My Photo
Name:
Location: Bandung, Indonesia

Friday, November 20, 2009

Hari ke-19 dan 20

OK, rencananya sih hari ke-20 bisa selesai, tapi ternyata ada gangguan. Mudah-mudahan hari ini bisa selesai.

Ini hasil hari ke-19 dan 20

*****


Ulrich kembali melakukan pemeriksaan menyeluruh setelah menyuruh Harry duduk.

“Kalau aku boleh tahu, apa saja yang ia alami selama ini sehingga bisa seperti ini?” katanya sembari memeriksa pupil mata Severus.

“Yang aku tahu pasti, ia digigit Nagini, ular Voldemort. Kau mungkin bisa berkonsultasi dengan Penyembuh Hippocrates Smethwyck,” Harry berhati-hati berucap, “tapi aku tak tahu apakah Penyembuh Smethwyck tahu apa yang ia lakukan waktu menyembuhkan Arthur Weasley—“

Ulrich mencatat nama Penyembuh itu di selembar kertas dan memasukkannya ke dalam saku—terkesan serampangan, namun Harry tak mau menertawakannya.

“Lalu?” tanya Ulrich lagi.

“Eh,” Harry masih merasa harus berhati-hati, “—setelah digigit, ia seperti sudah meninggal, tapi temanku mengatakan sepertinya ia menggunakan Stopper in Death—“

“Sudah kuduga,” Ulrich mengambil catatan rekam medik di gantungannya di sisi tempat tidur, dan memberi tanda check, “—jadi, Stopper in Death. Apakah temanmu itu menyalakan lilinnya?”

Harry mengangguk, tak tahu seberapa dalamnya pengetahuan obat-obatan si Penyembuh ini.

“Berapa lama?”

“Eh, kami—kami tak tahu, karena sedang Perang, maka kami meninggalkannya—“

“Ia muncul berapa jam setelah lilin dinyalakan?”

Harry menghitung-hitung. “Sekitar—sekitar tiga jam?”

“Oke,” ia mencatat lagi, “—sekitar tiga jam, waktu yang wajar. Setelah itu—“

Harry menelan ludah, berusaha tak membuat diri kelihatan penting. “Sa-saya sedang bertempur—“

“Dengan Voldemort, ya—“

“—waktu ia datang. Saya tidak memperhatikan saat Voldemort mengeluarkan Kutukannya, tapi menurut teman-teman, itu—itu Inheritus Eliminarium—“

Ulrich berhenti mencatat, dan memperhatikan Harry secara seksama. “Inheritus Eliminarium, yang diarahkan padamu?”

Harry mengangguk. Ia melanjutkan, “Voldemort mati, tapi saya juga kemudian tak ingat apa-apa lagi. Menurut teman-teman, saya kejang-kejang, mata terbalik, mulut berbusa—lalu Snape menukar darahnya—“

“Dan kau masih hidup sampai sekarang?”

“Rasanya—rasanya saya belum jadi hantu—“

Ulrich memandanginya lagi dari atas hingga bawah.

“Kau harus mulai memperhitungkan Severus sebagai anggota keluargamu,” Ulrich menyimpan clipboard yang berisi catatan rekam medik itu di gantungannya, bersungguh-sungguh. Ia menarik sebuah kursi ke pojok ruangan, memberi isyarat pada Harry agar menarik kursinya juga ke sana.

Heran, Harry mengikuti kemauannya, duduk di pojok, canggung. Tak tahu harus berbuat apa, tak tahu harus berkata apa. Ulrich membuka-buka sesuatu—terlihat oleh Harry seperti catatan pasien, tapi tidak seperti rekam medik yang digantung di dinding.

“Ini kasusku yang paling menarik sejak aku ditugasi di pos Wizangamot,” Ulrich nampak sangat bergairah, “—biasanya hanya kasus terluka karena mengamuk di depan pengadilan perdata, atau pingsan karena terlalu ketakutan jadi saksi—“

“Apa-apakah yang bisa saya bantu? Kesaksian saya—“

“Kesaksianmu, barang-barang bukti yang bisa kau hadirkan, itu bawa saja ke pengadilan. Untuk kali ini, aku ingin bantuan yang lebih privat sifatnya.”

Harry duduk lebih tegak.

“Karena kau dibesarkan di lingkungan Muggle, kupikir akan lebih mudah menerangkannya.”

“Kau mempelajari ilmu Muggle?”

“Sedikit—“ Ulrich menggeleng sambil tersenyum, “—sedikit ini, sedikit itu, dan terkadang suka sok tahu—“

Mau tak mau Harry juga tersenyum.

“Kalau dalam istilah Muggle, mereka menyebutnya nervous breakdown—“

“Nervous break—“

“Nervous breakdown. Biasanya depresi yang bertumpuk menyebabkan kelelahan mental, dalam waktu tertentu baik fungsi fisik atau fungsi psikis atau keduanya, tidak bekerja dengan baik—“

Harry terdiam, citra dari Memori yang diberikan Severus padanya di Shrieking Shack berkelebatan.

“Tapi,” Ulrich meneruskan, “karena dia dalam keadaan koma begini, kita tidak bisa menganalisis lebih lanjut—“

“Sebenarnya, mengapa dia bisa koma begini, Ulrich?” tanya Harry dengan hati-hati.

“Penyebabnya macam-macam, bertumpuk, berakumulasi, dan dia sampai pada satu titik terendah di mana ia sudah tidak bisa bertahan lagi. Aku dengar dari ceritamu, digigit Nagini, itu saja sudah satu faktor. Yang kalau untuk penyihir biasa, itu saja sudah cukup untuk membuatnya koma.”

Harry mengangguk pelan.

“Belum lagi di sini ia menjawab pertanyaan-pertanyaan tim interogator yang begitu banyak dan melelahkan, fisik maupun psikis—“

Belum lagi semua peristiwa sebelumnya, yang pasti sudah disimpannya untuk sendiri saja, batin Harry getir, mengingat semua yang dilihatnya dalam Memori Severus.

“Menurutmu, bagaimana kita bisa menyembuhkannya?” tanya Harry.

Ulrich menggeleng pelan. “Selain membuat suasana senyaman mungkin seperti sekarang ini, tidak banyak yang bisa kita lakukan, Harry. Kita hanya bisa berharap. Nervous breakdown ditambah dengan luka fisik, bisa Nagini, peristiwa tukar darah denganmu, itu semua menguras habis staminanya—“

Harry menoleh ke arah di mana Severus berbaring. Perlahan ia berdiri. Berjalan ke arahnya, dan berhenti tepat di sisinya.

Orang yang selama ini paling ia benci, orang yang sudah membuat ia bersumpah untuk membunuhnya, ternyata—

Tangan Harry terjulur, membetulkan selimutnya.

Wajahnya jauh lebih pucat dari yang biasanya ia lihat. Kalau bukan karena gerakan dada sesekali yang nyaris saja ia tidak bisa lihat, mungkin ia akan percaya kalau gurunya ini sudah meninggal.

Takut hal itu akan menjadi kenyataan, ia menjulurkan tangan lagi, menyentuh lengannya.

Masih hangat.

Ada perasaan lega.

Tanpa disadarinya Ulrich sudah berdiri tepat di sampingnya. “Sebenarnya, kalau boleh tahu, Mr. Snape ini siapamu?”

Harry menggeleng. “Aku sendiri tak tahu.”

“Tapi kenyataan bahwa ia melepaskanmu dari Kutukan Inheritus Eliminarium—“

Harry menggelang lagi, pelan.

“Kutukan itu, kalau bukan dilepas oleh keluargamu, atau dilepas oleh seseorang dengan ilmu yang sangat tinggi. Dan rasanya sudah berabad-abad tak ada yang mencapai tahap bisa mengelabui Kutukan ini—“

“Sudah dua orang yang menyatakan itu,” gumam Harry. Cepat-cepat ia membelokkan perhatian, “—bolehkah aku mengunjunginya besok?”

“Tiap hari juga boleh. Lebih banyak perhatian, akan lebih membantu, walau secara medis-sihir, tak ada gunanya.”

“Baiklah. Aku datang lagi besok,” sahutnya pelan.

Matanya masih terpusat pada Severus walau ia sudah keluar ruangan. Sadar kalau ia sudah di luar, ia cepat melihat ke arah lain.

Oya, sebaiknya ia bertemu dengan Kingsley lagi. Berjalan agak sedikit terlalu cepat, ia sampai di depan ruangan Kingsley, pintunya tak ditutup. Diketuknya sedikit.

“Oh, Harry, bagaimana?”

“Masih sama dengan apa yang kau ceritakan. Boleh aku besok mengunjunginya lagi?”

“Tentu. Hm, kalau begitu, sekalian saja kau membuat kesaksian untuknya, besok?”

“Oke.”

“Oke. Tunggu dulu, aku buatkan surat pemanggilan saksi untukmu—“ Kingsley mencari-cari formulir di tumpukan surat di mejanya yang berantakan, dapat, mengisinya dengan satu jentikan tongkat, dan menandatanganinya. “Ini—“

“Thanks. Sampai besok pagi.”

Kembali ke Hogwarts di mana Ron, Hermione, dan Ginny setia menunggu, ia menceritakan semuanya.

“Pantas saja lama tak ada kabar dari Wizengamot, ternyata ia koma di sana—“

“Apakah fasilitas di Wizengamot cukup baik?” Hermione bertanya cemas.

“Baik. Malahan Penyembuhnya ternyata berpengetahuan cukup luas. Paling tidak, aku bisa meninggalkannya di sana dengan lega.”

Hermione memperhatikannya, lalu tersenyum.

“Kenapa?” tanya Harry, jengah diperhatikan begitu, apalagi kemudian disenyumi. Bisa-bisa Ron memancungnya :P

“Tidak,” Hermione masih tersenyum, “—jadi ingat kalau aku dulu selalu mengingatkanmu untuk memanggilnya ‘Profesor Snape’ tiap kali kau menyebutnya ‘Snape’ saja.”

Harry terpaksa tersenyum juga, pahit tetapi.

“Kalau aku ingat-ingat,” Ginny menyela, “dulu waktu ia menjadi Kepala Sekolah di sini, ia pasti tersiksa tiap kali kedua Carrow itu menjatuhkan hukuman pada murid-murid,” wajahnya muram, “—seharusnya aku heran, saat ia menghukum aku, Neville, dan Luna dengan mengirim kami ke Hagrid—“

“Yah, mungkin itu resikonya menjadi mata-mata untuk kedua pihak,” sahut Harry pelan. “Hari sudah larut, dan aku ingin istirahat. Besok aku akan kembali ke Wizengamot—“

“Apa ia tidak bisa dirawat di St Mungo? Atau paling tidak di Hogwarts?”

Harry menggeleng. “Statusnya masih tahanan Wizengamot, sehingga ia tidak bisa keluar dari sana. Makanya, besok aku akan memberi kesaksian, mudah-mudahan ia bisa bebas. Dan bisa kita bawa ke St Mungo, atau Hogwarts paling tidak—“

Ketiganya mengangguk.

Saling mengucapkan selamat malam, Hermione dan Ginny kembali ke ruang anak perempuan, sedang Harry dan Ron masuk ke dalam selimut masing-masing.

“Nite—“

“Nite—“

Keesokan harinya Harry kembali ke Wizengamot, kali ini untuk memberikan kesaksian dan bukti-bukti. Pengadilan tertutup berjalan seharian penuh, tapi selesainya ia masih menyempatkan diri untuk menjenguk Severus.

Masih belum ada kemajuan.

Kini setiap hari ia mengunjunginya, kadang bahkan sehari penuh ia berada di sana. Kadang ada Ulrich, kadang ia sendiri. Hermione ingin mengunjunginya juga, jadi suatu hari ia berada di sana bersama Ron, Hermione, dan Ginny. Suatu hari bahkan ada McGonagall bersama mereka.

Hari ini, ia baru datang, dan baru melewati kantor Kingsley, Kingsley memanggilnya.

“Sudah ada kemajuan?”

Harry menghela napas. “Sedikit sekali. Tapi Ulrich mengatakan, ada kemajuan sedikit itu lebih baik daripada stagnan.”

Kingsley menepuk bahu Harry. “Kemungkinan keputusan Wizengamot tentang vonisnya, bisa keluar besok. Kalau ia divonis bebas, kau bisa membawanya ke tempat yang lebih baik, apakah ke St Mungo, atau kalau kau tak percaya St Mungo, mungkin kembali ke Hogwarts—“

Harry mencoba tersenyum, “—trims, Kingsley. Aku ke sana dulu—“

Kingsley mengangguk.

Setibanya di ruangan sakit, Harry tak melihat Ulrich. Biarlah, toh ia sudah biasa ini. Seorang perawat melihatnya, dan mengatakan kalau Ulrich ada keperluan ke St Mungo.

Jadi ia sendiri memasuki ruangan.

Ia duduk di samping tempat tidur.

Melihat wajahnya, begitu damai. Kenapa dulu tidak seperti ini penampilannya? Mungkin ia tidak akan langsung memusuhinya, tidak akan selalu membangkang pada setiap kata-katanya. Apalagi—setelah ia tahu ceritanya bersama ibunya.

Terkadang ia setengah menyalahkan ibunya juga. Mengapa begitu saja menjauhkan diri, dan bahkan kemudian mengapa merapat pada James? Apakah ibunya tak pernah merasakan bahwa Snape mencintainya, bahkan hingga saat ini? Walau sedikit tanda-tanda, apakah ibunya tak pernah tahu?

Harry membetulkan selimut yang sebetulnya baik-baik saja letaknya.

Napasnya teratur. Kalau saja ia tak tahu bahwa gurunya ini sedang koma, mungkin saja akan dikiranya sedang tidur biasa. Menurut Ulrich, ini saja sudah kemajuan. Biasanya napasnya tak seteratur ini, dan jaraknya juga lama.

Kalau saja ia bisa memberitahunya bahwa besok vonisnya akan jatuh. Kingsley saja sudah memberi bocoran, kemungkinan bebas. Kalau ia sudah bebas, ia mau ke mana?

Kenapa tidak ia beritahu saja?

Harry berdeham. “Sir,” sahutnya pelan, “tadi saya bertemu dengan Kingsley. Dan ia memberitahu saya, keputusan Wizengamot akan keluar besok. Jika Anda bebas, Anda mau ke mana?”

Entah mengapa, rasanya lega mengucapkan itu. Seolah-olah mengucapkan kabar baik pada seseorang yang mampu mendengar.

Jadi ia juga menceritakan hal-hal yang sudah terjadi. Apa saja yang terjadi. Siapa saja yang tewas dalam Perang Besar kemarin—ia agak tercekat menyebutkan Fred, Remus, Tonks, dan Colin—bahwa mereka semua dimakamkan di Hogwarts. Bahwa mereka akan kembali bersekolah lagi seperti biasa 1 September nanti. Tapi McGonagall masih belum bisa menemukan guru Ramuan—Horace Slughorn bersikeras akan mengundurkan diri, janjinya pada Dumbledore dulu hanya sebatas bantuan hingga Voldemort jatuh—dan juga guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Mungkin para Auror akan ada yang ditunjuk sebagai guru tamu, dan Kingsley mungkin mau memberikan Kuliah Umum Pertahanan terhadap Ilmu Hitam untuk semua kelas, tapi mereka kan sibuk, sehingga tidak bisa diharapkan menjadi guru tetap—

Tak terasa hari sudah sore. Rasanya cepat sekali. Padahal ia rasanya hanya bercerita saja, tak melakukan apa-apa.

“Aku pulang dulu,” sahutnya sambil berdiri. “Besok aku ke mari lagi. Mudah-mudahan Kingsley benar, Wizengamot mengeluarkan keputusannya besok.” Agak bimbang ia mengucapkannya, “—kalau keputusan sudah keluar, apakah Anda mau di Hogwarts saja?”

Tentu saja tak ada jawaban, tapi Harry merasa lega sudah mengucapkannya. Ia menyentuh selimutnya, di bagian tangan. Halus saja, nyaris tak terasa.

Ia keluar. Di luar sudah ada Ulrich, yang mengangguk sambil tersenyum. “Bagus juga terapi-mu. Kenapa tidak terpikir dari dulu ya?”

Harry tersenyum kecil. “Aku juga tidak terpikir. Hanya spontan saja, kukira. Aku pulang dulu, Ulrich!”

*****

Total kedua hari ini: 1814
NaNo Wordcount: 21474
Target: Euh ... 33334 *nyengir*

Ayo! Semangat!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home