My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Saturday, November 21, 2009

Hari ke-21

OK, ternyata Fandom Harry Potter selesai sampai di sini *nyengir* nanti malem mulai lagi Supernatural :P

*****


Pagi ini ia bangun dengan semangat seperti kalau akan memenangkan pertandingan Quidditch. Berdebar-debar, tapi suka cita. Sedikit mulas, mimpi yang aneh-aneh, tapi lega. Seperti nasibnya akan diputuskan hari ini, tapi ia sudah tahu hasilnya. Dengan suasana hati yang seperti itu, ia berangkat ke Wizengamot.

Untuk rasa senang yang gagal disembunyikan itu, Kingsley menyambutnya dengan berseri-seri. Tanpa bicara, hanya menyerahkan gulungan perkamen Surat Keputusan Wizengamot, dan Harry otomatis tahu apa isinya. Tapi dibukanya juga, dibacanya, kalau-kalau ada kalimat yang tertinggal penafsirannya.

Mereka sedang membicarakan kemungkinan pemindahannya ke Hogwarts, ketika seorang perawat Unit Kesehatan Wizengamot muncul. “Mr Shackelbolt, Mr Potter, ia sudah sadar—“

Dalam beberapa detik, Harry bingung sejenak. “Ia—ia siap—oh, kau maksudkan Profes—“ ia menoleh pada Kingsley.

Kingsley mengangguk.

Harry melesat secepat kilat ke Unit Kesehatan Wizengamot. Tapi setiba di muka pintunya, ia terdiam.

Bagaimana kalau Profesor Snape masih membencinya? Bagaimana kalau ia ternyata—ah, sudahlah. Apapun yang akan terjadi—

Harry membuka pintunya. Ia masuk, dan berjalan mendekati tempat tidur. Ulrich ada di sana, sedang melakukan pemeriksaan.

Wajahnya berseri-seri. “Harry, terapimu kemarin berha—“

Tapi ia melihat airmuka Harry yang tegang, dan berhenti bicara. Ia menyelesaikan pemeriksaannya, dan keluar. Membiarkan Harry berdua dengan Severus.

Harry mendekati tempat tidur, hingga ia berdiri tepat di sisi. Menelan ludah. Berbagai kalimat tergambar dengan jelas di kepalanya, tapi tak ada yang keluar.

Dan Severus yang pertama bicara. “—Jadi—kau selamat—“ sahutnya pelan.

Harry mengangguk perlahan, “Yes, Sir.”

Ia mengutuk lidahnya yang hanya mengeluarkan dua patah kata. Ia ingin bicara banyak. Ia ingin meminta maaf atas semua kelakuannya selama ini. Ia ingin—

“—air,” suara Severus masih pelan.

Harry menuangkan air dari poci di meja, dan memberikannya. Severus menerimanya, meminumnya. Tangannya masih gemetar, tapi nampak ia bersikeras untuk melakukannya sendiri.

Hening sejenak.

Harry tak tahu mesti mengatakan apa, lagipula ia memperkirakan Severus masih belum cukup kuat untuk berbicara panjang lebar.

Tapi dugaannya keliru.

Setelah mengembalikan gelas, Severus mencoba untuk duduk. Harry membantunya dengan canggung.

Menghela napas. Dan menatap Harry tajam. “Jadi, kita tidak berada di alam kematian?”

Harry menggeleng.

“Dan kau masih hidup walau Pangeran Kegelapan sudah merapal Kutukan itu—“

“Berkat Anda, Sir—“

“Dan kau pasti bertanya-tanya—“

Harry tidak berani bertanya. Tidak berani bahkan untuk mengangguk. Ia hanya mengamati secara mencuri-curi, airmuka Severus ternyata muram.

“Kau tak pernah punya sangkaan apa-apa?”

Harry mengangkat mukanya sekilas, dan menggeleng. “Hermione—Hermione punya sangkaan bahwa Anda—ilmu Anda cukup tinggi—“

Tawa pelan tapi getir itu tak pernah disangka Harry akan keluar dari mulut Severus. Ia menggeleng pelan-pelan. “Tak ada ilmu semacam itu, Potter. Tak ada. Tak ada seorangpun yang bisa mengelabui Inheritus Eliminarium. Dongeng bahwa jaman dulu ada orang-orang yang mampu mengelabui Kutukan itu, hanya cerita akal bulus mereka yang malu karena punya anak di luar nikah, atau sejenisnya—“

Asli, Harry melongo.

Severus memejamkan mata. “Kalau kau ingin tahu juga—“ ia membuka matanya. Airmukanya bertambah muram.

Harry merasa tak enak. “Jika—jika memang Anda tak enak mengungkapkannya—tidak usah saja—“

Tapi airmukanya berkhianat, tentu saja wajahnya akan menampakkan wajah ingin tahu yang sangat.

Menghela napas, Severus memejamkan mata lagi, bersandar ke kepala tempat tidur. “Kau tentu tahu, hanya satu wanita yang kucintai—“

Nadanya pahit. Nadanya getir. Masygul. Perih. Itu kesimpulan yang ditarik Harry mendengar suaranya. Suara guru yang biasanya memancing amarah, atau bahkan membuat orang lain mengkeret ketakutan.

Tapi kali ini, hanya rasa perih yang bisa ia tarik, yang tersirat, yang ia tangkap.

“Sir—“

Severus nampaknya tak mendengar, ia tetap meneruskan ceritanya.

“Kau tahu, banyak cerita kejahatan yang bermula dari alkohol? Dan itulah awal mula cerita ini—“

Tak sadar Harry duduk langsung di sisi tempat tidur, tak mempedulikan kursi yang biasanya ia pakai. Mata dan telinganya terpaku.

“—dan itulah yang paling aku sesali,” suaranya lirih. “Kau benar, aku memang pengecut. Aku sangat pengecut. Tak ada seorangpun yang pernah mendengar cerita ini, mereka semua mengira aku berbaik hati mengantarnya pulang, membebaskannya dari penculikan di markas Pangeran Kegelapan, padahal—“ ia menarik napas panjang lagi, “—bahkan dirinya sendiri pun aku kenai Obliviate, untuk melupakan apa yang pernah ia rasakan, penganiayaan, kekerasan, ketakutan—“

Harry nyaris tak percaya melihat titik bening itu mengalir begitu saja di wajah gurunya, yang biasa berwajah keras ini—

“Sir—“

“—ia tak pernah tahu. Sampai akhir hayatnya, ia tak pernah ingat—“

Kalau Harry berada di sisi Lily, tentu yang ia rasakan adalah rasa jijik. Rasa benci. Amarah. Dan entah rasa apa lagi. Tapi kini ia berada di sisi Severus, dan yang ia lihat langsung adalah laki-laki yang biasa ia benci, dengan emosi yang berbeda. Jauh berbeda, 180 derajat berbeda dari apa yang biasa ia lihat. Jika saja ia tak ada di sini, jika saja ia mendengar dari orang lain, ia tentu takkan percaya.

“—ia tak pernah ingat. Tapi aku—“ Severus menelan ludah yang ia rasa susah karena tenggorokannya mendadak kering, “—selalu teringat. Selalu terbawa mimpi. Tiap malam, tiap hari, tiap saat—“

Seakan ada yang menyayat hati Harry, seakan ada yang mengoyaknya. Tak heran kalau sikap Severus selama ini—Harry menghela napas panjang.

Ya benar, IBUNYA lah yang diperlakukan demikian, tetapi yang ia lihat sekarang adalah penyesalan yang dalam, yang ia tak tahu sampai di mana dasarnya—

Harry perlahan mengangsurkan tangannya, memegang lengan Severus pelan-pelan. Dan ia terkejut.

Lengan itu gemetar hebat.

Ia teringat diagnosa Ulrich. Nervous breakdown. Kelelahan mental yang sangat. Ia teringat citra yang ia dapat dari memori yang diberikan. Kepenatan mental. Menyembunyikan sesuatu yang sangat besar artinya, dalam waktu yang sangat lama. Di samping menyembunyikan hal-hal lain dalam tugasnya sebagai mata-mata—

Ia bukan seorang Muggle psikolog, bukan Muggle psikiater, bahkan mendengar istilahnya saja ia baru tahu dari Ulrich. Tapi kedengarannya seperti suatu kasus yang gawat. Dan Severus seperti tak sadar sedang bicara dengan siapa, ia terus saja bertutur.

Ini tidak normal. Ini tidak wajar. Harry lama kelamaan menyadari. Ini tidak seperti orang yang ia kenal seperti biasa.

“—aku selalu memonitor kehidupannya. Sembilan bulan setelah mereka menikah, Lily melahirkan seorang anak laki-laki—“

Harry mencari matanya, tapi yang ia dapat adalah pandangan menerawang, pandangan yang kosong.

Betul, ini bukan orang yang biasa ia lihat.

“—dan aku minta tolong pada Dumbledore, bahkan sampai aku minta tolong pada Dumbledore, tapi tetap saja gagal. Pangeran Kegelapan tetap memburunya, membunuhnya. Ia meninggal,” suaranya bagai lenyap ditelan angin lalu, tapi ia terus melanjutkan, “—dan Dumbledore mengingatkan padaku akan temuannya, bahwa Pangeran Kegelapan masih akan bangkit kembali, bahwa aku harus membantunya melindungi anaknya. Anak Lily—“

Itu aku, pikir Harry. Ia sudah pernah melihat citra adegan ini dalam memori, tapi mendengar langsung suaranya gemetar sewaktu menyebutkan dirinya—

“—dan saat aku sedang limbung, saat aku sedang jatuh, saat aku sedang mencari pegangan, justru malam itu—malam itu—Dumbledore—“

Nanar Harry mendengarnya.

Tak mungkin. Tak mungkin. Bagaimana mungkin, orang yang selama ini ia hormati, yang sangat ia sayangi, bisa melakukan itu? Dalam keadaan yang normal pun ia tak akan mampu mendengarnya. Ini, yang mengatakannya adalah korbannya—kalau ia boleh mengatakannya sebagai korban—sendiri.

Ia menjentikkan tongkatnya perlahan, menghasilkan sebuah kotak tisu. Diambilnya selembar, dan hati-hati disekanya wajah gurunya yang basah.

Severus terdiam, membiarkan wajahnya diseka.

Tapi Harry sendiri tak berbicara. Ia terdiam. Pertama, ia tak tahu harus berbicara apa, ia begitu terkejut dengan kenyataan. Kedua, Ulrich yang mengatakan.

Biarkan saja ia bicara, ujar Ulrich dulu, tak ada obat untuk nervous breakdown atau hal-hal semacamnya. Paling tidak, tak ada yang bisa langsung mengobati seperti mengobati pilek atau demam. Mungkin Muggle mengobatinya dengan pik-pil, tapi itu hanya untuk menenangkan, hanya mengobati gejala, bukan mengobati langsung. Dengarkan saja ia bicara. Setelah ia tenang, ia akan kembali pada dirinya yang asli—

Tapi bagaimana ia bisa menenangkan orang yang mengalami nervous breakdown jika ia tegang begini? Bagaimana bisa ia mendengar bahwa orang itu adalah—ayahnya?

Perang berkecamuk dalam hatinya saat ia dengan hati-hati mengeringkan wajah gurunya—ayahnya. Apa yang sudah ia lakukan pada ibunya? Tapi juga, apa akibat yang terjadi padanya dengan menyimpannya dalam-dalam, menutupnya rapat-rapat, sekian lama?

Jelas-jelas ia bukan seorang Slytherin karena pertempuran dalam hati itu dimenangkan oleh rasa Hufflepuff-nya.

“Sir—“ ujarnya, berusaha menenangkan. Walau ia tak tahu harus bagaimana, canggung dan kikuk menghadapinya. Setengah dari dirinya mengharap Ulrich atau siapapun membantunya, tapi setengah dari dirinya berharap tak ada yang mendengar apa yang sedang dituturkan. Biarlah hanya ia yang mendengarnya. Biarlah—kalau bisa—tak ada yang mendengarnya, walaupun dirinya.

“—dan aku selalu membencinya. Aku tak tahu kalau ia bisa saja anakku, aku terlalu bodoh, aku terlalu pengecut, aku tak berani bahkan untuk mencoba menghitung antara tanggal kelahirannya dengan peristiwa itu. Aku selalu membencinya, aku selalu mencoba membuatnya dihukum—“ suaranya parau,”—tapi pada saat yang sama juga aku selalu melindunginya. Aku mencoba menipu diriku sendiri, mencoba berbohong pada diriku, bahwa itu semua aku perbuat karena aku sudah berjanji pada Dumbledore untuk melindungi anak Lily—“

Tak tahu kenapa, spontan saja Harry bertanya, “Dan tak ada yang tahu, Sir?”

Severus menggeleng pelan. “Tak ada yang tahu. Tak ada yang tahu aku berjanji untuk melindungi anak Lily. Dumbledore seorang yang tahu. Tapi, walau ia tahu aku melindunginya, ia mengira aku berbuat demikian karena aku mencintai Lily. Saja.” Severus memejamkan matanya. Perih.

“Tak ada yang tahu, alasan yang sebenarnya—“

Harry memandangnya, setengah kasihan. Setengah sedih. Itulah mengapa ia nampak begitu misterius, nampak tak bisa ditebak, karena ia memang tak mengijinkan seorangpun untuk mengetahui apapun dari dirinya.

Ia menutup dirinya. Tak membiarkan siapapun mendekati.

I’ve built walls A fortress deep and mighty That none may penetrate I have no need of friendship, friendship causes pain It’s laughter and it’s loving I disdain

Don’t talk of love But I’ve heard the words before It’s sleeping ini my memory I won’t disturb the slumber of feeling that have died If I never loved I never would have cried

I have my books And my potions to protect me (aslinya ‘my poetry to protect me’) I am shielded in my armour Hiding in my room, safe within my tomb I touch no one and no one touches me

I am a rock I am an island And a rock feels no pain And an island never cried
[I Am A Rock – Simon & Garfunkel]

Kau menyimpannya sendiri, batin Harry, bersyukur karena ia punya kawan-kawan terbaik di dunia. Ron memang banyak berprasangka, dan mereka sering bertengkar, tapi apa artinya teman kalau tak pernah berselisih paham? Bukankah yang penting ialah bagaimana mereka menangani perselisihan paham itu? Hermione, dia memang sok tahu, tapi itulah dia, dan ia merasa nyaman dengan itu. Belum lagi yang lain, teman-teman sebaya, teman-teman yang lebih tua, keluarga Weasley, Remus, Sirius—

Lalu, apakah penting, kalau kau tak pernah menangis, tak pernah menumpahkan emosimu, tak punya kawan untuk melepas keluh kesahmu?

Tak sadar, tangan Harry yang tadinya hanya memegang lengan Severus, kini mengusap-usapnya. Seolah ingin berbagi, seolah ingin mengurangi kepenatannya.

Severus tak menarik tangannya.

Ia masih bersandar, memejamkan mata, menarik napas panjang. Seolah menikmatinya.

Mungkin memang ya. Sejak kapan coba, ia merasakan yang seperti ini? Dan siapa yang akan berani?

Tapi itu hanya sebentar. Ia tiba-tiba menarik tangannya, membuka matanya, menyahut dengan dingin. “Kau tahu dengan siapa kau berhadapan?”

Harry mengangguk mantap.

Walau ia merasa heran sendiri, mengapa ia bisa begitu mantap?

Tapi begitu berhadapan dengan mata yang sedang menatapnya itu, ia merasa yakin, ia memang harus mantap. Ia sedang berhadapan dengan seorang yang labil, seorang yang sedang mengalami kelelahan mental, kepenatan. Ia harus mantap. Atau, setidaknya, terlihat mantap.

Walau pada awalnya ia merasa gamang. Ia belum lagi berusia delapan belas. Bahkan tidak sampai setengah umurnya.

Severus tertawa terkekeh tertahan, tapi terdengar begitu mengerikan. “Kau berhadapan dengan seorang pemerkosa, pembunuh, penipu, pembohong—dan yang lebih mengerikan, seorang pengecut. Pengecut yang tak mau mengakui kalau ia sudah melakukan kejahatan-kejahatan, pengecut yang melampiaskan semua ketakutannya pada semua anak yang seharusnya ia didik—“

Defense mechanism, ulang Harry dalam hati, mengulang kata-kata Ulrich. Ulrich memang benar. Ia bahkan bisa menganalisis saat pasien masih dalam keadaan koma. Mekanisme pertahanan.

Pada saat seseorang mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan, hal-hal yang dirasa menyerang dirinya, ia akan mengeluarkan mekanisme pertahanannya sendiri-sendiri. Ada orang yang akan menyerang balik, ada juga yang menyangkal serangan itu, tapi ada juga yang menutup diri rapat-rapat.

Biarkan ia mengeluarkan semuanya, Harry. Bertahan saja, biarkan saja sampai ia lelah mengeluarkan semua isi hatinya. Sudah lama ia tak bisa mengeluarkan isi hati. Kalau otaknya penuh, ia bisa mengeluarkannya pada Pensieve, tapi isi hati?

Hanya sebentar Severus memaki-maki diri sendiri, nada suaranya semakin lemah, suaranya tergugu. Tersendat-sendat. Terdiam. Hanya isaknya terdengar lamat-lamat.

Setengah bingung—Harry belum pernah bertemu dengan suasana seperti ini, hanya naluri yang membimbingnya—ia menyentuh bahu Severus. Perlahan, awalnya bahkan Harry tak yakin tersentuh.

“Sir—“

Severus membiarkan bahunya disentuh. Awal yang baik. Ia tidak mengelak, tidak berontak.

“McGonagall sudah kangen akan pertengkaran kalian tiap kali menjelang Quidditch,” suara Harry pelan. “Hagrid juga, ia tahu bukan kau yang membakar pondoknya, atau mengurung anjingnya dalam api.” Harry berusaha mempertahankan suaranya, pelan tapi mantap. “Ia selalu berkata, bahwa kau adalah satu-satunya anak Slytherin yang tak pernah mencoba mengeluarkannya dari Hogwarts.”

Harry berusaha memandang tepat pada mata Severus. Mata itu perlahan mulai jinak, atau itulah kesan yang dia lihat.

“Ia tahu trik yang kau mainkan waktu kau mengirim Neville dan teman-teman padanya sebagai hukuman.”

Pelan-pelan ia mengusap-usap bahu Severus.

Severus menggeleng pelan. “Aku tak bisa bertemu mereka lagi—“

“Mengapa?”

Severus terdiam. Lalu menarik napas panjang. “Ini Wizengamot. Kau tahu sendiri untuk apa aku ada di sini. Aku tinggal menunggu vonis—“

Harry melepaskan tangannya dari bahu Severus. Dipandangnya sejenak, sebelum ia merogoh saku dalam jubahnya.

Gulungan perkamen dari Kingsley tadi.

Diberikannya pada Severus, tanpa bicara.

Severus memandang Harry lama sekali sebelum ia menerima gulungan perkamen itu. Hati-hati, pelan-pelan, dibukanya, seolah akan meledak jika terlalu cepat membukanya.

Dibacanya.

Diangkat wajahnya, dan ditatapnya wajah Harry.

Harry mencoba tersenyum, walau ia tak tahu ia harus tersenyum atau menangis.

Severus masih tak percaya, dibacanya lagi berkali-kali.

“Dad—“

Mata hitamnya mendadak melebar mendengar panggilan itu. Benarkah panggilan itu ditujukan padanya?

“—mari kita pulang—“

Kalaulah ada yang mau mengatakan bahwa suara itu adalah nyata, real. Bahwa suara itu seakan mengatakan seolah mereka berasal dari tempat yang sama dan sekarang akan kembali ke tempat yang sama. Bersama-sama. Pulang.

Tapi suara itu mengulang lagi.

“Dad, mari kita pulang—“

“—pulang?”

Harry mengangguk. “Spinner’s End. Atau Hogwarts. Yang manapun yang kau mau—“

Jadi suara itu nyata.

Terlalu indah untuk menjadi nyata.

There'll come a day when you're losing your way And you won't know where you belong They say that home is where the heart is So follow your heart and know that you can't go wrong.

If you feel you lost And on your own And far from home You're never alone you know Just think of your friends The ones who care They all will be waiting there
[Your Heart Will Lead You Home – Kenny Loggins/Ost Tigger Movie]

EDIT TO ADD:

EPILOG:

“Daaaaaad!” jeritan seorang anak laki-laki mengisi seluruh ruangan. Berikut kemudian si empunya suara menerobos dapur dari pintu belakang, terus ke ruang depan di mana si ayah sedang membersihkan Firebolt-nya. Benar-benar rajin, sepulang kerja ia membersihkan Fireboltnya dulu sebelum membersihkan diri. Katanya, agar ia bisa dengan cepat mengejar penjahat-penjahat itu, maka diperlukan sapu yang terawat!

Tapi si ayah tenang-tenang saja, meluruskan ujung-ujung sapu kebanggaannya itu. “Ada apa, Jimmie?” katanya tenang. Sapunya sudah bersih, dimasukkannya ke lemari sapu di bawah tangga.

“Grandpa. Tidak. Adil,” sahutnya sambil terengah-engah, “—Grandpa benar-benar tak adil, Dad! Ia mengijinkan Al ikut membuat Ramuan, malahan katanya ia akan disuruh mengaduk Ramuan, sedang aku disuruhnya belajar Arithmancy atau Rune saja di kamar—“

Sang ayah malah meluruskan posisi kacamatanya, “—kalau aku tak salah dengar, ada sesuatu yang kau perbuat di kamar kerja Grandpa kemarin?”

“Eh—“ pemuda kecil itu tersipu-sipu, “—sedikit. Hanya menumpahkan Ramuan Grandpa—“

“—dan kau juga memasukkan bubuk kepala kecoa dalam Ramuan yang lain, belum lagi meledakkan kuali di ruangan bawah tanah—“

Pemuda kecil itu benar-benar salah tingkah sekarang.

Harry merendahkan badannya, posisinya berlutut hingga kini tingginya hampir sama dengan tinggi James, “—kukira sebaiknya kau membantu ibumu saja bersama Lily—“

“APAA? Tapi mereka sedang mencoba resep masakan baru, masa’ aku—“

Harry berdiri lagi sekarang, mengangkat ranselnya yang berat dan membawanya ke ruang tengah. “Kalau begitu, sebaiknya kau turuti perintah Grandpa saja untuk belajar Arithmancy—“

-o0o-



*****

PS: males untuk bikin huruf italic, nanti aja di FFn ya?
*ditabok*
Hihi.

MS wordcount: 2483
Total NaNo wordcount: 23890
Target: 35000

Nyah! Semakin jauh! Tapi nanti malem mau dicoba dikejar *terengah-engah* Oya, total wordcount untuk Harry Potter, dalam MS wordcount: 19147. Nanti kalau mau dimasukin FFn, baru mau akan diedit. Sekarang mau kejar kata lagi :P

0 Comments:

Post a Comment

<< Home