia yang memeriksa. Ia juga yang harus memberikan tugas apa yang harus dikerjakan oleh murid-murid. Bahkan, nampaknya ia juga yang harus menyiapkan pertanyaan-pertanyaan untuk kuis hingga untuk ujian kenaikan kelas nanti.

Ia menghembuskan napas. Tapi cepat-cepat ia mengeluarkan tumpukan perkamen tugas-tugas murid. Memeriksanya dengan seksama. Memberikan nilai.

Ia sudah berkonsultasi dengan Horace tentang nilai, dan Horace hanya tersenyum. “Kalau kau pikir tugas mereka memang buruk, kenapa harus diberi nilai bagus? Lagipula, setiap guru ada pola-nya masing-masing dalam memberi nilai. Aku dengan kebiasaanku, kau dengan kebiasaanmu.”

Dan ia menganggap itu sebagai ijin untuk membabat habis pekerjaan anak-anak yang ia anggap tak masuk standar. Those dunderheads!

Tidak pernah ia mengira ia akan mengerjakan pekerjaan seperti ini: memeriksa tugas murid, menyiapkan pertanyaan untuk kuis dan ujian, memeriksa kuis ... Menyiapkan materi untuk pelajaran besok, menyiapkan bahan-bahan untuk praktek ... Kalau dikatakan ia menyukai tugas sebagai seorang guru ... itu salah besar.

Ia tidak pernah bisa menghayati bagaimana sebaiknya menjadi seorang guru.

Ia hanya menyukai kenyataan, bahwa semua kegiatan itu menjauhkannya dari melamun. Dari memikirkan hal-hal yang membuatnya mengutuk dirinya sendiri. Malam itu bersama Lily. Malam itu bersama Dumbledore. Selama ia masih bekerja, fokus pikirannya hanya pada pekerjaan. Boleh dibilang, pekerjaan itu hanya sebagai pelarian agar ia tidak terus menerus memikirkan malam-malam terkutuk itu.

Hanya pelarian.

Kecuali saat ia berlatih Occlumency. Ia harus bekerja keras menyimpan semua memori-memori yang ia tidak inginkan siapapun melihatnya. Apalagi semakin hari, semakin keras Dumbledore melatihnya, semakin keras juga Dumbledore berusaha menggedor pertahanannya untuk menutup jalan masuk pada memori-memori itu. Terpaksa ia juga harus bekerja keras mempertahankannya.

Dan nampaknya Dumbledore puas akan hasil kerjanya.

Dumbledore mengingatkan, jika memang Voldemort—ia masih selalu berjengit mendengarnya—masih hidup, Voldemort adalah seorang Legilimens yang handal. Dumbledore menginginkan Severus paling tidak menyamai levelnya, sukur-sukur bisa melampauinya, baik Occlumency maupun Legilimency.

Severus menghela napas. Ia bisa saja membenci Dumbledore atas peristiwa malam hari itu. Tapi dalam hal lain, ia harus berterima kasih padanya. Dumbledore memikirkan semua segi dirinya, mengemukakan kelemahan-kelemahannya, memberikan saran untuk memperbaikinya. Mengemukakan kelebihan-kelebihannya, melatih semua sisi kuatnya agar lebih kuat lagi.

Bahkan saat Wizengamot memperkarakannya, ketika Igor Karkaroff mengeluarkan tuduhan bahwa Severus adalah seorang Pelahap Maut, Dumbledore berani memberikan jaminan bahwa ia sudah bersih.

Membuatnya sangsi. Apakah benar Pangeran Kegelapan akan bangkit kembali? Melihat kerasnya upaya Dumbledore melatihnya, melihat betapa percaya Dumbledore padanya, Severus terpaksa harus percaya juga bahwa Pangeran Kegelapan kemungkinan besar akan kembali.

Dan jika harinya tiba, ia harus siap.

Severus menghela napas.

Pekerjaannya sudah selesai. Masih ada dua-tiga jam lagi. Walau tak suka, ia harus tidur. Ia hanya bisa berharap, malam ini mimpinya tak seburuk malam kemarin.

Naik ke tempat tidur, menarik selimutnya, memejamkan mata.

Kegelapan mulai menjalankan aksinya.

-o0o-

Waktu berlalu. Walau kau diam sekalipun, jarum jam terus berdetik. Berdasarkan itu, Dumbledore terus mengasah kemampuan Severus. Suka atau tak suka, Severus mau tak mau harus mengakui, itu semua ada gunanya untuk dia. Walau terkadang Dumbledore tak menyebutkan alasan mengapa harus A, mengapa tidak boleh B, namun akhirnya alasan itu akan muncul, cepat atau lambat.

Hanya satu yang sampai sekarang Dumbledore selalu menolaknya. Dan ia samasekali tak mau menyebut alasannya.

Severus selalu merasa ia akan lebih dibutuhkan di posisi Guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Tiap tahun gurunya berganti. Tak ada yang bertahan lebih dari setahun. Dan Severus selalu melamar untuk posisi itu. Dan tiap tahun pula Dumbledore menerima orang lain untuk mengisi posisi itu.

Severus penasaran.

Apakah memang ia lebih pantas di Ramuan?

Ia merasa, ia memang tak punya jiwa pendidik. Jadi, di posisi manapun, akan sama saja hasilnya. Tapi, mengapa Dumbledore selalu menolaknya untuk berada di posisi Pertahanan terhadap Ilmu Hitam? Pengalamannya dalam Ilmu Hitam sudah tak bisa disebutkan lagi, lalu mengapa? Apakah Dumbledore takut ia kembali terjerumus ke dalam Ilmu Hitam? Atau—tahukah Dumbledore akan penderitaannya tiap malam, dan takut kalau ia mengajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, ia akan bertambah tersiksa?

Pertanyaan itu akan selalu bergaung.

Tahun ajaran 1991, menjadi tahun yang dinanti.

Akhirnya anak Lily—anak Potter juga, akan masuk ke Hogwarts. Seberapa pun usahanya untuk menyembunyikan kebencian pada Potter, tetap saja semua orang tahu.

Ia sangat benci pada Potter.

Dan kini, akan ada anaknya di Hogwarts.

Ia sangat benci pada Potter, senior maupun junior.

Sepertinya ia memperoleh lawan yang seimbang dalam hal membenci.

Tetapi dalam setiap langkahnya, Dumbledore selalu menyertai. Paling tidak mengerem agar ia tak terlalu jauh bertindak. Dan mengingatkan janjinya untuk menjaga anak Lily baik-baik.

Anak Lily.

Setiap kali ia memandang Potter—Harry—sebagai anak Potter senior, Dumbledore selalu muncul mengingatkan bahwa Harry adalah juga anak Lily. Mengingatkan bahwa selain penampilan yang mirip James, bakat Quidditch yang mirip James, Harry juga punya mata yang mirip Lily.

Mata yang mirip mata Lily.

Severus berusaha mengendalikan dirinya, walau ia tak tahu kenapa anak ini selalu membuat masalah, selalu keluar dari apa yang sudah digariskan. Entah ia memang gemar membuat masalah, atau masalah memang gemar mengikutinya.

Tahun pertama, ia bahkan sampai rela menjadikan dirinya wasit Quidditch—ia paling benci naik sapu—hanya agar Quirrell tak bisa mencelakainya. Tahun berikutnya anak itu bertempur dengan Basilisk. Tahun berikutnya ia bahkan menemukan ayah baptisnya.

Dan tahun keempat Pangeran Kegelapan muncul kembali.

Dumbledore benar.

Ia tak tahu penelitian apa yang dilakukan Dumbledore sehingga membuahkan kesimpulan bahwa Pangeran Kegelapan masih hidup.

Yang ia tahu, Pangeran Kegelapan masih hidup. Anak buahnya berhasil menculik Harry melalui Piala Api, dan meneteskan darahnya agar Pangeran Kegelapan kembali ke dalam wujudnya.

Berarti ia sudah harus bertugas.

Dalam remang malam di Rumah Sakit, setelah mendengar cerita Harry tentang apa yang terjadi di saat ia di-portkey-kan lewat Piala Api, Dumbledore memandang Severus dengan harap.

“Severus,” katanya, “kau tahu apa yang harus kuminta kau lakukan. Kalau kau bersedia ... kalau kau siap ...”

“Aku siap,” kata Severus.

Severus tampak sedikit lebih pucat daripada biasanya, dan matanya yang hitam dingin berkilat ganjil.

“Kalau begitu, semoga berhasil,” kata Dumbledore, dan ia mengawasi, dengan keprihatinan di wajahnya, selagi Severus keluar dari Rumah Sakit tanpa kata.

Tak ada yang mengetahui bahwa malam itu Severus harus kembali ke dalam Kegelapan, Gelap yang dalam.

Semua siksaan batin yang ia alami tiap malam, tak bisa tidur diganggu mimpi-mimpi buruk, mimpi-mimpi yang membuatnya lebih suka bekerja daripada tidur, kini akan merupakan kemewahan.

Karena sekarang, dengan keharusan untuk berkumpul dengan para Pelahap Maut, akan muncul lagi adegan-adegan yang dahulu ia coba lupakan. Dengan keheningan di Hogwarts saja ia masih merasa tersiksa, masih ia tak bisa melupakan malam-malam terkutuk itu, apalagi jika ia harus berkumpul dengan Pelahap Maut, harus melaksanakan tugas-tugas Pangeran Kegelapan.

Untunglah Dumbledore sudah membekalinya dengan Occlumency. Ia harus bekerja keras memang, tapi ia bisa menyembunyikan semua yang ingin ia sembunyikan. Dengan kerja ekstra keras.

-o0o-

Hening di kantor Kepala Sekolah malam itu. Di meja tergeletak cincin Gaunt, pedang Gryffindor, dan piala yang nampaknya tadinya berisi ramuan.

Hanya ada Severus dan Dumbledore.

Dumbledore, sekrang nampak jauh lebih tua dari hari-hari kemarin. Nampak lebih rentan. Fisik, dan psikis.

Mereka sepertinya sedang membahas sesuatu, dan kini terdiam.

Severus akhirnya angkat bicara. Mengangkat alisnya, nadanya sinis ketika ia bertanya, “Apakah kau membiarkannya membunuhmu?

“Tentu saja tidak. Kau yang harus membunuhku.”

Hening lagi, lama.

“Kau ingin aku melakukannya sekarang?” tanya Severus, suaranya penuh ironi. “Atau kau perlu waktu dulu untuk menyusun kata-kata di batu nisan?”

“Oh, tidak, belum sekarang,” kata Dumbledore, tersenyum. “Aku berani bilang saatnya akan datang sendiri pada waktunya. Mengingat apa yang telah terjadi malam ini,” ia menunjuk tangannya yang kisut, “kita bisa yakin itu akan terjadi dalam setahun ini.”

“Kalau kau tidak keberatan mati,” kata Severus kasar, “kenapa tidak membiarkan Draco yang melakukannya?”

“Jiwa anak itu belum terlalu rusak,” kata Dumbledore. “Aku tak mau jiwa itu tercabik-cabik gara-gara aku.”

“Dan jiwaku, Dumbledore? Jiwaku?”

“Kau sendiri yang tahu apakah membantu seorang laki-laki tua menghindari kesakitan dan penghinaan akan merusak jiwamu,” sahut Dumbledore. “Kecuali kalau—“

Severus tahu benar apa yang akan diucapkan Dumbledore. Ia menutup matanya. Menghela napasnya. Dan berbisik lirih, “—kecuali kalau aku menganggap membunuhmu berarti menyelesaikan masalah kita, masalah malam itu di Menara Astronomi—“

“—Ya,” sahut Dumbledore, tak kalah lirihnya.

Berat bagi Severus untuk mengucapkannya. Tapi ia harus.

“—Aku—“ ia menarik napas panjang sebelumnya, “—aku selalu berusaha untuk melupakannya. Aku—“

“Aku tahu,” ucap Dumbledore pendek. Pelan. “Kita selama ini selalu berpikir—bahwa waktu akan membuat kita melupakannya.”

Severus mengangguk tak kalah pelan.

Dumbledore kali ini yang menarik napas panjang, berusaha duduk lurus-lurus, matanya menatap Severus, “Maukah kau memaafkan aku, Severus?”

Ditatap tepat di mata, Severus balas menatap Dumbledore. “Aku sudah memaafkanmu. Aku hanya—aku hanya—“ ia berusaha meneruskannya, tapi tak bisa.

Dumbledore sabar menunggu.

Severus menelan ludah. “Aku hanya tak bisa melupakannya. Aku selalu berpendapat—aku selalu merasa itu adalah karma—“

Ia berusaha agar bisa meneruskan kalimatnya. “—dari apa yang sudah kulakukan selama menjadi Pelahap Maut—“

Dumbledore tak bisa berkata-kata lagi. Sepertinya matanya membentuk lapisan kaca dan runtuh sekaligus melelehi pipinya yang keriput.

-o0o-

MS Wordcount: 3117
Total NaNo Wordcount: 15135
Target: 26667

Yah, semakin mendekati :P

0 Comments:

Post a Comment

<< Home